Rabu, 24 Maret 2010

NYANYIAN BURUNG TANG TUT

L.K.Ara

Dengarlah burung tang tut bernyanyi
Tut…tang…tut…tang…tut
Ia menyanyi sepanjang hari
Sepanjang pantai
Dengan suara parau
Burung itu menyanyi
Tut…tang…tut…tang…tut

Dengarlah burung tang tut bernyanyi
Tut…tang…tut…tang…tut
Burung kecil berwarna hijau
Berparuh kuning kemilau
Terbang sepanjang pantai
Kadang dengan rasa risau
Ia bernyanyi tut…tang…tut…tang…tut

Bangun dari tidurnya yang lama
Ia kaget dan memeriksa tubuhnya
Setengah tak percaya
Dari manusia
Kok tiba-tiba
Jadi burung jelita
Burung kecil berwarna hijau
Berparuh kuning kemilau

Akulah si bungsu
Yang mencari kakakku, bisiknya

Si Sulung kakak si Bungsu
Telah pergi berlayar sendiri
Ke laut lepas tak bertepi
Mencari rezeki
Ketika si Bungsu mengambil
Tang dan catut
Untuk menambal perahu mereka
Yang bocor

Dengarlah burung tang tut bernyanyi
Tut…tang…tut…tang…tut
Burung kecil
Kadang dalam gigil
Tertatih merambat pantai
Ia bernyanyi tut…tang…tut…tang…tut

Tinggallah rumah panggung
Berwajah murung
Tinggallah rumah berdinding kulit kayu
Dengan mata sayu
Tinggallah rumah beratap rumbia
Dipayungi awan duka
Tinggallah tiang-tiang tinggi
Dibalut sunyi

Akankah burung tang tut
Sesekali terbang
Menjenguk rumah panggung yang murung
Rumah rumbia yang duka
Rumah bertiang tinggi yang sunyi

Dengarlah burung tang tut bernyanyi
Tut…tang…tut…tang…tut
Burung kecil
Membawa nasib
Terbang melayang
Menyusuri pantai
Menempuh lingkungan sunyi
Memasuki guha sunyi
Sendiri
Ia bernyanyi tut…tang…tut…tang…tut

Pangkalpinang, Bangka , 22 Nop 2004
-----------

SUNGAI BUDING

Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh kakinya
Dari Lumpur dan debu
Dari perjalanan jauh
Ketika menjejakkan kaki
Pertama kali
Di Belitung ini

Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh tubuhnya
Dari daki dunia
Dalam kembara
Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh wajahnya
Ketika shalat pertama
Suatu hari
Di Belitung ini

Engkaulah sungai pertama
Yang memberi kesejukan
Yang menerima kehadiran
Ketika mengadakan perjalanan
Menuju daratan
Tempat musafir mampir
Syeh Abubakar Abdullah
Untuk sekian lama
Menyebar agama

Sungai Buding
Sungai yang bening
Engkaupun tahu
Ketika tamu mu yang satu itu
Meninggal dunia
Mayatnya dibungkus
Dengan kulit kayu Kepang
Maka tersebarlah harum wangi
Padahal sudah dikubur 20 hari
Lalu digali
Dan sesuai pesanmu
Mayatmu dikubur
Diantara bumi dan langit
Dan tempat itu ditafsirkan
Di gunung Tajam

Manggar – Toboali, Bangka Belitung, 8-25 Juni 2004
----------

SUNGAI LENGGANG MELENGGANG

Sungai Lenggang melenggang
Dan Saderi pun melenggang

Sungai Lenggang melenggang
Membawa celoteh alam sekitar
Dan Saderi pun melenggang
Membawa nyanyian kocak yang segar

Sungai Lenggang melenggang
Membawa merdu nyanyian gunung
Dan Saderi pun melenggang
Membawa syair kedalaman renung

Sungai Lenggang melenggang
Membawa arus air ke kuala
Dan Saderi pun melenggang
Membawa suara hati ke laut jiwa

Sungai Lenggang
Memberi nyanyi pada Saderi
Dan Saderi
Memberi puisi pada Sungai Lenggang
Mereka memang saling berlenggang
Dan saling gantung bergantung
Di Kampung Gantung

Manggar, Bangka Belitung, 7 Juni 2004

WAHAI PENYAIR

L.K.Ara

wahai penyair
apa yang dapat kau nyanyikan
tentang ujung jari alam
yang duduk dalam diam
tentang tetes embun
diujung daun
tentang mata air
yang lahir dari balik batu
tentang berbagai akar
yang menjalar menegakkan pepohonan
tentang butir pasir
yang bersenda bersama kecipak air
tentang batang yang hanyut
yang tak pernah dipungut
tentang rimbun dedaunan
bergelombang menikmati kehijauan
tentang cabang dan ranting
yang tumbuh tegak atau miring
tentang daunan layu
mengabdi pada bumi
gugur menjadi pupuk
tentang angin yang berdesau
menghibur alam yang risau

Belang Kejeren, 30/8/99
---------------

L.K.Ara

JEMBATAN RIKIT GAIB

petang itu
ketika berada diatas jembatan Rikit Gaib
serasa dapat kuingat
bekas kakiku kecil
yang dulu melintas dikali

sekian puluh tahun yang lalu
kaki kembara ini
menembus hutan, lembah dan sungai
dan dimalam hari
bernyanyi bersama bintang gemintang

petang itu
ketika berada diatas jembatan Rikit Gaib
sungguh kuingat
seorang sahabat
yang setia berjalan bersama
tapi kini entah dimana

sekian puluh tahun yang lalu
jiwa kembara ini
berkelana dari desa ke desa
dan dihari yang panas
rimbun daun memberi keteduhan

Rikit Gaib, 2/9/99

JEMBATAN RIKIT GAIB

L.K.Ara

petang itu
ketika berada diatas jembatan Rikit Gaib
serasa dapat kuingat
bekas kakiku kecil
yang dulu melintas dikali

sekian puluh tahun yang lalu
kaki kembara ini
menembus hutan, lembah dan sungai
dan dimalam hari
bernyanyi bersama bintang gemintang

petang itu
ketika berada diatas jembatan Rikit Gaib
sungguh kuingat
seorang sahabat
yang setia berjalan bersama
tapi kini entah dimana

sekian puluh tahun yang lalu
jiwa kembara ini
berkelana dari desa ke desa
dan dihari yang panas
rimbun daun memberi keteduhan

Rikit Gaib, 2/9/99

Selasa, 23 Maret 2010

PUISI GAYO

L.K.Ara

SARIK

ike denem aku kin ningko
kunantin ulen reduk
kedang iyone salakmu petungkuk

ike denem aku kin ningko
kujamah pucuk ni kerpe lemi
kedang iyone sebukumu temuni

ike denem aku kin ningko
ku entong gelep ni lo
kedang sisumu i parinko iyone

ike mukale aku kin ningko
betajir aku wan uren
kedang iyone munetep eluhmu

ike mukale aku kin ningko
musangka aku kuwan bade
kudemu iyone
kerasni sarikmu

Takengon, l97l
-------------

L.K.Ara

GERELMU

i tetayang kuyu
kutatangan pumu
duh, ringen ni tubuh
aku mulelayang
bersenggayun
iwan ulen ku ukir gerelmu

urum kuyu
urum emun
rembegengku turun
pucuk ni kerpe bengi
nami bengi
ari bumi kupepanang gerelmu

Takengon, l972
-------------

L.K.Ara

TIPIS MUGARIS

tipis mugaris
ilang murentang
wan senye

gip mugaris
mugerak mulimak
wan atengku

nasibmu
suderengku

jejarimu kering
matamu layu
atemu kecut
kutatangan salak
makin mulimak
terbayang nasibmu
suderengku
ama inengku

Takengon, l972
----------

L.K.Ara

IKE

ike ko kekanak
aku pe kucak
berperau reroante
sana si rasako

ike ko beru
aku bujang
bedenang perau atan gelumang
kune perasanmu

ike ko nge kin ine
aku nge kin ama

ku kayuh perau kin ningko
sana perasanmu

sara ketika
ike kite nge tue
olok tue
kuyu munemah emah peraunte
kusi perasanmu

Takengon, l972

YUN CASALONA PENYAIR DEBUS

Memperoleh Penghargaan Seni 2007

Oleh L.K.Ara

Bertemu di kedai Taman Budaya, Banda Aceh minggu kedua bulan Agustus 2007 dengan Yun Casalona sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri. Betapa tidak karena dua bulan terkahir ini terdengar berita penyair dan pemain teater itu sedang menderita sakit keras.

“Saya sudah berobat ke Pineng, “kata Yun. Lalu sastrawan yang suka main debus ini menceritakan bahwa matanya juga akan dioperasi. Yun Casalona dilahirkan di Aceh, 3 Agustus 1964. Sebagai seorang pekerja teater, yang digelutinya sejak tahun 1981 ia bertahan sampai sekarang. Beberapa naskah drama yang telah dihasilkannya antara lain; “Patriot”, “Ranjang Revolusi”, “Labang Donya”, “Terhempas Sebilah Pedang”, “Si Rhang Mayang”, “Pendekar Kelawawar,” “Kemelut” dan “Mutiara Hitam di Pasir Putih”.
Berbicara tentang teater hari itu semangatnya timbul kembali, seolah lupa ia masih dalam keadaan sakit.

“Sekali waktu nanti kita tampil bersama”, katanya bersemangat. Ia mengenang ketika kami pernah tampil bertiga baca puisi dengan penyair Sulaiman Juned.

Dalam perjalanan berteater Yun pernah ikut teater Aceh mentas di TIM Jakarta (1993), meraih juara II aktor terbaik dalam pekan teater, sutradara berbakat I Festival Teater Banda Aceh (1989), Juara I seni akting (1990). Selain itu, ia juga ahli dalam permainan tradisional “Debus”(sejenis permainan rakyat dengan menggunakan benda-benda tajam). Bersama tim debusnya, ia pernah mentas Malaka, Malaysia.
Dalam dunia sinetron Yun juga punya pengalaman tersendiri. Sejak tahun 1990-an ia sudah tampil dan bermain dalam beberapa sinetron. Dapat dicatat antara lain, “Tak Sangsi Lagi” ditayangkan TPI (1991), “Kebersamaan Yang Semu” produksi TVRI stasiun Banda Aceh (1993), drama komedi “Seulangke” Ampon Yon Produksi TVRI stasiun Banda Aceh (1993).

Sebagai sastrawan nama Yun Casalona telah tercatat dalam Buku Pintar Sastra Indonesia (2001). Sajak-sajaknya dimuat dalam antologi , Seulawah: Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas (1995), Antologi Sastra Putroe Phang (Desember 2002). Sebuah puisinya yang sering ditampilkan ketika ia bermain debus ialah “Hu”. Puisi itu dimulai baris-baris,

Hu dalam kutazat
roh kuhalus dalam kutazat
roh kusuci dalam kutazat
roh kulahir dalam kutazat

Pada bait berikutnya penyair mengambarkan bahwa darah berupa batu, urat berupa kawat, tulang berupa besi, dan kulit berupa baja. Simbul-simbul batu, kawat, besi, dan baja merupakan benda keras dan kuat. Benda-benda pada tubuh manusia di samakan benda-benda yang keras dan kuat itu. Tulis penyair,

darahku batu
urat kawat
tulang besi
kulit baja

Puisi yang dapat digolongkan pada mantera ini dilanjutkan penyair dengan baris-baris, “Hu Nur Batu / Hu Nur Kawat / Hu Nur Besi /Hu Nur Baja”.

Tiga baris puisi selanjutnya berisi harapan, agar yang dipinta dapat diberikan. Dan harapan itu amatlah berguna dan sangatlah penting bagi seorang pelaku debus yang menikam dirinya dengan benda-benda tajam seperti rencong dan membacok dirinya dengan pedang. Kata penyair, “Wahai Nur segala Nur/ menjelmalah sebagai surya hamba / berikan Nurmu sebagai sarung tubuhku”.

Bila permintaan dan harapan tubuh si aku lirik sudah dipenuhi yakni, “Nurmu sebagai sarung tubuhku” maka selanjutnya harapan si aku lirik adalah,

haram engkau minum darahku
haram engkau makan dagingku
haram engkau sentuh kulitku
aku keluar dari rahim ibunda
aku masuk pada khalimah lailah Haillallah

Pertemuan dengan Yun setelah di kedai Balai Budaya, Banda Aceh itu berlanjut tgl 15/8 pada acara penyerahan hadiah seni bagi seniman Aceh di rumah dinas Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Yun Casalona ternyata dinilai sebagai seorang yang berhak memperoleh anugerah seni 2007.

TGK YAHYA ULAMA DAN PENYAIR

Oleh L.K.Ara

Tgk Yahya dikenal sebagai ulama di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah. Ulama yang pernah menuntut ilmu agama di Peudada, Pulo Keton dan Samalanga, Aceh Utara ini membuka pengajian di rumahnya di kampung Wih Nareh. Di samping rumahnya memang sengaja dibuat sebuah ruang berukuran agak besar untuk tempat pengajian itu. Murid Tgk Yahya tak hanya berasal dari Kampung Wih Nareh tapi juga datang dari Gelelungi, Pejeget, Kung, Kedelah dan lain-lain.

Di tempat pengajian, Tgk Yahya mengajar mengaji Quran dan tafsir. Bila lelah belajar kepada murid-muridnya ia mengajar¬kan Syaer Gayo. Sebuah bentuk kesenian yang didendangkan dengan irama tertentu. Liriknya berupa syair berbahasa Gayo yang bersi¬fat religius. Tgk Yahya membuat syair berdasarkan ayat Quran dan hadis. Karena itu telah menjadi kebiasaan saat itu sebelum Syaer Gayo didendangkan terlebih dahulu dibacakan ayat atau hadis berkenaan tema yang dibawakan.

Salah seorang murid Tgk Yahya yang cukup terkenal berna¬ma Tgk Siti Jeriah. Selain memiliki suara merdu, dara penduduk kampung Kung ini juga mempunyai daya ingat yang kuat. Satu dua kali Tgk Yahya mengucapkan lirik Syaer Gayo ciptaannya, segera dapat ditangkap kemudian dikumandangkan Tgk Siti Jeriah.

Dalam pagelaran Syaer Gayo untuk tamu-tamu misalnya Tgk Siti Jeriah ditemani Tgk Serikulah atau Tgk Jemiah. Mereka berti¬ga dalam seni Syaer Gayo disebut ceh syaer. Biasanya pertunjukkan akan dilengkapi dengan beberapa peserta lainnya. Sehingga sebuah grup Syaer Gayo dapat terdiri dari l0 hingga 20 orang. Sebuah syair ciptaan Tgk Yahya yang banyak dihafal orang berjudul 'Semiang Taring' (Sembahyang Tinggal). Begini petikan puisinya,

Baring sahan semiange taring
hejepe sinting lime belas perkara onom i denie tulu waktu mate
tulu wan kubure tulu i padang maksar

(sesiapa sembahyangnya tinggal
mendapat kesulitan lima belas perkara
enam di dunia tiga ketika mati
tiga dalam kubur tiga di padang maksar)

Pertama umure nise gere berat
kedue ilamat saleh gere ara
ketige doa e gere berterime
keempat amale nge meh benasa

(yang pertama umurnya tak berkah
kedua bayangan saleh tak ada
ketiga doanya tak diterima
keempat amalnya hilang lenyap)

Puisi karya Tgk Yahya ini tak diterbitkan dalam bentuk mass media cetak atau buku. Sehingga sukar menemukannya di perpustakaan pribadi atau perpustakaan umum. Namun bila kita mencoba berusaha menemui seorang murid Tgk Yahya misalnya, kita akan ter tolong. Begitulah suatu kali ketika mendapat kesempatan bertemu dengan Tgk Jemiah (berusia lk 70) puisi 'Semiang Taring'
dapat segera diungkap kembali dari ingatan nenek tua itu.

Bahkan ketika diakhir bulan Juli l998 ketika mengun¬jungi Tgk Naimah isteri Tgk Yahya alm. di Kampung Genting Ger¬bang, nenek yang kini lk berusia 85 tahun itu masih ingat bebera¬pa bait puisi tsb. Meski kelihatan nampak sudah agak pikun Tgk Naimah memiliki tubuh yang kokoh. Sepeninggal suaminya ia kini tinggal bersama anak perempuannya Safiah Inen Tamsir.

Masihkah dapat ditemukan tulisan tangan Tgk Yahya pada isterinya Tgk Naimah? Ternyata tidak. Menurut Safiah mereka sering berpindah-pindah karena itu buku-buku Tgk Yahya sering tercecer. Kemungkinan satu-satunya untuk dapat menemukan karya puisi dengan tulisan Tgk Yahya sendiri ada pada murid-muridnya yang tersebar. Dan untuk melacak ini tentu memerlukan waktu.

Selain membuka pengajian di Wih Nareh, Tgk Yahya juga mengadakan pengajian di kampung Gelelungi. Di Gelelungi ada sebuah Rumah Papan yang cukup luas, sehingga dapat menampung ratusan murid pengajian. Rumah Papan milik Pulu Imem selalu terbuka untuk pengajian Tgk Yahya. Di Rumah Papan juga tinggal seorang penyair Tgk Chatib Bensu. Maka Syaer Gayo sebagai selin¬gan pengajian semakin berkembang. Kini selain karya-karya puisi religius Tgk Yahya juga diperdengarkan karya Tgk Chatib Bensu.

Syaer Gayo yang dipelopori Tgk Yahya agaknya mulai berkembang pada tahun l930-an. Usaha ulama dan penyair religius ini bukannya tak mendapat tantangan. Pernah terjadi ketika Syaer Gayo dikumandangkan disebuah rumah di kampung Kutelintang, ter¬dengar orang melempar batu ke atas atap rumah. Namun hambatan ini rupanya merupakan tantangan yang harus diatasi oleh seorang pelopor seperti Tgk Yahya. Pada zaman Tgk Yahya lah wanita dian¬jurkan memakai kerudung. Begitu juga adat kebiasan lama pada perkawinan masyarakat Gayo 'bertunah' (mandi berlumpur), Tgk Yahya melarang dengan tegas. Sikap tegas Tgk Yahya tentu berda¬sarkan pengetahuan agama Islam yang diperolehnya selama belajar diperantauan dulu.

Sebuah puisi yang berbicara tentang segala jenis air ditulis Tgk Yahya dengan judul 'Wih' (Air). Ikuti petikannya dibawah ini, (terjemahan),

Air ada tujuh macam
pertama air hujan
dari langit turun ke bumi

kedua air embun
naik turun menjadi embun

Yang ketiga air beku
menjadi batu sebab dingin
keempat air mata air
air terpancar dari bumi

Kelima air telaga
ambil dengan gayung sungguh biasa
ketujuh air sungai
air kali dalam bahasa Gayo

Selain mengambil tema tentang sembahyang (Semiang Taring), air (Wih), Tgk Yahya juga menulis puisi tentang mikrat Nabi. Sebagai ulama pengetahuannya tentu cukup luas berkenaan dengan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, termasuk mikrat Nabi. Dalam bahasa Gayo yang khas sang penyair bersyair (petikannya),

Masa mikrat Nabi lepas kuneraka
munengon jema i ezeb sana dosa e
sawah ni Nabi renyel ku Baitul Muqaddis
dapatan majelis bernama jemaah anbia

(Ketika mikrat Nabi ke neraka
melihat orang kena azab apa dosanya
Nabi tiba ke Baitul Muqaddis
bertemu majelis jemaah anbia)

Sawah Nabi renye bergena buraq
langkahe jarak sawah sepanang mata
Melekat Jibril sunguh munamat kekang
gere mulintang lagu si bewenne rata

(Nabi tiba berkenderaan Buraq
perjalanan jauh tiba sekejap mata
Malaikat Jibril memegang kendali
tak ada penghalang semua rata)

Petikan syair karya Tgk Yahya diatas sedikit banyak telah memperlihatkan kepada kita bagaimana seorang ulama menitip¬kan pesan agama kepada masyarakat lewat puisi. Dan itu dilakukan¬nya di sejak tahun l930-an. Setelah Tgk Yahya tampil, penciptaan Syaer Gayo dilanjutkan oleh sejumlah ulama lainnya.

TAUFIK IKRAM JAMIL MELANTUNKAN PIAGAM SELAT RIAU

Oleh L.K.Ara

Pada acara hari pertama Festival Puisi Internasional tgl 26 April 2001 di Teater Utan Kayu itu, penyair Taufik Ikram Jamil mewakili Indonesia membaca beberapa puisinya. Tampil di pentas, penyair kelahiran Riau itu membuka jaketnya kemudian merapikan pengeras suara lalu melantunkan suaranya membaca puisi. Taufik melantunkan sajak Piagam Selat Riau. Ucap penyair,

Putus asa mengintip kami dari pagi
Padahal telah kami kirim rupa-rupa kecewa
Lewat kapal-kapal niaga sejak semalam
Tinggal harapan
Berserak-piak di buih-buih hari

Tetap saja tak mungkin kami lupakan
Segala kenangan dengan kekalahannya
Karena merekalah yang menyentap kami
Dari tanjung ke tanjung
Kemudian di setiap pantai
Dilengkingkannya sembarang kepiluan
Sebagai tanda bahwa kami masih hidup

Memang kematian saja yang kami bimbangkan
Saat kisah tak lagi dituturkan angin
Lalu tinggallah kenangan sebagai jembalang
Mengepalkan tangannya dari kampung ke kampung

Puisi ini menggunakan simbul-simbul seperti, putus asa mengintip, kapal-kapal niaga, berserak di buih-buih hari, memperlihatkan penyairnya ingin membangun suasana artistic. Dan oleh suasana artistic itulah pembaca merasa memasuki suatu dunia yang indah. Meski pun dalam perjalanan ‘berkelana’ itu bertemu dengan kesedihan dan kepahitan hidup. Baris ‘dilengkingkannya sembarang kepiluan/sebagai tanda kami masih hidup’, memperlihatkan bagian dari derita yang dialami manusia. Dan pengalaman derita itulah yang merupakan cobaan bagi manusia yang hidup. Dan derita itu terucap lewat tangisan. Kata penyair dalam bait berikutnya,

Tak sekali dua pula kami menangis
Tapi bagaimana sedih harus tersisih
Kalau air mata adalah sumber mata air
Lalu menggerakkan dayung kami
Untuk mematahkan gelombang alun beralun

Kami hanya percaya pada kemenangan
Setelah lama dikalahkan musim

(dari buku katalog Festival Puisi Internasional, 200l.)

Selain membacakan puisi ‘Piagam Selat Riau’ yang memperlihatkan citra manusia yang resah terhadap keadaan masyarakatnya, malam itu Taufik Ikram Jamil juga melantunkan puisi, ‘Seketsa Suatu Hari’ dan ‘Surat Terakhir Von de Wall’.

Taufik Ikram Jamil lahir di Teluk Betung, Riau, 19 September 1963. Setelah lulus SPG di Bengkalis, ia melanjutkan studinya di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Riau. Pada tahun 1987 ia lulus dan kemudian terjun kedunia pers menjadi wartawan Kompas. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerita pendek. Karya-karyanya dimuat di majalah Horison, Kompas, Sinar Harapan, Menyimak, Jurnal Kalam, Ulumul Quran, Perisa, dan lain-lain. Antologi puisi tunggalnya berjudul ‘Tersebab Haku Melayu’ terbit tahun 1995.

Sastrawan yang sering nampak berambut gondrong ini sering mengikuti acara sastra dan budaya diberbagai kota di Indonesia, Melaysia dan Singapore. Pada tahun 1997 ia memperoleh Anugerah Sagang 1997, sebuah hadiah budaya yang diberikan harian Riau Pos atas kumpulan ‘Sandiwara Hang Tuah’ (1996). Sebuah cerpennya ‘Menjadi Batu’ meraih hadiah pertama sayembara cerpen majalah Horison 1997.

Sebagai pengarang roman Taufik telah memperlihatkan kemampuannya lewat ‘Hempasan Gelombang’ meraih hadiah harapan kedua sayembara Mengarang Roman DKJ, 1998. Serta novelnya berjudul ‘Gelombang Sunyi’ mendapat sambutan hangat dari sejumlah peneliti sastra.

Melalui roman Gelombang Sunyi nampak ia memberi semangat untuk kembali ke alam Melayu. Sekali gus terbersit kritik pedas terhadap pusat (Ibukota RI) yang menangani berbagai persoalan pembangunan di daerah yang sebetulnya tidak berbeda jauh dibandingkan perilaku pemerintahan kolonial Hindia Belanda saat mencaplok dan menjual bangsa Melayu.

Dalam puisinya ‘Sketsa Suatu Hari’ sang penyair berucap,

Aku hanya terhibur saat tidur
Menemui kegembiraan dalam mimpi
Jagaku adalah nyanyi:
Tudung periuk pandai menari
……..

(dari: Arsip lama)

‘SYAIR MA'RIFAT’ DAN ‘SYAIR MARTABAT TUJUH’ DARI ACEH

Oleh L.K.Ara

Syeikh Abdurrauf dikenal luas sebagai ulama. Namanya yang singkat dan sederhana ini kadang-kadang dilengkapi dengan Syeik Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Namun ia memperoleh sejumlah gelar seperti, Syeikh Kuala, Syeikh di Kuala ata Ciah Kuala dan Tengku Ciah Kuala. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Abdurrauf van Singkel. Sebutan ini semua ada sebabnya. Disebut Syeikh Kuala karena Syeh Abdurrauf pernah menetap dan mengajar hingga wafat¬nya dan dimakamkan di Kuala sungai Aceh. Dan disebut Abdurrauf van Singkil karena Syeikh Abdurrauf lahir di Singkel l593 M), Aceh Selatan.

Dimasa mudanya mula-mula Abdurrauf belajar pada 'Dayah Simpang Kanan' di pedalaman Singkel yang dipimpin Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke Barus di 'Dayah Teungku Chik' yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah Fansuri.

Syeikh Abdurrauf sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi Syeikh Shamsuddin as-Sumaterani. Dan setelah Syeikh Syam¬suddin pindah ke Banda Aceh lalu diangkat Sultan Iskandar Muda sebagai Qadhi Malikul Adil, Syeikh Abdurrauf mendapat kesempatan untuk pergi belajar ke negeri Arab. Selama belajar di luar neg¬eri, lk l9 tahun Syeikh Abdurrauf telah menerima pelajaran dari l5 orang ulama.

Disebut pula Syeikh Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 ulama besar dan l5 orang sufi termashur. Tentang pertemuannya dengan para sufi, ia berkata, 'Adapun segala sufi yang mashur wilayatnya yang bertemu dengan fakir ini dalam antara masa itu...'.

Pada tahun l66l M Syeikh Abdurrauf kembali ke Aceh. Setelah tinggal beberapa waktu di Banda Aceh ia mengadakan perja¬lanan ke Singkel. Kemudian kembali ke Banda Aceh untuk memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh Nuruddin ar-Raniri yang pergi menuju Mekkah.

Mengenai pendapatnya tentang faham orang lain nampaknya berbeda dengan Syeikh Nuruddin. Syeikh Abdurrauf tidak begitu keras. Hal ini dapat dilihat pada tulisan DR. T. Iskandar: "Walaupun Abdurrauf termasuk penganut fahaman tua mengenai ajaran¬nya dalam ilmu tasauf, tetapi -berbeda dengan Nuruddin ar-Raniri- ia tidak begitu kejam terhadap mereka yang menganut fahaman lain. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir.

Membuat tuduhan seperti itu sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, apakah gunanya mensia-siakan perkataan atasnya dan sekira¬nya ia bukan kafir, maka perkataan itu akan berbalik kepada dirinya sendiri'.('Abdurrauf Singkel Tokoh Syatariah (Abad ke-l7)'(Dewan Bahasa, 9;5, Mei l965).

Syeikh Abdurrauf menulis buku dalam bahasa Melayu dan Arab. Bukunya yang terkenal a.l., 'Turjumanul Mustafiid', 'Miraatut Thullab' (Kitab Ilmu Hukum), 'Umdatul Muhtajin lla Suluki Maslakil Mufradin' (Mengenai Ke Tuhanan dan Filsafat), 'Bayan Tajalli' (Ilmu Tasawuf), dan 'Kifayat al-Muhtajin'(Ilmu tasawuf). Seluruh karyanya diulis dalam bentuk prosa. Hanya satu yang ditulis dalam bentuk puisi yakni, 'Syair Ma'rifat'.

Sebagai penyair Syeikh Abdurrauf mempelihatkan kepiawaian¬nya dalam menulis puisi 'Syair Ma'rifat' itulah. Salah satu naskah syair ini disalin di Bukit Tinggi tahun l859. Syair Ma'¬rifat mengemukakan tentang empat komponen agama Islam. Yakni Iman, Islam, Tauhid dan Ma'rifat. Nampak dalam syair itu unsur ma'rifat sebagai pengetahuan sufi yang menjadi puncak tertinggi.
Dalam puisi itu Abdurrauf mencoba menjelaskan tentang pendekatan amalan tasawuf menurut aliran al-Sunnah wal al-Jamaah. Ikuti petikan syairnya dibawah ini,

jikalau diibarat sebiji kelapa
kulit dan isi tiada serupa
janganlah kita bersalah sapa
tetapi beza tiadalah berapa

sebiji kelapa ibarat sama
lafaznya empat suatu ma'ana
di situlah banyak orang terlena
sebab pendapat kurang sempurna

kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma'rifat

('Syair Ma'rifat. Perpustakaan Universiti Leiden OPH. No.78, hlm. 9-25/ Dewan Bahasa dan Pustaka, Desember l992)

Tingkat ma'rifat merupakan tahap terakhir setelah melalui jenjang syariat, tarekat dan hakekat dalam perjalanan menuju Allah. Untuk sampai ke tingkat ma'rifat menurut Syeikh Abdurrauf orang harus lebih dahulu menjalankan aspek syariat dan tarekat dengan tertib. Orang harus melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas. Dalam kata-katanya sendiri Syeikh Abdurrauf berucap: "Dan sibukkanlah dirimu dalam ibadah dengan benar dan ikhlas demi melaksanakan hak Tuhanmu, niscaya engkau termasuk golongan ahli ma'rifat".

Suasana mistik akan lebih terasa bila kita membaca dan mengikuti puisinya dalam baris-baris berikut ini. Petikan Syair Ma'rifat dari tulisan Arab berbahasa Melayu, bertulisan tangan ini dikutip dari ML. 378, halaman 40, terdapat di Perpustakaan Nasional RI. berbunyi sebagai berikut,

airnya itu arak yang mabuk
siapa minum jadi tertunduk
airnya itu menjadi tuba
siapa minum menjadi gila

ombaknya itu amat gementam
baiklah bahtera sudahnya karam
laut ini laut haqiqi
tiada bertengah tiada bertepi

Buku karya Syeikh Abdurrauf lainnya diberi judul 'Kifayat al-Muhtajin' disebut bahwa buku itu ditulisnya atas titah Tajul 'Alam Safiatuddin, seorang Sultanah yang mengayomi ulama dan sastrawan. Kitab ini berisi ilmu tasawuf. Disebutkan sebelum alam semesta ini dijadikan Allah, hanya ada wujud Allah. Ulama besar dan pujangga Islam Syeikh Abdurrauf meninggal l695 M dalam usia l05 tahun. Di makamkan di Kuala, sungai Aceh, Banda Aceh.

Di dalam puisi berjudul ‘Syair Maratab Tujuh’, penyair sufi Syeikh Syamsuddin Sumatrani memulai baris-baris syairnya dengan kalimat-kalimat khas sebagai berikut,

Apabila kemudian dengarkan di sini hai yang menuntut haqq
Itulah wujud yang mutlaq wujud yang mutlaq
Wujud itulah ‘ainu ‘l-haqq
Tiada mengering dia adanya mutlaq

Wujud itulah yang bernama tanzil
Adanya munazzah daripada sekalian tasybih
Itu tiada berubah daripada tanzih
…..

wujud itulah martabat layak
menyatakan dirinya dengan rupa yang banyak
dengan hambanya netiasa ia jinak
seketika jua adapun tiada ia jarak
(artinya tiada bercerai)

wujud itulah martabatnya kahtir
tanzihnya lagi kepada ‘alam saghir dan kabir
di sanalah rajul amin dan wazir
dan segala ghani dan faqir

Baris-baris syair yang memperlihatkan nafas ke Tuhanan ini lahir dari sosok penyair yang adalah murid penyair besar sufi Hamzah Fansuri. Seperti gurunya Syamsuddin menggunakan kata-kata yang lazim digunakan pada waktu itu yakni pada zaman abad ke-17. Hal ini nampak pada penggunaan kata-kata misalnya, haq, wujud, mutlaq, martaba, kabir, wazir, faqir dan lain-lain. Didalam syairnya penyair sufi pada zaman itu juga sering menyelipkan ayat Quran. Hal ini dapat juga kita temukan dalam Syair Martabat Tujuh ini. Mari kita ikuti bait-bait berikut ini,

dan wujud itulah martabatnya ‘alami
adanya munazzar daripada sekalian sifat peri
daripada enam jahatpun ia khali (tiada p.s.h?
wa huwa ‘l-ana kama kanapun demikian lagi

pertama-tama wujud itulah bernama ahadiyat
di sanalah sakit sekalian ‘ibarat (tiada tersebut)
di sana sifat dan asma’iyat
itulah martabat haqiqat dzat

‘ibarat dan isyaratpun tiada di sana
hanya munazzah juga semata
adanya itlaq dan taqalyykud tiada
sertanya hanya ia juga

kedua martabat wujud itu bernama wahda
itulah haqiqat Muhammad nyata
yang pertama di dalam uluhinya
…….

Sekalian wujud dhatpun sama
Atas jalan ajmal juga dikata
Hendaklah kau ketahui haqiqat kata
Pikirkan di sini nyata

Ketiga martabat wujud itu bernama wahidiyah
Itulah recana wahdat haqiqat insaniyah
Di sanalah nyata ma’lum di dalam ‘ilmiyah
Atas jalan bernama taghtiyah

Martabat wujud itu ketiganya qadim
Tiada mengetahui dia melaikan yang berhati salim
Banyaklah membantahi dia segala ‘alim
Dan hakim mengatakan ma’lum qadim
(martabat wahidiyah tiada qadim)

…………

arwah itulah yang menggerakkan sekalian badan
adanya seperti dengan sifat Tuhan (kita)
tiada ia minum tiada ia makan
lagi adanya (mujarrad) tiada dapat disekutukan

Syeikh Syamsuddin Sumatrani lahir di penghujung abad XVI, berasal dari Samudra Pasai (Aceh Utara sekarang). Guru utamanya adalah Hamzah Fansuri dan pernah juga belajar pada Pangeran Bonang di Pulau Jawa. Beliau menguasai bahasa Aceh, Melayu, Jawa, Arab dan Parsi juga bermacam-macam bidang ilmu pengetahuan.

Sebagai sastrawan nusantara yang sealiran dengan Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin juga ulama yang tekenal produktif. Ia mengarang lebih dari 20 karya tulis dalam bahasa Melayu, Arab dan Parsia. Diantaranya adalah: ‘Miratul Mukminin’ (Cermin Bagi Orang-Orang Muslimin), ‘Jauharul Haqaaiq’ (Permata Kebenaran), ‘Risalatul Bayin Mulahadlatil Muwahhidin Alal Mulhidi fi Zikrillah’ (Pandangan Ahli-Ahli Tauhid Terhadap Orang Orang Yang Mengingkari Allah), ‘Nurul Daqaaid’ (Cahaya Yang Murni), ‘Miratul Iman’ (Cermin Keimanan), dan ‘Syarah Rubai Hamzah Fansuri’. Syeikh Syamsuddin meninggal dunia pada tahun 1630 bertepatan dengan kekalahan amada Aceh di Melaka.


(dari: Ekspresi Puitis Aceh Menghadapi Musibah, oleh L.K.Ara, diterbitkan BRR, Banda Aceh, tanpa tahun)

Senin, 22 Maret 2010

‘SYAIR MA'RIFAT’ DAN ‘SYAIR MARTABAT TUJUH’ DARI ACEH

Oleh L.K.Ara

Syeikh Abdurrauf dikenal luas sebagai ulama. Namanya yang singkat dan sederhana ini kadang-kadang dilengkapi dengan Syeik Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Namun ia memperoleh sejumlah gelar seperti, Syeikh Kuala, Syeikh di Kuala ata Ciah Kuala dan Tengku Ciah Kuala. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Abdurrauf van Singkel. Sebutan ini semua ada sebabnya. Disebut Syeikh Kuala karena Syeh Abdurrauf pernah menetap dan mengajar hingga wafat¬nya dan dimakamkan di Kuala sungai Aceh. Dan disebut Abdurrauf van Singkil karena Syeikh Abdurrauf lahir di Singkel l593 M), Aceh Selatan.

Dimasa mudanya mula-mula Abdurrauf belajar pada 'Dayah Simpang Kanan' di pedalaman Singkel yang dipimpin Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke Barus di 'Dayah Teungku Chik' yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah Fansuri.

Syeikh Abdurrauf sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi Syeikh Shamsuddin as-Sumaterani. Dan setelah Syeikh Syam¬suddin pindah ke Banda Aceh lalu diangkat Sultan Iskandar Muda sebagai Qadhi Malikul Adil, Syeikh Abdurrauf mendapat kesempatan untuk pergi belajar ke negeri Arab. Selama belajar di luar neg¬eri, lk l9 tahun Syeikh Abdurrauf telah menerima pelajaran dari l5 orang ulama.

Disebut pula Syeikh Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 ulama besar dan l5 orang sufi termashur. Tentang pertemuannya dengan para sufi, ia berkata, 'Adapun segala sufi yang mashur wilayatnya yang bertemu dengan fakir ini dalam antara masa itu...'.

Pada tahun l66l M Syeikh Abdurrauf kembali ke Aceh. Setelah tinggal beberapa waktu di Banda Aceh ia mengadakan perja¬lanan ke Singkel. Kemudian kembali ke Banda Aceh untuk memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh Nuruddin ar-Raniri yang pergi menuju Mekkah.

Mengenai pendapatnya tentang faham orang lain nampaknya berbeda dengan Syeikh Nuruddin. Syeikh Abdurrauf tidak begitu keras. Hal ini dapat dilihat pada tulisan DR. T. Iskandar: "Walaupun Abdurrauf termasuk penganut fahaman tua mengenai ajaran¬nya dalam ilmu tasauf, tetapi -berbeda dengan Nuruddin ar-Raniri- ia tidak begitu kejam terhadap mereka yang menganut fahaman lain. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir.

Membuat tuduhan seperti itu sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, apakah gunanya mensia-siakan perkataan atasnya dan sekira¬nya ia bukan kafir, maka perkataan itu akan berbalik kepada dirinya sendiri'.('Abdurrauf Singkel Tokoh Syatariah (Abad ke-l7)'(Dewan Bahasa, 9;5, Mei l965).

Syeikh Abdurrauf menulis buku dalam bahasa Melayu dan Arab. Bukunya yang terkenal a.l., 'Turjumanul Mustafiid', 'Miraatut Thullab' (Kitab Ilmu Hukum), 'Umdatul Muhtajin lla Suluki Maslakil Mufradin' (Mengenai Ke Tuhanan dan Filsafat), 'Bayan Tajalli' (Ilmu Tasawuf), dan 'Kifayat al-Muhtajin'(Ilmu tasawuf). Seluruh karyanya diulis dalam bentuk prosa. Hanya satu yang ditulis dalam bentuk puisi yakni, 'Syair Ma'rifat'.

Sebagai penyair Syeikh Abdurrauf mempelihatkan kepiawaian¬nya dalam menulis puisi 'Syair Ma'rifat' itulah. Salah satu naskah syair ini disalin di Bukit Tinggi tahun l859. Syair Ma'¬rifat mengemukakan tentang empat komponen agama Islam. Yakni Iman, Islam, Tauhid dan Ma'rifat. Nampak dalam syair itu unsur ma'rifat sebagai pengetahuan sufi yang menjadi puncak tertinggi.
Dalam puisi itu Abdurrauf mencoba menjelaskan tentang pendekatan amalan tasawuf menurut aliran al-Sunnah wal al-Jamaah. Ikuti petikan syairnya dibawah ini,

jikalau diibarat sebiji kelapa
kulit dan isi tiada serupa
janganlah kita bersalah sapa
tetapi beza tiadalah berapa

sebiji kelapa ibarat sama
lafaznya empat suatu ma'ana
di situlah banyak orang terlena
sebab pendapat kurang sempurna

kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma'rifat

('Syair Ma'rifat. Perpustakaan Universiti Leiden OPH. No.78, hlm. 9-25/ Dewan Bahasa dan Pustaka, Desember l992)

Tingkat ma'rifat merupakan tahap terakhir setelah melalui jenjang syariat, tarekat dan hakekat dalam perjalanan menuju Allah. Untuk sampai ke tingkat ma'rifat menurut Syeikh Abdurrauf orang harus lebih dahulu menjalankan aspek syariat dan tarekat dengan tertib. Orang harus melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas. Dalam kata-katanya sendiri Syeikh Abdurrauf berucap: "Dan sibukkanlah dirimu dalam ibadah dengan benar dan ikhlas demi melaksanakan hak Tuhanmu, niscaya engkau termasuk golongan ahli ma'rifat".

Suasana mistik akan lebih terasa bila kita membaca dan mengikuti puisinya dalam baris-baris berikut ini. Petikan Syair Ma'rifat dari tulisan Arab berbahasa Melayu, bertulisan tangan ini dikutip dari ML. 378, halaman 40, terdapat di Perpustakaan Nasional RI. berbunyi sebagai berikut,

airnya itu arak yang mabuk
siapa minum jadi tertunduk
airnya itu menjadi tuba
siapa minum menjadi gila

ombaknya itu amat gementam
baiklah bahtera sudahnya karam
laut ini laut haqiqi
tiada bertengah tiada bertepi

Buku karya Syeikh Abdurrauf lainnya diberi judul 'Kifayat al-Muhtajin' disebut bahwa buku itu ditulisnya atas titah Tajul 'Alam Safiatuddin, seorang Sultanah yang mengayomi ulama dan sastrawan. Kitab ini berisi ilmu tasawuf. Disebutkan sebelum alam semesta ini dijadikan Allah, hanya ada wujud Allah. Ulama besar dan pujangga Islam Syeikh Abdurrauf meninggal l695 M dalam usia l05 tahun. Di makamkan di Kuala, sungai Aceh, Banda Aceh.

Di dalam puisi berjudul ‘Syair Maratab Tujuh’, penyair sufi Syeikh Syamsuddin Sumatrani memulai baris-baris syairnya dengan kalimat-kalimat khas sebagai berikut,

Apabila kemudian dengarkan di sini hai yang menuntut haqq
Itulah wujud yang mutlaq wujud yang mutlaq
Wujud itulah ‘ainu ‘l-haqq
Tiada mengering dia adanya mutlaq

Wujud itulah yang bernama tanzil
Adanya munazzah daripada sekalian tasybih
Itu tiada berubah daripada tanzih
…..

wujud itulah martabat layak
menyatakan dirinya dengan rupa yang banyak
dengan hambanya netiasa ia jinak
seketika jua adapun tiada ia jarak
(artinya tiada bercerai)

wujud itulah martabatnya kahtir
tanzihnya lagi kepada ‘alam saghir dan kabir
di sanalah rajul amin dan wazir
dan segala ghani dan faqir

Baris-baris syair yang memperlihatkan nafas ke Tuhanan ini lahir dari sosok penyair yang adalah murid penyair besar sufi Hamzah Fansuri. Seperti gurunya Syamsuddin menggunakan kata-kata yang lazim digunakan pada waktu itu yakni pada zaman abad ke-17. Hal ini nampak pada penggunaan kata-kata misalnya, haq, wujud, mutlaq, martaba, kabir, wazir, faqir dan lain-lain. Didalam syairnya penyair sufi pada zaman itu juga sering menyelipkan ayat Quran. Hal ini dapat juga kita temukan dalam Syair Martabat Tujuh ini. Mari kita ikuti bait-bait berikut ini,

dan wujud itulah martabatnya ‘alami
adanya munazzar daripada sekalian sifat peri
daripada enam jahatpun ia khali (tiada p.s.h?
wa huwa ‘l-ana kama kanapun demikian lagi

pertama-tama wujud itulah bernama ahadiyat
di sanalah sakit sekalian ‘ibarat (tiada tersebut)
di sana sifat dan asma’iyat
itulah martabat haqiqat dzat

‘ibarat dan isyaratpun tiada di sana
hanya munazzah juga semata
adanya itlaq dan taqalyykud tiada
sertanya hanya ia juga

kedua martabat wujud itu bernama wahda
itulah haqiqat Muhammad nyata
yang pertama di dalam uluhinya
…….

Sekalian wujud dhatpun sama
Atas jalan ajmal juga dikata
Hendaklah kau ketahui haqiqat kata
Pikirkan di sini nyata

Ketiga martabat wujud itu bernama wahidiyah
Itulah recana wahdat haqiqat insaniyah
Di sanalah nyata ma’lum di dalam ‘ilmiyah
Atas jalan bernama taghtiyah

Martabat wujud itu ketiganya qadim
Tiada mengetahui dia melaikan yang berhati salim
Banyaklah membantahi dia segala ‘alim
Dan hakim mengatakan ma’lum qadim
(martabat wahidiyah tiada qadim)

…………

arwah itulah yang menggerakkan sekalian badan
adanya seperti dengan sifat Tuhan (kita)
tiada ia minum tiada ia makan
lagi adanya (mujarrad) tiada dapat disekutukan

Syeikh Syamsuddin Sumatrani lahir di penghujung abad XVI, berasal dari Samudra Pasai (Aceh Utara sekarang). Guru utamanya adalah Hamzah Fansuri dan pernah juga belajar pada Pangeran Bonang di Pulau Jawa. Beliau menguasai bahasa Aceh, Melayu, Jawa, Arab dan Parsi juga bermacam-macam bidang ilmu pengetahuan.

Sebagai sastrawan nusantara yang sealiran dengan Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin juga ulama yang tekenal produktif. Ia mengarang lebih dari 20 karya tulis dalam bahasa Melayu, Arab dan Parsia. Diantaranya adalah: ‘Miratul Mukminin’ (Cermin Bagi Orang-Orang Muslimin), ‘Jauharul Haqaaiq’ (Permata Kebenaran), ‘Risalatul Bayin Mulahadlatil Muwahhidin Alal Mulhidi fi Zikrillah’ (Pandangan Ahli-Ahli Tauhid Terhadap Orang Orang Yang Mengingkari Allah), ‘Nurul Daqaaid’ (Cahaya Yang Murni), ‘Miratul Iman’ (Cermin Keimanan), dan ‘Syarah Rubai Hamzah Fansuri’. Syeikh Syamsuddin meninggal dunia pada tahun 1630 bertepatan dengan kekalahan amada Aceh di Melaka.


(dari: Ekspresi Puitis Aceh Menghadapi Musibah, oleh L.K.Ara, diterbitkan BRR, Banda Aceh, tanpa tahun)

KEBENARAN HAKIKI HARUS MENGUASAI IMAGINASI

Oleh L.K.Ara

Kebenaran hakiki ialah kebenaran mutlak, absolute truth, yakni kebenaran yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Taala. Dan kita sebagai khalifah di dalam karya-karya kita. Ini barangkali berbeda dengan realiti hidup. Realiti hidup ialah sesuatu yang benar-benar berlaku, tetapi mungkin bercanggah dengan kebenaran hakiki, dan mungkin pula akur dengan kebenaran hakiki. Karena itu saya rasa kebenaran hakiki harus menjadi sesuatu yang mengatasi segala-galanya dalam penulisan sastra.

Peranan imaginasi bagi seorang pengarang Muslim pula bukanlah untuk menciptakan kebenaran hakiki karena kebenaran hakiki itu telah ditetapkan Allah, tetapi peranan imaginasi ialah menciptakan cara-cara baru, stail-stail baru, untuk mentrapkan kebenaran hakiki ini supaya lebih berkesan kepada pembaca.

Hal ini dikatakan pengarang Shahnon Ahmad menjawab pertanyaan Suhaimi Hj Muhammad yang berbunyi, apakah yang dimaksudnya dengan kebenaran hakiki dan apa perbedaannya dengan yang disebut realiti hidup dan imaginasi dalam kreativiti.

Seperti diketahui Shahnon Ahmad didalam dunia kesusastraan Melayu modern adalah merupakan tokoh penulis yang penting dan yang amat banyak diperbincangkan orang. Mula-mula memang karirnya dibidang terjemahan tapi kemudian ia giat dalam penulisan kreatif seperti, cerpen, novel, esei, drama dan kritik. Ia dikenal luas sejak tahun l956.

Menurut para kritisi sastra kekuatan Shahnon Ahmad dalam karya-karyanya ialah kekuatan pada sensitiviti dan imaginasinya sebagai seniman yang berhasil menangkap segala konflik jiwa orang kampung. Dua buah novelnya "Ranjau Sepanjang Jalan" dan "Rentung" dapat dianggap sebagai karya puncaknya dalam kegiatan penulisan novel. Tapi memang kemudian muncul novel-novelnya yang
lain seperti "Srengenge" (l973), "Sampah" (l974), "Kemelut" (l977) dan lain-lain. Karya-karya Shahnon Ahmad dapat dikatakan hampir setiap tahun memperoleh hadiah didalam penulisan bidang cerpen, novel dan esei.

Akhir-akhir ini pengarang yang mendapat anugerah gelar "Pejuang Sastra" oleh Perdana Menteri Malaysia itu mulai mengalihkan pokok persoalan tulisannya dari masalah derita hidup masyarakat desa kepada hal-hal yang menyentuh keislaman didalam dunia kesusastraan.

Maka ketika diajukan pertanyaan bagaimana dengan imaginasi bagi seorang penyair, atau seorang pengarang, sejauh mana kebebasan yang boleh dipergunakannya untuk pernyataan imaginasinya, apa lagi jika dihubungkan dengan kebenaran hakiki, Shahnon mengurai, tentang imaginasi ini ada firman Allah dalam Surah al-Asyura, ayat 224. Yang mana mengingatkan kita supaya jangan membiarkan imaginasi bebas sebebas-bebasnya. Imaginasi ialah satu sifat fitrah manusia. Islam tidak menolak imaginasi manusia karena imaginasi ialah sifat semula jadi manusia.

Dan ketika ditanyakan apa pendapatnya jika dikatakan karya sastra yang indah mengandung imaginasi yang indah, pengarang terkenal itu berkata: benar. Tetapi jangan kita membiarkan imaginasi itu menguasai kebenaran hakiki. Sebaliknya kebenaran hakiki itulah yang harus menguasai imaginasi. Inilah yang ingin saya tekankan. Dalam mencipta hasil kreatif imaginasi amat penting, tetapi janganlah sehingga ia menguasai, menjajah konsep-konsep atau kebenaran-kebenaran yang ada didalam Quran dan al Sunnah.

Nah kini tentang pembaruan dalam kesusastraan. Apa pendapat Shahnon? Menjawab pertanyaan yang berbunyi: dalam perkembangan penulisan sastra kreatif, terdapat apa yang disebut sebagai kelainan. Dengan kelainan ini kita dianggap telah mencipta suatu pembaharuan dalam kesusastraan. Apa tanggapan Anda terhadap kelainan dalam kesusastraan.

Bila ditimbulkan masalah ini, saya ingin merujuk kepada teori kesusastraan di Barat, kata Shahnon. Lalu ia mengurai lebih jauh: di Barat pembaharuan selalu dimaksudkan dalam bidang teknik dan isi. Mereka mengadakan pembaharuan dalam bidang teknik dan juga coba memberi gagasan baru dalam isi kreatif. Tetapi dalam Islam, apa yang dimaksudkan dengan pembaharuan dan kelainan adalah berbeda sekali. Kelainan yang dimaksudkan dalam Islam ialah kelainan membentuk daya imaginasi, kelainan membentuk cara-cara baru. Bukan kelainan dalam soal mereka atau mencipta gagasan baru, membentuk kebenaran-kebenaran baru.

Dalam karya sastra Islam, kita hanya menyampaikan kebenaran-kebenaran hakiki yang ditetapkan oleh Allah seperti yang diterapkan dalam Quran dan al Sunnah. Kelainan yang kita ciptakan hanya dalam bentuk dan cara yang kita gunakan berdasarkan karya kreatif dan daya imaginasi kita. Al Quran dan al Sunnah harus menjadi panduan kita. Kita sebagai manusia yang menjadi khalifah Allah haruslah menyampaikan suruhan-suruhan Allah seperti yang diterapkan dalam al Quran dan al Sunnah itu dalam karya kreatif kita, menerusi bakat yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita.

Tapi kalau seorang penulis berpandu kepada Quran, bermakna dia mentrapkan ajaran agama dalam karya sastranya begitu kan?

Ya memang. Memang ini berlaku jika pengarang itu tidak bijak. Pengarang ini akan kelihatan mengejar etika, mengajar ajaran-ajaran agama. Tetapi bagi pengarang yang berbakat besar, kebenaran hakiki itu diolah sedemikian rupa dalam bentuk puisi atau ceraka supaya menjadi karya yang besar. Karena itulah dalam sastra Islam bukan semua orang boleh jadi pengarang. Mereka yang ingin jadi pengarang harus mempunyai kualiti yang tertentu karena bukan senang hendak mentrapkan kebenaran hakiki dalam sastra.

Mulai tahun l978 perbincangan tentang sastra Islam begitu dirasakan, malahan pembicaraan tentang sastra Islam begitu hangat diperkatakan di Trengganu, Malaysia. Dapatkah Anda menerangkan gagasan tentang sastra Islam ini menurut kacamata Anda?

Sebelum kita berbicara tentang sastra Islam, kita harus lebih dulu berbicara tentang Islam. Kalau kita tak dapat memahami apa itu Islam, sampai bila pun kita tidak dapat memahami apa itu sastra Islam. Islam seperti yang difirmankan oleh Allah dalam Surah al-Maidah, ayat 3 antara lain bermaksud: Islam ialah hubungan antara manusia dengan Allah, dan manusia dengan manusia dalam arti kata bahwa Islam mencakup segala bidang tata hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam sistem inilah tata hidup yang sempurna disediakan, termasuk juga didalamnya kegiatan-kegiatan seni. Dalam kegiatan seni ini termasuklah kegiatan seni sastra. Kegiatan seni sastra merupakan kegiatan manusia dalam skup Islam yang amat luas. Sekarang kalau kita melihat sastra dari pandangan Islam sebagai addin, sebagai tata hidup yang paling sempurna, maka kegiatan sastra adalah demi karena Allah berhikmah untuk manusia.

Nampaknya Anda menaruh kepercayaan besar terhadap perkembangan sastra Islam di Malaysia, bukankah begitu?

Saya bukan saja menaruh kepercayaan yang besar tetapi saya rasa saya akan bergiat demi untuk Allah dalam soal ini, karena sekarang saya rasa saya telah menemui kebenaran yang benar. Insya-Allah tidak akan ada aliran-aliran lain yang boleh menggoncangkan keyakinan saya.

Shahnon Ahmad yang pernah mendapat pendidikan menengah di Maktab Sultan Abdul Hamid, Alor Setar, pada tahun l968 berangkat ke Canberra, Australia sambil bertugas dengan Universiti Nasional Australia menyambung studinya dan memperoleh ijazah Sarjana Muda pada tahun l97l. Sarjana penuh diperolehnya di Universiti Sains Malaysia. Sebagai salah satu puncak penghargaan tertinggi yang diperolehnya adalah berupa Anugerah Sastra Negara pada tahun l98l.

SADERI PENYAIR DARI BELITUNG

Oleh L.K.Ara

Bertemu dengan penyair Saderi di kampung kelahirannya di Gantung pada suatu malam tak pernah terbayangkan. Adalah Wandi dari dinas Pariwisata Belitung Timur yang berusaha mempertemukan kami. Meski lampu listrik padam malam itu, namun tubuh penyair yang semampai nampak sekilas dari penerangan lampu minyak tanah.
“Pak Saderi boleh kami pinjam malam ini bu,” kata Wandi kepada Nyonya Saderi. Isteri Saderi mengangguk bingung, karena tiba-tiba suaminya diajak malam hari ke Manggar, ibukota Belitung Timur. “Kami hanya mau belajar pantun dari pak Saderi”, kata Wandi pula. “Tak apalah, pergilah”, ucap isteri Saderi menyetujui.
Dalam perjalanan Gantung – Manggar yang ditempuh kurang lebih 20 menit Saderi bercerita bagaimana ia hidup bertani. Ia juga sering memancing. Di sela-sela itulah ia menulis puisi.

Sebuah puisinya yang memperlihatkan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup nampak pada puisinya berjudul “Sebutir Peluru”. Puisi ini menggambarkan pada suatu pagi tak terdengar lagi kicau burung. Sementara itu yang nampak ketika itu hanya ranting dimana biasa burung bertengger. Si aku lirik hanya bisa menyebut “Oh, Tuhan” karena burung yang lemah itu sudah terkapar ditembus sebutir peluru. Kata penyair,

Pagi itu tiada kicaumu lagi
Tiada nyanyian riang
Kutatap ranting yang rapuh
Tempat biasa engkau berlabuh

Oh, Tuhan
Mahluk Mu yang lemah
Terkapar di tanah, tiada bernyawa
Sebutir peluru menembus dada

Menyaksikan burung rubuh, mati, si aku lirik tak bisa berbuat apa-apa. Namun dengan daya yang ada yakni, mata yang memancar dengan tajam, serta hati yang mengandung kebenciaan kepada si pelaku, si pembunuh, si penembak burung yang lemah dan malang itu. Lalu si aku lirik bertanya kepada manusia soal penting pada diri manusia yakni, rasa. Kata penyair,

Mataku berbinar, hatiku benci
Masihkah, engkau manusia
Punya rasa, punya iba

Puisi ini merupakan salah satu puisi yang mengisi antologi “Alammu Dalam Puisiku” (2003) karya Saderi yang merupakan salah satu pemenang Sayembara Penulisan Naskah Buku Bacaan Tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Kumpulan yang memuat 83 puisi itu ada yang bercerita tentang nelayan, candi, pengemis, tokoh, bumi, air, daerah wisata dan ada juga tentang timah. Kepulauan Bangka Belitung sebagai penghasil timah terbesar digambarkan pernah jaya dan kini tinggal kenangan.

Dalam puisi berjudul “Timah” penyair menggambarkan timah ada di Bangka, Singkep dan Belitung. Penambangan timah memberi pekerjaan kepada sejumlah orang yang sekaligus menghilangkan kemiskinan.

Di Pulau Bangka, Singkep dan Belitung
Timah putih ditambang
Banyak pekerja karyawan
Jadi terbebas dari kemiskinan

Kemudian pada bait-bait berikutnya diceritakan pengolahan timah yang ada di darat dan laut. Digambarkan pula bagaimana timah dikeringkan lalu dimasukkan kantong lalu dikirim dengan tongkang dikumpulkan ke Mentok, untuk dilebur kedalam pabrik yang besuhu tinggi. Selanjutnya digambarkan juga apa sebenarnya guna timah. Kata penyair,

Dicetak menjadi bongkahan persegi
Bongkah timah lalu di jual keluar negeri

Timah di buat peluru, senjata perang
Buat melapis kaleng dan seng
Alat solder dan pematri
Batu jaring dan batu pancing
Dan banyak lagi kegunaan lain

Setelah berjaya sekian ratus tahun sebagai penghasil timah terbesar bagaimana nasib Bangka Belitung? Setelah bumi dikeruk hasilnya diambil, kekayaan didapat belipat-lipat, apa yang tinggal bagi rakyat Bangka Belitung? Sesuatu yang pernah gemilang kini tinggal kenangan. Tulis penyair,

Kini timah Singkep dan Belitung
Tiada lagi terbilang dan gemilang
Timah dalam tanah sudah hilang
Karena sudah lama di tambang
Tinggallah kenangan

Penyair Saderi lahir 13 Des 1941 di Gantung, Belitung. Ia pernah menempuh pendidikan SR (1957), SGB (l960), dan SPG (1968). Sejak 1 Nop. 1960 diangkat guru Neg. di SR Tanjung Batu Itam, Belitung. Dan pada th 1983 diangkat Kepala SD Neg. 5 di kampung kelahirannya Gantung. Sejak 1 Januari 2002 pensiun, setelah bertugas selama 41 th.
Meski sudah pensiun sebagai guru nampaknya hobbinya membaca dan menulis tak membuat ia pensiun sebagai sastrawan. Hal ini dibuktikannya pada tahun 2003 karya sastranya membawa ia ke kemenangan di tingkat Nasional.

Menghayati penghidupan sang penyair sehari-hari bercocok tanam dan suka memancing membuat Saderi lebih bebas berekspressi. Lebih-lebih penyair ini suka berkelana. Semasih aktip jadi guru ia pun mengatur jadwal perjalanannya ke Bali, Palembang dan lain-lain. Tak heran jika tema puisinya pun cukup beragam.

Ketika sang penyair bicara tentang wisata misalnya ia pun cukup meyakin kan untuk menghimbau para konsumen. Dalam puisinya berjudul “ Pantai Tanjung Tinggi”, pada bait pertama ia menggambarkan bagaimana keindahan pantai yang terdapat di P.Belitung itu. Ia melukiskan batu raksasa sebagai mahkota, yang diterpa angin dan gelombang. Kata penyair,

Mahkotamu beruntaikan
Batu-batu raksasa
Menghadang terpaan
Gelombang angin utara

Pada bait berikutnya penyair pun menggambarkan keindahan mentari dan burung camar. “Mentari menyilau awan/Burung camar mencicit tak pernah diam”. Masih ada keindahan lain yang dipelihatkan. Ada pohon nyiur, cemara semua itu menawan untuk dilihat. Keindahan itu semua diharapkan dapat menerbitkan keinginan para wisatawan untuk hadir dan menikmati alam Belitung.

Lambungmu berpagar nyiur dan cemara
Anggun bersolek menata rupa
Sijuk ibu pertiwimu tersenyum
Memandang sang puteri yang rupawan
Keelokan wajahmu bisa mengundang wisatawan

Bagi penyair sendiri Tanjung Tinggi punya arti sendiri. Penyair akan datang untuk melepaskan lelah. Disana akan dicapai ketenangan karena sesaat akan terlepas dari kesibukan dunia yang bising. Kecintaan pada keindahan alam membuat penyair berniat menulis puisi yang kiranya dapat memberi kabar kepada dunia.

Aku akan datang kedekapanmu
Wahai … Tanjung Tinggi
Datang buat menyepi dari penat
Reformasi dan akan kutulis
Dalam buku memori larik-larik puisi
Untuk kukabarkan pada dunia
“Semoga banyak orang yang lebih peduli”

RAHMAD SANJAYA PENYAIR DARI DATARAN TINGGI GAYO

Oleh L.K.Ara

Malam itu Rahmad Sanjaya berada di atas panggung pertunjukkan Anjungan Aceh, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Ia bersama teman-temannya membawakan beberapa sajak dalam bentuk musikalisasi puisi. Penonton nampak tertarik juga mendengar pertunjukkan rombongan dari Aceh ini. Selain tampil di Anjungan Aceh, TMII, Rahmad bersama teman-temannya juga tampil di beberapa pentas lainnya, termasuk rumah sejumlah tokoh yang tertarik pada kesenian.

Rahmad Sanjaya yang sengaja datang dari Aceh memang ingin memperlihatkan kebolehannya di Jakarta. Sementara itu tentu, ia dan kawan-kawan ingin juga mencari pengalaman dan bertukar pikiran dengan seniman-seniman Ibukota.

Akan halnya musikalisasi puisi bagi Rahmad merupakan alat ekspresi. Karena itu ia dan kawan-kawannya melahirkan 'Bengkel Musik Batas'. Dengan Bengkel inilah ia menyalurkan ide dan seninya.

Soal seni menyeni bagi Rahmad dimulai ketika duduk di bangku SMP Negeri I Takengon. Semasa sekolah itulah ia mulai menulis puisi. Kemudian pada waktu-waktu berikutnya puisinya mulai dimuat di harian Serambi Indonesia yang terbit di Banda Aceh. Sebuah puisinya bercerita tentang alam desa, alam dimana dia dibesarkan berjudul 'Derai Pinus Langit Penarun'. Berikut ini petikannya,

Derai pinus langit penarun
Membawa nyanyian sejuta gembala
Kala mentari sepenggal menjalari
Lekuk tubuh rimba yang beku

Derai pinus langit penarun
Mengurai sejuta kisah petuah
Yang samar terbawa jerit pepohonan
Lalu hilang terbawa kabut

Bait-bait diatas bercerita tentang sebuah wilayah bernama Penarun. Didesa itu ada hutan cemara. Orang desa hidup sebagai petani dan ada juga yang memelihara hewan ternak. Desa penarun juga memiliki cerita rakyat berupa legenda Atu Belah (Batu Berbelah). Kisah ini bila tak dituliskan atau direkam maka akan hilang, 'terbawa jerit pepohonan/lalu hilang terbawa kabut'.

Sebagai penyair yang lahir di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah, Rahmad banyak menggambarkan alam desa, pepohonan, sungai, angin, ilalang dan awan. Rasa risau akan datang juga bila ia pergi merantau agak lama lalu kembali kedesanya. Sudah terjadi perubahan. Ini digambarkan penyair Rahmad dalam puisinya 'Nina Bobo'. Berikut ini petikannya,

"Dulu di sini,
ada sungai yang selalu bernyanyi
menebar riak, menebar harum, juga menebar pukau

Di sela daun itu dulu, anakku
Ada kicau burung punai
Bercerita selalu kala pagi hinggap dibukit Sana

Seakan dia tak ingin terbang
Meski seribu pemburu membidiknya
Kini, ilalang itu pun resah
Padahal matahari tetap yang dulu
Yang selalu menjaga waktu hingga senja Memalang

Inilah anakku nyanyian itu
Yang telah berubah larik dan nadanya
Sampai dia menjadi sampah seperti aku"

Banda Aceh, April l994

Rahmad Sanjaya lahir l8 Juni l972 di Takengon, Gayo, Aceh Tengah. Ia berdarah campuran suku Gayo dan Jawa. Kegiatan seninya selain menulis puisi, bermusikalisasi puisi, juga bemain dalam lakon Bachbeth, Sinyak, dan Perampok. Sebuah lakon yang juga ikut didukungnya berjudul 'Poma' karya Maskirbi pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki.

Bicara tentang penggunaan simbul alam dalam puisinya, masih dapat ditemukan dalam puisi-puisi lainnya. Dalam sajak berjudul 'Berangkat' misalnya, situasi perpisahan tergambar sedih, dan daun-daun digunakan sebagai alat komunikasi. Petikannya sebagai berikut,


Bila ada yang tertinggal
Biarlah dia rindu
Yang kutitipkan lewat daun-daun
Dan deru bus antar kota

Bila ada yang tertambat
Biarlah dia cintaku
Yang kuselipkan di dasar hatimu

Bila ada yang mendamba
Biarlah dia aku
Yang merangkai sepi
Di hitungan waktu

Bila ada yang dirindu
Biarlah dia engkau
Yang kubawa di jiwa
Dari suatu perjalanan

Bila ada yang terbingkai
Biarlah dia nada-nada
Yang kubiaskan di detak jantungmu

Banda Aceh, Agustus l994

PUISI SA’DI PADA BATU NISAN NAI’NA HUSAM AL DIN

Oleh L.K.Ara

Pada batu Aceh terdapat puisi ciptaan penyair sufi Sa'di. Sajak penyair besar dari Persia itu diguratkan di batu nisan Na'na Husam Al Din, seorang ratu pada masa kerajaan Pasai. Pada batu nisan yang terpahat dengan tulisan Arab Persia itu menggambarkan kehidupan yang singkat. Pada baris pertama dibayangkan bagai tahun-tahun datang dan berlalu. Hampir tak terhitung jumlahnya. Dan itu semua melintas dibumi ini seperti air mengalir tak henti-henti. Juga seperti angin yang tak berhenti mengalir. Dan kehidupan seperti itu jugalah. Dan kehidupan tak lain dari sekumpulan hari-hari, bulan dan tahun. Selama ini menempuh hari-harinya manusia ada di bumi. Selama itulah manusia singgah di bumi. Setelah itu ia kembali.

Mengetahui kehidupan demikian mengapa manusia ‘merasa angkuh’. Ghazal Sa'di yang tertulis dibatu nias itu berbunyi, (terjemahan),

Tiada terhitung jumlah tahun-tahun
yang melalui bumi kita/bagaimana air mengalir
dan semilir angin lalu.
Bila kehidupan ini
tak lain hanyalah seperangkat
kumpulan/hari-hari manusia
mengapakah orang yang menyinggahi
bumi
ini merasa angkuh?

Itulah bagian awal dari puisi yang menyinggung kehiduan manusia itu. Bagian lain yang merupakan kelanjutan puisi itu menggambarkan orang yang diberi nasihat. Nasihat itu disampaikan kepada ‘sahabat’. Bila seorang sahabat lewat atau melalui kuburan seorang musuh janganlah bersukaria. Memang musuh telah binasa dan kuburan telahnya telah kita ketahui pula. Bahkan sedang kita lalui. Namun seorang sahabat itu tetap diberi nasihat, janganlah bersukaria. Mengapa diberi nasihat. Karena kematian tak hanya dapat menimpa musuh tetapi juga dapat menimpa kita. Kata Sa’di,

Oh sahabat
jika kau lalui makam seorang musuh
janganlah kau bersuka ria
karena hal semacam itu dapat jua
menimpa dirimu.

Dibagian lain yang merupakan kelanjutan puisi ini Sa’di memperingatkan janganlah bersikap sombong. Karena sekali waktu manusia yang hidupun bila telah mati, dalam kubur akan merasakan debu memsuki tulang belulang. Dengan mengambil contoh sehari-hari penyair melukiskan sebagai layaknya pupur celak, sekali waktu akan memasuki kotaknya.

Tak usah pula orang menyombongkan diri dengan pakaian yang cantik dan mahal harganya. Karena bila sekaliwaktu ia mati, badannya akan terkubur. Orang dalam kubur tak ada yang dapat menolong. Isteri atau suami yang paling kasihpun hanya mengantar ditepi kuburan. Namun masih ada yang dapat menolong orang yang sudah meninggal. Yakni budi baik, sedekah, amal-amal selama ia hidup.

Wahai yang bercelik mata dengan kesombongan
debu-debu akan memasuki tulang belulang
laksana pupur celak
memasuki kotak penyimpanannya.

Barang siapa pada hari ini
menyombongkan diri dengan hiasan bajunya
maka esok hari
debu badannya yang terkubur hanya tinggal menguap.

Tak ada yang memberi
pertolongan kepadanya
kecuali amal saleh."

Tradisi penulisan puisi pada batu nisan seperti pada Na'na Husam Al Din di Lhok Seumawe, Aceh, terdapat juga pada misalnya batu nisan Raja Fatimah (m l495) di Pekan, Pahang. Disana terdapat perkataan Arab yang diterjemahkan oleh Barnes sebagai 'gate'(pintu gerbang). Menurut terjemahannya baris puisi itu berbunyi, "Death is a gate and all men go in threat" atau "kematian adalah sebuah pintu gerbang dan semua manusia akan melaluinya untuk ke sana." Di dalam buku “Warisan Kesenian Dalam Tamadun Islam” karangan DR Othman Mohd.Yatim juga dijelaskan bahwa Linehan telah pula menterjemahkan perkataan Arab yang sama sebagai 'door' atau pintu. Terjemahan bagi puisi itu adalah sebagai berikut, "death is door which all men must enter" atau "kematian adalah sebuah pintu, semua manusia akan masuk melaluinya."

DR Othman didalam bukunya itu menyebutkan bahwa dalam sufisme, mihrab, pintu ataupun pintu gerbang semuanya melambangkan tempat lalu setiap orang muslim, setelah kematian dalam perjalanan ke dunia yang lain untuk menghadapi Tuhan yang menciptanya. Cammann menarik perhatian kita kepada beberapa orang penyair sufi seperti, Rumi (meninggal l273) dan Hafiz (meninggal l389) yang sangat gemar menggunakan perbendaharaan kata sufi dan bayangannya. Syair-syair Hafiz sering menyebut pintu atau pintu gerbang untuk menuju ke 'pangkuan' Allah, merujuk kepada pintu langit dan arah setelah itu, yaitu pintu mata hari yang berhampiran dengan pintu syurga. Sebagai contoh dibawah ini kita kutipkan bagian sajak Hafiz berjudul Diwan,

Musuh-musuhku telah menyekapku dan menghukumku
Cintaku berpaling dan meninggalkan pintuku
Tuhan cermat menghitung air mata kami
Dan tahu derita kami:
Ah, jangan berduka! Tuhan telah mendengar
Jika derita datang dan dalam malam kau karam
Hafiz, ambil qur'an dan bacalah
Lagu maha abadi, jangan berduka

Pintu nampaknya ada hubungan yang erat dengan tangga. Terutama bagi rumah yang tinggi. Dan motif tangga itulah yang juga digunakan dan terdapat dalam beberapa tulisan. Tulisan-tulisan itu biasanya dalam bentuk dua, tiga, empat dan lima baris berbentuk relief. Hal ini mengingatkan kita pada doktrin sufi yang penting, ialah, "Tuhan itu Satu (Ahad)" dan "Jalan Menuju kepada-Nya (Tariqat)". Menurut Dr Othman, motif tangga ini boleh dikaitkan dengan jalan menuju kepada Tuhan.

Pada bagian pembicaraan tentang sumber sufisme di Semenanjung Malaysia, DR Othman Mohd. Yatim menyebutkan bahwa bentuk-bentuk dan ragam hias (tulisan dan motif) pada batu-batu Aceh dan beberapa bahan seni yang lain menunjukkan telah dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kesenian agama lain. Othman juga menyatakan persetujuannya pada pendapat Heine Geldern, yang menyatakan bentuk-bentuk kesenian Islam di Sumatera sepintas lalu nampaknya seperti terdiri daripada satu gaya sahaja tetapi dalam kenyataannya terdapat campuran daripada berbagai-bagai unsur. Pengaruh Hindu, Hindu Jawa, kemudian Cina dan Islam dan semuanya itu digabungkan menjadi satu.

Di bagian akhir tulisannya Othman mengambil semacam kesimpulan bahwa sungguhpun orang-orang Melayu di Kepulauan Melayu telah menganut agama Islam, kebudayaan dan simbolisme mereka masih tetap dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Sementara itu ia juga mengetengahkan pendapat Johns yang menyebut bahwa orang-orang Kepulauan Melayu secara sadar atau tidak telah bersedia untuk mengekalkan semacam kesinambungan dengan zaman lepas dan terus menggunakan unsur-unsur pra-Islam dalam konteks Islam.

Bila melihat pembicaraan yang ditulis secara khusus tentang simbolisme di dalam buku berjudul "Warisan Kesenian Dalam Tamadun Islam" terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka,K.L, l989, itu, maka Othman mengisaratkan bahwa penyampaiannya berupa perutusan Islam yang tersembunyi. Kata Othman, "Simbul secara visual maupun secara vokal telah digunakan dengan meluas sekali dalam kehidupan manusia. Lantaran itu kita dapati banyak sekali definisi yang diberikan terhadap perkataan simbol. Definisi yang paling umum telah dikemukakan oleh Needham yang mengatakan simbol itu ialah sesuatu yang mewakili sesuatu perkara yang lain. Beliau mengambil mahkota sebagai contoh, menurutnya mahkota ialah simbol kepada sistem pemerintahan beraja."

Terdapat pula simbol untuk masyarakat. Needham berpendapat bahwa fungsi simbol masyarakat bukanlah sekedar menandakan atau untuk membesarkan kepentingan apa yang disimbolkan itu tetapi juga bertujuan untuk menimbulkan dan mempertahankan kewajiban emosi yang telah ditetapkan sebagai perlu atau penting didalam sesuatu kumpulan masyarakat itu. Berdasarkan para ahli-ahli itu
telah dibuat semacam kesimpulan bahwa simbolisme adalah penting karena ia bertujuan untuk menandakan sesuatu yang penting dari segi sosial dan mendorong manusia untuk mematuhi atau mengikuti dan mengenali nilai-nilai yang mereka patut hidup bersamanya.
Selain puisi Sa’di pada batu nisan Na’na Husam Al-Din masih dapat ditemukan puisi sufi pada batu nisan Malikul Saleh (meninggal 1297 M) di Geudong, Lhok Seumawe, Aceh. Di sana ditulis puisi sufi dengan huruf Aceh yang menggambarkan dan menjelaskan bahwa dunia ini sesungguhnya fana. Dunia ini tidak kekal, dan ditamsilkan bagai sarang laba-laba yang sangat rapuh. Puisi itu berbunyi, (terjemahan)

Wahai sesungguhnya dunia ini fana
Dunia ini tiadalah kekal

Sesungguhnya dunia ini
Ibarat sarang yang ditenun oleh laba-laba

Demi sesungguhnya memadailah buat engkau dunia ini
Hai orang yang mencari kekuatan
Hidup hanya untuk masa singkat sahaja
Semuanya tentu akan menghembuskan nafas yang penghabisan


(dari: “Seulawah”, Antologi Sastra Aceh, Yayasan Nusantara, Jakarta, 1995)

PUISI SA’DI PADA BATU NISAN NAI’NA HUSAM AL DIN

Oleh L.K.Ara

Pada batu Aceh terdapat puisi ciptaan penyair sufi Sa'di. Sajak penyair besar dari Persia itu diguratkan di batu nisan Na'na Husam Al Din, seorang ratu pada masa kerajaan Pasai. Pada batu nisan yang terpahat dengan tulisan Arab Persia itu menggambarkan kehidupan yang singkat. Pada baris pertama dibayangkan bagai tahun-tahun datang dan berlalu. Hampir tak terhitung jumlahnya. Dan itu semua melintas dibumi ini seperti air mengalir tak henti-henti. Juga seperti angin yang tak berhenti mengalir. Dan kehidupan seperti itu jugalah. Dan kehidupan tak lain dari sekumpulan hari-hari, bulan dan tahun. Selama ini menempuh hari-harinya manusia ada di bumi. Selama itulah manusia singgah di bumi. Setelah itu ia kembali.

Mengetahui kehidupan demikian mengapa manusia ‘merasa angkuh’. Ghazal Sa'di yang tertulis dibatu nias itu berbunyi, (terjemahan),

Tiada terhitung jumlah tahun-tahun
yang melalui bumi kita/bagaimana air mengalir
dan semilir angin lalu.
Bila kehidupan ini
tak lain hanyalah seperangkat
kumpulan/hari-hari manusia
mengapakah orang yang menyinggahi
bumi
ini merasa angkuh?

Itulah bagian awal dari puisi yang menyinggung kehiduan manusia itu. Bagian lain yang merupakan kelanjutan puisi itu menggambarkan orang yang diberi nasihat. Nasihat itu disampaikan kepada ‘sahabat’. Bila seorang sahabat lewat atau melalui kuburan seorang musuh janganlah bersukaria. Memang musuh telah binasa dan kuburan telahnya telah kita ketahui pula. Bahkan sedang kita lalui. Namun seorang sahabat itu tetap diberi nasihat, janganlah bersukaria. Mengapa diberi nasihat. Karena kematian tak hanya dapat menimpa musuh tetapi juga dapat menimpa kita. Kata Sa’di,

Oh sahabat
jika kau lalui makam seorang musuh
janganlah kau bersuka ria
karena hal semacam itu dapat jua
menimpa dirimu.

Dibagian lain yang merupakan kelanjutan puisi ini Sa’di memperingatkan janganlah bersikap sombong. Karena sekali waktu manusia yang hidupun bila telah mati, dalam kubur akan merasakan debu memsuki tulang belulang. Dengan mengambil contoh sehari-hari penyair melukiskan sebagai layaknya pupur celak, sekali waktu akan memasuki kotaknya.

Tak usah pula orang menyombongkan diri dengan pakaian yang cantik dan mahal harganya. Karena bila sekaliwaktu ia mati, badannya akan terkubur. Orang dalam kubur tak ada yang dapat menolong. Isteri atau suami yang paling kasihpun hanya mengantar ditepi kuburan. Namun masih ada yang dapat menolong orang yang sudah meninggal. Yakni budi baik, sedekah, amal-amal selama ia hidup.

Wahai yang bercelik mata dengan kesombongan
debu-debu akan memasuki tulang belulang
laksana pupur celak
memasuki kotak penyimpanannya.

Barang siapa pada hari ini
menyombongkan diri dengan hiasan bajunya
maka esok hari
debu badannya yang terkubur hanya tinggal menguap.

Tak ada yang memberi
pertolongan kepadanya
kecuali amal saleh."

Tradisi penulisan puisi pada batu nisan seperti pada Na'na Husam Al Din di Lhok Seumawe, Aceh, terdapat juga pada misalnya batu nisan Raja Fatimah (m l495) di Pekan, Pahang. Disana terdapat perkataan Arab yang diterjemahkan oleh Barnes sebagai 'gate'(pintu gerbang). Menurut terjemahannya baris puisi itu berbunyi, "Death is a gate and all men go in threat" atau "kematian adalah sebuah pintu gerbang dan semua manusia akan melaluinya untuk ke sana." Di dalam buku “Warisan Kesenian Dalam Tamadun Islam” karangan DR Othman Mohd.Yatim juga dijelaskan bahwa Linehan telah pula menterjemahkan perkataan Arab yang sama sebagai 'door' atau pintu. Terjemahan bagi puisi itu adalah sebagai berikut, "death is door which all men must enter" atau "kematian adalah sebuah pintu, semua manusia akan masuk melaluinya."

DR Othman didalam bukunya itu menyebutkan bahwa dalam sufisme, mihrab, pintu ataupun pintu gerbang semuanya melambangkan tempat lalu setiap orang muslim, setelah kematian dalam perjalanan ke dunia yang lain untuk menghadapi Tuhan yang menciptanya. Cammann menarik perhatian kita kepada beberapa orang penyair sufi seperti, Rumi (meninggal l273) dan Hafiz (meninggal l389) yang sangat gemar menggunakan perbendaharaan kata sufi dan bayangannya. Syair-syair Hafiz sering menyebut pintu atau pintu gerbang untuk menuju ke 'pangkuan' Allah, merujuk kepada pintu langit dan arah setelah itu, yaitu pintu mata hari yang berhampiran dengan pintu syurga. Sebagai contoh dibawah ini kita kutipkan bagian sajak Hafiz berjudul Diwan,

Musuh-musuhku telah menyekapku dan menghukumku
Cintaku berpaling dan meninggalkan pintuku
Tuhan cermat menghitung air mata kami
Dan tahu derita kami:
Ah, jangan berduka! Tuhan telah mendengar
Jika derita datang dan dalam malam kau karam
Hafiz, ambil qur'an dan bacalah
Lagu maha abadi, jangan berduka

Pintu nampaknya ada hubungan yang erat dengan tangga. Terutama bagi rumah yang tinggi. Dan motif tangga itulah yang juga digunakan dan terdapat dalam beberapa tulisan. Tulisan-tulisan itu biasanya dalam bentuk dua, tiga, empat dan lima baris berbentuk relief. Hal ini mengingatkan kita pada doktrin sufi yang penting, ialah, "Tuhan itu Satu (Ahad)" dan "Jalan Menuju kepada-Nya (Tariqat)". Menurut Dr Othman, motif tangga ini boleh dikaitkan dengan jalan menuju kepada Tuhan.

Pada bagian pembicaraan tentang sumber sufisme di Semenanjung Malaysia, DR Othman Mohd. Yatim menyebutkan bahwa bentuk-bentuk dan ragam hias (tulisan dan motif) pada batu-batu Aceh dan beberapa bahan seni yang lain menunjukkan telah dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kesenian agama lain. Othman juga menyatakan persetujuannya pada pendapat Heine Geldern, yang menyatakan bentuk-bentuk kesenian Islam di Sumatera sepintas lalu nampaknya seperti terdiri daripada satu gaya sahaja tetapi dalam kenyataannya terdapat campuran daripada berbagai-bagai unsur. Pengaruh Hindu, Hindu Jawa, kemudian Cina dan Islam dan semuanya itu digabungkan menjadi satu.

Di bagian akhir tulisannya Othman mengambil semacam kesimpulan bahwa sungguhpun orang-orang Melayu di Kepulauan Melayu telah menganut agama Islam, kebudayaan dan simbolisme mereka masih tetap dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Sementara itu ia juga mengetengahkan pendapat Johns yang menyebut bahwa orang-orang Kepulauan Melayu secara sadar atau tidak telah bersedia untuk mengekalkan semacam kesinambungan dengan zaman lepas dan terus menggunakan unsur-unsur pra-Islam dalam konteks Islam.

Bila melihat pembicaraan yang ditulis secara khusus tentang simbolisme di dalam buku berjudul "Warisan Kesenian Dalam Tamadun Islam" terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka,K.L, l989, itu, maka Othman mengisaratkan bahwa penyampaiannya berupa perutusan Islam yang tersembunyi. Kata Othman, "Simbul secara visual maupun secara vokal telah digunakan dengan meluas sekali dalam kehidupan manusia. Lantaran itu kita dapati banyak sekali definisi yang diberikan terhadap perkataan simbol. Definisi yang paling umum telah dikemukakan oleh Needham yang mengatakan simbol itu ialah sesuatu yang mewakili sesuatu perkara yang lain. Beliau mengambil mahkota sebagai contoh, menurutnya mahkota ialah simbol kepada sistem pemerintahan beraja."

Terdapat pula simbol untuk masyarakat. Needham berpendapat bahwa fungsi simbol masyarakat bukanlah sekedar menandakan atau untuk membesarkan kepentingan apa yang disimbolkan itu tetapi juga bertujuan untuk menimbulkan dan mempertahankan kewajiban emosi yang telah ditetapkan sebagai perlu atau penting didalam sesuatu kumpulan masyarakat itu. Berdasarkan para ahli-ahli itu
telah dibuat semacam kesimpulan bahwa simbolisme adalah penting karena ia bertujuan untuk menandakan sesuatu yang penting dari segi sosial dan mendorong manusia untuk mematuhi atau mengikuti dan mengenali nilai-nilai yang mereka patut hidup bersamanya.
Selain puisi Sa’di pada batu nisan Na’na Husam Al-Din masih dapat ditemukan puisi sufi pada batu nisan Malikul Saleh (meninggal 1297 M) di Geudong, Lhok Seumawe, Aceh. Di sana ditulis puisi sufi dengan huruf Aceh yang menggambarkan dan menjelaskan bahwa dunia ini sesungguhnya fana. Dunia ini tidak kekal, dan ditamsilkan bagai sarang laba-laba yang sangat rapuh. Puisi itu berbunyi, (terjemahan)

Wahai sesungguhnya dunia ini fana
Dunia ini tiadalah kekal

Sesungguhnya dunia ini
Ibarat sarang yang ditenun oleh laba-laba

Demi sesungguhnya memadailah buat engkau dunia ini
Hai orang yang mencari kekuatan
Hidup hanya untuk masa singkat sahaja
Semuanya tentu akan menghembuskan nafas yang penghabisan


(dari: “Seulawah”, Antologi Sastra Aceh, Yayasan Nusantara, Jakarta, 1995)

PUISI DALAM HIKAYAT RAJA PASAI

L.K.Ara

Naskah 'Hikayat Raja Pasai' dapat dikatakan merupakan karya sastra yang bersifat sejarah yang tertua dari zaman Islam. Di dalam naskah diceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi antara tahun 1250-1350 M. Yakni dari zaman raja Malikul Saleh hingga sampai ditaklukkan oleh Majapahit.

Seorang ahli bernama W.O.Winstedt mengambil kesimpulan bahwa Hikayat Raja Pasai merupakan teks yang tertua dan diperkirakan ditulis sebelum tahun l534. Melihat isinya Hikayat Raja Pasai juga dapat digolongkan sebagai hikayat yang mengandung ciri-ciri historical dan ciri-ciri mythological.

Setelah melihat perbendaharaan yang ada kemudian dapat pula disebut bahwa Hikayat Raja Pasai merupakan satu-satunya karya sejarah peninggalan Pasai. Bagaimana gambaran sastra yang terdapat dalam naskah tertua ini? Mari kita lihat. Hikayat Raja Pasai dimulai dengan teks yang cukup menonjol yang berbunyi sebagai berikut:

' Alkisah peri menyatakan ceritera raja yang pertama masuk agama Islam ini Pasai. Maka ada diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini, negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah'.

Melihat isinya DR Teuku Iskandar menyatakan, Hikayat Raja Pasai merupakan karya yang mempunyai unsur-unsur legalisasi keluarga yang memerintah, menyatakan asal usul yang sakral keluarga tersebut. Tetapi disamping itu ia juga mempunyai fungsi didaktik. Raja yang zalim akan mendapat hukuman, negerinya musnah. Demikian halnya dengan Sultan Malikul-Mansur yang merampas gundik abangnya, demikian pula halnya dengan Sultan Ahmad yang cemburu terhadap putera-puteranya dan oleh sebab itu membunuh mereka. (Dr Teuku Iskandar, 'Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad', Libra, Jakarta, l996) Di dalam Hikayat Raja Pasai kita menjumpai dua jenis puisi. Yakni bahasa berirama dan pantun.

Di bawah ini dipetik jenis bahasa berirama, sebagai berikut:

Ayohai Dara Zulaika Tingkap
Bangun apalah engkau!
Asalmu orang terjunan pengaliran!
Karena engkau penghulu gundikku
Bergelar Tun Derma Dikara

Bangun apalah engkau!
Tiadakah engkau dengar bunyi
Genderang perang di Tukas
Palu tabuh-tabuhan
Hari dinihari
Bulanpun terang?

Berbeda dengan bahasa berirama yang ditemukan di dalam cerita-cerita rakyat atau penglipurlara yang biasa digunakan untuk menggambarkan suasana, di dalam Hikayat Raja Pasai digunakan dalam dialog.

Hal ini akan terasa lebih lengkap bila kita ikuti petikan puisi dari Hikayat Raja Pasai di bawah ini:

Ya tuaku Syah Alam
Mengapa hambamu dipanggil
Pada ketika dinihari ini
Bulannya terang semalam ini
Pada ketika selatan
Pada ketika tidur nyedar

Maka paduka Syah Alampun bersabda:
Ayohai Dara Zulaika Tingkap
Bergelar Tun Derma dikara
Tiadakah kamu dengar (bunyi)
Genderang (perang) di Tukas
Palunya tabuh-tabuhan
Hari ini dinihari
Bulannya terang

Semalam ini musuh darimana
ketah datangnya
Berapa ketah pertuhanya
Suruh lihat apalah
Kepada segala orang banyak
yang dibawah istana ini
Siapa ada, siapa tiada

Puisi lainnya yang dapat kita jumpai di dalam Hikayat Raja Pasai ialah pantun. Di bawah ini dikutip sebuah pantun dari Hikayat Raja Pasai terbitan tahun l914.

Lada siapa dibangsalkan
Rama saujana kerati
Pada siapa di sesalkan
Tuan juga empunya pekerti
Lada siapa dibangsalkan
Sa-lama lada sa-kerati
Pada siapa disesalkan
Tuan juga empunya pekerti

Untuk sekedar perbandingan dengan pantun tertua di dalam Sejarah Melayu kita petik pantun awal dibawah ini:

Cau Pandan anak Bubunnya
Hendak menyerang ka Melaka
Ada cincin berisi bunga
Bunga berisi air mata

Guna melengkapi pengetahuan kita berkenaan dengan Hikayat Raja Pasai dibawah ini dipetik, wasiat Sultan Malikul Saleh kepada orang-orang besar dan anak-anaknya:

'Hai anakku, dan segala taulanku kamu pegawaiku, bahwa aku ini telah hampirlah ajalku akan mati, adapun baik-baik kamu sekalian pada peninggalku ini. Hai anakku, jangan banyak tamak kamu akan segala harta orang, dan jangan kamu ingin akan isteri anak hamba kamu. Kamu-kamu kedua ini mufakat dua bersaudara dan jangan kamu bersalahan dua bersaudara'.

PENYAIR TGK ASHALUDDIN MENGGUNAKAN KATA MUTIARA

Oleh L.K.Ara

Tgk Ashaluddin dikenal luas sebagai seorang ulama. Beliau juga cukup lama memimpin Panti Asuhan Budi Luhur di Takengon, Aceh Tengah. Tulisan-tulisannya yang bernas dalam bentuk syair menempatkan beliau sebagai penyair.

Berbeda dengan penyair pendahulunya seperti Tgk Yahya dan Tgk Mudekala yang mengambil tema syair dari Quran dan Hadis, Tgk Ashaluddin menggunakan kata-kata mutiara. Mengapa? Ketika perta¬nyaan itu diajukan bulan Juli l998 yang lalu dirumahnya di Jln Mersa, Takengon, beliau berkata, 'Bila mengambil ayat Quran takut kalau-kalau terpeleset".

Bagaimana kira-kira bentuk syair yang ditulis Tgk Ashaluddin dengan mengambil tema kata-kata mutiara? Mari kita ikuti petikan ¬puisi ciptaan beliau dibawah ini, yang aslinya ditulis dalam bahasa Gayo,

Ike nge semperne akal ni manusie
gere sie-sie we munyerakan cerak
sesara cerak gere i cerakne
melengkan nge i pikirie benasa urum rusak

(kalau telah sempurna akan manusia
tidak sia-sia dia mengucapkan kata
suatu ucapan tidak dikatakannya
kecuali telah dipikirkan kotor dan buruk)

Si jelen benasa gere i cerakne
i tason wanni ate gere mugegerak
we becerak kediken ara perlu
kujelen mutentu si patut layak

(hal yang buruk tak dikatakannya
disimpan di hati rapat-rapat
dia berkata bila perlu saja
hal-hal yang baik dan pantas)

Syair diatas ditulis Tgk Ashaluddin pada sebuah notes kecil, berukuran saku. 'Ini sebagian dari yang masih tinggal', ucap Tgk Ashaluddin sambil memperlihatkan notes bertulisan huruf Arab dan berbahasa Gayo itu. Menurut ulama yang telah hidup tiga zaman ini sejumlah buku dan tulisannya telah hilang. Ada yang hilang karena pindah dari kota yang satu ke kota yang lainnya. Ada juga yang hilang karena hanyut dibawa air bah.

Bagaimana kelanjutan syair yang mengambil tema kata-kata mutiara tersebut? Mari kita ikut dibawah ini,

Kediken bengis pe urum kekedeke
kesakit pe i ate gere teridah i salak
cerakke si tangkuh si nge berpilih
ke i barat waih gere muserlak

(bila marah pun sambil ketawa
meski sakit di hati tak nampak di muka
kata yang diucap telah terpilih
ibarat air tidak melimpah)

Tgk Ashaluddin dilahirkan di Isaq, Aceh Tengah, tahun l9l7. Pendidikan SR (SD) ditempuhnya pada tahun l927. Kemudian belajar mengaji pada beberapa ulama seperti, Tgk M.Hasbi Ash Shiddieqy, Ustad Saleh Syarif dan lain-lain.

Ketika belajar pada Tgk Hasbi Ash Shiddieqy, Tgk Ashaluddin harus menempuh perjalanan dari Takengon menuju Banda Aceh. 'Mula-mula naik bus dari Takengon - Bireun dengan ongkos 75 sen. Kemud¬ian dengan kereta api, Bireun - Banda Aceh. Ongkos keretapi lebih murah', tutur Tgk Ashaluddin. Menurut ingatan ulama ini yang kini sudah berusia 8l tahun, beliau belajar pada Tgk Hasbi lebih kurang lebih setahun.

Sebuah pengalaman yang tak terlupakan bagi Tgk Ashaluddin, ketika sekali waktu beliau diajak ustad Saleh Syarif ke desa Kutelintang, Kecamatan Pegasing. Disana ustad Saleh yang juga ternyata politikus akan memberi ceramah tentang agama. Pada hari itu beramai-ramai orang datang memenuhi ruangan rumah Guru Tua Pak Kadir. Diantara yang hadir nampak Tgk Jahya beserta murid-muridnya. Ustad Saleh Syarif yang lepasan Thawalib memang member¬ikan ceramah hari itu cukup menarik. Bahkan bagi sejumlah orang yang mengikuti ceramah yang disampaikan ustad Saleh cukup menge¬sankan. Tgk Yahya yang kini disebut orang sebagai pelopor Syaer Gayo pada saat itu sempat menitikkan air mata.

Menurut Tgk Ashaluddin, kehidupan ustad Saleh Syarif memang cukup menarik. Selain dia mengajar mengaji, juga sehari-hari bekerja sebagai tukang dobi. Tidak diketahui apakah Tgk Ashaluddin juga belajar mendobi. Tapi yang jelas sebagai putra Gayo yang lahir di Isaq (ibu kota kerajaan Lingge), Tgk Ashaluddin amat dekat dengan alam sekitar yang memiliki lapangan luas dan bukit serta pegunungan. Tak heran jika kemudian beliau tertarik menapaki alam luas dengan rumput menghijau sambil memelihara sejumlah kerbau.

Begitulah ketika akan berpisah di rumahnya di jln Mersa, akhir bulan Juli l998 itu, beliau sudah bersiap-siap menunggu jemputan akan pergi ke desa Lane tempat sejumlah kerbaunya dipe¬lihara. Pada usia tuanya dengan tongkat ditangan dan jalan terta¬tih-tatih Tgk Ashaluddin sang penyair yang memungut puisi dari kata-kata mutiara akan meneruskan kembaranya.

(dari: Antologi Syair Gayo. Penyusun L.K.Ara. Terbitan Pena, cetakan ke-2. Banda Aceh 2009)


Beberapa Syair Tgk Ashaluddin

KALIMAH TUJUH

gere ara lain Tuhen
melainkaan Tuhen Allah
Nabi Muhammad i kirim Tuhen
mah peraturen ku hamba Allah

Nabi Muhammad Rasulni Tuhen
munyawahan suruh tegah
suruh tegah isawahan rasul
kati enti murakul benar urum salah

gelah tetap ingeti Tuhen
enti lupen wan senang susah
wan senang susah ingeti Tuhen
oya baru imen i yakui syah

mendepet nikmat i puji Tuhen
gelah i ucepen Alhamdulillah
ke wanni belepe ingeti Tuhen
mudah-mudahan mendepet luah

oya bele kin pengujin
si berimen suci i sone i erah
nge kuwan bele baru i betih
si berimen pedih depet teridah

bier baring kune perputeren zaman
iktiket ku Tuhen enti minah-minah
kati depet ridho ni Tuhen
gelah i bueten si benar perintah

ridhoni Tuhen kul faedahe
sa mendepete we jema mutuah
kalimah tujuh leloni ate
sa muningetie gere gelisah

gere gangu gere macik
gere usik gere gunah


Tgk Ashaluddin

SYAER ARAB


wo suderengku umet Islam
gelah i pikiri ini syaer Arab
terpanang melie si kena ate
ketikikpe hartai merasa genap

hawa nafsu pues murasa
gere olok mengap
ketikik pe genap kedelepe bise
gere bermacik ate ku Tuhen berharap

we jema si terbilang melie
ke rugi urum lebe ate we tetap
kedelepe harta terpanang hine
kesengkiren gere merasa genap

kelem gere nome porak lo gere jenta
memikiri harta terang urum gelep
ulu kin kiding kiding kin ulu
asale demu harta si harap

kedelepe harta perasanne tikek
suntuk berate macik gere ara tetap



Tgk Ashaluddin

IKE AKAL NGE SEMPERNE

ike nge semperne akal ni manusie
gere sie-sie we munyerakan cerak
sesara cerak gere i cerakne
melengkan nge i pikirie benasa urum rusak

si jelen benasa gere i cerakne
i tasonne wan i ate gere mugegerak
we bercerak kediken ara perlu
kujelen mutentu si patut layak

kediken bengis pe urum kekedike
kesakit pe i ate gere teridah i salak
cerakke si tangkuh si nge bersipilih
ke i barat waih gere muserlak

kenge semperne akal cerakpe mutentu
semisel ni kayu nge ara mukerak

‘DUNIA GILA’ DIMATA NASRI LISMA DAN ROGGOWARSITO

Oleh L.K.Ara


Dalam ucapan yang sederhana Nasri Lisma berpesan ‘pintu surga cepatlah diraih’. Pesan itu diucapkan bagai pesan seorang ulama dalam ceramah keagamaan. Namun Nasri Lisma mengungkap larik itu dalam lantunan suara yang berdendang. Karena ia membubuhkan baris kalimat itu dalam nyanyian berirama campuran India dan Melayu.

Judul nyanyian yang menggunakan bahasa Gayo itu berbunyi, ‘Dunia Gila’ (‘Denie Mugile’ ditulis th 2001). Judulnya sendiri memang menarik dan mungkin sesuai dengan zaman ini.

Pada bagian awal Nasri menggambarkan bahwa ada orang yang berkata dunia akan kiamat. Orang memburu uang, menumpuk harta dan kurang melihat barkah dari apa yang dicari itu. Oleh karena itu orang dapat bersenang-senang memperoleh kemewahan di dunia sementara itu ia lupa pada akhirat. Kata penyair,

Kene jema dunie kiamat
Bene berkat reta sidedik
Galak kin denia taring akhirat
Oya alamat kite muserik

(kata orang dunia kiamat
hilang barkah harta dikejar
senang akan dunia tinggal akhirat
itulah jalan kita musrik)

Kene jema denie mugile
Si munos cerite mubalik-balik
Perang sedere wan sara ine
Taringen surge rara I jentik

(kata orang dunia gila
yang membuat kisah bolak balik
perang saudara dalam keluarga
tinggalkan surga api diraih)

Ucapan penyair mengingatkan manusia lupa pada akhirat dan hanya mencari kesenangan duniawi saja, itu di tegaskan kembali bahwa itu jalan menuju musrik.

Ketika kalimat dalam bait berikutnya menyebut ‘kata orang dunia gila’ penyair mengambil salah satu contoh saja dalam kehidupan manusia yakni sudah terjadi ‘perang saudara dalam keluarga’. Dan menurut kebiasaan yang sering terjadi perang saudara dalam keluarga dikarenakan harta. Dan untuk itu kita diingatkan dengan kalimat pendek ‘tinggalkan surga api diraih’. Kata api disini bisa diartikan bencana. Tapi bisa juga di tafsirkan lebih jauh yakni ‘api neraka’. Karena itu kata api dalam puisi, ambigu atau polyinterpretable, mengandung banyak tafsir.

Penyair dalam puisi ini juga melihat segi-segi kehidupan yang bermacam ragam yang dilakukan manusia. Misalnya ia memperlihatkan keinginan-keinganan manusia lengkap dengan nostalgianya. Seorang yang telah berada dalam posisi tua ingin kembali muda. Dan ini wajar. Karena kata orang masa muda itu memang indah. Terutama untuk dikenang. Kata penyair, ‘Denie, denie si tuwe kenak mude/ I ulakki cerite sene masa jemen‘ (dunia, dunia yang tua ingin muda/kembali kisah gurau masa silam).

Kemudian mengenai bentuk dunia itu sendiri menjadi pertanyaan. Apakah dunia gepeng, bundah telur, atau bulat dan lain sebagainya. Serta dapatkah dunia itu diukur. Namun yang pasti digambarkan penyair bahwa dunia itu punya aturan dan adatnya sendiri.

Udah pe betul denie bulet
Gere tersipet ujung ralik
Lebih kurang gere ter uwet
Denie beredet gere usik

(mungkin betul dunia bulat
tak terukur ujung pangkal
lebih kurang tak dapat diambil
dunia punya adat tak dapat dirobah)

Sejumlah pertanyaan yang diajukan penyair dalam larik puisi ini merupakan gambaran kewatiran penyair sebagai manusia yang tinggal dan berdiam di bumi. Lebih-lebih setelah melihat kenyataan bukit-bukit mulai gundul. ‘Betul kedie denie nge rusak/Ari jarak tulok pelentik’(sungguhkah dunia sudah rusak/dari jauh telunjuk menunjuk).

Ike betul denie mu buntul
Baur arul uten pejejik
Tape besilo nge meh gutul
Nge muretul lagu tersik

(kalau betul dunia berbukit
pematang dan lembah hutan menghijau
tapi sekarang telah habis gundul
telah gundul bagai kayu kering)

Ditengah-tengah pertanyaan dan gambaran dunia seperti itulah ada pesan. Pesan itu berupa citra manusia berserah diri kepada Tuhan.
Kalimat itu tampil pada bait bagian akhir yang berkata,’Si ku kenakki murip I denie/Pintu ni serge tair I dedik‘(yang kuinginkan hidup di dunia/pintu surga cepat di raih).

Berbeda dengan puisi penyair modern Indonesia lainnya, pesan lewat puisi Nasri Lisma ini dapat dinikmati dalam alunan nyanyian para pendendang lagu. Karena larik-larik puisinya disertai irama yang sengaja diciptakan untuk itu.

Nasri (lahir 1958) yang dulu semasa kuliah IAIN Arraniri giat dalam dunia teater di Banda Aceh dan pernah memperoleh juara baca puisi, kini lebih mengkhususkan diri pada peciptaan karya yang bertema religius.

Puisinya yang terkenal seperti “Malahayati”, “Denia Mugile”, “Ama”, “Uten Gayo” telah sering disampaikan seniman terkenal seperti, Damora, Sakdiah, Mahlil dan Win Kul.

Puisinya yang telah merebut pasar dapat ditemukan dalam album “Mukale”, dan “ Rupe”. Sedang puisinya berjudul “Guru” diperlombakan di sekolah.

Tak jauh berbeda dengan gambaran Nasri Lisma pujangga Roggowarsito (1802-1873) telah mengungkapkannya lk 200 tahun yang lalu. Ronggowarstio menyebutnya zaman edan yang berarti zaman gila. Pujangga yang dalam tradisi kepustakaan Jawa itu dianggap sebagai penutup. Atau pujangga terakhir. Setelah kematiannya sudah tidak ada lagi seorang pujangga. Seorang pujangga menurut teradisi ini, bukan sekadar seorang penulis, melainkan juga memiliki kemampuan dan otoritas menangani persoalan-persoalan dunia spiritual. Kadang kala mereka disebut juga sebagai nujum istana. Ia juga mempunyai kecerdasan dan daya ingat yang kuat. Lebih dari itu ia juga mempunyai kemampuan untuk menangkap dan memahami tanda-tanda zaman yang tak diketahui orang biasa.

Begitulah ia bicara tentang dunia gila itu dalam salah sebuah karyanya berjudul ‘Zaman Edan’ diterbitkan kembali Bentang Budaya, Jogyakarta, 1998. Ia menggambarkan dalam zaman edan jiwa menjadi gelap dan bingung, pikiran tak menentu. Hati pun jadi gelisah. Orang tertindah dan kelaparan. Tapi ada sesuatu yang pasti yakni, janji Tuhan. Pada bagian ke VII ia menulis larik-larik berikut ini,

Hidup di zaman edan
Gelap jiwa bingung pikiran
Turut edan hati tak tahan
Jika tidak turut
Batin merana dan penasaran
Tertindas dan kelaparan
Tapi janji Tuhan pasti
Seuntung apa pun orang yang lupa daratan
Lebih selamat orang yang menjaga kesadaran


(dari buku ‘Zaman Edan’, Bentang Budaya, Jogyakarta, 1998)