Selasa, 02 Maret 2010
TULISAN TENTANG KESENIAN
ANUGERAHI AKU CINTAMU
Oleh L.K.Ara
“Ya Tuhan, anugerahi aku cintaMu, dan mencintai mereka yang mencintaiMu, dan mencintai apa pun yang mendekatkan aku padaMu”. Inilah doa yang diajarkan Rasulullah pada para sahabatnya. Setelah membaca doa ini kita merasa bahwa selain permohonan kepada Tuhan agar kita diberi cinta Tuhan yang Agung, lalu kita pun diajarkan agar mencintai orang-orang yang mencintai Tuhan. Lebih jauh lagi kita diajarkan agar mencintai mahkluk apapun asal dia mendekatkan dan cinta pada Tuhan.
Mengenai cinta Jalaluddin Rumi penyair besar Persia menyebut cinta amatlah suci. Dia mengharapkan cinta datang padanya. Rumi mengharapkan segala-galanya di dunia melebur kedalam cahaya tanpa noda. Dengan metafora yang menarik penyair mengambil perlambang alam berupa daun-daun yang terbakar. Dan gambaran bagian kecil alam yang terbakar itu lebih menarik dan terang dibanding bintang yang tak menyala. Dalam kata-kata Rumi sendiri dalam puisinya “Wahai Cinta” berbunyi, “Wahai cinta, cinta teramat suci, kemarilah, sekarang juga/ jadilah segala-gala dunia melebur ke dalam cahaya tanpa nodamu selamanya/ daun-daun mungil yang terbakar bersamamu lebih terang daripada bintang beku/ jadikan aku hamba sahayamu, nafasmu, intisarimu”.
Jalaluddin Rumi di lahirkan di Balkh, tetapi keluarganya hijrah ke Konya di Rum. Dia menciptakan tarian-tarian mistis yang disebut menyimbolkan revolusi planet-planet yang mengitari Matahari. Hal ini mungkin merupakan permulaan dari cara Darwis-darwis yang menari. Sebuah kumpulan puisinya Matsnawi merupakan antologi puisi mistis yang agung, yang disebut-sebut dikerjakan selama empat puluh tahun.
Bagaimana pula Musliuddin Sa’di penyair Persia yang hidup sezaman dengan Rumi berbicara tentang cinta? Penyair yang dikenal dengan adikarya legendarisnya “Gulistan” itu menulis kisah yang melukiskan realitas cinta. Tutur Sa’di, “Seorang pemuda yang mencintai Tuhan memalingkan mukanya ke padang pasir. Ayahnya yang sedih karena kepergiannya tidak bisa makan ataupun tidur. Seorang sahabat keluarga mencemooh kelakuan anak itu. Yang ditegur cuma menjawab. “Sahabatku menganggapku sebagai milikNya; kini aku tak bisa bersahabat selain dengan Dia. Ketika Ia memperlihatkan Keindahannya padaku, lainnya yang kulihat tampak tak nyata.” Mereka yang mencintai Dia tidak memperdulikan satu pun lainnya; perasaan mereka telah tertutup dan mengembara dalam pemujaan, telinga mereka tuli terhadap segala cemooh.
Sa’di dari Syiraz menulis tak kurang dari 20 buku. Dua diantaranya yang mashur adalah Gulistan (Taman Bunga) dan Bustan. Dalam Gulistan terdapat banyak humor. Pada kisah 22 ditulis oleh Sa’di, “pada suatu malam seorang pertapa makan sepuluh jenis makanan, kemudian melantunkan ayat Al-Quran sampai pagi. Seorang teman yang terkenal saleh ketika mendengar hal tersebut berkomentar, “Akan lebih hebat jika orang itu hanya memakan setengah iris, kemudian tidur sampai pagi”.
Ada sebuah puisi Sa’di dipetik dari Gulistan yang diukir pada batu nisan Na’na Husam Al Din (meninggal 1420 M) pada zaman Kerajaan Pasai. Puisi itu berisi nasihat yang sangat berguna bagi manusia. Penyair menggambarkan bahwa jika melewati kuburan musuh tidak usah merasa sombong, karena sekali waktu ia pun akan mati. Dan ketika telah mati tak ada lagi yang dapat menolong. Yang dapat membantu hanya perbuatan yang baik, dan amal yang kita lakukan selama hidup. Tulis Sa’di, “Mengapakah orang yang menyinggahi bumi ini merasa angkuh/oh sahabat/jika kau lalui makam seorang musuh/janganlah kau bersuka ria/karena hal semacam itu dapat/ menimpa dirimu/wahai yang bercelik mata dengan kesombongan/debu-debu akan memasuki tulang belulang/laksana pupur celak/memasuki kotak penyimpanannya/barang siapa pada hari ini/menyombongkan diri dengan hiasan bajunya/maka esok hari/debu badannya yang terkubur/hanya tinggal menguap/tak ada yang memberi pertolongan kepadanya/kecuali amal saleh”.
Sufi wanita Rabi’ah mengungkapkan kata-katanya terhadap Tuhan dengan bahasa yang dipandang sementara penulis biografi “wanita yang luluh dalam penyatuan dengan Tuhan”. Begitulah nampak ke khasan dan cara Rabi’ah mengekspresikan isi hatinya kepada Tuhan. Rabiah mengharapkan di hari perhitungan nanti kalau dimasukkan ke neraka ia akan mengatakan sebuah rahasia sehingga neraka akan menjauh sampai seribu tahun jauhnya.
Sementara itu Rabi’ah berharap apa saja yang akan diberikan Tuhan kepadanya berikan saja kepada musuh-musuh Tuhan. Dan dalam baris puisinya Rabi’ah mengemukakan bila diakhirat nanti hendak diberi Tuhan kepadanya “berikan saja pada sahabat-sahabatMu”. Dan apa yang diharapkan Rabi’ah dari Tuhan? Kata sufi kelahiran Basrah itu “Cukuplah Engkau bagiku”.
Pada bagian akhir puisi Rabi’ah yang berjudul “Wahai Tuhan” ia menulis baris-baris, “Wahai Tuhan/Jika aku menyembahMu /Karena takut Neraka, bakar aku di Neraka/Jika aku menyembahMu / Karena berharap Surga, tutup gerbangnya bagiku/ Tapi bila aku menyembahMu hanya karena Engkau semata/Maka berkati aku selamanya dengan keagungan WajahMu”.
Tentang Rabi’ah pernah diceritakan, suatu hari ia terlihat membawa api di tangan kanannya dan air ditangan kirinya. Dia berlari dengan sangat cepat. Orang-orang bertanya apa arti perbuatannya ini dan kemana dia akan pergi. Rabi’ah menjawab, “Aku akan menyalakan api di Surga dan menyiramkan air ke Neraka, agar kedua selubung benar-benar terbuka bagi para penziarah. Agar mereka menjadi yakin dan hamba-hamba Tuhan mampu melihat-Nya tanpa harap dan atau pun takut”.
Rabi’ah yang dilahirkan di Basrah mempunyai kisah hidup yang menarik. Ketika masih kanak-kanak dia diculik dan dijual sebagai budak. Kemudian dibebaskan oleh tuannya. Tuannya menyadari bahwa Rabi’ah merupakan salah seorang Pilihan Tuhan. Dia kemudian memilih jalan hidup untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah.
CITRA MANUSIA RESAH DALAM PUISI PENYAIR ACEH
Oleh : L.K.Ara
Sejumlah puisi penyair Aceh yang dimuat dalam berbagai antologi memperlihatkan citra manusia yang resah. Resah terhadap lingkungan, keadilan sosial dan ekonomi. Puisi-puisi yang dimaksud adalah karya penyair, Mohd. Harun al Rasyid, Wiratmadinata dan Din Saja.
Dalam puisi berjudul “Nyanyian Orang Utan” penyair Mohd Harun al Rasyid menceritakan bahwa keadaan wilayah Leuser yang disebut-sebut sebagai paru-paru dunia telah dicincang dan dilibas. Akar-akar pepohonan yang ditebang tangan-tangan jahil dibayangkan penyair “menangis dalam pilu yang panjang”. Penyair resah terhadap lingkungan yang dirusak oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Kata penyair,
Teringat Leuser
Aku bersaksi dengan segala keyakinan
Akar-akar pepohonan menangis dalam pilu yang panjang
Meratapi jasadnya yang dilibas dan dicincang
Lebih jauh penyair memperlihatkan betapa daun dan reranting tak lagi dapat menari dengan riang seperti biasa. Daun hijau dan reranting yang mungil itu telah luluh terhempas “gugur ditinju tangan-tangan kekuasaan”. “Aku persumpah, aku berkata benar”, tulis penyair penuh keyakinan.
Dibait yang lain dibayangkan betapa lebah yang biasanya bernyanyi dengan riang dan berpesta dimusim bunga kini “telah terbang melintas bukit, gunung dan samudra”. Mengapa sang lebah penghasil madu itu pergi? Tak lain “karena warisan leluhurku ditelanjangi, diperkosa”. Puisi ini ditutup dengan penuh harap agar manusia saling menjaga. Kata penyair,
Aku bersumpah, inilah pengakuanku sesungguhnya
Tanpa kemunafikan bersarang di jiwa raga
Tiada kutahu, dapatkah aku berkata benar selanjutnya
Jika warisan leluhurku telah punah semuanya
Wahai manusia
Marilah saling menjaga
Citra manusia yang resah terhadap lingkungan tampil pula dalam puisi penyair Wiratmadinata. “Nyanyian Duka Alam” demikian judul puisinya. Menceritakan alam telah bernyanyi dalam duka. Mengapa bersenandung dalam sedih dan duka? Tiada lain karena daun tempat bergantun telah tiada. Serta hujanpun telah kehilangan akar dan tanah kehilangan air. Kemudian dalam puisi itu penyair membayangkan bumi telah rapuh serta akar dan pohon tak lagi punya daya. Ketika tiba hujan batu-batu diseretnya maka terjadilah bencana. Kata penyair,
Inilah nyanyian duka alam
Karena embun kehilangan daun
Dan hujan kehilangan akar
Lalu tanah kehilangan air
Bumi pun rapuh dibakar matahari
Akar dan pohon kehilangan daya
Hujan yang liar menyeret batu-batu
Dan dunia menyanyikan bencana
Pada bait berikutnya penyair bertanya dengan gundah dan sebagai manusia lemah hanya bisa menangis karena tempatnya bergantung terluka.
Hutan yang satu akan berakhirkah kamu?
Bumi yang satu akan bertahankah kamu?
Kami yang lemah tak kuasa bicara
Kami menangis karena engkau terluka
Pada bagian akhir puisi “Nyanyian Duka Alam” ini penyair nampak memperlihatkan pengakuannya bahwa rumahnya adalah hutan, air dan udara. Dan “juga tanah yang selalu pasrah menerima”. Pertanyaan dan keresahan berikutnya adalah “hingga kapankah kita mampu bertahan/ tanpa berjuang mempertahankan alam”. Dua baris penutup puisi ini memperlihatkan pengakuan manusia yang lemah dan hanya bisa pasrah.
Kami yang lemah tak kuasa bicara
Kami menangis engkau terluka
Penyair Din Saja dalam puisinya “Rumah Yang Hilang” memperlihatkan manusia yang resah terhadap keadilan social. Dalam gaya bertanya penyair menyatakan ingin tidur bersama orang tertindas. Mengapa? Jawabnya karena kejujuran ada pada orang-orang tertindas. Penyair juga ingin bermain bersama orang-orang dipinggir jalan seperti penyapu sampah. Mengapa? Karena pada orang-orang demikianlah terdapat hal-hal yang bersih. Kata penyair,
Tahukah, aku ingin tidur
Di emperan bersama orang-orang tertindas
Karena, kejujuran ada disitu
Tahukah, aku ingin bermain
Bersama penyapu sampah
Karena, ada bersih disitu
Puisi yang menampilkan citra manusia yang resah terhadap keadilan sosial ini ditutup dengan bait yang menegaskan aku lirik berpihak pada orang-orang yang jujur dan adil. Meski sebuah pertanyaan tetap menggelantung.
Tahukah, aku ingin hidup
Dialam nyata bersama orang-orang jujur dan adil
Karena, kehidupan kulihat disitu
Tapi di mana ?
CITRA MANUSIA RESAH DALAM PUISI SUHAIMI SULAIMAN
Oleh L.K.Ara
Sejumlah puisi penyair Suhaimi Sulaiman yang dimuat dalam antologi “Kelekak” memperlihatkan citra manusia yang resah. Resah terhadap lingkungan, keadilan sosial dan ekonomi. Puisi-puisi yang dimaksud adalah “Bukit Menumbing”, “Bila Kepedulian Telah Pergi”, “Gerimis Diatas Sungai Rangkui”, “Bukit Betung”, dan “Pulau ini Bukan Lagi Milik Kita”.
Dalam puisi “Bukit Menumbing” penyair membayangkan bukit perawan yang ditumbuhi pohon-pohon pelawan yang selalu disaput kabut itu pun kini mulai dirambah mesin sinso. Penyair yang sadar Bukit Menumbing punya nilai sejarah penting dimana dulu pernah menjadi tempat bermukim Presiden RI Soekarno dan Wkl Presiden M.Hatta kini diabaikan bahkan dirusak. Kata penyair, “Gemuruh mesin-mesin sinso/merambah hutan perawan/mereka menenggelamkan sejarah/yang pernah diukir seorang pahlawan”.
Didalam puisi berjudul “Gerimis di Atas Sungai Rangkui” penyair juga melukiskan kenangan lama betapa sungai Rangkui yang indah jernih dan bening mengalir tenang ditengah kota. Tapi kini ketika pulang dari rantau bulan yang dulu indah kini berwarna merah. “Mengantar wajahmu yang keruh-meruh/mengalir membawa seribu duka”. Sungai Rangkui dilukiskan ketika malam semakin tenggelam, airnya semakin hitam dan merintih karena dihimpit sampah. Lalu nampak pemandangan yang sayu seperti yang dilukiskan penyair,
Gerimis mulai turun
Titik-titiknya hilang ditelan keruh
Aku masih merindukan beningmu
Biar mengaca wajah ku yang telah
Mulai dijarah ketuaan
Kisah sedih dilukiskan pula oleh penyair dalam sajak “Bukit Betung”. Bukit ini sebenarnya bernilai sejarah karena pernah digunakan para pejuang untuk bergerilya. Di bukit ini dapat dirasakan belaian angin lembut laut Matras dan dari sini pula dapat menyaksikan keindahan kota Sungailiat, ibukota Kabupaten Bangka. Pohon-pohon di Bukit Betung sangatlah rindang. Menyaksikan pucuknya seperti menggapai awan indah nian. Lebih-lebih bila saat itu terdengar lagu anak-anak Melayu diiringi musik gambus. Tapi kini bagaimana nasib Bukit Betung?
Sekarang bukit betung
Telah buntung
Seperti pejuang yang malang
Terkubur tanpa tanda berkabung
Dibantai penjarah
Hanya untuk seorang penghianat
Citra manusia yang resah semakin jelas dalam puisi berikut ini. Bila ada yang bertanya masihkah kita peduli pada lingkungan? Hal itu dijawab oleh penyair Suhaimi Sulaiman dalam puisinya “Bila KepeduliaanTelah Pergi”. Dalam puisi ini penyair melukiskan betapa orang tak peduli lagi pada lingkungan. Tanah kelahiran yang seharusnya dijaga dirawat dilestarikan kini malah seperti dibiarkan dijarah. Hasil alam dan bumi diambil tak perduli meski bumi terlantar dan rusak. Kata penyair, “Hanya meninggalkan sisa-sisa penjarahan/karena tidak lagi/memberi harapan”. Dibayangkan pula oleh penyair selain tak ada lagi kepedulian juga karena tidak punya daya melawan penjarah. Lalu apa yang akan terjadi?
Maka punahlah
Segala harapan dan kerinduan
Pulau-pulau ini
Akan jadi padang duka
Kepedulian seharusnya menjadi milik kita yang punya akal sehat dan hati nurani. Tetapi bila kepedulian telah pergi dari kita dan telah menjadi milik orang lain maka “segera ucapkan selamat tinggal”. Kemudian penyair bersenandung sedih,
Pulau ku malang
Tubuh mu telanjang
Derita bertubi datang
Kalau kau menghilang
Aku tak akan pulang
Citra manusia yang resah terhadap lingkungan lebih parah diperlihatkan penyair dalam puisi “Pulau Ini Bukan Lagi Milik Kita”.
Dilukiskan dengan kata-kata singkat seperti memahat pada batu ketegasan yang pasti dengan ketetapan hati. “Pulau ini/ Bukan lagi /Milik kita/Karena cuma/Lahir dan menderita/Menggantung harapan/Tak kunjung tiba/Menunggu masa depan”. Sambil menyindir sang penguasa yang hati nuraninya telah luluh.
Luluhnya nurani
Sang penguasa
Namun demikian penyair menyadari bahwa mereka bersama masyarakat tak punya daya. Hanya punya mata memandang ke langit serta tangan menggapai yang dapat “menjadi saksi/pembantain”. Penyair percaya usaha menolong keadaan ini akan sia-sia. “Berteriaklah/Kalau kau masih mampu/Namun yang keluar/Bukan pekik harapan/Hanya suara sumbang/Tertawaan banyak orang”.
Maka penyair seperti telah punya ketetapan hati memahat kata-kata dalam sejarah. Yang menyebut bahwa pulau bukan milik kita lagi. Karena daratan, laut, bukit, lembah, sungai, tanjung dan teluk sudah tergadai terjual. Bahkan yang paling menyedihkan dan meresahkan,
Perempuan-perempuan
Kehormatan
Telah terjual
Telah tergadai
Pangkalpinang, Maret 2005
CHIK PANTEE GEULIMA DAN CHIK PANTEE KULU DUA PENYAIR HIKAYAT DARI ACEH
Oleh : L.K.Ara
Di dalam sejarah kesusastraan Aceh tercatat sejumlah nama penyair menulis hikayat. Diantaranya Chik Pantee Geulima yang antara lain menghasilkan karya ‘Hikayat Malem Dagang’ dan Chik Pantee Kulu menulis ‘Hikayat Perang Sabil’ yang terkenal itu.
Hikayat Maleem Dagang dimulai dengan susunan kalimat sebagai berikut (terjemahan): Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah segala puji, semua kembali kepada Rabbana. Setelah puji kepada Tuhan, selawat, tuan, untuk Saidina. Setelah selawat atas Muhammad, keluarga dan sahabat, mahajirn, ansarn. Kuminta tolong kepada Allah, semoga lancarlah saya mencipta.
Setelah mengharapkan pertolongan Allah, agar lancar menulis, maka Teungku Chik Pantee Geulima sebagai pengarang Hikayat Maleem Dagang dapat menyusun ceritanya hingga 2695 baris. Suatu karya sastra yang tergolong panjang.
Hikayat Maleem Dagang merupakan ungkapan kisah yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (l607-l636 M). Tak hanya itu, tapi juga Hikayat Malem Dagang digolongkan orang pada hasil karya sastra yang bermutu tinggi. Ini melihat bahasa yang digunakan cukup indah, dan pelukisannya sangat tajam. Dialog-dialognya pun mengasikkan. Mari kita ikuti petikannya (terjemahan):
Kembali dari Banang menjumpai putri,
dibawa kemari bersama raja
Tuan Putroe Phang dan Raja Raden,
Tiada yang lain Paduka Meukuta
Kalau begitu wahai Bujang,
baliklah sekarang ke bahtera
Suruh masuk Kuja Bantan,
sekalian dengan Anda
Ketika mendengar demikian sabda
berjalan segera menghadap panglima
Begitu bertemu disampaikan
Baginda panggil kini Anda
Anda disuruh masuk ke Dalam
Syah Alam suruh bersegera
Tengku Chik Pantee Geulima lahir tahun th l839 di Kampung Pantee Geulima. Pernah belajar pada pusat pendidikan Islam, Dayah Pantee Geulima yang dipimpin ayahnya sendiri Teungku Chik Ya'kub. Selain itu Chik Pantee Geulima pernah juga mengikuti pendidikan militer pada pusat aksar Aceh yang bernama Makhad Baital Makdis.
Hikayat Maleem Dagang selesai diciptakan pada 8 Jumadil Awal l309 H (l889 M). Pada waktu itu Perang Sabil di Aceh sedang berkecamuk. Bila kita membaca Hikayat Maleem Dagang ada sejumlah tokoh yang dapat kita temukan. Tokoh utamanya adalah, Iskandar Muda. Beliau memimpin Armada Cakra Donya ke Melaka. Putri Pahang, permaisuri Sultan Iskandar Muda, seorang putri dari istana Pahang. Raja Raden, saudara Raja Si Ujud, sahabat Iskandar Muda.
Raja Si Ujud yang membuat onar di Aceh. Ja Pakeh seorang ulama yang mendapat pendidikan militer di Turki, ahli strategi, penasehat Iskandar Muda. Maleem Dagang seorang Laksamana muda, diangkat menjadi Panglima Armada Cakra Donya. Panglima Pidie seorang perwira menjadi staf Panglima Armada Cakra Donya. Lakon sebagian tokoh-tokoh tersebut nampak pada cuplikan Hikayat Maleem Dagang berikut ini:
Raja Raden dengan Putroe Phang
katakan sekarang kudengar nyata
Memang Tuanku sudah kemari
tuan putri bersama raja
Di manakah disimpan tuan putri
bawa ke mari kulihat rupa
Pergilah jemput Tuan Putroe Phang
bawa ke Dalam bersama raja
Panglima pergi menjemput putri
bersama-sama dengan raja
Tuan putri masuk ke Dalam
menghadap junjungan mahkota dunia
Inilah Tuanku, tuan putri
Keduanya dilayani selaku raja
Dengarlah wahai Tuan Putri
naiklah ke mari kedua Anda
( Imran Teuku Abdullah, 'Hikayat Meukuta
Alam', Disertasi UGM th l988, Intermasa
Jakarta, hal. 3l9-321)
Hikayat Malem Dagang ditulis Teungku Chik Pantee Geulima sebagai karya yang bernafas perang. Sedikit banyak ini sesuai dengan pengalaman pengarang sendiri pada waktu itu. Di Aceh pada waktu itu sedang berkecamuk perang. Teungku Chik Pantee Geulima ikut mendidik dan melatih pemuda-pemudi Aceh untuk menjadi askar. Maka di Dayah Pantee Geulima pun telah menjelma menjadi salah satu pusat pendidikan askar di kawasan Pidie.
Akhir hidup pengarang Teungku Chik Pantee Geulima dicatat sebagai pahlawan Kuta Bate Iliek, beliau gugur dalam satu pertempuran sengit di Bate Iliek. Beliau syahid pada hari jum'at pada tahun l904 M, dalam usia 66 tahun. Di makamkan di Gampong Meurandeh Alue, Kecamatan Banda Dua.
CHIK PANTEE KULU
Tgk Chik Pante Kulu dikenal sebagai pengarang Hikayat Perang Sabi. Dia dilahirkan tahun l25l H (l836 M) di desa Pante Kulu, Kemukiman Titeue, Kecamatan Kemalawati, Kabupaten Pidie, Aceh. Nama lengkapnya Tgk Chik Haji Muhammad Pante Kulu. Mula-mula ia belajar Al Quran dan ilmu-ilmu agama Islam dalam bahasa Melayu (Jawi). Kemudian melanjutkan pelajarannya pada 'Dayah Tiro' yang dipimpin Tgk Haji Chik Muhammad Amin Dayah Cut, seorang ulama Tiro yang kebetulan baru pulang menunaikan ibadah haji di Mekkah.
Chik Pante Kulu pernah belajar di Mekkah. Puisi 'Hikayat Perang Sabil' ditulisnya dalam perjalanan Mekkah-Aceh. Dia menulis dengan kalam dalam tuisan Arab berbahasa Aceh. Hikayat Perang Sabil terdiri dari 4 kisah yakni, kisah Ainul Mardijah, kisah Pasukan Gajah, kisah Sa'id Salmy dan kisah Budak Mati Hidup Kembali.
Pada kisah Ainul Mardijah dilukiskan mimpi seorang pemuda sedang dalam perjalanan kemedan perang. Dalam mimpi itu dilukiskan dia memasuki taman sorga dengan sungai yang berair jernih. Didalam sungai itu dara-dara jelita sedang mandi. Seorang dara tercantik sebagai ratunya bernama Ainul Mardijah. Dara-dara itu diperuntukkan bagi orang-orang yang mati syahid dalam Perang Sabil. Mari kita dengar percakapan antara pemuda dengan dara-dara sorga itu, (terjemahan):
'Assalamualaikum, dara pilihan
dimana gerangan tunangan hamba?
Ainul Mardijah puteri rupawan
Ditempat mana dia bertakhta?
'Alaikumsalam, kekasih Allah
Alhamdulillah tuan kemari
Ziarah tunangan Ainul Mardijah
Hadiah Allah Ilahi Rabbi
Berbahagialah tuan pahlawan kami
Rasalah pahala wahai mahkota
Hadiah jihad mujahid berani
Puteri menanti dalam sorga
Mari pahlawan mujahid budiman
Gegas berjalan sebentar lagi
Nun disana didalam taman
Tuan puteri rindu menanti
Apalah arti kami ini
Dayang pelayan gaharu tuanku
Pergi oh, tuan lekas pergi
Disana tunangan memendam rindu'
Hikayat Perang Sabil merupakan karya besar dari penyair Chik Pante Kulu. Sebagai sastra perang, ketika itu dibaca secara luas di Aceh. Dan sebagai akibat setelah membaca puisi itu, orang orang turun kegelanggang untuk berperang. Pernah terjadi setelah mendengar hikayat Perang Sabil didendangkan pada malam hari, besoknya dua orang pemuda membawa rencong turun ke jalan lalu menikam tentara Belanda. Karena itulah Belanda melarang menyimpan buku Hikayat Perang Sabil. Pada masa itu bila ditemukan orang menyimpan buku puisi Perang Sabil, pihak Belanda akan menangkap dan menghukumnya.
Pada bagian lain Hikayat Perang Sabil dapat pula kita nikmati keindahan ungkapan dan isi yang padat dengan unsur ke Tuhanan. Mari kita ikuti petikannya dibawah ini (terjemahan),
Dan jiwamu...dengar kukatakan maknanya kini
Pemberian Tuhan Rabbul Alamin,
pada orang mukmin jalan sejahtera
Lepas dari azab hari kemudian,
diberikan Tuhan kelak surga
Jannatul Adnin Tuhan namakan,
nikmat nian tiada terkira
Apa yang tergerak dalam hati,
segera nyata ke situ tiba
Karunia Khalik Rabbul Jalil,
yang berperang sabil sangat mulia
Bidadari tujuh puluh orang,
khadam sekalian muda-muda
Begitu firman Rabbul Jalil,
jangan diam lagi wahai saudara
Berangkatlah teungku memerangi kafir,
jangan sayangi akan harta
Seluruh harta anda wahai taulan,
dengan kekayaan Nabi Sulaiman secuil tiada
Apakah yang mendorong penyair Chik Pante Kulu menulis Hikayat Perang Sabil? Mungkin karena selama di Mekah ia mengetahui bahwa Snock Horgaranye, seorang Belanda yang belajar agama Islam disana akan dikirim ke Aceh. Snock sebagai ahli agama Islam diperkirakan Belanda akan banyak membantu untuk mengalahkan Aceh.
Sementara itu Chik Pante Kulu selama di Mekah tentu sudah akrab dengan hasil-hasil karya penyair Arab. Terutama penyair dizaman Nabi Muhammad S.A.W. seperti, Hassan bin Tsabit. Maka lahirlah puisi panjang yang bertema perang yakni Hikayat Perang Sabil. Walaupun Chik Pante Kulu telah melahirkan puisi yang dapat menggerakkan orang untuk pergi berperang, namun karyanya belum banyak dibicarakan para kritikus. Bahkan sebagai sastrawan besar yang puisinya dapat mendorong semangat perang yang bertahan selama sekitar 35 tahun mungkin agak aneh bila kita tidak menemukan nama penyair Chik Pante Kulu dalam buku sejarah kesustraan Indonesia.
HIKAYAT NABI MUHAMMAD DALAM SASTRA MELAYU
Oleh : L.K.Ara
Kisah tentang Nabi Muhammad terdapat di Kepulauan Melayu. Kisah itu telah tersebar secara luas sehingga ia dikenal disegenap penjuru. Cerita-cerita dengan tema Nabi itu dapat kita lihat lewat bahasa Melayu dalam bentuk sastra yang disebut hikayat. Dapat juga ditemukan penyadur¬an kisah-kisah tentang Nabi Muhammad itu di dalam bahasa daerah Jawa, Aceh, Sunda, Bugis dan lain-lain. Umumnya didalam hikayat yang berkisah tentang Nabi, menjelaskan kelahiran Nabi Muhammad, tugasnya sebagai Nabi, perjuangan beliau dimedan perang, hari-hari terakhir Nabi hingga saat kewafatannya.
Didalam sastra Melayu klasik kita akan berjumpa dengan sejumlah hikayat tentang kelahiran Nabi Muhammad. Hikayat itu misalnya, 'Hikayat Nur Muhammad', 'Hikayat Kejadian Nur Muhammad', 'Cerita Nabi Lahir', 'Hikayat Khatim al-Nabi' dan 'Hikayat Kejadian Baginda Rasulullah'. Dari manakah jenis cerita ini berasal sehingga masuk keda¬lam sastra Melayu? Konon ada yang berpendapat cerita yang bertema tentang Nabi ini berasal dari Parsia.
Menurut R.O.Winsted, salah sebuah versi daripada hikayat tentang kelahiran Nabi yang berjudul 'Hikayat Nur Muhammad', ditulis di Jakarta tahun l668 M telah disalin kembali oleh Ahmad Syam al-Din untuk Sultan Taj al-Alam Safiyyat al-Din seorang Sultan Aceh. Versi ini juga berju¬dul 'Tarikh Mukhtasar' (Ringkasan Sejarah), yaitu sebuah terjemahan dari bahasa Parsi yang berjudul 'Rawdat al-Ahbab'.(Ismail Hamid, Asas Kesusasteraan Islam, Dewan Bahasa dan Pustaka, KL, l990).
Sumber lain pada M.A. Muqtadir yang telah membuat ringkasan manuskrip Arab dan Parsi di Perpustakaan Awam Bankipore. Disana dijelaskan bahwa terdapat sebuah karangan Parsi yang telah membicarakan secara rinci tentang Nur Muhammad dan kelahiran Nabi Muhammad. Karangan yang dimak¬sud adalah 'Tarjumah Mawlid l-Mustafa'. Kisah yang menceritakan mengenai penyebaran Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad dan mukjizatnya telah ditulis dalam sastra hikayat Melayu bercorak Islam. Beberapa dia¬ntaranya berjudul 'Hikayat Peri Menyatakan Mu'jizat Nabi' dan ' Hikayat Bulan Berbelah Dua.' Judul-judul lainnya yang mempunyai kisah yang sama adalah, 'Hikayat Tatkala Bulan Berbelah Dua', 'Hikayat Mu'jizat Rasulullah Memanggil Bulan' dan lain-lain.
Di dalam gudang sastra klasik Melayu dapat pula dite¬mukan sejumlah cerita yang menceritakan Nabi mengajar anak perempuannya Fatimah tentang agama Islam. Sebuah contoh yang menggambarkan itu adalah cerita berjudul 'Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah'. Di dalam hikayat itu dicerita¬kan, Nabi Muhammad mengajar anaknya, Fatimah menurut perin¬tah dan tertib hukum perempuan kepada suaminya. Bila seor¬ang perempuan mengetahui tata tertib melayani suaminya, ia akan memperoleh pahala yang sangat besar dan tak ternilai. Tetapi sebaliknya, bila seorang perempuan tidak mau melaya¬ni suaminya sebagaimana mestinya ia akan mendapat hukuman.
Dan apabila ia berbuat zina, maka api nerakalah tempatnya kelak. Sebelum suaminya memberi ampun kepada isteri yang berdosa itu, Allah Ta'ala pun tidak akan mengampuni dosa-dosannya.
TERTIB MEMERINTAH
Untuk lebih mendekatkan kita kepada hikayat tadi, bersama ini kita kutip petikannya (transliterasi), "Bismillahir-Rahmanir-Rahimi. Tiga puluh lima orang lagi bani Allah itu ber-ruh lagi ruh al-kudus lagi ruh api, maka nabi Allah itulah tempat sabda, hak Subhanu wa Ta'a¬¨la, tempat ia masukkan sir dan nur zatnya dan alam sekalian ini. Wa bihi nasta'inu bil-Lahi 'ala; ini hikayat segala Rasululah sallal-Lahu alayhi wassalam mengajar Fatimah Al-zalirah penghulu sekalian perempuan dalam dunia ini dan Rasulullah itu penghulu sekalian nabi yang seketika dan laksana tiga ribu tiga ratus". Bagian awal ini dilanjut¬kan dengan bagian-bagian berikutnya, yang langsung mencer¬itakan Nabi mengajar Fatimah, petikannya, '...maka adalah tatkala Rasulullah mengajar Fatimah, 'Aku ajar engkau menurut perintah dan tertib hukum perempuan kepada suamin¬ya'. Maka sahut Fatimah, 'Ya ayahanda, hamba ini belum tahu perintah orang bersuami, suami itu banyak dosanya'. Maka Rasulullah berkata, 'Hai anakku, buah hatiku, biji mataku. Jikalau tahu perempuan itu tertib memerintah suaminya, lagi sangat besar pahalanya seperti bintang di langit dan dapat dibilang maka pahala perempuan yang halal nikah dengan suaminya tiada dapat dibilang dimikianlah pahalan¬ya dan demikian lagi dosanya tiada dibilang lagi jikalau suaminya tidak mengampunkan segala dosanya perempuan itu belum boleh diampuni Allah Ta'ala meski aku dengan engkau sekali pun demikianlah dosanya sangat besar dosa segala perempuan kepada suaminya".
Maka sembah Fatimah, " Ya tuanku bagaimanakah rupanya kebaktian perempuan kepada suaminya terlebih besar pahalan¬ya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan bagaimanakah rupanya besar dosanya perempuan itu kepada suaminya". Maka sabda Rasulullah, "Hai anakku Fatimah sepuluh perkara namanya segala kebajikan yang dibuat oleh segala perempuan kepada suaminya yang terlebih besar pahalanya dan sepuluh perkara jua nama-nama segala kejahatan yang diper¬buat segala perempuan kepada suaminya yang tiada boleh diampuni Allah Ta'ala dan tiada boleh aku memberi safaat kepadanya melainkan sudah perempuan itu meminta dan diampu¬ni suaminya jikalau belum diampuni oleh suaminya, maka akulah yang mengampuni perempuan itu ....."
Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, menurut Ismail Hamid, berasal dari sebuah cerita Arab. Versi bahasa Arabn¬ya kini disimpan di Berlin berjudul 'Fasl fi Wassiyah al-Nabi li Ibnatihi Fatimah al-Zahra. Sedang petikan diatas dikutip dari buku 'Sastra Indonesia Lama Pengaruh Islam' (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dep.P dan K, Jkt, l984). Dalam buku itu juga disebutkan bahwa Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah (HNMAF) terdiri dari 3 bagian, yakni HNMAF I, HNMAF II dan HNMAF III. Didalam Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah II, yang terdiri dari l47 halaman dan berisi 7 cerita, berangka tahun l872. Dan judulnya 'Hikayat Bibi Fatimah'. Ketujuh cerita yang terdapat dalam naskah itu adalah sebagai berikut, Cerita Abu Khatab Men¬gerjakan Hukum Allah, Cerita Nabi Muhammad, Cerita Orang yang Hendak Bersuami, Cerita Nabi Mengajar Anaknya Fati¬mah, Cerita Fartana Islam, Cerita Nabi Bercukur, Cerita Nur Muhammad dan Cerita Sultan Jumjumah.
ORANG MISKIN
Selain Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, dalam sastra Melayu masih ada hikayat lain yang menerangkan bahwa Nabi mengajar seorang wanita bernama Putri Salamah atau Fartana Islam yang berhubungan dengan dengan tanggung jawab wanita Islam. Sejumlah cerita lainnya yang mengisahkan tentang Nabi Muhammad juga dapat ditemui didalam sastra Melayu klasik seperti, 'Hikayat Nabi dengan Orang Miskin' dan 'Hikayat Iblis dan Nabi'.
Menurut katalogus van Ronkel (l909) pada halaman 228 dan katalogus Koleksi Naskah Melayu (l972) halaman l77 terdapat 2 buah naskah Hikayat Nabi Mengajar Ali. Catatan pada naskah yang ditulis dengan Arab-Melayu itu terdiri dari 28l halaman terdiri dari 9 cerita. Tapi judul aslinya Hikayat Nabi Mengajar Ali. Kesembilan cerita yang ada dalam naskah itu sebagai berikut, Cerita Nabi Wafat, Cerita Iblis dan Nabi, Cerita Nabi Mengajar Ali, Cerita Fartana Islam, Cerita Darma Tasyiah, Cerita Tamin ad-Dari, Cerita Sultan Ibrahim ibn Adham, dan Cerita Nabi Adham.
Didalam Hikayat Nabi Mengajar Ali di gambarkan bagai¬mana Nabi Muhammad mengajar sayidina Ali. Manusia itu harus sabar ketika marah dan merendahkan diri kepada sesama manusia. Diajarkan pula oleh Nabi Muhammad bahwa kita hendaklah mengambil seseorang menjadi sahabat. Kita harus¬lah mencari orang yang mengasihi kita. Juga dalam Hikayat itu dijelaskan Nabi menasihati Ali tentang lima perkara yang menerangkan hati manusia dan lima perkara yang membuat mati hati manusia. Apakah yang menerangkan hati manusia? Ialah, duduk dengan pendeta, menyapu kepala anak yatim, mengucapkan astagfirullah, membaca surat Ikhlas pada waktu subuh dan berpuasa enam hari dalam bulan sawal.
Dan apakah yang menyebabkan mati hati manusia? Yakni, makan kenyang, banyak tidur, banyak berzina, makan makanan haram, dan banyak berkata yang tidak bermanfaat. Didalam Hikayat itu juga diungkapkan mengenai hari-hari yang dia¬nggap baik dalam mendirikan rumah, makan obat, untuk nikah, meminta doa agar dikabulkan oleh Tuhan. Dalam Hikayat juga dipaparkan ketika Allah mendirikan surga bagi orang yang murah hati dan beriman kepadaNya. Tentang mereka yang diperuntukkan bagi orang kikir dan loba, orang dusta dan dengki serta munafik.
Hal penting lainnya dapat ditemukan dalam Hikayat Nabi Mengajar Ali ini adalah sepuluh petunjuk, antara lain, tentang malakal-maut, kubur kita, Munkar dan Nakir, timban¬gan, siratal-mustaqim, masuk neraka, hisab dan kitab, mengenai Nabi Muhammad, siapa yang akan masuk surga dan tentang hadirat Allah Ta'ala.
Dalam bahasa aslinya yang khas, bersama ini kita petik Hikayat Nabi Mengajar Ali (transliterasi). "Bermula anakku Ali, lima perkara menerang mata hati manusia. Pertama melihat ka'batul-lah, kedua melihat Qur'an, ketiga melihat ¨ muka ibu dan bapa, keempat warna hijau, kelima melihat pada air yang meleleh. Bermula ya Ali, lima perkara membuat akan mati hati manusia. Pertama makan kenyang, kedua banyak tidur, ketiga banyak zina, keempat makan haram, kelima banyak berkata-kata yang tiada bermanfaat."
Dalam Hikayat Nabi Wafat dikisahkan, bagaimana Nabi akan wafat. Suatu peristiwa yang sangat penting dalam sejarah kehidupan Nabi. Disana diceritakan ketika Malaikat Maut dan Malaikat Jibrail datang kepada Nabi atas perintah Tuhan memberi tahu bahwa Tuhan telah memerintahkan Malaikat Maut mengambil nyawa Nabi karena Allah merindukan kedatan¬gan roh Nabi. Mengetahui hal itu Nabi merasa sedih, mengin¬gat bagaimana nanti sepeninggalnya kalau-kalau umatnya tersesat dari perintah Allah.
Inilah petikan hikayat itu : Maka sabda Jibrail alayhi 's-salam, 'Ya Rasulullah, inilah yang bernama Malaikat Maut'. Maka sabda Rasulullah kepada Malaikat Maut, 'Hai, Malaikat Maut, apakah pekerjaan Tuan hamba ke bumi ini? Hendak melihat rupa-rupa Tuanhamba atau hendak mengambil nyawa Tuan hamba turun ke bumi ini? Maka kata Jibrail alayhi s-salam, 'Ya Rasulullah , karena firman Allah Taala menitahkan Malaikat Maut turun ke bumi ini'. Maka berkata Malaikat Maut, 'Karena hamba hendak mengambil nyawa Tuan hamba karena Allah Subhannahu wa Taala amat kasih dan amat berahikan nyawa Tuan hamba'. (Edwar Djamaris dkk, 'Antologi Sastra Indonesia Lama Pengaruh Islam', Dep. P dan K, Jkt, l985).
KEADILAN DALAM HIKAYAT ACEH
Oleh : L.K.Ara
KETIDAKADILAN pernah mendorong rakyat Aceh untuk tidak bersetuju terhadap sikap pemerintah pusat. Ketidakdilan pusat begantung sekian lama melukai hati dan perasaan. Ketidakadilan dalam ekonomi, pelanggaran HAM yang sudah diperlihatkan faktanya pun juga belum diadili.
Kata “adil” adalah simbol perlakuan; tidak sewenang-wenang. Dalam cerita rakyat Aceh perihal keadilan ini dapat ditemukan dalam ’Hikayat Puteri Jambul Emas‘ (Hikayat Putroe Gumbak Meuh) dan ’Hikayat Nun Parisi‘. Dikisahkan tentang Raja Hamsoikasa mempunyai tiga orang permaisuri (Rakna Dewi, Keucani Ansari dan Syah Keubandi). Permasuri pertama dan kedua, tidak mempunyai anak. Ternyata keduanya mandul. Maka ketika permaisuri ketiga Syah Keubandi hamil, Raja Hamsoikasa bersukacita.
Suatu hari Syah Keubandi meminta kepada Raja agar dapat dicarikan daging rusa. Raja Hamsoikasa pun pergi berburu ke hutan. Dalam perjalanan raja pergi berburu Syah Keubandi melahirkan. Dia hanya didampingi Rakna Dewi dan Keucani Ansari. Karena iri dan dengki terhadap Syah Keubandi, kedua isteri raja itu bermaksud membunuh bayi raja dengan memasukkan ke peti dan melemparkannya ke sungai. Keluarga raksasa menemukan bayi itu. Lalu dibawa pulang dan dipelihara sebagai anak sendiri.
Dua puluh tahun kemudia, bayi raja telah menjadi gadis diberi nama Putri Jambul Emas. Kecantikan putri telah mashur ke seluruh negeri. Raja Hamsoikasa mendengar pula. Lalu Raja melamar dan diterima. Ketika akan melakukan akad nikah, Putri Jambul Emas minta waktu untuk bercerita. Dalam cerita itulah terbongkar rahasia bahwa Puteri Jambul Emas ternyata puteri Raja Hamsoikasa. Maka terbongkarlah rahasia pelaku perbuatan keji permaisuri Rakna Dewi dan Keucani Ansari. Mengetahui hal itu Raja Hamsoikasa tanpa pandang bulu menjatuhkan hukuman. Kedua permaisuri dipenjara sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Raja Hamsoikasa telah berlaku adil.
Itu penggalan Hikayat Jambul Emas setebal 3729 bait ini dikisahkan untuk pelipur lara. Ahli cerita biasanya menyampaikannya kepada anak-anak menjelang tidur. Hikayat yang mengasyikkan itu kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari anggota masyarakat sebagai pendengar. Tema keadilan dalam Hikayat ini juga telah menjadi bagian dari pengalaman batin masyarakat Aceh. Dapat difahami bila keadilan diabaikan orang Aceh merasa dipermainkan. Lebih-lebih bila ketidak-adilan berlaku di kampung mereka sendiri. Bahkan di depan mata mereka sendiri telah terjadi penindasan, perkosaan, pembunuhan sedang pelakunya belum diambil tindakan. Sebagai tindak lanjut mereka melakukan perlawanan untuk menuntut keadilan. Rasa adil ditemukan pula dalam Hikayat Nun Parisi. Dilukiskan Sultan Sarah pada Kerajaan Syamtalira yang merupakan bagian Kerajaan Islam Samudera Pase, (sekarang termasuk wilayah kabupaten Aceh Utara) berlaku sangat adil.
Nun Parisi adalah Putera Mahkota sebagai tokoh utama. Lizan dan Ariyan merupakan putera-putera Perdana Menteri. Serta Said Buriyan sebagai Putera Hulubalang. Disini diperlihatkan Lizan dan Ariyan sebagai lambang kebenaran dan Said Buriyan sebagai lambang kejahatan. Nun Parisi yang bertunangan dengan Puteri Ain Sibayan dalam menegakkan kebenaran dibantu Lizan dan Ariyan. Sedang Puteri Ain Sibayan dibantu oleh Said Buriyan dalam menegakkan kejahatan. Siapa yang menang. Akhirnya menang kebenaran.
Akan ihwal adil Sultan Sarah dilukiskan dalam Hikayat Nun Parisi dalam bait-bait berikut ini. Hareuto adee sabee timbangan/Nibak hukooman pegang neuraca Waleepun namiet hamba teuboohsan/ Beuthat sulootan nyang sukee raja.
(Arti adil sama timbangan/ Dalam sengketa pegang neraca Sekalipun hamba budak belian/ Ataupun Sultan turunan raja).
Nyang ka patoot brat h‘anjeued ringan/ Hukoom Qeuruan Hadih Saidina Ngon qieh eejeumaq teungoh pakatan/beuna salahan h‘anjeued meutuka. (Yang berat takkan ringan/ Hukum Quran Hadis Nabi Tambah kias bulat pakatan/ Benar dan salah terpisah pasti).
Sultan Sarah sebagai pemimpin di kerajaan Syamtalira bukan hanya menegakkan keadilan, tetapi ia seorang Sultan yang taqwa. Tak heran karena kerajaan Syamtalira yang merupakan bagian dari kerajaan Samudera Pase pada saat itu sudah menganut agama Islam. Rasa keadilan dalam Islam seperti termaksud dalam Quran telah menjadi anutan mereka. “Berlakulah adil. Itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Allah Tahu benar apa yang kamu kerjakan”. (5:8). Ketaqwaan Sultan Syamtalira dalam Hikayat Nun Parisi dituliskan sebagai berikut. Makna taqwa ibadat sunggooh/ Hatee tawajooh ke Tuhan Asa Jibeudoh cahya bantrang seumeulhooh/ Peugeuh ujiooh tangloong peulita. (Arti taqwa rajin ibadah/ Hati tawajuh ingatkan Yang Esa Benderang cahaya laksana kilat/ Menyinar jauh tanglung pelita). Nyaqni neupeubut pakri surooh/ Anggeeta tujooh leumah keutanda Nibak buet teugah neuboh ujiooh/ Hareum dan meukrooh h‘antom neuhawa‘. (Yakni berbuat menurut suruh/ Anggota tujuh jadi pertanda Perbuatan mungkar dibuang jauh/ Haram dan makruh suka tiada).
Raja Hamsoikasa dan Sultan Sarah merupakan pemimpin yang adil. Masyarakat Aceh dan kita semua memimpikan pemimpin yang adil dan taqwa.
SULTAN TURUNAN RAJA
Nyang ka patoot brat h‘anjeued ringan/ Hukoom Qeuruan Hadih Saidina Ngon qieh eejeumaq teungoh pakatan/beuna salahan h‘anjeued meutuka. (Yang berat takkan ringan/ Hukum Quran Hadis Nabi Tambah kias bulat pakatan/ Benar dan salah terpisah pasti).
Sultan Sarah sebagai pemimpin di kerajaan Syamtalira bukan hanya menegakkan keadilan, tetapi ia seorang Sultan yang taqwa. Tak heran karena kerajaan Syamtalira yang merupakan bagian dari kerajaan Samudera Pase pada saat itu sudah menganut agama Islam. Rasa keadilan dalam Islam seperti termaksud dalam Quran telah menjadi anutan mereka. “Berlakulah adil. Itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Allah Tahu benar apa yang kamu kerjakan”. (5:8). Ketaqwaan Sultan Syamtalira dalam Hikayat Nun Parisi dituliskan sebagai berikut. Makna taqwa ibadat sunggooh/ Hatee tawajooh ke Tuhan Asa Jibeudoh cahya bantrang seumeulhooh/ Peugeuh ujiooh tangloong peulita. (Arti taqwa rajin ibadah/ Hati tawajuh ingatkan Yang Esa Benderang cahaya laksana kilat/ Menyinar jauh tanglung pelita). Nyaqni neupeubut pakri surooh/ Anggeeta tujooh leumah keutanda Nibak buet teugah neuboh ujiooh/ Hareum dan meukrooh h‘antom neuhawa‘. (Yakni berbuat menurut suruh/ Anggota tujuh jadi pertanda Perbuatan mungkar dibuang jauh/ Haram dan makruh suka tiada).
Raja Hamsoikasa dan Sultan Sarah merupakan pemimpin yang adil. Masyarakat Aceh dan kita semua memimpikan pemimpin yang adil dan taqwa.
MUHAMMAD BASYIR LAKKIKI SENIMAN YANG AKRAB DENGAN ALAM
Oleh L.K.Ara
Dia seorang petani lahir di Kampung Kutelintang yang sunyi, namanya Muhammad Basir. Kelak nama itu ditambah dengan Lakkiki, menjadi Muhammad Basir Lakkiki. Muhammad Basir memang mempopulerkan nama Lakkiki sebagai sebuah Klob (grup ) Didong yang sangat terkenal di Gayo, Aceh Tengah.
Dengan beroleh pendidikan SD di Takengon dan Madrasyah Islamiyah di Sigli, Muhammad Basir menghasilkan karya-karyanya berupa didong ( sebuah kesenian tradisional Gayo ) yang sangat menyakinkan. Selain lagu yang merdu dan berciri khas Gayo lirik-liriknyapun cukup menarik. Menarik karena berisi “nasehat” kepada muda-mudi dan sering menggambarkan suasana masa lalu. Tema-tema didongnya mencakup nasib manusia, suasana pembangunan, penderitaan, ungkapan kegembiraan muda-mudi, dan lain-lain.
Kehidupan bertani yang dihayatinya sepanjang waktu melahirkan beberapa didong yang sangat berkesan. Minsalnya dalam didong Guduk-guduk dapat kita lihat suasana musim panen dan kehidupan muda-mudi pada saat itu. Kata Muhammad Basir.
Musim panen gadis beriring
Di atas pematang perjaka memandang
Kembang gemerlap hijau dan merah
Miring topinya sudah melintang terpasang
Suasana yang romantis itu dilanjutkan dengan kehidupan muda-mudi di senja hari,
Jika hari senja pulang ke rumah
Belanga dicari emping digongseng
Dicari lesung diusahakan alu
Dibawa tampah untuk menampinya
Tapi bagaimana suasana hubungan muda-mudi di zaman silam itu? Hal ini terungkap dalam bait di bawah ini :
Perjaka dahulu membawa tongkat senja
Di air pancuran gadis-gadis bersisir
Seakan-akan iya seolah-olah tiada
Maklumlah dahulu halus itu tuturnya
Hubungan muda-mudi seperti ini masih kita jumpai dalam lirik-lirik Muhammad Basir, minsalnya kita temukan pula dalam didong Teganing. Bagaimana terbatasnya hubungan muda-mudi di zaman lalu itu tapi juga bagaimana mesra dapat kita lihat dari bait di bawah ini :
Gadis-gadis ke telaga membawa kendi
Perjaka ke pintu gerbang tiba-tiba melambaikan tangan
Berdendanglah adik berdendanglah
O o o wahai adikku
Dalam lirik didong Utih Roda, Muhammad Basir mengisahkan gadis-gadis Gayo bekerja menumbuk padi. Di sana dikemukakan bagaimana para gadis itu menjemur padi, membawa ke roda lalu menumbuk. Coba kita simak lirik Utih Roda di bawah ini :
Utih roda ramah dan bijak
Jari-jari cekatan kulihat menampi
Lah uwo jang kerlak 1)
Suara alu keltang-keltung
Suara lesung seolah bernyanyi
Lah uwo jang kerlak
Beberapa didong Muhammad Basir berisi semacam nasehat kepada para pemuda. Bagaimana seharusnya para pemuda bersikap, bagaimana seharusnya bertingkah laku, bekerja dan sebagainya digambarkan seniman Muhammad Basir dalam Pemanis. Coba kita ikuti :
Sebagai ganti mentera perindu sebaiknya lagi
Berbicaralah yang pintar kau perjaka
Pandailah berbicara mahir menenggang hati
Kepada orang banyak jangan congkak
Hari pun pagi lebih baik dan sebaiknya
Jangan asyik tidur kau luruskan kaki telentang
Tu kelta keltu tidaklah layu sirih di gagang
Tumbuh-tumbuhan yang hidup di tengah alam sering dijadikan perlambang oleh para penyair. Pujangga Baru dalam kesusasteraan Indonesia misalnya sangat menyenangi ini. Sampai-sampai seorang pengarang Sari Amin “bersembunyi” ketika mengarang di balik nama Selasih. Akhirnya nama Selasih ( yang berupa nama tumbuh-tumbuhan ) sangat terkenal, melebihi nama asli Sari Amin sendiri.
Dalam didong Muhammad Basir mengambil tumbuh-tumbuhan renggali sebagai simbul. Dalam didongnya Renggali ia mengisahkan bahwa tumbuhan itu hidup dalam hutan namun ia berfaedah untuk manusia karena bunga itu wangi dan harum. Semisal seniman Muhammad Basir tinggal dalam desa sunyi namun karya-karyanya selalu didengdangkan, dibaca orang, didengar orang di manapun dan kapan pun karena karya-karya itu menghasilkan hubungan yang intim dengan keindahan.
Mari kita coba lihat serangkum lirik Renggali :
Tumbuhlah kau renggali semoga subur
Supaya kami jadikan untuk minyak wangi
Tumbuhlah kau renggali tidak usah disemai
Agar dapat menjadi perhiasan diatas bumi
Betapa sederhana tapi betapa luhur keinginannya agar dapat menjadi perhiasan di atas bumi. Sementara itu ia sendiri tak ingin di hiraukan menjadi bertunas dan tumbuh sehingga dapat memberikan wangi, tumbuhlah kau renggali tidak usah disemai
Ada satu saat di mana seniman-seniman Gayo menghasilkan karya yang bertema memperkenalkan kampungnya lengkap dengan batas-batasnya. “Dewantara” grup Didong dari kampung Kebayakan misalnya menghasilkan didong Perbatasan. Pada tahun-tahun itu juga Muhammad Basir menghasilkan Pegasing. Lagu yang terkenal itu dihiasi dengan lirik yang berbunyi :
Kutelintang itu pun Pegasing
Bila ke hulu hingga Uning ke hilir hingga Burlintang
Di sana sudah terbayang jalan ke Gayo wo wi wo 1)
Awan putih langit biru wo wi wo
Awan putih langit biru wo wi wo
Selain memperkenalkan Kutelintang dalam didong ini ia juga mengetengahkan kampung-kampung Kayu Kaul, Simpang Kelaping, Lukup dan lain-lain.
Suasana pembangunan sebagai pengisi kemerdekaan bagi Muhammad Basir sudah lama terpikirkan. Hal ini dapat kita simak lewat sebuah didongnya yang berjudul Kulubana. Kata Muhammad Basir :
Sekarang dunia sudah terang
Tanamlah kacang banyak-banyak
Semuanya seluruhnya
Dalam berdidong lirik itu diucapkan oleh ceh Muhammad Basir (ceh utama) dan apitnya (ceh pendamping) lalu disambut oleh grup secara koor dengan kalimat :
Setuju saja
Setuju saja
Dilanjutkan lagi oleh ceh Muhammad Basir dengan lirik
Tanamlah jagung tanam ubi jalar
Capli cabe itu pun di tanam
Bagian pinggir untuk selingan
Disambut lagi oleh grup dengan:
Setuju saja
Setuju saja
Dari contoh yang singkat ini bisa juga dilihat image bahwa ucapan pimpinan itu disambut hangat dengan kata setuju oleh rakyat banyak. Begitu rupa Muhammad Basir mengatur semua ini didalam kesenian tradisional didong sehingga semua berjalan wajar dan intim.
Suara burung, desau air, angina, muncul dalam lagu-lagu ciptaan seniman ini. Karena memang itulah sumber ciptaannya. Ini semua lahir karena ia hidup di tengah alam dan menghayati alam itu secara intens.
Suasana derita bukan tak pernah muncul dalam didong Muhammad Basir. Coba lihat minsalnya pada didong Di Zaman Jepang. Di sini ia menceritakan bagaimana manusia dipaksa kerja rodi membuat jalan oleh orang Jepang.
Dan dimanakah sebenarnya kebahagiaan yang dicari manusia itu? Ini nampak pada lirik lagunya yang berjudul Bong ketis tis bong. Kini untuk mengetahui riwayat penciptaan kesenian Muhammad Basir saya turunkan sebuah wawancara seperti di bawah ini.
“Didong apa yang Anda ciptakan pertama sekali”
“Didong berjudul Lakkiki sekitar tahun 1945, lagu itu tak sengaja tapi kemudian menjadi populer”.
“Siapa yang mula-mula membuat nama Lakkiki?”
“Orang lain, tapi lama-lama semakin melekat ketika ada perayaan dikampung Uning (Kecamatan Pegasing) ketika itu kami bertanding dengan grup Sipi-sipi. Pertandingan itu mencari dana untuk membangun jembatan, pada tahun 1947”
“Bagaimana pada mulanya seingat Anda didong bisa mencari dana?”
“Suatu kali grup Lakkiki mupakat di bawah pimpinan ketuanya Aman Jenen alm. Lalu didong diadakan dengan mengundang orang-orang untuk dana membangun joyah ( surah untuk wanita ). Mungkin karena baru pertama kali diadakan saat itu banyak sekali orang menyumbang”.
“Selama diadakan pertandingan didong grup mana yang anda anggap cukup kuat untuk berlawan grup Anda?”
“Yang agak kuat berlawan grup “Siner Pagi” dengan ceh utamanya To’et dan Thalib”.
“Apa yang paling menarik pada grup Siner Pagi, lagu atau akal (lirik)?”
“Di masa itu akal mulai kami robah. Sewaktu bertemu dengan grup Siner Pagi tidak lagi kami pentingkan akal. Pada generasi sebelum kami memang dipentingkan akal. Siapa yang bisa menjawab teka-teki misalnya itu dianggap menang. Tapi kalau tidak bisa menjawab meskipun didongnya bagus tetap dianggap kalah”.
“Menurut Anda ceh sebelum Lakkiki, ceh mana yang terkuat?”
“Ceh To’et dari grup Siner Pagi dan ceh Tujuh dari grup Sipi-sipi”.
“Dimana saja Anda pernah bertanding dengan ceh Tujuh?”
“Kalau tak salah kami pernah bertanding didong di Simpang Kelaping dengan ceh Tujuh. Selesai pertandingan ceh Tujuh sendiri mengatakan bahwa kalau masih hidup Lakkiki lebih baik aku berhenti karena jauh sekali bedanya, begitu kata ceh Tujuh. Jadi seingat saya ceh Tujuh berhenti sejak bertanding dengan kami”.
“Saya dengar Anda pernah menghentikan sebuah grup bermain untuk selanjutnya dengan menelkin, apa benar?”
“Di saat bertanding dengan ceh Tujuh itu, begitulah. Kami menelkin. Memang apabila lawan lemah sekali kami terus saja menelkin. Maksud saya supaya sempurna ia berhenti berdidong”.
“O ya saat Anda mencipta kapan saja, apa dalam keadaan sepi, atau dalam keadaan ramai barangkali?”
“Seingat saya ada dua cara. Pertama pada masa sepi, sedih sedang menimang anak sedang sakit. Saya berdendang untuk menyejukkan hatinya. Lalu timbul lagu sedih.
Kedua di saat gembira, dalam keadaan ramai di saat ketawa-ketawa timbul lagu gembira. Pernah saya pergi ke dalam hutan terkadang berhenti di belantara itu mendengar suara burung. Saya tertegun. Saya terus teringat suara burung itu. Pada suatu saat kemudian dari suara burung itu saya dapat menciptakan lagu”.
“O ya kalau tak salah sebuah lagu terkenal ciptaan Anda adalah Utih Roda, bagaimana lahirnya karya itu?”
“Utih Roda timbul ketika saat berada di roda tempat menumbuk padi. Melihat alat-alat menumbuk padi itu berputar, melihat orang-orang menumbuk padi lalu lahirlah Utih Roda”.
“Kapan Anda mencipta pagi, sore, atau malam?”
“Sering kami sore-sore berkumpul berdendang-dendang di suatu tempat bersama rekan-rekan. Di saat itu saya mencoba lagu-lagu yang saya temukan. Bersama rekan-rekan diulang-ulang. Kadang-kadang dalam pertemuan itu disempurnakan. Tapi kadang-kadang di tempat itu juga muncul lagi lagu baru”.
“Seingat Anda sudah berapa kira-kira karya Anda ciptakan ?”
“Lebih kurang 150 buah”.
“Kalau mencipta lagu Anda sendiri atau mengajak teman untuk membicarakannya”
“Kalau sedang mencipta lagu saya berusaha sendiri, karena timbul lagu kadang-kadang dalam sunyi sepi, tak seorang yang dapat menggangu saya. Sewaktu kita sedang mencipta di ajak orang lain bicara seolah suara orang lain tak terdengar. Rupanya karena seluruh pikiran kita tumpahkan pada ciptaan tadi”.
“Bagaimana pendapat Anda jika sekali waktu lagu-lagu Anda dibawakan orang lain?”
“Saya bersyukur kalau lagu saya dibawa orang. Cuma kan tak ada salahnya kalau si pembawa menyebut bahwa karya itu siapa yang menciptakannya”.
“Menurut kebiasaan Anda apa dahulu yang diciptakan lagu atau liriknya?”
“Sebenarnya membuat lirik gampang, bisa bermufakat. Yang sulit mencipta lagu. Bayangkan mencipta lagu kita harus mengikuti naik turun sebuah lagu. Dan itu semua kan harus dicari menurut suasana perasaan kita”.
“Boleh disebut lagu yang paling lama Anda ciptakan?”
“Boleh, lagu-lagu yang agak lama saya buat adalah “Reduk gantung (Guduk-guduk)?”
“Apa yang dimaksud dengan Guduk-guduk itu?”
“Guduk-guduk adalah ucapan pertama bagi kanak-kanak ketika mulai merangkak”.
“Sekarang tentang teman yang setia mendamping Anda dari dulu siapa saja?”
“Rekan paling setia ialah Sahak, baik dalam berdidong atau dalam pergaulan. Perpisahan kami karena ia tinggal di kebunnya dan saya tinggal di kebun saya. Letak kedua kebun kami agak berjauhan beberapa km”.
“Sekarang tentang lagu Pegasing yang terkenal itu, kapan Anda ciptakan?”
“Lagu Pegasing muncul tahun 1947 saat bertanding dengan grup Dewantara. Mula-mula Dewantara mengeluarkan lagu “Perbatasan” lalu kami menampilkan lagu Pegasing”.
“Boleh diketahui lagu-lagu yang bersifat romantis yang Anda ciptakan?”
“Di umur muda memang saya juga menciptakan lagu-lagu yang bersifat romantis misalnya : “Melas Ko Kutetunung”, “Manut Waih Manut Atu”, “Guduk-guduk” dan lain-lain.”
“Kabarnya Anda pernah pergi ke kampung Lumut menghibur pekerja paksa pembuat jalan, apa benar?”
“Sebenarnya kami pergi bukan untuk menghibur tapi pergi untuk rodi membuat jalan. Tapi ketika suatu kali memperingati acara orang Jepang diadakan hiburan. Saat itu mereka menawarkan kapada siapa saja yang bisa menghibur. Dipanggil To’et dan kami mengisi acara hiburan. Tempatnya saya masih ingat saat itu di Pintu Rime Kekabu. Sejak itu saya bertugas menghibur saja lagi, tidak ikut rodi lagi”.
“Lagu-lagu apa saja yang anda bawa waktu itu?”
“Lagu Miyoto Kaino mula-mula saya bawa kemudian saya perkenalkan lagu daerah, seperti lagu Ciak-ciak berasal dari ayam. Yang penting saat itu bagaimana supaya orang Jepang bisa terhibur sehingga benar-benar mereka ketawa”.
“Apa ada imbalan dari Jepang waktu itu?”
“Semenjak kami ikut menghibur pada acara itu saya diberi pekerjaan baru yakni memangkas. Khusus kepala orang Jepang”. “Sekarang tentang lirik lagu-lagu Anda. Kalau ada orang minat mengumpulkannya bagaimana perasaan Anda?”
“Sebenarnya kalau ada orang berminat mengumpulkan lirik-lirik didong saya, saya bersyukur. Kuucapkan terimakasih kepada orang itu. Kenapa?” Karena lirik didong ini sering hilang. Satu kali bertanding saja kadang-kadang saya sudah lupa, yang ingat kadang-kadang justru orang lain. Jadi kalau ada orang yang berminat mengumpulkan aku bersyukur”.
NILAI BUDAYA KASIH SAYANG DALAM CERITA RAKYAT ACEH
Oleh L.K.Ara
Dalam cerita rakyat Aceh dapat kita temukan nilai budaya, bekerja keras, kejujuran, rendah hati, keadilan, kesetiaan, keramahan, kepatuhan pada orang tua, kasih sayang dan tahan menderita. Berikut ini kita akan mencoba melihat nilai budaya kasih sayang dalam cerita rakyat yang cukup terkenal seperti, Amat Rhang Mayang, Putri Jambul Emas dan Kotak Ajaib. Dalam cerita rakyat Amat Rhang Mayang rasa kasih sayang nampak pada Amat yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Cukup beralasan Amat sangat disayangi karena dia anak satu-satunya dalam keluarga itu. Semua keperluan Amat dipenuhi oleh orang tuanya sesuai dengan kemampuan.
Sebaliknya si Amat bercita-cita dalam hati ingin memberikan kasih sayang kepada ibunya yang telah menjanda. Ia sangat kasihan melihat ibunya selalu menderita karena miskin. Rasa kasih Amat akan diberikannya bila kelak ia telah bernasil memperoleh kekayaan setelah bekerja keras mencari rezeki di rantau.
Dalam cerita rakyat Amat Rhang Mayang tertulis, “Kasih sayang kedua orang tua si Amat tercurah kepadanya sebab ia anak tunggal satu-satunya. Kedua orang tuanya ingin memberikan kecukupan untuk anak mereka sebagaimana kebanyakan anak-anak orang lain”
Dalam bagian lain cerita rakyat Amat Rhang Mayang digambarkan bagaimana rasa kasih si Amat kepada ibunya. Si Amat diceritakan akan berkerja keras untuk mencapai cita-citanya agar kelak kalau sudah berhasil akan memberikan kasih sayang kepada ibunya. Dalam cerita tertulis, “Pada malam hari, sering Amat tidak segera dapat tertidur lelap. Bayangan keinginannya menjadi nahkoda atau kelasi selalu menggodanya. Ia akan mengarungi lautan luas, menjelajahi berbagai negeri. Setelah berminggu, bahkan berbulan-bulan di perjalanan tentu ia akan pulang juga ke kampungnya. Ia akan membawa oleh-oleh kesenangan ibunya bahkan lebih dari itu. Ibunya akan menyambutnya dengan kasih mesra, di ambang pintu. Rumahnya tentu bukan lagi gubug tiris , tetapi rumah batu besar yang kokoh”.
Rasa kasih sayang si Amat kepada ibu kandungnya benar-benar nampak ketika ia akan pergi merantau ke negeri orang lain. Si Amat dibayangkan dalam cerita itu tidak sampai hati melihat ibunya miskin sampai tua. Dalam cerita Amat Rhang Mayang tertulis, “….Amatpn mulai memubujuk ibunya. Bu karena itulah aku pergi Bu, karena cinta kasihku kepada ibu. Aku tidak tega melihat kehidupan begini sampai ibu tua. Aku ingin membahagiakan ibu. Bukan saja kebahagiaan dalam hati, tetapi kebahagiaan dalam kehidupan kita seluruhnya”.
Dalam cerita “Putri Jambul Emas” rasa kasih sayang diperlihatkan Raja Hamsoikasa kepada Putri Syah Keubandi permaisurinya yang ketiga. Raja berharap dari permaisuri ini dia akan mendapat keturunan yang nanti sebagai pewaris baginda. Sedangkan dua permaisuri terdahulu tidak memberi keturunan. Begitu berlebihan kasih sayang raja kepada permaisuri ketiga ini sehingga untuknya dibuat istana yang sangat indah.
Ketika Syah Keubandi hamil tua ia menginginkan daging rusa. Itupun dipenuhi Raja. Baginda pergi ke hutan berburu menangkap rusa.
Bahkah dalam cerita “Putri Jambul Emas” ini raksasa pun diperlihatkan mempunyai rasa kasih sayang. Hal ini dapat dilihat ketika dua raksasa suami isteri menemukan peti berisi bayi. Dengan tulus iklas mereka mengasuh bayi itu seperti anak sendiri. Melihat manusia berupa bayi itu masih kecil dan lemah raksasa itu tidak sampai hati memakannnya. Dalam hutan rimba bayi itu diperlihara seperti anak sendiri.
SASTRA YANG DIMINATI DUNIA
Oleh L.K.Ara
Apa sebetulnya kriteria sastra yang diminati oleh khalayak sastra dunia ? pertanyaan ini diajukan Budi Darmo dalam makalahnya berjudul “Sastra Indonesia Dan Sastra Dunia”. Dalam makalah yang diperbincangkan pada Kongres ke-IX Bahasa Indonesia yang berlangsung tgl 28 Okt – 1 Nopember di Jakarta pertanyaan itu dijawab sendiri oleh kritikus kenamaan itu dengan: mungkin dapat terjawab dengan menengok kasus Chinua Achebe, para sastrawan migran, dan khusus untuk Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Chinua Achebe, sastrawan Nigeria digambarfkan yang karena keistimewaannya dianggap mewakili sastra Afrika, berhasil menjinakkan dunia dengan novel All Things Apart mengenai Okonkwo, disambung oleh dua novel lain mengenai keturunan Okonkwo, yaitu No Longer at Ease dan Arrow of God. Dari sastrawan-sastrawan migran dapat diambil satu contoh, yaitu V.S. Naipaul, pengarang berdarah India kelahiran Trinidad, kemudian menetap di Inggris.
Dari Indonesia pemakalah mengambil contoh sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Karya Pamoedya sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa asing dan mendapat sambutan pula. Chinua Achebe lahir di Nigeria, sebuah negara jajahan Inggris yang pengaruh Inggrisnya amat kuat, dan karena itu bahasa Inggris menjadi bahasa sehari-hari di sana. Dalam semua novelnya Chinua Achebe mempergunakan bahasa Inggris, bahasa yang identik dengan bahasa ibunya, dan bahasa yang dimengerti oleh seluruh dunia. Chinua Achebe, dengan demikian, tidak mengalami kendala bahasa, dan karena itu, tidak mengalami kendala pula dalam menghayati kerangka berpikir Barat, dan juga sastra Barat. Judul Things Fall Apart sendiri, tidak lain adalah alusi dari puisi penyair Barat, W.B. Yeats, mengenai kehancuran yang pasti akan terjadi manakala kekuatan centrifugal tidak ada lagi.
Mengenai Things Fall Apart ini Budi Darma mengurai lebih jauh. Bagi orang Barat, Things Fall Apart sangat menarik karena tiga alasan. Pertama, novel ini ditulis dalam bahasa Inggris. Kedua, novel ini mengenai Afrika menjelang jaman kolonialisme, dan karena itu, eksotik. Eksotisme dalam novel bukan eksotisme yang benar-benar asing, tapi mempunyai hubungan emosional dengan orang-orang Amerika dan orang-orang Eropa lain yang dahulu menjajah Afrika. Di Amerika banyak orang kulit hitam asal Afrika, yang langsung atau tidak telah banyak mewarnai kebudayaan Amerika. Hubungan emosional, dengan demikian, tidak mungkin dihindari, demikian pula hubungan emosional orang-orang Barat yang pernah menjajah Afrika. Dengan alasan diatas Budi Darma mengambil kesimpulan bahwa Chinua Achebe, serta merta diterima oleh khalayak sastra Barat. Lalu penerimaan oleh khalayak sastra Barat itulah sama dan identik dengan penerimaan oleh sastra dunia.
Lebih lanjut Budi Darma menyinggung pengarang V.S.Naipul. Sekarang tengoklah V.S. Naipaul, seorang pengarang migran yang mempunyai kedudukan penting. Dia berdarah India, dilahirkan di Trinidad, di kalangan orang-orang India berbahasa Inggris. Lalu dia pindah ke Inggris dan menetap di sana. Bahasa Inggris, dengan demikian, baginya identik dengan bahasa ibu. Dengan bahasa Inggris yang identik dengan bahasa ibu, maka kerangka berpikirnya adalah kerangka berpikir Inggris pula. Penghayatannya terhadap sastra Barat, seperti misalnya Proust dan Moliere, benar-benar mantap. Namun, ikatan darahnya dengan India yang mewakili dunia Timur, tetap melekat, dan ini sangat penting baginya untuk menyajikan unsur-unsur eksotik yang menarik perhatian khalayak sastra Barat pula.
Naipaul sangat menyadari, bahwa bangsa, khususnya bangsa-bangsa Dunia Ketiga, terjebak ke dalam masalah budaya, dan hanya bisa “diselamatkan” oleh bangsa lain. Dan bangsa lain ini tentunya bangsa Barat. Standard kehidupan, termasuk standard sastra, dengan demikian, ditentukan dengan kriteria Barat pula. Naipaul memahami benar makna kata-kata ini, dan dengan bakat yang bagus, dia mampu memasukkan implikasi makna kata-kata ini dalam novel-novelnya.
Melalui trilogi novel Chinua Achebe, sekali lagi, dapat diketahui bahwa tokoh-tokoh tipe “black skin white mask” diterima dengan baik oleh khalayak sastra Barat. Kendati sastrwan-sastrawan migran tidak menyajikan tokoh tipe ini, ada persoalan yang juga menarik, baik bagi khalayak pembaca Barat maupun Timur, yaitu pergulatan untuk identifikasi jatidiri. Pengarang-pengarang migran banyak menyajikan novel multikultural, yaitu novel mengenai pertemuan antara dua kebudayaan atau lebih. Novel Naipaul, misalnya, menggambarkan tokoh pendatang di Inggris, yang di satu pihak masih terikat kebudayaan asalnya, dan di pihak lain harus berhadapan dengan kebudayaan baru, kebudayaan tempat tokoh bermigrasi. Pertemuan dua kebudayaan atau lebih, dengan sendirinya, memunculkan masalah jatidiri.
Tentang pengarang Indonesia Pramoedya Ananta Toer, Budi Darma mengajak kita untuk mempertimbangkan, bahwa kedudukan Indonesia dalam hubungannya dengan Barat termasuk unik. Para penyair Pujangga Baru, misalnya,
yang mengaku terpengaruh oleh penyair-penyair romantisisme Barat, sebetulnya hanyalah menerima sisa-sisa semangat romantisisme yang sudah pudar, bukannya semangat romantisisme dalam arti yang sebenarnya. Mereka mendapat pengaruh melalui penyair-penyair Belanda, sementara romantisisme di Belanda pada waktu itu hanyalah sisa-sisa romantisisme negara-negara Eropa lainnya, seperti misalnya Perancis dan Inggris. Dalam konstelasi Barat, pengarang Belanda juga tidak ada yang hebat, dan dari pengarang-pengarang yang tidak hebat itulah, semangat dalam sastra Barat masuk ke Indonesia.
Itulah keunikan kedudukan Indonesia dalam hubungannya dengan Barat. Sementara Afrika, sebagaimana yang tampak pada kasus Chinua Achebe, dan India sebagaimana yang tampak pada kasus V.S. Naipaul, Indonesia tidak pernah benar-benar menyerap pengaruh Barat. Dalam percaturan internasional pun, bahasa Belanda, berbeda dengan bahasa Inggris, tidak mempunyai peran apa-apa. Kerangka berpikir Barat seperti yang dimiliki oleh Chinua Achebe dan V.S. Naipaul, dengan demikian, juga berbeda.
Keunikan ini ditambah keunikan lain, yaitu kenyataan bahwa bangsa Indonesia tidak pernah memperoleh kemerdekaan, tapi merebut kemerdekaan dari tangan penjajah melalui revolusi. Dengan sendirinya, kaitan antara revolusi dan nasionalisme amat kuat. Unsur-unsur inilah yang kemudian menjiwai karya Pramoedya Ananta Toer. Sejarah, nasionalisme, semangat untuk melawan penjajah, amat mewarnai novel-novelnya. Bukan hanya itu. Lepas dari masalah tema, Pramoedya Ananta Toer memang pengarang yang amat berbakat. Karena itu, pengungkapan tema-temanya menjadikan novel-novel dia, khususnya seri Pulau Buru, menjadi novel-novel yang benar-benar berbobot.
Tapi, dalam konstelasi Barat, Indonesia tidak dikenal, dan juga tidak mempunyai ikatan emosional. Unsur-unsur yang dimiliki oleh Chinua Achebe dan V.S. Naipaul, tidak dimiliki oleh Pramoedya Ananta Toer. Dan, bagi pembaca di luar Indonesia khususnya di Barat, Pramoedaya Ananta Toer dikenal bukan semata karena bobot novel-novelnya, namun, inilah ironinya, kedudukannya sebagai pengarang disiden. Disini tampak, unsur ekstrinsik lebih diperhatikan daripada unsur intrinsik.
Dibagian akhir makalahnya Budi Darma mengajak untuk memperkenalkan sastra Indonesia ke lingkungan sastra dunia. Bagaiamana caranya?
Cara yang paling cepat, sebagaimana yang dapat kita saksikan di berbagai negara, adalah menerjemahkan karya sastra ke dalam bahasa asing, khususnya Inggris.
PANTUN TENTANG CINTA, BUDAYA MELAYU DAN NARKOBA
Oleh L.K.Ara
Seorang anak muda melontarkan baris-baris, “Bukan lutung sembarang lutung/ lutung meloncat di dahan kayu/ bukan pantun sembarang pantun/ pantun ciri khas budaya melayu”. Seperti belum selesai menarik nafas Kario –demikian nama anak muda itu- ia meluncur lagi dengan baris-baris, “ Mencari ikan di laut Belitung/ tempat mencari naik perahu/ jangan tinggalkan budaya pantun/ budaya pantun ciri khas melayu”. Inilah pengalaman pertama bertemu dengan seorang pemuda berusia 25 di Kurau, Bangka. Tak sempat menyelesaikan SD, Kario sangat lancar mengucapkan pantunnya yang mengalir bagai air bah. Anak kampung Kurau yang satu ini memang berbeda dengan teman-teman seangkatannya. Ia lebih suka berpantun.
Pantun diatas tentu sangat erat hubungannya dengan Festival Dunia Melayu Dunia Islam yang diselenggarakan pada minggu kedua Desember 2003 di Pangkalpinang, Bangka. Selain menampilkan seni musik dan tarian acara Festival juga ada pembacaan sastra. Dan ketika mewakili kontigen daerahnya Bangka Tengah, Kario menampilkan pantunnya. Kario tentu tak begitu saja bisa muncul di Lapangan Merdeka tempat Festival berlangsung. Ia mewakili daerahnya setelah mengalahkan dua puluhan pemantun lainnya dalam lomba pantun.
Ketika mengucapkan baris-baris isi pantun yang berbunyi, “bukan pantun sembarang pantun/ pantun ciri khas budaya Melayu”, Kario seperti ingin mengatakan meski ia muda tapi faham ciri budaya Melayu. Tak hanya faham, pemuda dari desa nelayan ini sedang bergulat dengan pantun.
Bahkan melihat lingkungan dan perkembangkan masyarakat dewasa ini nampaknya ada semacam kegundahan pada dirinya, sekali waktu pantun sebagai harta pusaka akan hilang. Hal ini nampak pada isi pantun yang berbunyi, “jangan tinggalkan budaya pantun/ budaya pantun ciri khas Melayu”.
Ketika ditanya apakah Kario masih menggunakan pantun pembuka bila memantun dalam suatu acara. Ia mengangguk lalu melucur dari mulutnya baris-baris, “Jalan-jalan dipinggir laut/ pergi berlayar ke negeri Padang/ kami berpantun sambil bersaut/ kami ucap selamat datang”. Lalu ia menambahkan bahwa ketika berhadapan dengan tamu-tamu dalam acara Festival mengucapkan pantun yang khas. “ Pulau Semujur pulaulah Panjang/ sungguhlah indah Pantai Parai/ kami ucap selamat datang/ di Bumi Serumpun Sebalai. Penduduk Bangka campur dan baur/ bugis, Butun, Melayu dan Jawa/ saya panjat puji dan syukur/ kedatangan tamu dari negeri seberang”. Selain inti pantun dalam dua baris isi, mengucapkan selamat datang dan memanjatkan puji syukur, Kario juga pada dua baris sampiran memperkenalkan daerahnya. Misalnya pada “sungguhlah indah Pantai Parai”. Seperti diketahui Pantai Parai adalah sebuah tempat wisata tertata rapi berpantai pasir putih, dan dilengkapi dengan kolam renang serta hotel.
Sebagai anak muda Kario mempunyai pantun yang bertema cinta? Dengan senyum dan wajah sedikit memerah ia mengangguk. Pemuda yang berbadan ramping itu mengucapkan pantun,
Dari Bangka ke negeri Malaka
Tempatlah orang memadu kasih
Jarang-jarang bertatap muka
Bertatap muka di dalam mimpi
Sungguhlah enak ikan dipanggang
Tak kalah enak ikan krisi
Sudah lama tidak berpandang
Rasa putus jantung dan hati
Negeri Serumpun negeri melayu
Disebut juga negeri Malaka
Masih sekampung masih kurindu
Apalagi jauh dimata
Serasi kain denganlah benang
Biar terlipat tidak tergulung
Serasi adik dengan abang
Sejak dirahim Ibu mengandung
Masa bercinta tak selalu dilalui dengan mulus dan indah. Seperti pengalaman dua sejoli yang digambarkan pengarang Shakespeare dalam drama Romeo dan Julia. Berincta itu pahit. Dilalui penuh onak dan duri. Hal seperti itu tak asing juga bagi pemuda Kario. Tidak diketahui apakah sang pemuda yang tak memiliki ijazah SD ini telah mengalami duka bercinta. Namun susunan pantunnya meyakinkan orang bahwa adakalanya bercinta itu memang sakit. Begitu sakitnya sehingga ia tak akan memulai.
Karena setelah merasakan sakit masih berlanjut dengan ingatan kepada si dia dan adegan seperti itu akan menitikkan air mata, menangis,
Sungguhlah indah si burung Pipit
Terbang yang tenang si burung Dara
Bila ku tahu bercinta sakit
Takkan ku mulai dari semula
Bangka Induk Sungailah Liat
Sungguh indah pantai Pasir Padi
Masih terkenang masih teringat
Air mata jatuh ke pipi
Dapatkah ‘air mata jatuh ke pipi’ diobati? Dapatkah sakit hati diobati? Bila badan sakit rumah sakit bisa dikunjungi dan dokter bisa menyembuhkan. Obat luka hati? Bahkan kadang-kadang tak ada yang tahu si penderita sedang mengalami luka hati. Hal itu digambarkan pemantun dari Kurau itu dalam baris-baris berikut ini,
Kampung Mulia kampung Pelempat
Dipinggir pantai banyak perahu
Luka di badan bisa di obat
Luka dihati siapa yang tahu
Namun seperti kata bijak semua penyakit ada obatnya. Dan itu difahami pemantun muda ini. Seperti memberi nasihat kepada orang yang sedang dilanda sedih karena putus cinta misalnya, ia berucap, “dunia ini masihlah panjang”. Jadi masih ada ruang yang dapat dilalui selain yang beronak dan duri tadi. Baris-baris optimis yang di ungkap Kario. Atau seperti kata orang “dunia tidak sebesar daun kelor”.
Orang Jawa menanam padi
Negeri Malaka negeri seberang
Putus cinta jangan bersedih
Dunia ini masihlah panjang
Tema pantun yang diucapkan Kario cukup beragam. Tentang budi, cinta, cinta tanah air, nasihat, budi, dan agama. Cara pengucapannya juga ada yang bergaya lucu.
Tema cinta tanah air, khususnya cinta Kepulauan Bangka Belitung ia tampilkan dan berharap agar propinsi baru ini maju. Dan sambil berharap untuk maju selain berusaha juga memohon berdoa. Pantun ini dilengkapi dengan sampiran yang mengedepankan seorang pahlawan Bangka, Depati Amir, “ Depati Amir Pahlawan Bangka/Mati satu tumbuh seribu/Kami meminta sambil berdo’a/Bangka Belitung menjadi maju”. Sementara berharap akan kemajuan Bangka Belitung, pemantun juga mengingatkan agar para pejabat negara hendaklah berlaku jujur dalam menjalankan roda pemerintahan. Sebab kalau tak jujur negeri akan mengalami nasib yang lmenyedihkan bagi masyarakat luas. Kata pemantun,
Tanahlah Jawa sangat subur
Negeri tetangga negeri Singapur
Para pejabat haruslah jujur
Agar Babel tak babak belur
Selain mengharapkan pejabat negeri jujur, pemantun juga menyindir manusia yang tak berbudi. Semisal besi akan hina dan berkarat begitulah kiranya manusia yang tak berbudi. Pantun berikut ini menggambarkan hal itu, “Dari Selan ke Sungailiat/ Baturusa jembatan besi/Besi hina karena berkarat/Manusia hina tidak berbudi“. Dan dinegeri Melayu penduduknya dikenal sebagai memiliki sopan santun, ramah tamah dan berbudi tinggi. Hal itu nampak pada pantun berikut ini,
Negeri Jiran negeri Malaysia
Berkayuh sampan marak ke hulu
Ramah tamah budi bahasa
Itu ciri khas orang melayu
Kario juga bicara tentang sebuah kota di pantai selatan Toboali, Ia memperkenalkan disana ada daerah wisata yang indah serta disanaterdapat juga adat tradisi yang harus dipelihara. Untuk menjaga agar tradisi tidak hilang harus dilakukan penyelamatan dan tindakan harus
tegas. Kata pemantun,
tanjung ru’ pantai indah
tempat orang memadu kasih
itu satu wisata Bangka
kota Toboali indah dan bersih
kota Toboali kota penghujung
lada dan timah penghasilannya
adat Toboali mari kita junjung
kawin massal adat budayanya
Lewat pantunnya yang berjudul Toboali, seniman anak nelayan ini cermat melihat ekonomi rakyat. Dulu harga sahang (lada) tinggi, tapi sekarang rendah dan itu membuat penghasilan rakyat berkurang. ‘Wajah rakyat tak lagi cerah’, karena harga lada yang ditanam petani jatuh. Dulu memang pernah harga per kg mencapai Rp 100.000,- kini hanya Rp 20.000. Dalam pantun ini juga disinggung masalah kejujuran.Agar negeri tak hancur hendaklah bersikap jujur. Lebih-lebih koropsi
supaya dibasmi.
Kota Toboali kota indah
Kota Mentok kota tertua
Wajah rakyat tak lagi cerah
Sahang murah bikin celaka
Sungguh indah kota Toboali
Banyak budaya tak terlupakan
Mari kita junjung tinggi
Tari Taber jangan ditinggalkan
Sabang disebut juga Toboali
Terkenal juga dengaan terasi
Mari kita jujur berbakti
Agar tak hancur negeri ini
Batu ampar pantai Toboali
Luas memandang si anak dara
Mari kita tinggalkan budaya koropsi
Agar negara menjadi bangga
Serta kepada teman seangkatan yang kecanduan narkoba, pemantun muda ini berpesan, kebiasaan mabuk hendaklah tinggalkan karena merusak. Hendaklah dekatkan diri kepada Allah dan jangan membuat Allah murka. Dan kalau Allah murka kita akan celaka.
Kota Koba kotalah Ikan
Tempat orang berjual beli
Narkoba mari kita tinggalkan
Mari mendekat pada Illahi
Negeri sembilan melayu tertua
Negeri Brunai negeri Malaka
Mari tinggalkan narkoba
Agar Tuhan tidak murka
KEARIFAN LOKAL DALAM HIKAYAT MEUDEUHAK
Oleh L.K.Ara
Jika ada yang bertanya dalam sisi budaya bagaimana kita dapat menemukan kearifan lokal di Nanggroe Aceh Darussalam. Maka jawabnya salah satunya dapat kita temukan dalam Hikayat. Seperti diketahui melihat isinya hikayat ada berupa sejarah, agama, peristiwa, jihad perang dan lain-lain. Beberapa hikayat yang terkenal dapat disebut, seperti Hik. Prang Sabi, Hik Prang Kompeni, Hik Putro Gumbak Mas, Hik Banta Berensyah dan Hik. Meudeuhak. Sekedar mengambil contoh bila kita membaca Hik Meudeuhak misalnya akan segera dapat kita temukan kearifan lokal.
Didalam hikayat Meudeuhak dikisahkan ada seorang perempuan muda pergi bermain ke sebuah padang. Perempuan muda itu membawa seorang bayi laki-laki. Ketika sampai disebuah kolam bayi itu diletakkan dipinggir kolam lalu ia menimba air. Sementara itu datang seorang perempuan cantik seusia dengan perempuan muda tadi. Perempuan cantik itu mengambil bayi lalu membawa pergi. Melihat bayinya dibawa perempuan muda itu mengejar dan ingin mengambil bayinya. Sambil mengatakan kenapa bayinya dibawa. Namun wanita cantik itu mengatakan bahwa bayi itu adalah anaknya. Pertengkaran antara kedua perempuan itu semakin meruncing karena saling mengaku bayi yang satu itu anak mereka. Akhirnya orang-orang meminta kedua perempuan itu membawa persoalannya ke Meudeuhak.
Dihadapan Meudeuhak kedua perempuan itu menjelaskan bahwa bayi yang satu adalah anak mereka. Kedua perempuan itu meminta agar Meudeuhak dapat memutuskan secara adil.
Meudeuhak mulai bertanya kepada perempuan cantik itu, anak siapakah bayi itu. Yang segera dijawab dan menjelaskan bahwa bayi itu adalah anaknya.
Kemudian Meudeuhak bertanya pula kepada perempuan muda itu bayi itu sebenarnya anak siapa. Perempuan muda itupun menjawab bahwa bayi itulah adalah anaknya. Orang-orang yang mendengar merasa heran, dua orang perempuan mengaku anak pada seorang bayi.
Meudeuhak mulai berpikir. Seorang anak dua ibunya. Tak lama kemudian Meudeuhak menemukan cara. Bayi itu diletakkan pada sebuah tempat. Kedua perempuan yang mengaku ibu bayi berjalan yang satu ke timur yang satu ke barat dengan jarak masing-masing 100 depa. Ketika gong yang dipalu nanti berbunyi keduanya berlari adu cepat untuk mendapatkan si bayi. Siapa yang lebih cepat dialah ibu bayi itu.
Cara seperti ini disetujui oleh kedua perempuan itu dan mulailah dilaksanakan. Gong dibunyikan dan kedua perempuan berlari cepat menemukan si bayi. Perempuan cantik itu sangat cepat larinya segera mengambil bayi dan menggendongnya. Perempuan muda terlambat namun mengejar ingin merebut si bayi. Nampaklah kedua perempuan itu saling berebut bayi. Melihat kejadian itu Meudeuhak mencegah. Lalu Meudeuhak meminta agar bayi diberikan padanya. Sambil berkata:
Siblah sapo ta meutueng-tueng
Bah meubulueung jinoe sigra
Ambil oleh kalian masing-masing sebelah
Biar kubelah sekarang juga)
Mendengar usul itu perempuan cantik segera setuju. Sedang perempuan muda tidak. Perempuan muda itu berucap: (terjemahan T.A.Sakti)
Aneuk diulon teu bek taplah
Diulon sah nyo aneukda
Tajot keujih nyang ban saboh
Bek cit tapoh aneuk hamba
(Anakku jangan tuan belah
Dia sungguh anakku sendiri
Berikan saja untuk dia
Jangan di bunuh anak hamba)
Lalu perempuan muda itu berserah diri pada Tuhan. Mendengar tutur kata perempuan muda itu Meudeuhak percaya bahwa benarlah ia ibu bayi itu. Dan tak mungkin bayi itu anak perempuan cantik yang tak punya kasih sayang sehingga rela anaknya dibelah. Hewan saja tidak akan memangsa anaknya.
Sementara itu perempuan cantik masih bersitegang mengaku dialah ibu bayi itu. Bukankah sesuai aturan perjanjian yang menyebutkan siapa yang duluan mendapatkan anak dialah ibu sang bayi. Mengapa memungkiri perjanjian itu.
Meudeuhak menyebutkan perempuan cantik itu jelmaan setan oleh karena itu ia cepat berlari. Setan juga suka mengacau dan suka bersilat lidah. Lalu Meudeuhak memerintahkan setan perempuan cantik itu pergi dan jangan mengganggu dan mengkhinati manusia lagi. Setelah disumpah ia pun pergi.
KAYU
Masih banyak kearifan lokal yang dapat ditemukan dalam hikayat Meudeuhak yang terdiri dari 2600 bait itu. Coba kita ikuti satu kisah lainnya lagi.
Raja memerintahkan kepada seorang bujang membawa sepotong kayu. Kayu itu disampaikan kepada Meudeuhak dan minta ditentukan mana yang ujung dan mana yang pangkal. Bila jawaban Meudeuhak salah ia akan didenda dengan membayar 1000 dinar.
Bujang cepat pergi menemui Meudeuhak dengan penuh rasa takut. Bagamana tidak takut kayu itu diraut sama besar pangkal dan ujung sehingga sukar ditebak.
Dengan rasa takut yang amat sangat karena kawatir Meudeuhak tak bisa menjawab dan harus membayar mahal kayu itu dibawa ke Meudeuhak. Sambil memberikan kayu, disampaikan pertanyaan Raja kepada Meudeuhak. (terjemahan T.A. Sakti)
Ujong ngon uram ta peumeuri
Meueng han tabri siribee dina
Masa neukheuen Sakeuti neumoe
Meuteu taloe ro ie mata
(Yang mana pangkal yang mana ujung
Jika tidak harus kita bayar 1000 dinar
Berkati sakti sambil menangis
Bercucuran air matanya)
Meudeuhak memperhatikan kayu dan mengatakan janganlah kita gundah nanti Allah akan menolong. Dimasukkan kayu kedalam air nanti akan nampak mana ujung dan mana pangkal. Yang tenggelam adalah pangkal dan yang timbul adalah ujung. Lalu kayu itu diberi tanda.
Bujang menghadap raja dan menyampaikan jawaban yang diberikan Meudeuhak. Mendengar jawaban Meudeuhak yang tepat Raja terkagum-kagum.
Kearifan lokal diatas dapat kita lihat yang pertama menyentuh batin manusia sedang yang kedua menguji akal pikiran. Semakin banyak kearifan lokal kita temukan niscaya semakin kenal kita betapa nenek moyang telah membekali kita dengan kearifan yang diwariskan yang tersimpan dalam berbagai bentuk budaya. Tinggal lagi bagaimana upaya kita memungutnya.
MENGGELIATKAN SYAIR GAYO ISLAMI
Oleh L.K.Ara
Budaya
SYAIR Gayo bernafaskan Islam kembali menggeliat setelah lama hilang. Gagasan MAANGo (Majalis Adat Negeri Gayo) di pimpinan Mustafa AK dan Yusin Saleh berupa mengangkat lagi lewat gelar Syair Gayo yang diikuti seniman seni tradisi di seluruh Aceh Tengah. Dari hasil lomba yang dinilai oleh seniman terkenal seperti Ibu Hajar Laut Tawar, H. Aman Kanti dan Tgk Kamaruddin R diperoleh, empat pemenang. Masing-masing dari Kecamatan Bintang, diikuti Pegasing, Kebayakan dan Kecamatan Bebesen. Ini usaha yang patut diapresiasi ditengah arus deras kesenian luar yang menyusup ke daerah. “Seni Syair Gayo dibangkitkan sebagai banteng,” begitu antara lain kata H. Drs Jauhar Ali, wabub Aceh Tengah yang membuka lomba itu.
Syair dalam bahasa Arab disebut shi’r yang secara umum bermakna puisi (a poem, poetry). Sedangkan sha’ir bermakna penulis puisi, penyair atau penyajak (a poet). Perkataan sya’ir untuk vokal orang Melayu nampaknya lebih sesuai. Sehingga menjadi terbiasa disebutkan syair untuk karya puisi dan penyair sebutan untuk penulisnya. Dari pendapat beberapa ahli dikatakan, syair Melayu, tidak berasal dari syair Arab atau Parsi, walaupun kaitannya ada. Permulaan penulisan syair dilakukan Hamzah Fansuri seorang penyair sufi Aceh yang dari karya-karyanya nampak ada pengaruh puisi Arab-Parsi.
Tentang istilah syair ini menarik juga pendapat Dr. Harun Mat Piah, ‘Suatu hal lagi yang harus dipertimbangkan bahwa syair, dalam peringkat awalnya adalah suatu genre sastera lisan, sama seperti genre-genre sastra yang lain atau puisi, seperti pantun, mantera, teromba dan lain-lain. Karena itu menyebutkan sesuatu kata atau istilah tidak berdasarkan penglihatan tetapi pendengaran; dan penyebutannya itu lebih tertakluk kepada sistem bunyi bahasa yang berkenaan, khususnya bahasa pertuturan atau lisan. Justru itu syair atau syi’r disebut juga sa’e atau sa’iyo dalam bahasa Melayu, sayer dan singir (atau geguritan) dalam bahasa Jawa’.(Harun Mat Piah, l989, 2ll,2l2).
Mengikuti jalan pikiran DR Harun Mat Piah itu, maka syair bagi orang Gayo yang menggunakan sastra lisan menyebutnya menjadi syair atau syaer. Bentuk syair =kekata atau ‘Syaer Gayo’ sebagaimana halnya bentuk syair Melayu umumnya, terdiri dari puisi empat baris. Namun ada usaha penyair menghasilkan karya dengan baris yang bebeda-beda. Seperti contoh berikut.
sara riwayat masa Rasulullah
i nenggeri Madinah nge ara terjadi
Nabi Muhammad belum kubelang male
semiang hari raya haji
nge mari semiang nabi pe ulak
i engone kekanak dele penadi
i lahni dene nge mute tamun
enge merun-erun kusokuini
maklum la kekanak turun rerayan
menyeluk pekayan si jeroh belangi
(Chalidin l99l)
Dari segi bentuk penggalan syair ‘Cerite Anak Yatim’ ciptaan Tgk. Chalidin (lahir th l920) ini, tergolong syair dua baris sebait. Bila kita lihat dari segi isi merupakan kisah di zaman Nabi Muhammad.
Ada syair empat baris dalam satu bait dengan rima a-a-a-b.
Ke anak Edem ulak ku Tuhen
bier rawan atawa banan
oya nge putus bene amalan
melengkan taring tulu perkara
Pertama sedekah jeriah
tengah i denie mera posah-osah
ku mesjid atawa ku mersah
mera munosah ku jelen agama
(Harun Rasyid, l980, 53)
Petikan syair ‘Apabile Mate Anak Edem’ karangan Tgk. H.Harun Rasyid ini berisi kisah yang menceritakan prikehidupan manusia. Bila ia meninggal maka putuslah hubungannya kecuali dengan tiga hal. Tiga hal ini diceritakan satu persatu yang dimulai dengan sedekah dan seterusnya. Juga syair empat baris dalam satu bait dengan rima a-b-a-b.
Sagi pendari munyamut perkataan
ike manat ni seltan kami jamuri
kami tiro tulung mudah-mudahan
kami tasonen kujantung hati
Kadang nge beta tekedir ni Tuhen
keturahe seltan minah nenggeri
enta kune oyape gere tertehen
gelah kami julen bersagi pendari
(Abdurrahim Daudy, l979, 54)
Syair dua bait diatas merupakan petikan dari syair berjudul ‘Ara Penyakit Ara Uak’ karya Tgk. Abdurrahim Daudy. Di dalam syair ini di ceritakan bahwa Nabi Muhammad sudah menyatakan kepada semua orang bahwa Tuhan telah menurunkan penyakit beserta dengan obatnya. Di ceritakan pula bahwa yang mengetahui obat penyakit adalah orang yang mengetahui yakni tabib.
Tema dan isi Syaer Gayo merupakan tafsiran kitab suci Alquran yang menyampaikan petuah-petuah agama, meriwayatkan kisah hidup nabi dan para sahabat. Bagaimana hubungan anak dan orang tua, sopan santun antara suami isteri dan keluarga secara keseluruhan dapat juga kita lihat diungkap lewat syaer Gayo. Melihat hasil karya para penyair, dapat digolongkan dalam bentuk syair sejarah, syair keagamaan dan syair nasihat. Satu contoh syair sejarah yang cukup populer di Negeri Gayo, ditulis oleh penyair Tgk. Abdurrahim Daudy berjudul, ‘Sejarah Daerah Dan Suku Gayo’. Petikannya sebagai berikut,
Tekala uren rane remane
asalni ni Gayo mulo pertama
daerah kiteni lauten ijo
gere ilen mutuho uken urum toa
Tekala kerpe jarum jemarum
gere ilen malum sara urum roa
ike manusiepe gere ilen murum
gere ilen mepun jenis ni bangsa
Ara roa jema i nenggeri Rum
jema wa murum sara ine ama
keta si bensu memegang hukum
abange urum rakyat jelata
(Abdurrahim Daudy l979, )
Ada syaer agama juga syaer nasihat yang berisi pengajaran kepada semua orang. Di dalam syair nasihat biasanya isinya disampaikan secara umum kepada pembaca. Namun ada yang khusus ditujukan misalnya kepada kanak-kanak, remaja dan orang dewasa lelaki dan perempuan. Syair nasihat umumnya disukai orang seperti kata C.Hooykaas, ‘Bentuk syair itu amat digemari untuk syair nasihat, oleh karena mudah dihafal’( C.Hooykaas, l98l). Syaer Gayo sejak dahulu disampaikan dengan cara lisan.
Sumber Serambi Indonesia
19 April 2009, 09:26
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar