Oleh L.K.Ara
Pada acara hari pertama Festival Puisi Internasional tgl 26 April 2001 di Teater Utan Kayu itu, penyair Taufik Ikram Jamil mewakili Indonesia membaca beberapa puisinya. Tampil di pentas, penyair kelahiran Riau itu membuka jaketnya kemudian merapikan pengeras suara lalu melantunkan suaranya membaca puisi. Taufik melantunkan sajak Piagam Selat Riau. Ucap penyair,
Putus asa mengintip kami dari pagi
Padahal telah kami kirim rupa-rupa kecewa
Lewat kapal-kapal niaga sejak semalam
Tinggal harapan
Berserak-piak di buih-buih hari
Tetap saja tak mungkin kami lupakan
Segala kenangan dengan kekalahannya
Karena merekalah yang menyentap kami
Dari tanjung ke tanjung
Kemudian di setiap pantai
Dilengkingkannya sembarang kepiluan
Sebagai tanda bahwa kami masih hidup
Memang kematian saja yang kami bimbangkan
Saat kisah tak lagi dituturkan angin
Lalu tinggallah kenangan sebagai jembalang
Mengepalkan tangannya dari kampung ke kampung
Puisi ini menggunakan simbul-simbul seperti, putus asa mengintip, kapal-kapal niaga, berserak di buih-buih hari, memperlihatkan penyairnya ingin membangun suasana artistic. Dan oleh suasana artistic itulah pembaca merasa memasuki suatu dunia yang indah. Meski pun dalam perjalanan ‘berkelana’ itu bertemu dengan kesedihan dan kepahitan hidup. Baris ‘dilengkingkannya sembarang kepiluan/sebagai tanda kami masih hidup’, memperlihatkan bagian dari derita yang dialami manusia. Dan pengalaman derita itulah yang merupakan cobaan bagi manusia yang hidup. Dan derita itu terucap lewat tangisan. Kata penyair dalam bait berikutnya,
Tak sekali dua pula kami menangis
Tapi bagaimana sedih harus tersisih
Kalau air mata adalah sumber mata air
Lalu menggerakkan dayung kami
Untuk mematahkan gelombang alun beralun
Kami hanya percaya pada kemenangan
Setelah lama dikalahkan musim
(dari buku katalog Festival Puisi Internasional, 200l.)
Selain membacakan puisi ‘Piagam Selat Riau’ yang memperlihatkan citra manusia yang resah terhadap keadaan masyarakatnya, malam itu Taufik Ikram Jamil juga melantunkan puisi, ‘Seketsa Suatu Hari’ dan ‘Surat Terakhir Von de Wall’.
Taufik Ikram Jamil lahir di Teluk Betung, Riau, 19 September 1963. Setelah lulus SPG di Bengkalis, ia melanjutkan studinya di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Riau. Pada tahun 1987 ia lulus dan kemudian terjun kedunia pers menjadi wartawan Kompas. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerita pendek. Karya-karyanya dimuat di majalah Horison, Kompas, Sinar Harapan, Menyimak, Jurnal Kalam, Ulumul Quran, Perisa, dan lain-lain. Antologi puisi tunggalnya berjudul ‘Tersebab Haku Melayu’ terbit tahun 1995.
Sastrawan yang sering nampak berambut gondrong ini sering mengikuti acara sastra dan budaya diberbagai kota di Indonesia, Melaysia dan Singapore. Pada tahun 1997 ia memperoleh Anugerah Sagang 1997, sebuah hadiah budaya yang diberikan harian Riau Pos atas kumpulan ‘Sandiwara Hang Tuah’ (1996). Sebuah cerpennya ‘Menjadi Batu’ meraih hadiah pertama sayembara cerpen majalah Horison 1997.
Sebagai pengarang roman Taufik telah memperlihatkan kemampuannya lewat ‘Hempasan Gelombang’ meraih hadiah harapan kedua sayembara Mengarang Roman DKJ, 1998. Serta novelnya berjudul ‘Gelombang Sunyi’ mendapat sambutan hangat dari sejumlah peneliti sastra.
Melalui roman Gelombang Sunyi nampak ia memberi semangat untuk kembali ke alam Melayu. Sekali gus terbersit kritik pedas terhadap pusat (Ibukota RI) yang menangani berbagai persoalan pembangunan di daerah yang sebetulnya tidak berbeda jauh dibandingkan perilaku pemerintahan kolonial Hindia Belanda saat mencaplok dan menjual bangsa Melayu.
Dalam puisinya ‘Sketsa Suatu Hari’ sang penyair berucap,
Aku hanya terhibur saat tidur
Menemui kegembiraan dalam mimpi
Jagaku adalah nyanyi:
Tudung periuk pandai menari
……..
(dari: Arsip lama)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar