ANGIN DANAU
Pengembara udara danau
Bisikkan daku resiamu mengatur ombak
Hingga perahu berlayar atas desahmu
Ikan berenangan di bawah lenganmu
Pengembara udara danau
Kisahkan daku peri perkasa tebing-tebing curam
Batu-batu bergantungan sunyi
Cemara menyanyi
Di tepian yang sabar menanti
Sahabat
Kuakkan kabut
Lepas caya sepenuhnya
Menimpa paras pagi tersipu
Agar pondok terkejut bangun
Dan manusia bangkit buru-buru
Nanti bila warna senja bergayutan
O, pengembara gelisah
Rebahlah sekejap
Biar limpur gundah bundaku
Dalam senyap yang labuhkan
DENGAN SETIA YANG MARAK
Biar perjalanan jauh masih
Dan badan terkulai lungai
Namun hasrat jati di hati
Tetap marak pada tujuan
Kemboja di dalam taman
Menaungi jasad kejang dan dingin
Tergeletak diam pada lahirnya
Pada batinnya meneruskan perjalanan
Sungguh teramat jauh ujung
Oleh ramai onak di pangkal jalan
Tapi relai sakit dan senang
Di jalanan Ia tentukan
Langkah barulah berarti dilangkahkan
Dengan setia yang marak kepada-Mu, Tuhan
PAGI DI BURNI TELONG
Pada mulanya seberkas sinar
Menghinggapkan gerlap di Burni Telong
Lalu gelap dan kabut menyingkir
Pagi menyayikan kehidupan baru
Pucuk dan rumput mengombak hijau
Hijau harapan di jantung hidup
Di Burni Telong dini pagi
Ada kalahiran baru di diri
Jalan pagi putih dan cerah
Lewatkan siapa suka
Hati-hati menjejakkan kaki, juwita
Desahkan napas dara mulia
Pagi begitu bayi masih
Begitu mungil begitu kudus
Jangan nodai kebeningan asli
Dengan cereceh pangkat dan harta
KAU BUNDA DI SAMPING IBUKU
Sekian tahun pergi
Kini kembali
Berjuntai dalam airmu segar
Kusaksikan keluasanmu
Kian membiru
Kian terbuka
Namun memendam
Resia paling dalam
Sekian tahun pergi
Kini menggelai
Di tepianmu
Badan lelah
Dari perjalanan jauh
Merindukan kelembutanmu
Usapan ramah riak-riakmu
Kecipaknya mengipaskan
Hiruk pikuk kota-kota.
Dari bawah sadarku
Sekian tahun kembara
Lalu tenggelam
Dalam lelap di nyamani mimpi
Bangunku o danau
Oleh angin kau panggil
Dari taman di seberang
Meniti pelangi ia datang
Buru-buru menegurku
Ia empaskan ombak sore
Yang warnanya puspa ragam
Menyerbakkan aneka wangi
Begitu kasihmu terhadapku
O, inang
Kau bunda di samping ibuku
Anak yang dulu
Pergi diam-diam
Terimalah ia kembali
Si anak nakal
Insyap kini
Ia tetap anakmu
GENDERANG PERANG
Malam itu
Kugigit sisa benang penjahit bajumu kandaku
Ku gigit dengan gigiku runcing
Ku dengar merdunya genderang perang
Menyerumu kembali
Dari istirahat hanya sebentar
Untuk tampil lagi ke medan
Malam itu
Kugigit sisa benang jaitan
Dan juga kugigit juga bibirku kecil
Penahan gairah
Melepasmu pergi
Untuk berlawan
Habis-habisan
Jangan sangsikan kami yang tinggal
Kami pun menunggu
Tiba saatnya pasti maju
Menuntut bela
Ke garis depan
Bila ajalmu tiba kandaku sayang
Terimalah dengan tenang
Dan sebagai kenangan terakhir
Pandang serta kecup jaitan di bajumu
Dimana pernah hadir gigil tangis dan bibirku
Tapi bila Tuhan memberimu umur panjang
Dan kemenangan di tangan
Segeralah pulang
Kita panjatkan doa bersyukur
Dan hangatkan o, kandaku sayang anak-anak kita
Degan kisah-kisah perjuangan
LAUT TAWARKU
Di lereng-lereng gunung menujumu
Di atas bus yang menderu
Detak hati kian keras
Kuatir nasibmu
Sore itu
Parasmu diusap senja
Alangkah tenang
Salam sederhana kau ulurkan padaku
Tanpa iringan gelombang
Ataupun pikatan kecipak riak
Pertanda bulan akan mengambang
Dalam sunyi malam
Sebelum fajar
Perahu nelayan lesu
Pulang ke pangkalan
Setelah semalaman derendam dingin
Kulihat baju-baju lusuh
Dan mata diberati kantuk
Jalan yang meliku ke pangkuanmu
Wangi oleh kenangan lama
Kian terasa
Sentuhan riang riak-riakmu
Pada mukaku yang meminati
Jalan menurun ke jangtungmu
Lembut oleh siraman embun
Yang menetes teduh
Tanpa suara
Menjamah langkahku
Satu-satu
Kala kuturun ke tepian
Dengan debaran mesra di hati
ISE-ISE
Daunan menghijau
Di ujungnya matahari bertengger
Tarian kemilau
Kuncup-kuncup bermekahan
Lalu pagi
Tiba-tiba jadi wangi
Dibawah kali mengalir
Tertegun-tegun
Batu-batu ah
Mana hiraukan rintihnya
Fajar menggeraikan rambut tembaga
Dari ribuan mata
Embun mengerlingkan cerlang
Angin meyepoikan
Sari wangi kembang-kembang
Perebutan mencumbu pohonan
Akar-akar gemetaran
Getah mendidih
Pucuk-pucuk menggigil
Dalam pagi yang larut
Gemunung tinggi
Kukuh meyimpan resia
Sepele baginya
Sengsaraku menunaikan ziarah
Dibanting-banting jip di jalanan
Borok-boroknya memekikkan
Perbaikan-perbaikan
Sungaimu pilu, Iseise
Nyanyian luka
Menetes di sunyi lubuk
Isak tangismu
Duh, kian menjadi
Sebuah desa tinggal nama
Iseise
Sebuah gerbang kenangan
Tugu nasib ribuan rakyat
Korban bengis penjajahan
LAWEE BULAN
Hati gelisah reda oleh kecipakmu
Air mu jernih rela menerima
Tubuh berlumpur hitam keringatan
Dada sepi hangat oleh nyanyianmu
Lenggang mu lapang
Tubuhmu putih ramping
Melenggokkan angan ke labuhan mimpi
Pagi sebelum fajar
Mencium wajahmu sejuk
Gadi-gadis merebahkan pipi
Menyentuhkan tubuhnya di arusmu
Bertanya
Berapa banyak pemuda di muara
Yang rubuh mempertahankan negeri
Sungai Bulan kala senja
Sebelum tudung malam terkembang
Menampung keringat dan daki
Meyambut jari-jari dan dada terbuka
Menyirami kaki kanak-kanak
Dan membasuh mata para janda
Sepanjang malam sungai Bulan
Memerciki batang padi
Mengedipi bintang-bintang
Angin bersiul
Lawee Bulan Lawee Bulan
KUTA CANE
Sebuah kota berpagar gunung
Matahari terik langit biru
Tanah subur bersukur
Memercikkan tanaman
Berkat keringat tumpah
Dari gagang cangkul
Lelaki kuat
Atau dari sabit langsing
Di lengan halus
Gegadis jingga
Sebuah kota di gelitiki sungai-sungai
Bersemu malu gadis jelita
Bulan muda di kaki langit
Membungakan senyum
Melihat nelayan mengembangkan jala dari perahu
Atau tangan-tangan teracung
Menahan pancing diatas air
Sebuah kota mekar oleh dongengan
Mimpi – mimpi disuburi cerita nenek moyang
Setiap pintu rumah tahu
Kisah Beru Dihe dan si Pihir
Kasih tak sampai
Atau Selayar Tunggal dan Beru Jinem
Kasih satria di ujung pedang
Atau Beru Pagan
Putri jelita tanpa bandingan
Sebuah kota
Tanpa patung-patung megah
Hannya menyimpan kuntum luka
Amis darah dirumpun bambu
Benteng tua tinggal kenagan
BUAT PAMONG
Kami sudah tahu
Kami akan nyanyi indah sekali
Jadi jangan senandungkan lagu biru
Kami sudah tahu
Bapak butuh tugu buat diri
Percuma itu semuan merdu
Malam tak selalu purnama
Bintang timbul bintang tenggelam
Kami mau bapak datang dengan seluruh diri
Kami akan terima dengan seluruh hati
Kami tahu rasa kami tahu warna
Nanti bila datang malam bapak
Jangan takut
Kami telah jadi penyair
Kami telah jadi pelukis
Segala kata dan nada dipahatkan nanti
Tembaga atau emas tugu buat bapak
Sejarah bakal tentukan
DESA LUMUT
Dihutan-hutan tua
Jip merambat-rambat
Kemudian merangkak
Masuk desa lumut
Gerbang sepi lama menanti
Pecah dideru mesin
Gadis-gadis meninggalkan pingitan
Berhamburan ke jalanan
Anak-anak menangis
Ibu-ibu menganga
Ah, benar juga cerita
Pedati besi tanpa ditarik
Dapat jalan sendiri
Dari jip turun tamu-tamu
Gadis-gadis berbisik menunggu
Senyumnya meringankan kaki
Melangkah ke sebuah rumah
Rebah matahari
Lagu pun digumamkan
Nyanyian air kali semakin nyaring
Seorang bertanya
- ibu pernah kekota
- tidak, tak ada kendaraan
- dari dulu
- ya sejak kecil
ibu kecik itu bersungguh
ia empat puluh tahun
yang bertanya tahu sudah
nasib negri ini
tapi tak ia katakan
saya Bupati baru
sabar bu sabar
di hutan-hutan lebat
jip menderu
disebuah jembatan
seorang tua mengacungkan tangan
selamat datang selamat datang
jip dihentikan
supir turun, mengangguk
dan meyalami
selamat bapak
kemudian jip menderu lagi
kaki menekan gas
kemudian jip menderu lagi
mata melekapi hutan-hutan biru
batang demi batang tonggak harapan
keyakinan bersauh di bumi kokoh
hati sang supir kian menyala
ia memekis
kubangun negeri ini
supir itu Bupati sendiri
KABAR
Dalam cahaya senja
Suratmu tiba
Baris-baris puisi
Berdiri
Menatapku
Bola-bola matamu
Memandangku
Memandang
Angin cemara
Senja itu
Mengusikku
Menggeraikan rambut
Duh, kian putih juga
Aku kembali
Ke matamu bening
Ke kisah kotamu kini
Agung oleh menara
Lanpu warna-warni
Tapi di lorong-lorong gelap
Rakyat merintih
Ditindas beban berat
Ya, anakku
Di caya matamu sayu
Derita rakyat kecil
Kusaksikan
Dalam caya senja
Suratmu tiba
Baris-baris puisi
Bola-bola matamu
Memandangku
Ya, anak
Rangkullah ibu
GUNUNG SINGAH MATA
Dari puncak Singah Mata
Memandang ke bawah
Kelembah pagi
Ke liku-liku senyap
Dari puncak Singah Mata
Meyaksikan awan
Berguguran
Berkas-berkas caya
Turun kerimbun pohon
Burung – burung
Hinggap dan terbang
Kijang-kijang berkejaran
Di panas bertelau
Pekik dan ciap
Meriangi siang hari
Panorama abadi
Mengusir keresahan
Dari puncak Singah Mata
Memandang ke gunung di depan
Di sampingnya jalan meliku
Tadi pagi kita lalui
Tanpa engah
Tiap jengkal tanahnya
Mengandung perih
Darah dan keringat
Riwayat derita
Dibawah sangkur penjajah
ANGIN HUTAN CEMARA
Angin hutan cemara
Ditegur fajar
Buru-buru bangkit
Menyongsong petani
Yang bergegas naik
Ke lamping gunung
Ke ladang luas
Dimana harapan berkecambah hijau
Semakin hijau
Angin hutan cemara
Siang-siang
Mengantar harum bunga
Ke tiap tangga dengan kipasnya riuh
Mengibas panah surya
Yang terpacak di punggung pekerja
Melegakan dada
Untuk nyanyi – nyanyi kecil
Di selang seling ayunan cangkul
Angin hutan cemara
Sore hari
Habis perjalanan jauh
Walau lelah
Masih sempat
Melipur mengambil kayu
Atau nelayan di sungai
Dan pengembala di padang-padang hijau
Meringankan langkah mereka
Menuju rumah dan rumah tangga
Angin hutan cemara
Biasanya gemersik
Hanya sesekali menderu
Tapi kian kalinya mengingatkan
Enam puluh ribu hektar
Cemara menderai
Tak jemu – jemu menderai
Minta diolah
Namun tak pernah diacuhkan
Walau dua puluh tahun lebih
Kita merdeka
Angin hutan cemara
Ceramah namun ramah
Menawarkan bagia
Bagi tiap orang
Yang ingin mencicipinya
SUNGAI PESANGAN
Airmu jernih
Kaca alam yang permai
Kala angin lena
Dalam genangan siang
Dengan kemilau
Caya surya
Kau elus kaki tebing
Yang berkukuh
Dalam tapanya bisu
Kadang arusmu gemuruh
Menempuh batu-batu
Seakan tergesa
Membawa berita
Putri hijau
Berbaju ular
Bakal bangkit
Dari danau
Arusmu pun gitu deras
Gitu tergegas
Hingga tak engah
Ada gadis
Membungkuk di tebing
Termangu mencari
Bayang cintanya hilang
Dalam golak air
Di antara batu-batu
Riakmu kecil-kecil
Putih-putih oleh bulan
Adalah selingan mesra
Dari umbang-ambing peristiwa
RAHMAT
Angin lembut
Yang menjamah ladangmu
Meyepoikan puisi
Membisikan lagu juang tanpa akhir
Alunan sungai
Yang membelah sawahmu
Mengapungkan puisi
Caya-caya semangat dan keyakinan teguh
Pada hujan renyai
Turun kebumi
Mendesah napas puisi
Dendang petani laguan kerja berkepanjangan
Panas mentari
Yang menyiramimu
Menaburkan puisi
Himmah dan hikmah yang kekal
Bersyukurlah
Bersyukurlah
Tuhan tak putus melimpahkan rahmat-Nya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar