WANITA DARI LAMPADANG
Ada seorang wanita dari Lampadang
Rumah dan kampungnya dibakar
Lalu ia menyingkir ke hutan rimba
Ketika remaja
Ia bukan gadis manja
Ringan tangannya
Bergunjing ia tak suka
Tak sombong ia
Tekun belajar agama
Langit bersih
Udara nyaman
Ketika itu
Tiba-tiba pasukan Belanda
Menyulut nyala
Membakar Mesjid Baiturrahman
Api marak tak tertahan
Wanita dari Lampadang itu
Keluar rumah buru-buru
Matanya merah
Menatap kobar api
Lalu menjerit
Wahai rakyat Aceh yang beriman
Lihat sendiri
Rumah suci
Mereka bakar dengan api
Nama Allah
Mereka cemarkan
Masikah kita
Mau jadi budak Belanda ?
Lalu
Semua orang
Keluar rumah
Pedang dan rencong
Dicabut dari sarong
Semua mereka berseru
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Seketika pucuk rumput berdarah
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Kolam-kolam berwarna merah
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Langit berwarna merah
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Orang Belanda
Kohler namanya
Jenderal pangkatnya
Tewas saat itu juga
Wanita dari Lampadang
Menyapu keringat di keningnya
Perlahan tersenyum ia
Melihat Belanda mundur
Surut bertempur
Jakarta, 1985
BANDA ACEH
Yang masih ku ingat tentang dirimu
Adalah pahatan sejarah di batu
Dalam goresan bisu
Yang kuraba dengan rindu
Ujung Bate, 8 Agustus 1986
LAUT SIGLI
Semua keluh kukirim kepadamu
Semua risau kubenam kelaut mu
Rasa kesal dan benci kusampaikan kepadamu
Rasa kawatir dan takut kuceritakan padamu
O, laut Sigli
Semua derita ku tumpahkan kepadamu
Semua rindu kunyanyikan untukmu
Rasa sunyi dan nyeri kukirim padamu
Rasa takluk dan menyerah rubuh kepangkuanmu
O, laut Sigli
Izinkan aku memanggilmu
Ibu
Sigli, 21 Juli 1986
KASUR
Kau rajut daun
Dengan benang kasih
Kau susun pasir
Dengan nada rindu
Menyiapkan kasurku
Untuk tergolek tidur
Dan mimpi
Di sampingmu
Ujung Bate, 1986
KENING BULAN
Kening bulan
Bagai perak berkilau
Bersinar oleh cahaya iman
Yang selalu melekat
Di sajadah
Kening bulan
Bagai perak berkilau
Mendekatlah
Kepada angin kembara
Yang nestapa
Yang mencari
Dan mengembara
Di belantara dunia
Mendekatlah
O kening bulan
Angin kembara
Ingin mengecupnya
Untuk melepas risaunya
Jakarta, 1986
PERJALANAN MALAM
Seperti awan
Menjamah punggung bukit di jauhan
Begitu jemariku
Penuh kasih
Penuh rindu
Sebuah perjalanan malam
Sudah kita lalui
Perjalanan rindu
Antara awan dan bukit
Antara kau dan aku
Jakarta, 1986
BILA KELAK
Wahai
Bila kelak
Kau berangkat
Memetik bunga
Dan menari
Sepanjang jalan raya
Lemparkan aku di pasir
Aku akan tinggal di pasir
Aku akan berumah dipasir
Aku akan tidur di pasir
Aku akan mengutip nyanyianmu di pasir
Aku akan meraba kasihmu di pasir
Di pasir
Rindu kita akan tetap mengalir
Jakarta, 1986
MENCARI JEJAK
Malam itu
Aku
Seperti terlempar
Di kotamu
Aku memang tidak punya apa-apa
Dan tak mencari siapa-siapa
Jendela dan pintu
Telah tertutup untuk ku
Angin dengan leluasa
Merubuhkan tubuhku
Di emper-emper toko
Dan got jalanan
Tapi mimpiku mengalir
Bersama sunyi
Mencari jejakmu
Sampai dini hari
Penayung, 8 Agustus 1986
DI TANGSE
Siapa yang masih mendengar suara
Yang bangkit dari rumput
Siapa yang masih mendengar suara
Yang mengalir dari air
Siapa yang masih mendengar suara
Yang menjerit dari tanah
Dari daun
Dari pohon
Dari duri
Dihutan Tangse ini
Suara serak parau
Suara wanita
Yang berkata
Jangan sentuh aku
Jangan
Meski aku haus
Dan kau tawarkan air minum
Jangan sentuh aku
Meski lukaku menganga
Dan kau ingin membalutnya
Jangan
Jangan sentuh kulitku
Kerena kau kafir
Musuhku
Banda Aceh, 2 Agustus 1986
UNTUK DO KARIM
Pagi ini
Seperti ada yang menitik ke bumi
Barangkali embun
Atau gerimis sunyi
Atau desah syair sepi
Pagi ini
Seperti ada yang bergumam di bumi
Barangkali suaramu
Atau jerit luka
Atau tusukan syairmu
Ke hulu hati
Pagi ini
Seperti terdengar kersik angin
Atau percik keringat bumi
Mengguratkan namamu
Di pualam abadi
Sigli, 20 Juli 1986
SINAR
Tuhan
Aku perlu matahari
Sinar yang kau hamparkan
Bagi umat semesta
Tapi aku perlu juga
Sinar mata kekasih
Sinar mata yang menggorek dosa
Dan menggantinya
Dengan amal dan iman
Lamprik, 9 Agustus 1986
GEMBALAU
Tiba-tiba ada gembalau di hati
Bagai gelombang
Bagai angin
Menderu
Ke daerah tak bertepi
Mungkin ke hatimu yang sunyi
Takengon, 5 Agustus 1986
TANYA
Ku nikmati titik gerimis senja itu
Bagai sinar matamu meyerbu tubuhku
Dan dia bertanya
Dengan bahasa semesta
Kp. Laksana, 4 Agustus 1986
CUKA
Kau bertanya tentang lukaku
Aku bertanya tentang lukamu
Kita saling bertanya
Lalu
Kita saling
Merendam diri dalam cuka
Banda Aceh, 4 Agustus 1986
MATA AIR
Jangan terbangi hutan
Agar mata air terus mengalir
Mata air bagi sawah
Mata air bagi pengembara
Dan kerongkongan yang kering
Jangan ganggu keteduhan
Agar mata air terus mengalir
Mata air bagi syairku
Mata air bagi penyair
Dan pena yang dahaga
O keteduhanmu
Kekasih
Jangan ganggu ia
Dengan nafsu, iri dan dengki
O keteduhanmu
Kekasih
Peliharalah dengan kasih
Dengan doa
Dan iman kepada Nya
Lamprik, 9 Agustus 1986
DIBALIK KACA
Dibalik kaca
Kau berseru
Bulan, bulan
Bulan manis
Tanpa gerimis
Mengapung di rimba Sumatra
Mengapung di Selat Malaka
Dibalik kaca
Kau membaca
Syair purba
Bintang terang
Berkedip cemerlang
Diatas rimba Sumatra
Di atas selat Malaka
Di balik kaca
Mengalir nyanyian bunga
Persembahan perdana
Bagi alam semesta
Jakarta, 1986
RIMBA
Lewat sisa gerimis di kaca
Kita saksikan rimba
Rimba yang tertutup kabut
Dan bukitpun dilingkup senyap
Cipayung, 7 Maret 1986
KITA RINDU
Kita rindu
Keteduhan pohon
Seperti kita rindu
Belai tangan ibu
Saat kita di jepit batu
Batu gelisah itu
Kita rindu
Nyanyian di bawah bulan
Seperti kita rindu
Suara ibu
Berkenan menyapu luka
Luka yang berdarah itu
Rawamangun, 6 Maret 1986
DENGAN SAYAP PUISI
Dengan sayap puisi
Ia terbang
Dari satu negeri
Ke lain negeri
Langit biru
Adalah warna bajunya
Hijau pegunungan
Adalah kesejukan hatinya
Dengan sayap puisi
Ia terbang
Dari bintang
Ke bintang
Memetik bunga cahaya
Lalu ia sebar
Ke taman-taman dunia
Ia titipkan juga
Di gubuk orang yang menderita
Jakarta, 20 Maret 1986
SORE ITU
Sore itu
Kau bernyanyi
Bersama angin
Kau bernyanyi
Bersama ombak
Kau bernyanyi
Bersama daun luruh
Kau bernyanyi
Bersama batu yang diam
Ya sore itu
Kau bernyanyi juga
Bersama syairku
Syair yang akan lahir
Dari kilau sinar matamu
Sinar mata yang menjalin
Baris-baris syairku
Ujung Bate, 8 Agustus 1986
DATANGLAH
Datanglah sakit
Sakit ya sakit
Datanglah pedih
Pedih ya pedih
Hingga sakit
Di mana- mana
Pedih
Dimana-mana
Dalam diriku
Setiap sakit baru
Menimpa sakit yang lama
Bergumullah sakit dengan sakit
Pedih dengan pedih
Seluruh diriku sakit
Seluruh diriku pedih
Hingga
Sakitku lelah
Pedihpun lelah
Kutatap dengan mata cahaya – Mu
Ketika fajar tumbuh
Sakit dan pedih rebah
Ia tidur dalam dagingku
Ia lelap dalam darahku
Kini sakit dan pedih
Menjadi teman akrabku
Ia bagai bintang
Menerangi dan menunjuk arahku
Surabaya – Jakarta, 31 Maret 1986
DIBAWAH HUJAN
Dibawah hujan bagai kapas
Siang itu
Aku mencarimu
Tetapi hanya gerimis
Yang melintas
Ada daun luruh
Membuat hening
Melengkapkan sunyi
Pencarianku
Yogya, 27 Maret 1986
NYANYIAN BUNGA
Aku barangkali
Tak memerlukan pena lagi
Untuk menulis kata
Karena kata
Telah dibawa cahaya
Aku barangkali
Tak memerlukan suara lagi
Untuk menyampaikan
Ucapan
Karena suara
Telah direbut angin
Tapi aku tau
Aku memerlukan
Nyanyian bunga
Mengaliri sukma
Ketika angin dan cahaya
Berbisik
Lalu rebah di pangkuan mu
Adik, sungguh aku memerlukan
Nyanyian bunga
Yang berdendang
Menderu dalam kalbu
Untuk mencatat sunyi
Bumi
Surabaya – Jakarta, 31 Maret 1986
JAWABAN KANCAMARA
Disebuah istana
Seorang puteri jelita
Bertanya
Kepada seorang anak muda
Kancamara
Coba jawab pertanyaan ku ini
Apa yang panas
Terpanas
Di alam ini
Dibanding dengan api ?
Kancamara menjawab
Segera berkata
Yang panas
Terpanas
Di alam ini
Adalah
Amarah di dalam hati
Puteri jelita
Bertanya pula
Apa yang dingin
Paling dingin
Di alam ini ?
Perasaan orang
Yang nyaman
Yang niatnya
Dicapai
Dengan izin Tuhan
Nah ini
Satu lagi
Kata putri
Apa yang disayang
Paling di sayang
Di dunia ini ?
Yang disayang
Paling disayang
Di dunia
Bohong dan dosa
Jakarta, 25 Juni 1986
SEPERTI LEONARDO DA VINCI
Seperti Leonardo da Vinci
Iapun suka berjalan sendiri
Kadang dalam sunyi
Menanyakan bunga
Menanyakan matahari
Seperti Leonardo da Vinci
Ia pun suka mencari
Daun dan batu di kali
Kadang bernyanyi
Bersama bintang
Hingga pagi
Kadang bertanya
Ke mana raibnya
Cahaya demi cahaya
Seperti Leonardo da Vinci
Ia ingin
Mengekalkan semua ini
Dalam goresan abadi
Jakarta, 5 Maret 1986
KESAMUDRA
Pejamkan matamu
Lalu saksikan
Jejak kita
Di pucuk ombak
Heningkan sekitarmu
Lalu tangkap
Kata-kata kita
Di angin lewat
Sepikan dirimu
Lalu dengar
Detak rindu kita
Di nadi yang bergetar
Jejak
Kata-kata
Dan detak rindu kita
Mengapung di sungai kasih
Mengalir kesamudra kasih
Samudra yang putih
Kasih yang bersih
Danau Toba, 8 Pebruari 1986
BATU PUTIH
Kepala perempuan dari batu putih itu
Mengangguk pada kita
Apa ini maknanya
Kemudian menggeleng
Apa pula ini maksudnya
Lalu ia diam
Apalagi ini artinya
O bahasa isyarat
Yang sarat makna
Hamba dungu
Beri petunjuk Mu
Sono Budoyo, Yogya, 27 Maret 1986
SUNYI
Sore itu gerimis lagi
Rumah dan pepohonan
Disaput sunyi
Cipayung, 7 Maret 1986
HA... HA...
Ha... ha...
Lalu bunga mengelopak di taman
Lalu seribu pucuk bergetaran
Ha... ha...
Lalu bintang berkedipan
Lalu seribu cahaya berkilauan
Ha... ha...
Lalu suara merdu dialunkan
Lalu seribu nyanyian didendangkan
Ha... ha...
Lalu laut bergelora
Lalu seribu debur membahana
Ha... ha...
Lalu alis degerakkan
Lalu seribu isyarat dibangunkan
Ha... ha...
Lalu nafsu birahi dimatikan
Lalu kasih sejati dihidupkan
Ha... ha...
Menglir bunga rindu
Mengalir bunga kasih
Ha... ha...
Hening sungai rindu
Hening sungai kasih
Jakarta, 1 Maret 1986
OMBAK
Ombak samudra
Semakin deras menerpa
Tebing sukma
Ombak berpeluh
Datang dari jauh
Dalam pagi ku
Dalam siangku
Dalam malam ku
Ia terus berlagu
Nyanyian sendu
Cahaya Mu
Memberi sinar
Pada ombak
Dan ombakmu
Memberi sinar
Pada sukmaku
Hingga diriku
Penuh dengan
Binar rindu
Entah
Kapan segalanya akan reda
Tapi ombak samudra
Dan tebing
Memang sedang bercanda
Jakarta, 27 Februari 1986
KUNANG – KUNANG
Selaksa kunang – kunang
Menerangi kelam
Selaksa kunang – kunang
Menerangi hatiku
Terima kasih Tuhanku
Cipayung, 8 Maret 1986
DALAM MAWAR
Tak Lagi
Kutiup suling sedih
Bila sedih
Datang
Ku peras saja
Air mata
Lalu kusiram bunga
Air mataku
Akan mendaki
Akar mawar
Mendaki pohon
Cabang dan bunga
Dengan sabar
Sedihku kini
Mengalir dalam wangi
Wangi mawar
Jakarta, 8 April 1986
SUARA DARI GUNUNG
Untuk Pak Bus
Inilah suara daun
Inilah suara ranting
Inilah suara rimba
Yang mengalun
Menyusur lembah
Menyusur pantai
Menembus kabut
Menembus kelam
Kelam yang kelam
Suara yang ingin bersuara
Suara bersahaja
Suara rakyat jelata
Yang ingin bersuara
Suara dari gunung
Yang bertahun-tahun terlindung
Kini mendengung
Mengaliri belantara
Menempuh samudra
Bergetar dicakrawala
Suara bersahaja
Suara rakyat jelata
Bukan sekedar
Menyampaikan derita
Tapi juga ingin mengulurkan
Salam bahagia
Salam suka
Karena suara gunung
Terdengar juga
Di kota
Bahkan bergetar
Dihati bapak
Takengon, 26 February 1987
DEBU
Berjalanlah puisi
Menyusuri darahku
Dengan kaki ajaibmu
Ketuk pintu-pintu
Dan bangunkan
Debu dalam diriku
Km Rinjani, 27 November 1986
MEMBUMBUNG
Daun sudah kering
Tak apa
Catatanmu
Sudah ku pindah
Dalam kalbu
Dan bila kalbu kering
Tak apa
Catatanmu
Sudah kupindah
Ke dalam arwahku
Ia membumbung
Kelangit biru
Langit sunyi
Langit abadi
Km Rinjani, 29 November 1986
K.A. KITA
K.a. kita
Kereta tak beroda
Tapi kencang larinya
Ia juga tanpa mesin
Tapi terbang mendesing
Menuju cakrawala
Yang tanpa batas
Sebuah maya cinta
K.A. Bima, 31 Maret 1986
DALAM KABUT SAMAR
Biarlah aku tak dikenal
Orang ramai
Biarlah aku tinggal
Dalam kabut samar
Kabut rahasia
Tapi bagimu
Reguklah air jernih itu
Dari mata air
Yang selalu mengalir
Biarlah aku tak di kenal
Tapi kau tentu hafal
Siapa mata air itu
Dan itu sudah cukup bagiku
Jakarta, 11 September 1986
TAK ADA LAMBAIAN
Hari ini
Tak ada lambaian untukku
Pelabuhan sepi dan kelabu
Tak ada senyum
Kuntum bunga
Dan tak ada
Desah angin lirih
Tanda bersedih
Dimana tersimpan
Semua itu
Saat aku
Sangat ingin
Menyaksikan lambaian
Melihat senyum bunga
Dan mendengar desah
Angin sedih dan basah
Dimana tersimpan
Semua itu
Pegunungan dan pepohonan
Di jauhan
Hanya terpaku bisu
Blang Bintang, 9 September 1986
KALAU ENGKAU
Kalau engkau datang lagi
Aku punya teman lagi
Tapi kalau engkau pergi jauh
Aku punya teman pergi jauh
Kalau engkau pergi ke awan
Aku punya teman pergi ke awan
Kalau engkau pergi memetik bintang
Aku punya teman pergi memetik bintang
Kalau engkau pergi ke laut biru
Aku punya teman pergi ke laut biru
Kalau engkau manari di pucuk ombak
Aku punya teman menari di pucuk ombak
Kalau engkau bernyanyi di pantai
Aku punya teman bernyanyi di pantai
Kalau engkau menggores rindu di pasir
Aku punya teman menggores rindu dipasir
Kalau engkau datang lagi
Aku punya teman datang lagi
Tapi kalau engkau pergi
Aku tak punya teman lagi
Aku
Tak punya
Teman
Lagi
Langit
Bumi
Jadi sunyi
Jakarta, Agustus 1986
KUTEMANI KAU
Ku temani kau melangkah
Ke padang kembara
Ke hutan sunyi tak terduga
Kutemani kau menempuh malam
Mencari bintang gemintang
Kutemani kau menempuh siang
Menyaksikan lembah dan pegunungan
Ku temani kau mendengar
Nyanyian sungai
Suara merdu diantara deru batu
Kutemani kau berjalan dipantai
Ketika ombak
Mengeluh berderai
Kutemani kau menunggu senja hari
Saat kau menggoreskan
Duka dalam puisi
Masihkah kau berkata
Kasihku padamu
Kecil saja
Banda Aceh – Jakarta, awal September 1986
NASEHAT KEPADA DIRI SENDIRI
Tadah tetes – tetes kesepian
Ke dalam cawan
Lalu dengan tenang
Tatap berjuta ombak
Yang gelisah bergerak
Mendaki sepi
Kemudian minum
Air kesepian
Dari cawan
Biarkan ia mengalir
Ke dalam diri
Tanjung Perak, 28 November 1986
MENGEPAK
Kelopak bunga menggelegar
Di pinggir padang hijau
Di jauhan gunung mendayu
Dalam nyanyian rindu
Dan burung itu mengepak
Dalam gugusan yang panjang
Burung itu
Mengepak
Dalam barisan
Yang panjang
Dau jauh
Tak mengeluh
1986
NYANYIAN LHO SEUDU
Lembut ombak di Lho Seudu
Menjamah pantai satu-satu
Ramah ombak di Lho Seudu
Memberi salam padamu dan padaku
Semilir angin di Lho Seudu
Mengusap wajahmu dan wajahku
Hijau daun di Lho Seudu
Menyimpan gairahmu dan gairahku
Terjal karang di Lho Seudu
Menahan risaumu dan risauku
Putih pasir di Lho Seudu
Mengutip kasihmu dan kasihku
Biru laut di Lho Seudu
Membenamkan gelisahmu dan gelisahku
Teduh langit di Lho Seudu
Melindungi perjalananmu dan perjalananku
Diam batu di Lho Seudu
Menyimpan rahasiamu dan rahasiaku
Lho Seudu-Banda Aceh, 28 Agustus 1986
KELOPAK BIRU
Di gumpal awan
Kutulis namamu
Dan ku tulis juga
Syair cinta
Nanti bila
Awan turun
Bumi di siram kasih
Bunga akan menyimpan
Namamu
Dan sebuah syair cinta
Tergores dikelopak biru
Yang kutulis untukmu
Jakarta – Banda Aceh, 25 Agustus 1986
CATATAN MURID SD DI SEBUAH KOTA KECIL
Inilah catatanku
Catatan murid SD
Di sebuah desa kecil
Yang jauh terpencil
Lewat buku
Yang berdebu
Aku tahu
Tentang sebuah desa
Dipinggir kota
Dibangun bersama – sama
Pejabat dan rakyat jelata
Yang kaya
Memberikan harta
Yang miskin
Menitikkan keringatnya
Bersama-sama
Mendirikan
Sebuah taman pendidikan
Lewat lembar yang berdebu
Yang ku buka satu-satu
Kubaca
Pikiran yang jernih
Niat yang tulus
Dari orang-orang pintar
Membangun
Sebuah taman pendidikan
Lewat lembar yang lepas
Kerena kurang bagus jilidnya
Kubaca
Sejumlah nama
Yang dapat kuhafal satu-satu
Nama yang melekat
Di kepalaku
Sebagai nama
Pohon-pohon dikebunku
Nama yang terus tumbuh
Nama orang yang berjasa
Nama yang tak bisa kulupakan
Kuukir dibatu sebisaku
Lalu kususun di bukit
Di desaku
Bukit itu seperti biasa
Selalu kena cahaya
Dan letaknya bangus
Setiap orang kekali
Orang akan memandangnya
Aku akan bangga
Bila orang desaku
Menyenangi ukiranku
Dan lebih bangga
Bila mereka tahu
Siapa nama yang ku ukir itu
Inilah catatanku
Catatan seorang murid SD
Di desa kecil
Yang belum pernah sempat
Berkunjung
Ke taman pendidikan
Yang kubaca
Dalam buku itu
Tapi aku tahu
Betapa jernih
Ia dalam benakku
Dan kupahat namamu
Dalam hatiku
Kadang-kadang sesekali
Mengalir dalam gumam
Darussalam, Darussalam
Gumamku di bawa angin
Sehingga gunung dan lembah
Menggemakan suara
Darussalam, Darussalam
Gumamku di bawa air
Lewat kali mengalir
Dan memercik suara
Darussalam, Darussalam
Gumamaku direbut awan
Yang terbang kelangit
Disana ia menjerit
Darussalam, Darussalam
Banda Aceh, 31 Agustus 1986
DISEBUAH KOTA INDUSTRI SUATU PAGI
Tiga orang lelaki desa
Tiba pada sebuah kota industri
Mata mereka membesar
Ketika melihat akar
Bukan yang mengokohkan pohonan
Tapi akar baja
Yang mengokohkan bangunan
Mata mereka silau
Bukan oleh sinar fajar
Tapi silau oleh sinar lampu pijar
Karena telah diguncang Bus
Tepat jam 10.30 malam
Mereka tidur
Dibaraknya
Barak nomor dua
Mereka lelap
Meski kota industri itu panas
Tapi alangkah nyaman rasanya
Dibarak nomor dua ini
Udara dingin sekali
Udara tehnologi
Pagi hari
Seperti di desa mereka yang dingin
Lelaki itu bangun
Mandi, berwuduk
Lalu sholat subuh
Udara tehnologi
Terus menyirami
Dalam bercakap-cakap
Tentang tempat tidur
Yang lembut dari busa
Dan tentang air yang muncrat
Dari pipa
Pagi jam tujuh
Setelah subuh
Tiga lelaki desa itu
Berjalan dan berjalan
Sepuluh menit kemudian
Dengan rasa aman
Mereka tiba
Di depan ruang makan
Tapi alangkah sepi
Ruang makan ini
Meja-meja korsi-korsi
Memang ada
Tapi tamu tak ada
Seorang pun tak ada
Ketika seseorang melintas
Di tengah ruang
Lewat kaca
Seorang lelaki
Dari desa itu
Bertanya
Mengapa pintu itu ditutup
Dan apa makanan tak ada
( Semua pertanyaan dilakukan dengan bahasa isyarat )
Orang yang ditanya
Menggoyang-goyangkan tangannya
Mungkin artinya
Sudah habis
Sudah tak ada
Sudah tutup
Tetapi lelaki dari desa itu
Tetap ingin masuk
Lalu pintu di buka
Dan terdengar suara
Sudah tak ada apa – apa
Air panas pun tak ada?
Tak ada semua sudah dingin.
Tak apa dingin pun tak apa
Lalu ketiga lelaki desa
Minum sekedarnya
Lalu permisi
Pada sepi
Lalu mereka berjalan
Dan berjalan
Dilorong-lorong kota industri
Dengan perut tak jadi di isi
Lalu mereka berjalan
Dan berjalan
Dilorong-lorong kota industri
Dengan sanubari terisi
Ketika bersua dengan rumput
Rumput yang hijau
Mereka seperti berkata
Dalam hati
Kita puasa hari ini
Lhok Seumawe, 20 Februari 1987
KRUENG DAROY
Untuk IH
Bila mendesir
Krueng daroy
Membangunkan tidurmu
Subuh itu
Bangunlah
Itulah suara kami
Rakyatmu
Yang selalu berseru
Memuja Tuhan
Bila berkilau
Krueng daroy
Sore itu
Tersenyumlah
Itulah senandung hati kami
Rakyatmu
Yang ingin hidup aman
Dan tentram
Bila berdendang
Krueng daroy
Menghibur hati
Malam itu
Sujudlah
Itulah doa kami
Rakyatmu
Yang hidup dalam iman
Dan memuja Tuhan
Krueng daroy
Krueng daroy
Kami bersyukur
Bersyukur dalam tafakur
Krueng daroy
Krueng daroy
Bila lelap nanti
Bangunkan kami
Dengan desirmu
Desir mengalir
Bersama azan subuh dinihari
Untuk memuji Illahi Rabbi
Jakarta, 17 Agustus 1986
UNTUK TGK CHIK PANTE KULU
Tak kutahu
Dimana akan kubaca namamu
Dipapan tak ada
Dibatu tak ada
Di tanah tak ada
Dirumput tak ada
Tak kutahu
Dimana akan kutulis namamu
Pohon tak ada
Angin tak ada
Awan tak ada
Tapi ketika kuambil air wuduk
Dengan tubuh terbungkuk
Hati bergetar
Memberi kabar
Namamu tertulis disini
Di hati
Darussalam, Banda Aceh, 8 September 1986
DOA SEHELAI DAUN
Bila saatnya tiba
Beri aku angin
Menggugurkan diri
Ke bumi
Aku akan tidur
Dalam kelopak dunia
Yang mekar
Oleh senyum kekasih hamba
1986
AKU TIBA-TIBA RINDU
Selesai shalat Isa
Dalam pelayaran ini
Aku tiba – tiba rindu
Pada ibu
Apakah ibu
Sedang berlayar juga
Di alam baqa
Serta masih
Sempat menjagaku
Seperti masa kanak dulu
Laut Jawa, 20 November 1986
BINTANG – BINTANG
Di langit bintang – bintang
Teratur berjalan
Sambil berjalan
Ia kirim sinar
Kepada kegelapan
Aku ingin
Seperti bintang
Teratur berjalan
Dan mengirim sinar
Kepada kegelapan
Tapi aku hanya debu
Setitik debu
Tak punya sinar
Tapi aku
Tak sekedar debu
Tak sekedar setitik debu
Kalau aku mau
Dengan redha – Mu
Aku bisa jadi bintang
Menerangi hatiku
Untuk memberi sinar
Pada kegelapan
Jakarta, 7 November 1986
DOA UNTUK CAMAR KECIL
Camar kecil
Terbang menggigil
Dalam mega
Menempuh badai
Beri dia
Bulu yang hangat
Oleh kasih – Mu
Beri dia
Sayap yang kuat
Oleh Redha – Mu
Beri dia
Hati yang terang
Oleh sinar – Mu
Jakarta, 8 April 1986
KARANGAN BUNGA
Sambil tertawa
Disusunnya bunga
Menjadi karangan bunga
Sambil tersenyum
Dijualnya karangan bunga
Lalu dibawa orang ke kubur
Untuk menemani si mati
Dalam sunyi
Menemui engkau, Ya Robbi
Jakarta, 2 Desember 1986
PERJALANAN SUBUH
Hari masih subuh
Subuh benar – benar subuh
Ketika kami mencari mesjid
Untuk sholat subuh
Dalam perjalanan
Di tengah embun
Di tepi jalan kami berhenti
Sebuah lampu templok
Bersinar lemah
Menerangi ruang yang luas
Dalam mesjid
Si sebuah sudut
Dalam samar
Dalam sunyi subuh
Suara seorang hamba
Terdengar bergetar
Melafazkan ayat-ayat Mu
Dijauhan terdengar
Kokok ayam bergetar
Melafazkan ayat-ayat Mu
Air pancuran mengalir
Mendesir
Melafazkan ayat-ayat Mu
Hari masih subuh
Subuh benar – benar subuh
Embun kasih Mu
Mengalir kehutan – hutan
Ke pucuk pohonan
Mengalir ke kubah mesjid
Menyusup keruang luas
Dan sajadah sejuk oleh kasih Mu
Dan cahaya lampu menggeliat
Oleh kasih Mu
Meski penat
Ia terus menggeliat
Melafazkan ayat-ayat Mu
Takengon, 8 Januari 1987
DOA SEORANG PENDAKWAH PROFESIONAL
Tuhan
Hamba adalah seorang pendakwah profesional
Memang hamba lahir di kampung
Besar di kampung
Lalu bedakwah di kampung
Gambar hamba tak pernah tersiar
Di surat kabar
Hamba ini
Tak pernah muncul di TVRI
Tapi hamba tetap pendakwah profesional
Karena syarat untuk itu hamba penuhi
Hamba rajin membaca tentang agama
Dan tak lupa membaca tentang budaya
Termasuk sastra
Hamba faham pikiran Ghazali
Iqbal, Hamzah Fansuri, Ar-Raniri
A. Hasimy hingga Latief Rousdy
Hamba menguasai materi
Dan tahu kepada siapa dakwah di beri
Hamba fasih
Berkata-kata
Suara hamba merdu
Sering orang terpesona
Kalau hamba bicara
Orang banyak memuji
Pada diri hamba ini
Tuhan
Kadang kala datang rasa aneh
Rasa bangga
Ingin tepuk tangan
Ingin pujian
Inikah perasaan yang hamba pupuk
Bisa – bisa ini menjadikan
Kesombangan
Wah, ini celaka
Hamba tahu
Hamba hanya sebutir debu
Karena iu hamba malu
Hamba sangat malu
Tuhan
Beri hamba
Ketetapan hati
Untuk tetap rendah hati
Lhok Seumawe, 9 Januari 1987
SEORANG SAHABAT DI PINGGIR DANAU
Seorang sahabat datang
Datang dari negeri jauh
Dalam keringat yang berpeluh
Matanya menatap danau
Ia berkata-kata dengan danau
Ia berbicara dengan orang-orang berpeci
Di pinggir danau
Ia berbicara dengan orang – orang berkerudung
Di pinggir danau
Ia berbisik dengan ombak danau
Ia bersihkan diri dengan air danau
Kemudian
Ia sujud diatas batu di pinggir danau
Lama ia sujud
Kemudian
Tubuhnya bergoncang
Matanya basah
Ia tengadah
Mengucap Allah
Takengon – Jakarta, November 1986
AZAN
Azan itu
Diucapkan ombak laut
Dengan gumam
Gumam yang dalam
Azan itu
Kuucapkan dengan rindu
Rindu yang dalam
Kepada Mu
Laut Jawa, 28 November 1986
SHALATKU
Shalatku
Bagai mawar
Bunga dalam taman
Memberi kesejukan
Dan menyebar wangi
Dalam ladang kehidupan
Shalatku
Bagai pisau
Kuasah berkilau
Semakin tajam
Untuk menikam
Dosa – dosaku
Shalatku
Bagai titi
Kujalin dalam sunyi
Jembatan kepada Mu
Ya Robbi
Jakarta, 5 November 1986
Senin, 01 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar