JABAL GHAFUR
Untuk N.A.R.
Kulalui petak sawah yang luas
Padinya hijau melambai padaku
Kulalui kebun kelapa
Tinggi pohonnya
Daun menggapai awan
Lalu turun
Menggapai hatiku
Kulalui desa-desa tua
Desa perjuangan masa lalu
Disana tersenyum ayah bundaku
Lalu kutembus kabut debu
Kutembus juga sejarah gelap masa lalu
Kutembus semua yang menghalangiku
Aku harus bertemu dengan mu
Aku juga sangat rindu padamu
Engkau adalah kekasihku
Engkau adalah
Rumah di bawah langit biru
Disitu menitik kasih Tuhan
Aku terpana
Aku bertanya siapa namamu
Lalu pepohonan, gunung di jauhan
Sungai dan lautan gelombang berseru
Semua berseru
Jabal Ghafur, Jabal Ghafur
Sigli, 25 Januari 1986
SEORANG TUA BERJALAN
Setiap hari ia berjalan
Dijalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Badan sedikit terbungkuk
Langkah satu-satu
Di jalan itu juga
Ada senja
Menyamarkan jalannya
Tapi ada bintang
Terbit menolongnya
Semua tak ia minta
Tapi turun begitu saja
Di jalan itu juga
Ada matahari terik
Meneteskan keringatnya
Tapi ada angin
Meniup tubuhnya
Datang begitu saja
Semua turun begitu saja
Di jalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Di jalan itu juga
Dibawah langit itu juga
Pohon, dedaunan
Tiang listrik, aspal jalanan
Begitu ramah padanya
Kadang seperti menegurnya
Selamat pagi
Atau selamat sore
Atau selamat malam
Oarng tua itu
Melangkah dan melangkah
Di jalan itu juga
Setiap langkah
Ia mengucap Allah
Jakarta, 1986
DI GERBANG KAMPUS ITU
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba berdiri
Di gerbang kampus itu
Ia tengadah ke langit
Lalu menjerit
Suaranya hilang entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari bintang
Jatuh kebumi
Berserakan di bumi
Menjadi syair
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba terengah
Di gerbang kampus itu
Setelah ribuan kilometer berlari
Mencari
Lalu tertunduk
Menangis
Tangisnya kemudina hilang
Entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari batu
Tergulir ke bumi
Menjadi puisi
Yang abadi
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Kemudian pergi
Entah kemana
Di subuh hari
Ketika seorang mahasiswa
Membuka pintu gerbang kampus itu
Ia lihat kertas lusuh
Di sana tertulis
Tuhan, berkahi usaha mulia ini
Jakarta, 1986
SEDEKAH
Tujuh puluh bencana
Mengarah pada kita
Bagai mana menolaknya
Tujuh puluh sakit
Mendera kita
Bagaimana menyembuhkannya
Tujuh puluh pencuri
Mengganyang harta kita
Bagaimana mencegahnya
Tujuh puluh amarah Tuhan
Membakar kita
Bagaimana menghindarkannya
Bahkan membakar nadi kita
Bagaimana memadamkannya
Hampir kita lupa
Untuk itu semua
Ada satu cara
Sedarhana dan bersahaja
Mari kita bersedekah
Sedekah menolak bencana
Menyembuhkan sakit
Mencegah pencuri
Menghapus amarah Tuhan
Sedekah mencipta
Keakraban handai taulan
Sedekah mencipta
Suasana sejuk antara kita
Ia embun pagi
Menetes ke hati
Jakarta, 1985
166 NAMAKU
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan pepohonan dan rimba
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan sungai dan segara
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan besi dan baja
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan langit dan angkasa
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang disirami ibu-bapa
Kuncup bunga
Yang digayuti embun dinihari
Kuncup bunga
Yang diusap mentari pagi
Ya aku bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang ingin mekar
Ingin mengirim wangi sekitar
Jakarta, 1985
TAK ADA LAGI
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan sinar bulan
Yang dingin oleh rindu
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali mendengar rintih angin
Di air danau
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali memandang kuburan tua
Tempat istirahat nenek moyang ku
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali menyaksikan embun turun
Membasuh wajah rakyatku
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan gema doa
Dari orang yang menderita
Doa yang membumbung ke langit
Bersatu dengan awan
Bersatu dengan matahari
Lalu turun kebumi
Mendatangi rumahmu
Memberi salam padamu
Masuk kehatimu
Bicara tentang keadilan
Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Kecuali bekas masa kanak-kanak
Yang tertutup debu
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali melihat bayang sejarah
Perlahan tenggelam
Tak tertulis
Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Selain menyaksikan kasih Mu
Yang terus menyirami bumi
Lho’Seumawe – Takengon, Januari 1986
PESAN
Untuk Radio Rimba Raya
Jangan sampaikan pesan lagi padaku
Karena aku tak dapat lagi menyampaiakan pesan
Jangan kirim pesan lagi padaku
Karena aku tak dapat lagi mengirim pesan
Lihatlah, lidahku telah kelu
Mulut tertutup
Tubuh tinggal bayang
Dulu memang pernah
Bisikmu kusampaikan ke balik gunung
Keseberang lautan ke negeri-negeri jauh
Dulu memang pernah
Detak hatimu
Cita-cita merdeka mu
Kukirim kesetiap hati sahabat-sahabat
Atau musuh-musuhmu
Di desa, di kota, bahwakan di laut dan di rimba
Dulu memang pernah ada
Ucapan merdeka yang kau sampaikan bagai bisik
Kujeritkan sekeras-kerasnya
Hingga bergema menyentuh cakrawala
Bergelegar menjadi guntur
Merobek-robek angkasa
Hingga musuh gentar tak berdaya
Dan sahabat-sahabatmu mendegar ucapan itu
Bangkit
Bangkit, lalu berlawan habis-habisan
Semangatnya telah menjadi baja
Walau di tangan hanya bambu runcing saja
Dulu memang pernah
Saat malam menjelang pagi
Dengan suara menggigil karena dingin
Kusampaikan pesanmu
Tiktok tiktok hallo Sudarsono
Tiktok tiktok hallo Palar
Kirimi kami mentega
Kirimi kami susu
Kirimi kami beras
Kemudian datanglah kiriman
Dan yang datang adalah senjata
Lalu dibagi pada setiap tentara
Lalu mereka menembak musuh
Tepat di jidatnya
Dulu memang pernah
Ketika kita hampir tak punya daya
Ketika suara di pusat negeri ini dibungkam
Kami bangkit menyuarakan nurani bangsa
Hallo dunia
Hallo dunia
Negeri kami masih ada
Negeri kami merdeka
Tapi kini jangan sampaikan pesan lagi padaku
Karena tak dapat lagi kusampaikan pesan apa pun
Lidahku kaku
Mulut tertutup
Tubuh tinggal bayang
Tinggal bayang
Dari ingatanmu pun
Mungkin akan hilang
Takengon, 22 Januari 1986
BEKASMU
Nanti masih dapat kulihat
Bekasmu di pasir itu
Debu dan waktu
Memang ingin menutup masa lalu
Tapi matahari senja
Yang kuning kemerahan itu
Menerangi selalu
Bekasmu
Mungkin aku lupa
Pada perjalanan kita
Tapi debur ombak itu
Selalu berseru
Berseru
Menyebut namamu
Nanti masih dapat kuingat
Bekasmu dipasir itu
Karena pasir pun berbisik padaku
Menuntun arahku
Tapi sekiranya
Pasir pantai lenyap
Matahari hilang cahaya
Ombak kelu
Tetap dapat kuingat bekasmu
Karena telah kusimpan
Dalam kalbu
O bekas yang menggores
Peta jalur hidupku
Banda Aceh, 27 Januari 1986
GERAIKAN RAMBUTMU
Geraikan rambutmu, bidadariku
Geraikan
Lalu seribu bintang menyinari
Sehingga setiap helai tersepuh emas
Cakrawala memerah
Dan laut mabuk rindu
Geraikan rambutmu, bidadariku
Geraikan
Lalu angin malam menciumi
Sehingga setiap helai menyebar wangi
Bumi semerbak
Dan alam tidur dalam mimpi
Geraikan rambutmu, bidadariku
Geraikan
Izinkan disana akan lewat
Debu dosa
Menuju langit
Kemudian dari setiap helai
Menitiklah belai
Kasih tak henti
Mata air abadi
Dunia akan terjaga
Dari lelap lama
Medan, Februari 1986
BISIK
Kupelihara daun
Kusimpan batu
Dalam biliku
Bila ada ketukan di pintu
Mungkin tangan angin
Mungkin tanganmu
Atau mungkin
Tak siapa – siapa
Hanya malam
Tambah kelam
Dan sunyi
Menanti
Kupelihara daun
Kusimpan batu
Dalam biliku
Aku tahu
Jika aku rindu
Disana ku dengar bisikmu
Wahai, bilik ku yang sunyi
Apa dia juga mendengar bisik hati
Ucapan doa untuknya
Dalam syairku yang lara
Prapat – Jakarta, Februari 1986
PERCAKAPAN
Katakan apa yang ingin kau katakan,
Kata pantai pada ombak
Tak ada yang ingin ku katakan,
Jawab ombak
Aku rindu pada kata-katamu sekarang,
Kata pantai
Aku tak ingin berkata-kata sekarang,
Jawab ombak
Langit gelap
Bulan tak ada
Bintang tak ada
Bumi gelap
Ayolah kalau begitu berbisik sajalah
Aku tak mau berbisik
Sunyi sekitar
Daun tak bergetar
Alam terhampar
Dengan sabar
Kalau tak mau berkata- kata
Kalau tak mau berbisik saja
Lalu....
Ombak hanya berkejap
Ombak tak menjawab
Ombak dengan sedap
Mengelus pantai
Meremas pantai
Hingga malam usai
Medan – Jakarta, Februari 1986
KE LAUT
Ia pergi kelaut
Mencari ombak
Mencari kabut
Jutaan helai rambut
Gugur dari angkasa
Dari langit luka
Menerpa wajahnya
Ketika mengaduh
Sebelum rubuh
Jeritnya parau
Ombakpun risau
Menambah gembalau
Kini ia meniti kabut
Membubung bersama kabut
Kelangit yang kalut
Sigli, 31 Januari 1986
CATATAN PADA DAUN
Kau mencatat pada daun
Sebuah pesan
Ketika langit sangat biru
Tanpa awan
Setelah kau pergi
Jauh
Ku baca pesanmu
Lalu kusimpan
Jauh
Dalam diriku
Kini pesan itu
Mengalir dalam darahku
Dan bila aku mati
Ia kusimpan di syair sunyi
Jakarta, Februari 1986
BUNGA
Subuh itu ada yang memetik bunga
Disusunya di gelas kaca
Ditaruhnya di atas meja
Terasa Cezanne tiba
Menegaskan warna
Memberi kesegaran rasa
Yang sudah lama sirna
Jakarta, Februari 1986
MEDAN KOTAKU
Medan
Lemparkan aku kembali
Kelorong-lorong jalan kota mu
Akan kucari bekas kakiku dulu
Yang tertutup debu
Akan kucari tetes keringatku dulu
Yang menyirami bumi mu
Medan
Lemparkan aku kembali
Kerumah-rumah rakyatmu
Akan kucari bayang juluran tanganku
Yang raib oleh waktu
Akan ku cari sapa ku dulu
Yang ditiup angin kelabu
Medan, kotaku
Lemparkan, lalu dekaplah aku
Ke jantungmu
Biar kureguk lagi cinta kasihmu
Kasih yang perih
Menggoreskan derita
Kasih yang salih
Memberiku makna
Medan, Februari 1986
DISEBUAH ISTANA TUA
Sambil menaiki tangga
Kurasa telapak kaki ku
Menyentuh jejekmu dulu
Yang tersimpan pualam putih itu
Ketika berdiri di pintu
Tanganku yang terulur
Terasa dingin
Dingin
Menyentuh jemarimu
Yang disimpan waktu
Memasuki ruang balairung
Ragaku, ragaku yang rindu
Mendekap tubuhmu
O.... sosok sejarah yang pilu
Medan, Februari 1986
PADAMKAN
Bagai suara ibuku
Ia berbisik
Padamkan lampu
Kunci pintu
Lalu tidurlah
Aku lelah
Lalu aku padamkan lampu
Dan ia tidur
Dalam gelap
O tubuh pualam yang lelap
Mataku memandangmu tak berkejap
Engkaulah bidadari
Yang menjauhi dosa
Yang menolongku menghindari dosa
Medan, Februari 1986
LEWAT EMBUN
Lewat embun
Lewat sunyi
Suara azan subuh itu
Menyelinap kamarku
Lewat embun
Lewat sunyi
Air wuduk yang dingin
Membersihkan diriku
Lewat embun
Lewat sunyi
Aku sujud
Sujud
Kepada Mu
Hanya kepada Mu
Takengon – Medan, 1986
MIHRAB TUA
Tubuh tua
Terpupus sudah warna-warna
Tapi kaligrafi ini
Terpatri
O mataku yang buta
Telinga ku yang tuli
Kaligrafi ini
Terpatri
Mengalir dalam sunyi
Zikir dalam sunyi
Ya Rabbi, Ya Rabbi 1986
Sigli, Januari 1986
MENASAH KECIL
Ketika usia semakin menua
Dan hidup disibukkan kota jelaga
Tiba-tiba aku ingin berada
Di desa kecil desaku dulu
Yang ketika masih kanak-kanak
Shalat di atas tikar tua
Dengan dinding sebagian terbuka
Yang aku ingin sekali
Mengambil air wuduk dikali
Kaliku dulu
Airnya jernih selalu
Ya aku ingin sekali
Melekapkan kening ini
Pada tikar lusuh
Pada menasah kecilku
Mendekatkan diri pada - Mu
Dari kota jelaga
Yang keringatan dan terluka
Aku benar-benar ingat padamu
Desa kecil desaku dulu
Menasah kecil menasahku dulu
Tempat mula aku belajar
Membaca dan menghafal alif – Mu
Menasah kecil menasah kekasih
Kini engkau berdiri putih
Dalam cermin yang bersih
Cermin yang salih
BIARLAH
Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Biarlah nyanyianmu kusimpan di sana
Biarlah senyumanmu mengelopak disana
Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Biarlah perihku merintih disana
Biarlah lukaku mengaduh disana
Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Biarlah tarianmu terpahat disana
Biarlah kemudaanmu kemilau disana
Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Tempat doaku mengalir disana
Doa musafir kembara
Yang selalu mencari kasih Nya
DOA UNTUK PENARI SEPI
Tuhan
Telah Kau ciptakan
Tari sunyi
Dengan gerak beku
Musik kelu
Tuhan
Kami antar penari sepi
Kerumahnya yang baru
Beratap langit biru
Ia hamba – Mu
Tuhan
Izinkan kami
Berharap dan meminta
Sambil menitikkan air mata
Beri kepada penari sepi
Kasih – Mu yang abadi
1985
KUTOREH
Kutoreh puisiku
Mencantumkan nama mu
Biar perih syairku
Melukiskan deritamu
O, negeriku
1985
SETELAH KITA
Setelah kita
Siapa lagi akan kesana
Memesan nasi dan sop ayam
Dan lalap kesukaan
Sambil duduk
Minum air jeruk
Air dari ketinggian berdesir
Mengalir ke kolam kecil
Aku suka warna ikan itu, katamu
Aku mengangguk
Aku suka percikan air gunung itu, kataku
Kubayangkan kau mengangguk
Sambil makan
Dengan rasa nyaman
Kita melihat hijau rumputan
Kita mendengar musik
Gemericik dalam tasik
Dan kilatan ikan
Bagai dalam lukisan
Yang kau goreskan
Masihkah kita
Suatu kali ke sana
Meski dalam usia renta
Melihat gemercik dalam tasik
Dan ikan yang kau goreskan
Dalam lukisan
Jakarta, 17 Februari 1986
AKAR TUA DI MUSEUM
Akar tua rapuh dan terpotong
Disimpan dalam kotak kaca
Disebuah museum tua
Tiba – tiba akar tua itu bergetar
Seperti ingin menjalar
Kedalam hujan renyai
Ke dalam angin membadai
Ia seperti ingin kembali
Memberi hijau pada daun
Warna-warni pada bunga
Dan sosok muda
Pada pohonan
Ia seperti ingin
Mengalahkan angin
Mengalahkan musim
Akar tua rapuh dan terpotong
Disimpan dalam kotak kaca
Disebuah museum tua
Medan, Februari 1986
ADA DOA
Di Sibaganding
Ada batu gamping
Batu coklat
Bergaris putih
Berpercik pijar
Batu keras
Kristal zaman lalu
Air mata nenek moyangku
Di Sihusapi Dolok
Ada pasir debu
Pasir kelabu
Bekas keluh
Semangat berpeluh
Nenek moyangku
Di Tomok
Ada tufa
Batu bersih
Hampir putih
Tergurat peta
Nasip nenek moyangku
Di Deli Tua
Ada andesit
Batu terhimpit
Batu diam
Berwarna kelam
Runcing tajam
Tempat semadi diam
Zikir moyangku
Kepada – Mu
Medan, Februari 1986
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar