Oleh L.K.Ara
Ceh Daman (lahir l930) dikenal sebagai penulis puisi. Tema
puisinya tentang alam dan kehidupan. Selain menulis puisi Daman
juga menciptakan irama lagu untuk puisi yang ditulisnya. Tak
cukup menulis puisi dan menggubah lagu, Daman kemudian menden¬
dangkan ciptaannya itu. Di daerah kelahiran Daman, yakni dataran
tinggi Gayo, Aceh Tengah, cara Daman berkesenian seperti itu
dikenal dengan sebutan seni Didong. Dalam berkesenian Didong
itulah Daman tampil secara total yang disebut dengan Ceh. Ceh
Daman yang memiliki grup 'Dewantara' dari Kebayakan sering berha¬
dapan dan bertanding dengan grup didong lainnya seperti grup
'Kebinet', grup 'Lakkiki' dan grup 'Kemara Bujang'. Setiap grup
yang memiliki ceh sebagai pendendang utama memang memiliki kele¬
bihan masing-masing. Menurut beberapa pengamat seni Didong, Ceh
Daman memiliki kelebihan suara merdu yang khas dan ia juga memang
penulis puisi yang penuh dengan metafor, kias dan ibarat.
Sebuah puisinya berjudul 'Perahu' menggambarkan sebuah
perahu yang terbuat dari kayu namun mempunyai fungsi penting bagi
kehidupan manusia. Dengan penglihatan yang lebih teliti Daman
bisa memandang bahwa ternyata perahu berjalan dengan punggungnya.
Dan dalam keadaan perahu berjalan dengan punggung itulah manusia
memanfaatkannya sebagai tempat barang-barang atau tempat manusia
itu sendiri mencari ikan dengan cara memancing. Penyair Daman
melukiskan kehidupan perahu itu sendiri bergerak atas bantuan
tenaga lain dalam hal ini adalah angin. Berikut ini petikan
puisi 'Perahu', (terjemahan)
sahabat, sayang dikau perahu
sahabat, selalu punggungmu kulihat
berjalan
didepan banyak sekali barang bawaan
bila angin berhembus lajulah engkau
berlari
orang-orang memancing ketubuhmu ganti berganti
Puisi 'Perahu' ini menurut Daman lahir ketika suatu pagi
pergi mencari daun pisang. Daman ketika itu menggunakan perahu
menuju pinggir hutan di tepi danau Laut Tawar. Sebagai penyair
yang suka menggunakan metafor maka Daman nampaknya dalam puisi
'Perahu' sudah mencoba membuat ibarat dan tamsil dengan mengambil
perahu ibarat bagi kehidupan manusia.
Sebuah puisi lainnya yang juga bergaya metafor berjudul
'Lelayang' (Layang-layang) menceritakan secara rinci kehidupan
layang-layang. Mengapa layang-layang terbang, dari apa dibuat
layang-layang di lukiskan Daman dalam puisinya itu. Bahkan Daman
dalam puisi itu juga melukiskan dari mana nyawa layang-layang,
dan bagaimana nasib layang-layang bila nyawanya hilang. Berikut
ini kita ikuti petikan puisi 'Lelayang', (terjemahan),
layang-layang, supaya terbang
bambu untuk kerangka baju sampul buku
bagaimana hatimu sahabat untukku
se olah-olah seperti hidupmu
kaki benang nyawanya angin
supaya jangan timpang jurai jangan kepanjangan
selesai sudah bila putus dilarikan angin
Daman mulai terjun kedunia kesenian Didong sejak usia l6
tahun. Pada usia remaja itulah ia menulis puisi menggubah lagu
dan berdendang sekaligus. Mengaku lebih banyak belajar secara
otodidak kemudian Daman lama-kelamaan berhasil menghasilkan
karya-karya bermutu. Sejumlah karya-karyanya kini dapat dianggap
merupakan karya klassik seni tradisional Didong.
Berbeda dengan seniman Didong lainnya, Daman boleh dikatakan
dapat menempuh pendidikan formalnya secara baik. Pada saat itu ia mengikuti kursus guru. Setahun kemudian jakni pada tahun l946
ia menjadi guru SR no.l di Takengon. Kini setelah pensiun ia
hidup bersama keluarganya di sebuah perkebunan.
Bicara pengalaman seni Didong, bagi Daman mungkin suatu
pengalaman yang menarik ketika pertunjukkannya dapat disaksikan
oleh Wakil Presiden Dr Mohammad Hatta pada bulan Juli l953 di
depan Pendopo Bupati Takengon. Ketika itu Daman bersama grup
'Dewantara' bertanding dengan Ceh Banta Aman Farida bersama grup
'Kebinet'. Kesempatan itu jarang terjadi lebih-lebih mengingat
seniman Didong Gayo tinggalnya di dataran tinggi Gayo, jauh dari
Banda Aceh, ibukota propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Suatu hal yang menarik melihat karya-karya Daman disamping
mengungkap alam dan kehidupan manusia ia juga dengan cara
tersendiri mengurai kehidupan para Nabi, misalnya Nabi Yusuf.
Berikut ini petikannya, (terjemahan),
putus tali, anakku Yusuf
tak hendak terlupakan, selalu terbayang
mati tak berkabar, anakku Yusuf
hidup tak berwujud
mata tertutup butalah penghilahatan
Sebuah puisi Daman yang bertema perdamaian berjudul 'Aman'
(Damai) merupakan karya yang tergolong puncak dari penyair yang
punya gemaran menonton film ini. Seperti karya-karya puisi
lainnya gaya metafor tetap nampak mewarnai puisi 'Aman'. Berikut
petikannya, (terjemahan),
hati yang gundah tak lagi risau
bagai rintik menyiram pucuk
rakyat pun aman tak lagi risau
pemerintah cerdik pemegang tampuk
Daman yang kini berusia 64 tahun memiliki sosok tubuh yang menua.
Namun suaranya masih punya pesona. Terutama bila ia mendendangkan
puisi 'Aman'. Ini dibuktikannya ketika ia tampil secara memikat di Pasar Seni Ancol minggu pertama September l994.
(dari : Arsip lama)
------------
Daman
PERUEREN
Pora-pora naku kubayangen iperueren
Kukoro bermanat cawing gonok gampang cacat
Aku bermanat karna male ulak
Morom ko ku tumpuken
Ike gaeh aku puren ko morom lagu kintis
Beta-betale manat pemulo mujule koro
Kuperueren atas ganas kule iuer gelah inget peger
Inget peger enti belene rimis
Gelah eking peger ikot wo enti kase bersemet
Orom kuel berkikis
Beberu mampat bersubang
Bebujang mampat berkeris
Tetue mampat berawis
Beta-beta manat ku koro sawak ko jago
Koken ulu tawar keremalan enti kase ku tebing nti geniring
Enti ku genering enti ku relis
Mulipe waih ko dekat toa
Ike manot sara-sara kao kin penampis
Asar-asar atas tair ko ulak kaul urum kucak
Enti berulen-ulen pantas gelah tuju ku uwer selalu
Lale selalu isone menggugu
Isone mengugu ko derong berlapis
Ter lelah si kucak mude
Sikerna koro tue lemen kati emis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar