Oleh L.K.Ara
Malam itu Rahmad Sanjaya berada di atas panggung pertunjukkan Anjungan Aceh, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Ia bersama teman-temannya membawakan beberapa sajak dalam bentuk musikalisasi puisi. Penonton nampak tertarik juga mendengar pertunjukkan rombongan dari Aceh ini. Selain tampil di Anjungan Aceh, TMII, Rahmad bersama teman-temannya juga tampil di beberapa pentas lainnya, termasuk rumah sejumlah tokoh yang tertarik pada kesenian.
Rahmad Sanjaya yang sengaja datang dari Aceh memang ingin memperlihatkan kebolehannya di Jakarta. Sementara itu tentu, ia dan kawan-kawan ingin juga mencari pengalaman dan bertukar pikiran dengan seniman-seniman Ibukota.
Akan halnya musikalisasi puisi bagi Rahmad merupakan alat ekspresi. Karena itu ia dan kawan-kawannya melahirkan 'Bengkel Musik Batas'. Dengan Bengkel inilah ia menyalurkan ide dan seninya.
Soal seni menyeni bagi Rahmad dimulai ketika duduk di bangku SMP Negeri I Takengon. Semasa sekolah itulah ia mulai menulis puisi. Kemudian pada waktu-waktu berikutnya puisinya mulai dimuat di harian Serambi Indonesia yang terbit di Banda Aceh. Sebuah puisinya bercerita tentang alam desa, alam dimana dia dibesarkan berjudul 'Derai Pinus Langit Penarun'. Berikut ini petikannya,
Derai pinus langit penarun
Membawa nyanyian sejuta gembala
Kala mentari sepenggal menjalari
Lekuk tubuh rimba yang beku
Derai pinus langit penarun
Mengurai sejuta kisah petuah
Yang samar terbawa jerit pepohonan
Lalu hilang terbawa kabut
Bait-bait diatas bercerita tentang sebuah wilayah bernama Penarun. Didesa itu ada hutan cemara. Orang desa hidup sebagai petani dan ada juga yang memelihara hewan ternak. Desa penarun juga memiliki cerita rakyat berupa legenda Atu Belah (Batu Berbelah). Kisah ini bila tak dituliskan atau direkam maka akan hilang, 'terbawa jerit pepohonan/lalu hilang terbawa kabut'.
Sebagai penyair yang lahir di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah, Rahmad banyak menggambarkan alam desa, pepohonan, sungai, angin, ilalang dan awan. Rasa risau akan datang juga bila ia pergi merantau agak lama lalu kembali kedesanya. Sudah terjadi perubahan. Ini digambarkan penyair Rahmad dalam puisinya 'Nina Bobo'. Berikut ini petikannya,
"Dulu di sini,
ada sungai yang selalu bernyanyi
menebar riak, menebar harum, juga menebar pukau
Di sela daun itu dulu, anakku
Ada kicau burung punai
Bercerita selalu kala pagi hinggap dibukit Sana
Seakan dia tak ingin terbang
Meski seribu pemburu membidiknya
Kini, ilalang itu pun resah
Padahal matahari tetap yang dulu
Yang selalu menjaga waktu hingga senja Memalang
Inilah anakku nyanyian itu
Yang telah berubah larik dan nadanya
Sampai dia menjadi sampah seperti aku"
Banda Aceh, April l994
Rahmad Sanjaya lahir l8 Juni l972 di Takengon, Gayo, Aceh Tengah. Ia berdarah campuran suku Gayo dan Jawa. Kegiatan seninya selain menulis puisi, bermusikalisasi puisi, juga bemain dalam lakon Bachbeth, Sinyak, dan Perampok. Sebuah lakon yang juga ikut didukungnya berjudul 'Poma' karya Maskirbi pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki.
Bicara tentang penggunaan simbul alam dalam puisinya, masih dapat ditemukan dalam puisi-puisi lainnya. Dalam sajak berjudul 'Berangkat' misalnya, situasi perpisahan tergambar sedih, dan daun-daun digunakan sebagai alat komunikasi. Petikannya sebagai berikut,
Bila ada yang tertinggal
Biarlah dia rindu
Yang kutitipkan lewat daun-daun
Dan deru bus antar kota
Bila ada yang tertambat
Biarlah dia cintaku
Yang kuselipkan di dasar hatimu
Bila ada yang mendamba
Biarlah dia aku
Yang merangkai sepi
Di hitungan waktu
Bila ada yang dirindu
Biarlah dia engkau
Yang kubawa di jiwa
Dari suatu perjalanan
Bila ada yang terbingkai
Biarlah dia nada-nada
Yang kubiaskan di detak jantungmu
Banda Aceh, Agustus l994
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar