Oleh L.K.Ara
Salah seorang penyair Sumbawa yang suka melakukan perjalanan sebagai seorang pengembara tersebutlah nama Dinullah Rayes. Dalam bentuk tubuh yang terbilang ramping ia bagai meliuk saja merambah belantara Indonesia mengunjungi kota demi kota. Sebentar nampak ia berada di Jogyakarta, untuk kemudian tak disangka-disangka untuk waktu tak berapa lama berselang dia bisa kita temui di Jakarta. Urusannya sederhana yakni pada umumnya berkaitan dengan pagelaran sastra atau pertemuan sastra.
Begitulah pada suatu waktu ia hadir dalam pagelaran pertunjukkan baca puisi para penyair Indonesia di sebuah hotel mewah di Jakarta. ‘Saya dengar ada acara ini, kebetulan sedang berada di Jakarta, ya saya hadir saja’. Hadir dalam pagelaran sastra seperti ini dengan menghadirkan sejumlah penyair terkenal seperti Sapardi Djoko Damono, Hamid Jabbar, D.Zawawi Imron merupakan hal yang dapat dikatakan mewah untuk seorang penyair yang berasal dari daerah seperti Dinullah. Karena dapat dibayangkan adalah langka menyaksikan baca puisi penyair terkenal di daerah pelosok Indonesia.
Dalam pengembaraannya pulalah Dinullah menghasilkan sejumlah karya kreatifnya berupa puisi. Salah sebuah diantaranya, berjudul ‘Malioboro’. Seperti namanya dalam puisi ini penyair menceritakan secercah pengalaman berada di Malioboro, Jogyakarta. Sajak yang ditujukan kepada Emha dan Linus itu menggambarkan situasi malam di Malioboro. Dibayangkan kota yang terang benderang oleh cahaya lampu, disana ada trotoar, emperen toko yang digunakan oleh sebagian orang untuk lesehan. Disanalah berlangsung omong-omong, gelak tawa, yang kadang kala diselingi iringan petikan gitar oleh para pengamen. Kata penyair,
Lorong-lorong jalan kotamu gemerlap
Malam-malam gagal menitip gelap senyap
Di trotowar, emperan toko
Aku bersama Bambang Widiatmoko
Melepas kangen di lahan lesehan
Selama ini tergadai sang waktu
Sejak senja kita memecah tabung sunyi
Senda gurau, tawa bahak kita
Terkadang terhenti getaran tali guitar pengamen
Yang membalut nasib terluka
Dalam dandanan jaman berlari
Lesehan di Malioboro merupakan tradisi yang menarik di Jogyakarta. Disana bukan hanya kita dapat santai mencicipi makanan khas Jogya tapi juga bertemu dengan sejumlah seniman yang sewaktu-waktu bisa hadir secara tiba-tiba. Pertemuan di tempat lesehan itu dapat berkembang menjadi diskusi hangat. Bahkan bisa berlangsung sampai larut malam. Sementara tempat itu dibayangkan penyair ada pula wanita yang mencoba nasib menemukan lawan kencan.
Disamping kiri kita ada perempuan mata seribu
Menawarkan betinanya yang terkoyak
Pada siapa haus birahi malam gerah
Disebelah kanan kita ada pemuda-pemuda
Menggelar diskusi seputar radius pers
Mencakar-cakar pengendali negeri berlidah ganda
Memaki-maki demonstran asing merobek panji jati diri
Ah, belakang depan kita gedung-gedung menghadang
Kita takut melangkah diterkam rahang gurita
Malam ini batuk dan batuk sirna
Bulan sepotong itu
Betapa arif bijaksana
Membagi rata cahaya emas
Bagi pepohonan rindang perkasa
Buat jemari rerumputan yang kerdil kaku
Kita bergegas menatap langit hitam pekat
Tiba-tiba dingin mengigit
Kita pun gemetar
Merebut mimpi yang buyar
Jogyakarta, Agustus 1995
(dari ‘Dari Negeri Poci 3’, Penerbit Tiara, Jakarta 1996)
Dinullah Rayes lahir tahun 1937 di desa Kalabeso Kec. Alas, Kab. Sumbawa, NTB. Ia pernah bertugas sebagai guru SD beberapa tahun 1956—1965. Kemudian beralih tugas ke Kabin Kebudayaan Kab. Sumbawa di Sambawa Besar untuk selanjutnya dipercayakan sebagai Kasi Kebudayaan Kandep Dikbud Kab.Sumbawa. Aktif menulis sejak tahun 1956. Selain menulis puisi juga menulis cerpen, esei, naskah drama, artikel kesenian/kebudayaan.
Tulisannya tersebar di media massa: Abadi, Pelita, Suara Karya, Panji Masyarakat, Salemba, Tifa Sastra, Seloka, Sarinah, Suara Muhamadiyah, Harmonis, Amanah, Sinar Harapan, Forum, Tribun, Swadesi, Republika, Bali Post, Nusa Tenggara, Suara Nusa, Dewan Sastra Malasyia.
Karya-karyanya tekumpul dalam : Anak Kecil Bunga Rumputan dan Capung Ramping (Mega Putih Sumbawa, 1975), Hari Ulang Tahun (Sanggar Mayang, Mataram 1980), Kristal-Kristal (bersama Diah Hadaning, Pustaka dan Penerbit Swadesi, Jakarta, 1982), Pendopo Taman Siswa (Sebuah Episode, bersama 28 penyair Indonesia: Sema FKSS Sarjanawiyata Taman Siswa, Yogyakarta, 1982), Puisi ASEAN (Bersama 39 penyair, Yayasan Sanggar Seniman Muda Denpasar 1983), Angin Senja (bersama 3 penyair NTB, PW HSBI, NTB, Mataram, 1983), Nyanyian Kecil (Pusat Dokumentasi Sastra Korrie Layuan Rampan, Jakarta, 1985), Peta Lintas Batas (bersama Sunaryono Basuki KS dan Hariman, Sanggar Bukit Manis, Bali, 1985), Pendakian (Forum Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Sumbawa, Yogyakarta, 1986), Sosok (bersama 17 penyair Nusa Tenggara Barat, HP3N Mataram, 1986), Seutas Tali Emas (bersama Siti Zainun Ismail, Agus Nurdin, Sulaiman Saleh (BKKNI Propinsi NTB, 1986), Spektrum (bersama 32 penyair Nusa Tenggara, Yayasan Mitra Sastra Mataram, bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesan (YLKMP) NTB, 1988), Istiglal (bersama 2 penyair NTP, Depdikbud Kabupaten Lombok Barat, 1990), Dari Negeri Poci 2 (Pustaka Sastra, 1994).
Seorang penyair Indonesia lainnya yang punya kegemaran mengembara adalah Slamet Sukirnanto. Berperawakan tak tinggi dan bertubuh tak gembur ia nampak lincah bergerak . Ditambah semangat kembaranya cukup tinggi sehingga tak banyak lagi kota-kota besar di Indonesia yang tak disinggahinya. Sebagai penyair kegiatan utamanya dalam kembara itu adalah menulis puisi.
Dalam kembaranya ke Banda Aceh di ujung Sumatera bagian barat sang penyair pernah tiba di suatu pantai bernama Lhok Nga. Lalu ia menulis,
Pantai Loknga
Gemerincing parang
Degup seudati
Pada puncak ombak
Menguak jari-jari
Zaman menawarkan teka-teki
Banda Aceh-Jakarta, 7 Juli –5 Agustus 1995
Slamet Sukirnanto memang berbeda dengan seorang turis yang hanya ingin melihat keindahan semata. Ia ingin melihat lebih dalam, ia menyaksikan degup tarian tradisional seudati yang mashur itu, dan juga memahami Lhok Nga sebagai daerah perjuangan khususnya dimasa Jepang. Ini nampak pada baris ‘gemerincing parang’.
Dalam kembaranya yang singkat di Aceh, ia nampak berusaha juga mencari sesuatu. Sesuatu itu adalah seorang tokoh sastrawan penulis syair perang Aceh, Chik Pante Kulu.
MENCARI
Kini aku mencari
Teungku Chik Muhammad Pante Kulu
Pujanggaku!
Kuketuk langit
Kuketuk bukit
Kuketuk laut
Kuketuk sunyi
Menelusuri sungai
Membelah kota damai ini!
Ingin belajar
Mengeja kata-kata
Menjadi bianglala
Membakar hutan dan senja
Dalam pertempuran dahsyat
Bersama para suhada
Bagaimana usaha seorang pencari kita temukan dalam bait-bait diatas. Berhadapan dengan langit, bukit, laut bahkan sunyi lalu mengetuk pintunya untuk bertemu dengan siapa yang dicari jakni sang pujangga penulis syair Perang Sabil.
Mengapa mencari? Dijelaskan oleh sang penyair dalam bait berikutnya. Ingin belajar, mengeja kata-kata, untuk menjadi bianglala, membakar hutan dan seterusnya hingga sampai bersama para suhada.
Setelah itu? Apa yang diinginkan sang penyair? Dalam kata-katanya pada bait selanjutnya dilukiskan,
Dzikir menjadi bara
Doa menjadi kelewang bertahta
Menggetarkan pintu sorga
Bidadari dibalik jendela
Menanti kasmaran dalam canda
Angan-angan dan bayang-bayang
Tanggalkan selempang darah
Puisi yang ditulis Slamet Sukirnanto di Banda Aceh - Jakarta 2 Juli - 3 Agustus l995 ini mendekati bagian akhir berucap jelas menolak kezaliman, "Lepas panah api/Membasmi yang zalim".
Slamet Sukirnanto lahir tgl 3 Maret l94l di Solo. Pernah kuliah di jurusan Sejarah Asia Tenggara UI Jakarta. Ia aktif dalam Hizbul Wathon.Untuk belajar seni khususnya senilukis ia pernah belajar di HBS. Slamet dikenal sebagai salah seorang pendiri Teater Margoyudan Solo. Dalam dunia pergerakan politik ia pernah menjadi ketua KAMI Pusat (l966), anggota MPRS (l967-7l).
Sebagai sastrawan Slamet telah menghasilkan buku, "Kidung Putih" (l967), "Jaket Kuning" (l967), "Gema Otak Terbanting" (l974), "Bunga Batu" (l979)dan "Catatan Suasana" (l982).
Sejumlah puisinya telah pula dimuat dalam antologi "Angka¬tan 66" (l968) disusun HB Jassin, "Laut Biru Langit Biru" (l977) disusun Ajip Rosidi dan "Seulawah, Antologi Sastra Aceh" (l995) disusun L.K.Ara dkk.
Ketika berada di Banda Aceh pada tahun l995 Slamet juga menulis puisi religius. Begitulah suatu hari saat berada di mesjid Baiturrachman ia menulis puisi bernafas agama Islam, berjudul "Percakapan Subuh". Puisi pendek itu berbunyi,
Ya Allah
Pemilik sunyi
Yang membiarkan aku sendiri
Merenda percakapan ini
Ketika dingin mendaki tubuh
Sujud menyentuh
Melebar menyentuh
Hanyut membawa sauh
(dari: Arsip lama)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar