Senin, 22 Maret 2010

MAHLIL WINAR, BIDUAN DAN SUTRADARA

Oleh L.K.Ara


Seniman Mahlil membawakan nyanyian 'Datu Empu Beru' karya
Ibrahim Kadir. Ia mempesona peserta yang mengikuti Pagelaran
Kesenian & Workshop Seni l999 yang diadakan Kandep Dikbud
Kabupaten Aceh Tengah tgl 8 Sept l999. Suara Mahlil meninggi
menderas sesuai dengan lagu yang heroik tentang pahlawan wanita
Gayo pada abad yang ke l9 itu.

Selain termashur sebagai biduan, Mahlil dikenal juga sebagai
pencipta lagu. Dorongan sebagai pencipta lagu lebih dipertegas
oleh kedudukannya sebagai seniman utama pada grup Didong Winar
Bujang. Sudah menjadi kebiasaan bagi seniman utama pada setiap
grup Didong di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah membawa nyanyian
ciptaan baru pada setiap pertandingan. Maka hingga kini bagi
Mahlil yang sudah menjadi seniman didong sejak usia remaja sudah
mencipta lagu ratusan buah.

Berbicara tentang dunia rekaman nyanyian Gayo yang berupa
Didong, Ceh (seniman) Mahlil dapat disebut sebagai seniman yang
sudah banyak makan asam garam. Album pertamanya berjudul "Ampung-
Ampung Pulo" terbit pada tahun l974 di Medan. Ketika itu Mahlil
bersama rekannya M.Din dibayar Rp. l2.000,-

Selain sebagai biduan dan pencipta lagu Mahlil juga pernah
mencetuskan ide cerita sandiwara lalu menyutradarai. Misalnya
sandiwara 'Anak Merek' (Anak Yatim) yang mengambil inspirasi dari
nyanyian. Tokoh cerita menurut Mahlil berkembang menurut isi
nyanyian. Tokoh tertentu membawa lagu kemudian mengucapkan
dialog. Tentu saja tidak semua tokoh harus bisa berlagu.

Cerita lainnya yang pernah disutradarai Mahlil adalah 'Ine
Ude'(Ibu Muda). Semua cerita yang dipentaskan dengan gaya
impropisasi itu dibawakan dalam bahasa Gayo.

Sebuah nyanyian Mahlil yang cukup terkenal bertema keindahan
alam. Dalam lagu itu ia menceritakan kecantikan alam yang
terdapat disekitar Danau Laut Tawar. Nyanyian itu berjudul 'Ujung
Gempulo'ditulis tahun l993. Berikut ini petikannya,

Ujung Gempulo penyangkulen muriti
dedesen si bengi ... Lelabu tempatte
langkah diang-diang le aku ku uken
perahu ku kayuhen ineo singah ku Ujung Sere

(Ujung Gempulo penyangkulen berbaris
tempat ikan dingin Lelabu tempatnya
sambil jalan-jalan saya kesana
perahu ku kayuh mampir ke Ujung Sere)

gelah pane luge tingkah sut samuten
kusi die kase puren ine perahuku peserme
mukaledi jingki inyon urum kiding
mukaledi pating temeh wan sempol gampang

(pandai-pandailah pengayuh bersahut-sahutan
kemana gerangan kelak perahuku terhempas
rindu penumbuk dipermainkan kaki
rindu pating duduk dalam sempol gampang)

Selain kemolekan alam di sekitar danau Laut Tawar itu,
sang penyair juga bercerita tentang manfaat alam bagi kehidupan
manusia. Ini nampak ketika syair menceritakan tentang adanya
tempat untuk menangkap ikan. Dan sudah umum dikenal didanau Laut
Tawar ada ikan depik, sejenis ikan teri yang datang bermusim.

Seniman Mahlil juga cukup terampil menggunakan kata-kata
untuk mengurai rasa sedihnya. Ini nampak pada syairnya berjudul
'Pongot Senye' (tangis senja). Nyanyian yang ditulisnya th l985
ini menurut Mahlil merupakan sebagian dari pengalaman hidup
peribadi. Dibawah ini kita turunkan petikannya.

eee pongot senye pongot senye
ku bebalik diringku nengon tepi ni alas
berbantal sekemul kapas
ulu pening mencari

(eee tangis senja tangis senja
ku balik-balik tubuhku melihat tepi tikar
bantalku sejemput kapas
kepala pening mencari)

lues di itemmo langit taon te temerbang
kuengon turun ni bintang
bene i pucuk si lemi
gelep di temmo ulen pedem ngih ku terang

gere teles ne bebayang
osop libet si kuingetti

(luas langit tempat terbang
kulihat turun ke bintang
hilang dipucuk-pucuk
gelap bulan hilang tak kan terang
tak nampak bayang
hilang selintas kukenang)


eee pongot senye pongot senye
dele di itemmo nenong lawuh kuamuren
asal bencana ni beden sungguh dele pedi
beden sejuken itemmmo tamah bise terkemiring

rasa lagu si pating nge lagu si pantak lidi

(eee tangis senja tangis senja

banyak sudah air mata tumpah
bencana tubuh sudah melimpah
tubuh kedinginan di tambah telingapun sakit
duh sungguh sakit seperti di cucuk lidi)

Mahlil mula-mula belajar berkesenian didong dengan mengikuti
grup 'Kemara Bujang' di kampung Kung. Setelah beberapa tahun
mendapat didikan dari seniman Sali Gobal, ceh utama Kemara
Bujang, Mahlil merasa sudah waktunya untuk mendirikan grup
sendiri. Ia bersama rekannya M. Din pada tahun l96l mendirikan
grup 'Winar Bujang'. Nama ini diambil dari kampung Mahlil
berdomisili yakni Wih Nareh. Sejak itu grup Winar Bujang sering
tampil didepan umum untuk bertanding didong dengan lawan-lawannya
seperti grup 'Terunajaya', 'Musara Bintang', 'Kala Laut', dan
lain-lain. Selama kurang lebih 30 tahun membawa grup 'Winar
Bujang' ketengah-tengah masyarakat penonton, Mahlil sudah
mencipta ratus nyanyian. Antara lain yang cukup populer adalah,
Bensu, Tumpit, Ampung-Ampung Pulo, Enti Mongot Onot, Pongot
Senye, Neneng-neneng dan Ranto si Jarak.
Selain bercerita tentang keindah alam, Mahlil juga menaruh
perhatian pada hewan yang ada disekitar dirinya. Sebagai petani
ia tentu sangat akrab dengan burung-burung. Salah satu jenis
burung yang sempat dinyanyikannya adalah burung 'tumpit' (pipit).
Berikut ini petikan syairnya, (terjemahan),

jangan kau makan lagi pulut lengkawing ku
sekedar berayun-ayun aku di tangkai
mencicipi minuman di pelepahnya

padi menguning akan di panen
hatipun senang
sorak sorai tak terkata
berayun-ayun di atas tangkai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar