Jumat, 16 April 2010

PENDAPAT TENTANG L.K. Ara

Bahgie Aman Tawar, Ciptakan 100 Lirik Didong

Umurnya sudah mencapai 71 tahun. Kakek berperawakan sedang ini masih menampakkan guratan ketampanan masa lalunya. Kumis dan jambang yang telah memutih di wajahnya dibiarkan tumbuh.

Meski giginya telah tanggal semua karena usia, namun Aman Tawar masih terlihat energik. Apalagi jika berbicara tentang seni, khususnya seni gayo, Aman Tawar akan terlihat antusias dan lupa waktu.

Meski luput dari publikasi, namun Aman Tawar menyatakan telah membuat lebih dari 100 lirik lagu untuk didong. Lirik didong itu kini akan direkam dan sedang diolah oleh seniman gayo kenamaan LK Ara.

Lirik didong ciptaan Aman Tawar penuh makna filosofi dan disampaikan dengan bahasa gayo yang santun, kata LK Ara kepada koran ini, saat merekam lagu milik Aman Tawar yang dinyanyikan seniman Gayo, Sri Bintang (55), di sebuah studio di Takengon, Minggu (28/1).

Pertemuan LK Ara dengan Aman Tawar telah membuat lelaki sepuh itu bergairah kembali menciptakan lebih banyak lirik-lirik lagu tradisional gayo. Lagu-lagunya didukung oleh alat musik tradisional seperti Teganing, suling, tepuk, gegedem dan genggong.

Beberapa karya lelaki itu sudah dipublikasikan oleh LK Ara dalam bukunya Aman Tawar adalah seniman tertua yang kita miliki saat ini, ujar LK Ara yang mendampingi Aman Tawar merekam lagu ciptaannua itu. Kini lagu-lagu Aman Tawar sedang dirilis. Meski berusia sepuh, namun dibalik kemeja Aman Tawar terselip sebuah pisau bersarung kulit.

Bahgie Aman Tawar adalah sisa seniman yang kaya akan adab dan filosofi yang dituangkannya dalam lirik lagu didong (seni bertutur). Menurut Aman Tawar yang kini bermukim di Kuyun Toa, Kecamatan Rusip, Aceh Tengah, penciptaan lagu Gayo telah dimulainya sejak beberapa puluh tahun silam.

Namun penciptaan lagu gayo semakin intensif sejak tahun 1994, saat saya pulang dari Jakarta , memperkenalkan seni Gayo, ungkapnya. Salah satu lagu yang sedang digarap di studio saat ini berjudul Sangkalena.

Lagu ini menceritakan kisah kasih dua insan yang kasmaran. Dalam Sangkalen, dua insan yang sedang jatuh cinta ini terhalang orang tua dan akhirnya si perempuan lari dari rumah orang tuanya serta minta dinikahkan dengan kekasihnya (mahtabak).

Si perempuan yang minta dinikahkan dengan kekasihnya ini rela, walau nyawa yang menjadi taruhannya, walau lehernya harus putus demi mempertahankan cintanya (Sangkalen).

Aman Tawar menuliskan lirik Didong mengalir begitu saja seperti air bah. “Yang sulit menemukan judul. Namun, jika judul sudah didapat, lirik-liriknya akan dengan mudah dirangkai. Satu lagu dapat saya ciptakan sebelum sebatang rokok habis, papar lelaki itu.

Kelebihan lainnya, dia bisa hapal semua karya seniman lainnya lengkap dengan gayanya. Sehingga, menurutnya, orang akan sulit membedakan lagu yang dibawakannya dengan pelantun lagu aslinya. Selain kisah asmara , Aman Tawar juga membuat lirik didong yang berisi sejarah seperti Linge, Beberu Jemen hingga Radio Rime Raya.

Menyinggung lagu Gayo yang diciptakan seniman Gayo saat ini, menurut Bahgie Aman Tawar, kucingpun malu mendengarnya. Alasannya, lagu dan gaya didong saat ini tidak murni lagi dan sudah meniru gaya luar daerah bahkan seperti gaya India . Perubahan seni yang terjadi saat ini adalah ciri berubahnya perilaku masyarakat Gayo.

Jika membicarakan perilaku generasi muda Gayo saat ini, sama dengan menampar muka sendiri, jelas Aman Tawar berfilsafat. Hal itu dibuktikan dengan semakin pudarnya budaya gayo seperti adab dan sopan santun (tertib bermejelis umet bermulie).

Pantangan (sumang) yang dengan bebas kini juga dilanggar masyarakat gayo. Jika dahulu, keseharian warga diatur dengan sumang pelangkahan, sumang pengunulen, sumang pecerakan dan sumang pemengen. Kini pasangan bukan muhrim bebas berduaan. Suami istri yang sudah diikat pernikahan tidak lagi malu berduaan dengan orang lain.

Aman Tawar menawarkan solusi dengan apa yang disebutnya kembali ke fitrah Islam (Ulak ku Sedenge). Dengan ulak ku Sedenge, warga akan kembali pada aturan Islam yang universal. Tidak seperti saat ini, menjalankan agama secara sepenggal. Ada shalat, tapi tidak puasa.

Ada yang shalat, tapi masih korupsi alias mencuri, ujarnya. Dalam berkesenian, Aman Tawar menerapkan adab sebagai benteng utama. Kita tidak boleh membuka aib orang lain, ucapnya. Seni, menunjukkan darah daging sendiri.

“Kalau seninya baik, masyarakat juga baik, ujarnya bijak. Selain kembali ke aturan agama (ulak ku sedenge), masyarakat perlu pengarahan dari pemerintah tentang syariat Islam dengan tunjuk ajar. Meski tinggal di daerah pedalaman di Kuyun Toa, namun Aman Tawar mengaku memahami situasi yang terjadi saat ini. Mata saya mungkin buta. Tapi hati saya hidup, filosofinya.

Selain sebagai seniman, Aman Tawar juga ternyata merupakan bekas pejuang yang mempertahankan kemerdekaan RI dari agresi Belanda di batalyon 9. Apalagi ayahnya seorang komandan pejuang, Kapten Banta Tuah. Dalam memori Aman Tawar masih jelas tergambar tahun 1947 waktu menghadang Belanda di Ranto Kuala Simpang.

Saat itu, kenangnya, demi menghadang kapal selam Belanda, pejuang menumpahkan minyak dan membakarnya di Ranto Perlak. (Win Ruhdi Bathin)


(Sumber : Rakyat Aceh, Selasa, 30 Januari 2007)