Senin, 22 Maret 2010

‘SYAIR MA'RIFAT’ DAN ‘SYAIR MARTABAT TUJUH’ DARI ACEH

Oleh L.K.Ara

Syeikh Abdurrauf dikenal luas sebagai ulama. Namanya yang singkat dan sederhana ini kadang-kadang dilengkapi dengan Syeik Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Namun ia memperoleh sejumlah gelar seperti, Syeikh Kuala, Syeikh di Kuala ata Ciah Kuala dan Tengku Ciah Kuala. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Abdurrauf van Singkel. Sebutan ini semua ada sebabnya. Disebut Syeikh Kuala karena Syeh Abdurrauf pernah menetap dan mengajar hingga wafat¬nya dan dimakamkan di Kuala sungai Aceh. Dan disebut Abdurrauf van Singkil karena Syeikh Abdurrauf lahir di Singkel l593 M), Aceh Selatan.

Dimasa mudanya mula-mula Abdurrauf belajar pada 'Dayah Simpang Kanan' di pedalaman Singkel yang dipimpin Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke Barus di 'Dayah Teungku Chik' yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah Fansuri.

Syeikh Abdurrauf sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi Syeikh Shamsuddin as-Sumaterani. Dan setelah Syeikh Syam¬suddin pindah ke Banda Aceh lalu diangkat Sultan Iskandar Muda sebagai Qadhi Malikul Adil, Syeikh Abdurrauf mendapat kesempatan untuk pergi belajar ke negeri Arab. Selama belajar di luar neg¬eri, lk l9 tahun Syeikh Abdurrauf telah menerima pelajaran dari l5 orang ulama.

Disebut pula Syeikh Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 ulama besar dan l5 orang sufi termashur. Tentang pertemuannya dengan para sufi, ia berkata, 'Adapun segala sufi yang mashur wilayatnya yang bertemu dengan fakir ini dalam antara masa itu...'.

Pada tahun l66l M Syeikh Abdurrauf kembali ke Aceh. Setelah tinggal beberapa waktu di Banda Aceh ia mengadakan perja¬lanan ke Singkel. Kemudian kembali ke Banda Aceh untuk memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh Nuruddin ar-Raniri yang pergi menuju Mekkah.

Mengenai pendapatnya tentang faham orang lain nampaknya berbeda dengan Syeikh Nuruddin. Syeikh Abdurrauf tidak begitu keras. Hal ini dapat dilihat pada tulisan DR. T. Iskandar: "Walaupun Abdurrauf termasuk penganut fahaman tua mengenai ajaran¬nya dalam ilmu tasauf, tetapi -berbeda dengan Nuruddin ar-Raniri- ia tidak begitu kejam terhadap mereka yang menganut fahaman lain. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir.

Membuat tuduhan seperti itu sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, apakah gunanya mensia-siakan perkataan atasnya dan sekira¬nya ia bukan kafir, maka perkataan itu akan berbalik kepada dirinya sendiri'.('Abdurrauf Singkel Tokoh Syatariah (Abad ke-l7)'(Dewan Bahasa, 9;5, Mei l965).

Syeikh Abdurrauf menulis buku dalam bahasa Melayu dan Arab. Bukunya yang terkenal a.l., 'Turjumanul Mustafiid', 'Miraatut Thullab' (Kitab Ilmu Hukum), 'Umdatul Muhtajin lla Suluki Maslakil Mufradin' (Mengenai Ke Tuhanan dan Filsafat), 'Bayan Tajalli' (Ilmu Tasawuf), dan 'Kifayat al-Muhtajin'(Ilmu tasawuf). Seluruh karyanya diulis dalam bentuk prosa. Hanya satu yang ditulis dalam bentuk puisi yakni, 'Syair Ma'rifat'.

Sebagai penyair Syeikh Abdurrauf mempelihatkan kepiawaian¬nya dalam menulis puisi 'Syair Ma'rifat' itulah. Salah satu naskah syair ini disalin di Bukit Tinggi tahun l859. Syair Ma'¬rifat mengemukakan tentang empat komponen agama Islam. Yakni Iman, Islam, Tauhid dan Ma'rifat. Nampak dalam syair itu unsur ma'rifat sebagai pengetahuan sufi yang menjadi puncak tertinggi.
Dalam puisi itu Abdurrauf mencoba menjelaskan tentang pendekatan amalan tasawuf menurut aliran al-Sunnah wal al-Jamaah. Ikuti petikan syairnya dibawah ini,

jikalau diibarat sebiji kelapa
kulit dan isi tiada serupa
janganlah kita bersalah sapa
tetapi beza tiadalah berapa

sebiji kelapa ibarat sama
lafaznya empat suatu ma'ana
di situlah banyak orang terlena
sebab pendapat kurang sempurna

kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma'rifat

('Syair Ma'rifat. Perpustakaan Universiti Leiden OPH. No.78, hlm. 9-25/ Dewan Bahasa dan Pustaka, Desember l992)

Tingkat ma'rifat merupakan tahap terakhir setelah melalui jenjang syariat, tarekat dan hakekat dalam perjalanan menuju Allah. Untuk sampai ke tingkat ma'rifat menurut Syeikh Abdurrauf orang harus lebih dahulu menjalankan aspek syariat dan tarekat dengan tertib. Orang harus melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas. Dalam kata-katanya sendiri Syeikh Abdurrauf berucap: "Dan sibukkanlah dirimu dalam ibadah dengan benar dan ikhlas demi melaksanakan hak Tuhanmu, niscaya engkau termasuk golongan ahli ma'rifat".

Suasana mistik akan lebih terasa bila kita membaca dan mengikuti puisinya dalam baris-baris berikut ini. Petikan Syair Ma'rifat dari tulisan Arab berbahasa Melayu, bertulisan tangan ini dikutip dari ML. 378, halaman 40, terdapat di Perpustakaan Nasional RI. berbunyi sebagai berikut,

airnya itu arak yang mabuk
siapa minum jadi tertunduk
airnya itu menjadi tuba
siapa minum menjadi gila

ombaknya itu amat gementam
baiklah bahtera sudahnya karam
laut ini laut haqiqi
tiada bertengah tiada bertepi

Buku karya Syeikh Abdurrauf lainnya diberi judul 'Kifayat al-Muhtajin' disebut bahwa buku itu ditulisnya atas titah Tajul 'Alam Safiatuddin, seorang Sultanah yang mengayomi ulama dan sastrawan. Kitab ini berisi ilmu tasawuf. Disebutkan sebelum alam semesta ini dijadikan Allah, hanya ada wujud Allah. Ulama besar dan pujangga Islam Syeikh Abdurrauf meninggal l695 M dalam usia l05 tahun. Di makamkan di Kuala, sungai Aceh, Banda Aceh.

Di dalam puisi berjudul ‘Syair Maratab Tujuh’, penyair sufi Syeikh Syamsuddin Sumatrani memulai baris-baris syairnya dengan kalimat-kalimat khas sebagai berikut,

Apabila kemudian dengarkan di sini hai yang menuntut haqq
Itulah wujud yang mutlaq wujud yang mutlaq
Wujud itulah ‘ainu ‘l-haqq
Tiada mengering dia adanya mutlaq

Wujud itulah yang bernama tanzil
Adanya munazzah daripada sekalian tasybih
Itu tiada berubah daripada tanzih
…..

wujud itulah martabat layak
menyatakan dirinya dengan rupa yang banyak
dengan hambanya netiasa ia jinak
seketika jua adapun tiada ia jarak
(artinya tiada bercerai)

wujud itulah martabatnya kahtir
tanzihnya lagi kepada ‘alam saghir dan kabir
di sanalah rajul amin dan wazir
dan segala ghani dan faqir

Baris-baris syair yang memperlihatkan nafas ke Tuhanan ini lahir dari sosok penyair yang adalah murid penyair besar sufi Hamzah Fansuri. Seperti gurunya Syamsuddin menggunakan kata-kata yang lazim digunakan pada waktu itu yakni pada zaman abad ke-17. Hal ini nampak pada penggunaan kata-kata misalnya, haq, wujud, mutlaq, martaba, kabir, wazir, faqir dan lain-lain. Didalam syairnya penyair sufi pada zaman itu juga sering menyelipkan ayat Quran. Hal ini dapat juga kita temukan dalam Syair Martabat Tujuh ini. Mari kita ikuti bait-bait berikut ini,

dan wujud itulah martabatnya ‘alami
adanya munazzar daripada sekalian sifat peri
daripada enam jahatpun ia khali (tiada p.s.h?
wa huwa ‘l-ana kama kanapun demikian lagi

pertama-tama wujud itulah bernama ahadiyat
di sanalah sakit sekalian ‘ibarat (tiada tersebut)
di sana sifat dan asma’iyat
itulah martabat haqiqat dzat

‘ibarat dan isyaratpun tiada di sana
hanya munazzah juga semata
adanya itlaq dan taqalyykud tiada
sertanya hanya ia juga

kedua martabat wujud itu bernama wahda
itulah haqiqat Muhammad nyata
yang pertama di dalam uluhinya
…….

Sekalian wujud dhatpun sama
Atas jalan ajmal juga dikata
Hendaklah kau ketahui haqiqat kata
Pikirkan di sini nyata

Ketiga martabat wujud itu bernama wahidiyah
Itulah recana wahdat haqiqat insaniyah
Di sanalah nyata ma’lum di dalam ‘ilmiyah
Atas jalan bernama taghtiyah

Martabat wujud itu ketiganya qadim
Tiada mengetahui dia melaikan yang berhati salim
Banyaklah membantahi dia segala ‘alim
Dan hakim mengatakan ma’lum qadim
(martabat wahidiyah tiada qadim)

…………

arwah itulah yang menggerakkan sekalian badan
adanya seperti dengan sifat Tuhan (kita)
tiada ia minum tiada ia makan
lagi adanya (mujarrad) tiada dapat disekutukan

Syeikh Syamsuddin Sumatrani lahir di penghujung abad XVI, berasal dari Samudra Pasai (Aceh Utara sekarang). Guru utamanya adalah Hamzah Fansuri dan pernah juga belajar pada Pangeran Bonang di Pulau Jawa. Beliau menguasai bahasa Aceh, Melayu, Jawa, Arab dan Parsi juga bermacam-macam bidang ilmu pengetahuan.

Sebagai sastrawan nusantara yang sealiran dengan Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin juga ulama yang tekenal produktif. Ia mengarang lebih dari 20 karya tulis dalam bahasa Melayu, Arab dan Parsia. Diantaranya adalah: ‘Miratul Mukminin’ (Cermin Bagi Orang-Orang Muslimin), ‘Jauharul Haqaaiq’ (Permata Kebenaran), ‘Risalatul Bayin Mulahadlatil Muwahhidin Alal Mulhidi fi Zikrillah’ (Pandangan Ahli-Ahli Tauhid Terhadap Orang Orang Yang Mengingkari Allah), ‘Nurul Daqaaid’ (Cahaya Yang Murni), ‘Miratul Iman’ (Cermin Keimanan), dan ‘Syarah Rubai Hamzah Fansuri’. Syeikh Syamsuddin meninggal dunia pada tahun 1630 bertepatan dengan kekalahan amada Aceh di Melaka.


(dari: Ekspresi Puitis Aceh Menghadapi Musibah, oleh L.K.Ara, diterbitkan BRR, Banda Aceh, tanpa tahun)

KEBENARAN HAKIKI HARUS MENGUASAI IMAGINASI

Oleh L.K.Ara

Kebenaran hakiki ialah kebenaran mutlak, absolute truth, yakni kebenaran yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Taala. Dan kita sebagai khalifah di dalam karya-karya kita. Ini barangkali berbeda dengan realiti hidup. Realiti hidup ialah sesuatu yang benar-benar berlaku, tetapi mungkin bercanggah dengan kebenaran hakiki, dan mungkin pula akur dengan kebenaran hakiki. Karena itu saya rasa kebenaran hakiki harus menjadi sesuatu yang mengatasi segala-galanya dalam penulisan sastra.

Peranan imaginasi bagi seorang pengarang Muslim pula bukanlah untuk menciptakan kebenaran hakiki karena kebenaran hakiki itu telah ditetapkan Allah, tetapi peranan imaginasi ialah menciptakan cara-cara baru, stail-stail baru, untuk mentrapkan kebenaran hakiki ini supaya lebih berkesan kepada pembaca.

Hal ini dikatakan pengarang Shahnon Ahmad menjawab pertanyaan Suhaimi Hj Muhammad yang berbunyi, apakah yang dimaksudnya dengan kebenaran hakiki dan apa perbedaannya dengan yang disebut realiti hidup dan imaginasi dalam kreativiti.

Seperti diketahui Shahnon Ahmad didalam dunia kesusastraan Melayu modern adalah merupakan tokoh penulis yang penting dan yang amat banyak diperbincangkan orang. Mula-mula memang karirnya dibidang terjemahan tapi kemudian ia giat dalam penulisan kreatif seperti, cerpen, novel, esei, drama dan kritik. Ia dikenal luas sejak tahun l956.

Menurut para kritisi sastra kekuatan Shahnon Ahmad dalam karya-karyanya ialah kekuatan pada sensitiviti dan imaginasinya sebagai seniman yang berhasil menangkap segala konflik jiwa orang kampung. Dua buah novelnya "Ranjau Sepanjang Jalan" dan "Rentung" dapat dianggap sebagai karya puncaknya dalam kegiatan penulisan novel. Tapi memang kemudian muncul novel-novelnya yang
lain seperti "Srengenge" (l973), "Sampah" (l974), "Kemelut" (l977) dan lain-lain. Karya-karya Shahnon Ahmad dapat dikatakan hampir setiap tahun memperoleh hadiah didalam penulisan bidang cerpen, novel dan esei.

Akhir-akhir ini pengarang yang mendapat anugerah gelar "Pejuang Sastra" oleh Perdana Menteri Malaysia itu mulai mengalihkan pokok persoalan tulisannya dari masalah derita hidup masyarakat desa kepada hal-hal yang menyentuh keislaman didalam dunia kesusastraan.

Maka ketika diajukan pertanyaan bagaimana dengan imaginasi bagi seorang penyair, atau seorang pengarang, sejauh mana kebebasan yang boleh dipergunakannya untuk pernyataan imaginasinya, apa lagi jika dihubungkan dengan kebenaran hakiki, Shahnon mengurai, tentang imaginasi ini ada firman Allah dalam Surah al-Asyura, ayat 224. Yang mana mengingatkan kita supaya jangan membiarkan imaginasi bebas sebebas-bebasnya. Imaginasi ialah satu sifat fitrah manusia. Islam tidak menolak imaginasi manusia karena imaginasi ialah sifat semula jadi manusia.

Dan ketika ditanyakan apa pendapatnya jika dikatakan karya sastra yang indah mengandung imaginasi yang indah, pengarang terkenal itu berkata: benar. Tetapi jangan kita membiarkan imaginasi itu menguasai kebenaran hakiki. Sebaliknya kebenaran hakiki itulah yang harus menguasai imaginasi. Inilah yang ingin saya tekankan. Dalam mencipta hasil kreatif imaginasi amat penting, tetapi janganlah sehingga ia menguasai, menjajah konsep-konsep atau kebenaran-kebenaran yang ada didalam Quran dan al Sunnah.

Nah kini tentang pembaruan dalam kesusastraan. Apa pendapat Shahnon? Menjawab pertanyaan yang berbunyi: dalam perkembangan penulisan sastra kreatif, terdapat apa yang disebut sebagai kelainan. Dengan kelainan ini kita dianggap telah mencipta suatu pembaharuan dalam kesusastraan. Apa tanggapan Anda terhadap kelainan dalam kesusastraan.

Bila ditimbulkan masalah ini, saya ingin merujuk kepada teori kesusastraan di Barat, kata Shahnon. Lalu ia mengurai lebih jauh: di Barat pembaharuan selalu dimaksudkan dalam bidang teknik dan isi. Mereka mengadakan pembaharuan dalam bidang teknik dan juga coba memberi gagasan baru dalam isi kreatif. Tetapi dalam Islam, apa yang dimaksudkan dengan pembaharuan dan kelainan adalah berbeda sekali. Kelainan yang dimaksudkan dalam Islam ialah kelainan membentuk daya imaginasi, kelainan membentuk cara-cara baru. Bukan kelainan dalam soal mereka atau mencipta gagasan baru, membentuk kebenaran-kebenaran baru.

Dalam karya sastra Islam, kita hanya menyampaikan kebenaran-kebenaran hakiki yang ditetapkan oleh Allah seperti yang diterapkan dalam Quran dan al Sunnah. Kelainan yang kita ciptakan hanya dalam bentuk dan cara yang kita gunakan berdasarkan karya kreatif dan daya imaginasi kita. Al Quran dan al Sunnah harus menjadi panduan kita. Kita sebagai manusia yang menjadi khalifah Allah haruslah menyampaikan suruhan-suruhan Allah seperti yang diterapkan dalam al Quran dan al Sunnah itu dalam karya kreatif kita, menerusi bakat yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita.

Tapi kalau seorang penulis berpandu kepada Quran, bermakna dia mentrapkan ajaran agama dalam karya sastranya begitu kan?

Ya memang. Memang ini berlaku jika pengarang itu tidak bijak. Pengarang ini akan kelihatan mengejar etika, mengajar ajaran-ajaran agama. Tetapi bagi pengarang yang berbakat besar, kebenaran hakiki itu diolah sedemikian rupa dalam bentuk puisi atau ceraka supaya menjadi karya yang besar. Karena itulah dalam sastra Islam bukan semua orang boleh jadi pengarang. Mereka yang ingin jadi pengarang harus mempunyai kualiti yang tertentu karena bukan senang hendak mentrapkan kebenaran hakiki dalam sastra.

Mulai tahun l978 perbincangan tentang sastra Islam begitu dirasakan, malahan pembicaraan tentang sastra Islam begitu hangat diperkatakan di Trengganu, Malaysia. Dapatkah Anda menerangkan gagasan tentang sastra Islam ini menurut kacamata Anda?

Sebelum kita berbicara tentang sastra Islam, kita harus lebih dulu berbicara tentang Islam. Kalau kita tak dapat memahami apa itu Islam, sampai bila pun kita tidak dapat memahami apa itu sastra Islam. Islam seperti yang difirmankan oleh Allah dalam Surah al-Maidah, ayat 3 antara lain bermaksud: Islam ialah hubungan antara manusia dengan Allah, dan manusia dengan manusia dalam arti kata bahwa Islam mencakup segala bidang tata hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam sistem inilah tata hidup yang sempurna disediakan, termasuk juga didalamnya kegiatan-kegiatan seni. Dalam kegiatan seni ini termasuklah kegiatan seni sastra. Kegiatan seni sastra merupakan kegiatan manusia dalam skup Islam yang amat luas. Sekarang kalau kita melihat sastra dari pandangan Islam sebagai addin, sebagai tata hidup yang paling sempurna, maka kegiatan sastra adalah demi karena Allah berhikmah untuk manusia.

Nampaknya Anda menaruh kepercayaan besar terhadap perkembangan sastra Islam di Malaysia, bukankah begitu?

Saya bukan saja menaruh kepercayaan yang besar tetapi saya rasa saya akan bergiat demi untuk Allah dalam soal ini, karena sekarang saya rasa saya telah menemui kebenaran yang benar. Insya-Allah tidak akan ada aliran-aliran lain yang boleh menggoncangkan keyakinan saya.

Shahnon Ahmad yang pernah mendapat pendidikan menengah di Maktab Sultan Abdul Hamid, Alor Setar, pada tahun l968 berangkat ke Canberra, Australia sambil bertugas dengan Universiti Nasional Australia menyambung studinya dan memperoleh ijazah Sarjana Muda pada tahun l97l. Sarjana penuh diperolehnya di Universiti Sains Malaysia. Sebagai salah satu puncak penghargaan tertinggi yang diperolehnya adalah berupa Anugerah Sastra Negara pada tahun l98l.

SADERI PENYAIR DARI BELITUNG

Oleh L.K.Ara

Bertemu dengan penyair Saderi di kampung kelahirannya di Gantung pada suatu malam tak pernah terbayangkan. Adalah Wandi dari dinas Pariwisata Belitung Timur yang berusaha mempertemukan kami. Meski lampu listrik padam malam itu, namun tubuh penyair yang semampai nampak sekilas dari penerangan lampu minyak tanah.
“Pak Saderi boleh kami pinjam malam ini bu,” kata Wandi kepada Nyonya Saderi. Isteri Saderi mengangguk bingung, karena tiba-tiba suaminya diajak malam hari ke Manggar, ibukota Belitung Timur. “Kami hanya mau belajar pantun dari pak Saderi”, kata Wandi pula. “Tak apalah, pergilah”, ucap isteri Saderi menyetujui.
Dalam perjalanan Gantung – Manggar yang ditempuh kurang lebih 20 menit Saderi bercerita bagaimana ia hidup bertani. Ia juga sering memancing. Di sela-sela itulah ia menulis puisi.

Sebuah puisinya yang memperlihatkan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup nampak pada puisinya berjudul “Sebutir Peluru”. Puisi ini menggambarkan pada suatu pagi tak terdengar lagi kicau burung. Sementara itu yang nampak ketika itu hanya ranting dimana biasa burung bertengger. Si aku lirik hanya bisa menyebut “Oh, Tuhan” karena burung yang lemah itu sudah terkapar ditembus sebutir peluru. Kata penyair,

Pagi itu tiada kicaumu lagi
Tiada nyanyian riang
Kutatap ranting yang rapuh
Tempat biasa engkau berlabuh

Oh, Tuhan
Mahluk Mu yang lemah
Terkapar di tanah, tiada bernyawa
Sebutir peluru menembus dada

Menyaksikan burung rubuh, mati, si aku lirik tak bisa berbuat apa-apa. Namun dengan daya yang ada yakni, mata yang memancar dengan tajam, serta hati yang mengandung kebenciaan kepada si pelaku, si pembunuh, si penembak burung yang lemah dan malang itu. Lalu si aku lirik bertanya kepada manusia soal penting pada diri manusia yakni, rasa. Kata penyair,

Mataku berbinar, hatiku benci
Masihkah, engkau manusia
Punya rasa, punya iba

Puisi ini merupakan salah satu puisi yang mengisi antologi “Alammu Dalam Puisiku” (2003) karya Saderi yang merupakan salah satu pemenang Sayembara Penulisan Naskah Buku Bacaan Tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Kumpulan yang memuat 83 puisi itu ada yang bercerita tentang nelayan, candi, pengemis, tokoh, bumi, air, daerah wisata dan ada juga tentang timah. Kepulauan Bangka Belitung sebagai penghasil timah terbesar digambarkan pernah jaya dan kini tinggal kenangan.

Dalam puisi berjudul “Timah” penyair menggambarkan timah ada di Bangka, Singkep dan Belitung. Penambangan timah memberi pekerjaan kepada sejumlah orang yang sekaligus menghilangkan kemiskinan.

Di Pulau Bangka, Singkep dan Belitung
Timah putih ditambang
Banyak pekerja karyawan
Jadi terbebas dari kemiskinan

Kemudian pada bait-bait berikutnya diceritakan pengolahan timah yang ada di darat dan laut. Digambarkan pula bagaimana timah dikeringkan lalu dimasukkan kantong lalu dikirim dengan tongkang dikumpulkan ke Mentok, untuk dilebur kedalam pabrik yang besuhu tinggi. Selanjutnya digambarkan juga apa sebenarnya guna timah. Kata penyair,

Dicetak menjadi bongkahan persegi
Bongkah timah lalu di jual keluar negeri

Timah di buat peluru, senjata perang
Buat melapis kaleng dan seng
Alat solder dan pematri
Batu jaring dan batu pancing
Dan banyak lagi kegunaan lain

Setelah berjaya sekian ratus tahun sebagai penghasil timah terbesar bagaimana nasib Bangka Belitung? Setelah bumi dikeruk hasilnya diambil, kekayaan didapat belipat-lipat, apa yang tinggal bagi rakyat Bangka Belitung? Sesuatu yang pernah gemilang kini tinggal kenangan. Tulis penyair,

Kini timah Singkep dan Belitung
Tiada lagi terbilang dan gemilang
Timah dalam tanah sudah hilang
Karena sudah lama di tambang
Tinggallah kenangan

Penyair Saderi lahir 13 Des 1941 di Gantung, Belitung. Ia pernah menempuh pendidikan SR (1957), SGB (l960), dan SPG (1968). Sejak 1 Nop. 1960 diangkat guru Neg. di SR Tanjung Batu Itam, Belitung. Dan pada th 1983 diangkat Kepala SD Neg. 5 di kampung kelahirannya Gantung. Sejak 1 Januari 2002 pensiun, setelah bertugas selama 41 th.
Meski sudah pensiun sebagai guru nampaknya hobbinya membaca dan menulis tak membuat ia pensiun sebagai sastrawan. Hal ini dibuktikannya pada tahun 2003 karya sastranya membawa ia ke kemenangan di tingkat Nasional.

Menghayati penghidupan sang penyair sehari-hari bercocok tanam dan suka memancing membuat Saderi lebih bebas berekspressi. Lebih-lebih penyair ini suka berkelana. Semasih aktip jadi guru ia pun mengatur jadwal perjalanannya ke Bali, Palembang dan lain-lain. Tak heran jika tema puisinya pun cukup beragam.

Ketika sang penyair bicara tentang wisata misalnya ia pun cukup meyakin kan untuk menghimbau para konsumen. Dalam puisinya berjudul “ Pantai Tanjung Tinggi”, pada bait pertama ia menggambarkan bagaimana keindahan pantai yang terdapat di P.Belitung itu. Ia melukiskan batu raksasa sebagai mahkota, yang diterpa angin dan gelombang. Kata penyair,

Mahkotamu beruntaikan
Batu-batu raksasa
Menghadang terpaan
Gelombang angin utara

Pada bait berikutnya penyair pun menggambarkan keindahan mentari dan burung camar. “Mentari menyilau awan/Burung camar mencicit tak pernah diam”. Masih ada keindahan lain yang dipelihatkan. Ada pohon nyiur, cemara semua itu menawan untuk dilihat. Keindahan itu semua diharapkan dapat menerbitkan keinginan para wisatawan untuk hadir dan menikmati alam Belitung.

Lambungmu berpagar nyiur dan cemara
Anggun bersolek menata rupa
Sijuk ibu pertiwimu tersenyum
Memandang sang puteri yang rupawan
Keelokan wajahmu bisa mengundang wisatawan

Bagi penyair sendiri Tanjung Tinggi punya arti sendiri. Penyair akan datang untuk melepaskan lelah. Disana akan dicapai ketenangan karena sesaat akan terlepas dari kesibukan dunia yang bising. Kecintaan pada keindahan alam membuat penyair berniat menulis puisi yang kiranya dapat memberi kabar kepada dunia.

Aku akan datang kedekapanmu
Wahai … Tanjung Tinggi
Datang buat menyepi dari penat
Reformasi dan akan kutulis
Dalam buku memori larik-larik puisi
Untuk kukabarkan pada dunia
“Semoga banyak orang yang lebih peduli”

RAHMAD SANJAYA PENYAIR DARI DATARAN TINGGI GAYO

Oleh L.K.Ara

Malam itu Rahmad Sanjaya berada di atas panggung pertunjukkan Anjungan Aceh, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Ia bersama teman-temannya membawakan beberapa sajak dalam bentuk musikalisasi puisi. Penonton nampak tertarik juga mendengar pertunjukkan rombongan dari Aceh ini. Selain tampil di Anjungan Aceh, TMII, Rahmad bersama teman-temannya juga tampil di beberapa pentas lainnya, termasuk rumah sejumlah tokoh yang tertarik pada kesenian.

Rahmad Sanjaya yang sengaja datang dari Aceh memang ingin memperlihatkan kebolehannya di Jakarta. Sementara itu tentu, ia dan kawan-kawan ingin juga mencari pengalaman dan bertukar pikiran dengan seniman-seniman Ibukota.

Akan halnya musikalisasi puisi bagi Rahmad merupakan alat ekspresi. Karena itu ia dan kawan-kawannya melahirkan 'Bengkel Musik Batas'. Dengan Bengkel inilah ia menyalurkan ide dan seninya.

Soal seni menyeni bagi Rahmad dimulai ketika duduk di bangku SMP Negeri I Takengon. Semasa sekolah itulah ia mulai menulis puisi. Kemudian pada waktu-waktu berikutnya puisinya mulai dimuat di harian Serambi Indonesia yang terbit di Banda Aceh. Sebuah puisinya bercerita tentang alam desa, alam dimana dia dibesarkan berjudul 'Derai Pinus Langit Penarun'. Berikut ini petikannya,

Derai pinus langit penarun
Membawa nyanyian sejuta gembala
Kala mentari sepenggal menjalari
Lekuk tubuh rimba yang beku

Derai pinus langit penarun
Mengurai sejuta kisah petuah
Yang samar terbawa jerit pepohonan
Lalu hilang terbawa kabut

Bait-bait diatas bercerita tentang sebuah wilayah bernama Penarun. Didesa itu ada hutan cemara. Orang desa hidup sebagai petani dan ada juga yang memelihara hewan ternak. Desa penarun juga memiliki cerita rakyat berupa legenda Atu Belah (Batu Berbelah). Kisah ini bila tak dituliskan atau direkam maka akan hilang, 'terbawa jerit pepohonan/lalu hilang terbawa kabut'.

Sebagai penyair yang lahir di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah, Rahmad banyak menggambarkan alam desa, pepohonan, sungai, angin, ilalang dan awan. Rasa risau akan datang juga bila ia pergi merantau agak lama lalu kembali kedesanya. Sudah terjadi perubahan. Ini digambarkan penyair Rahmad dalam puisinya 'Nina Bobo'. Berikut ini petikannya,

"Dulu di sini,
ada sungai yang selalu bernyanyi
menebar riak, menebar harum, juga menebar pukau

Di sela daun itu dulu, anakku
Ada kicau burung punai
Bercerita selalu kala pagi hinggap dibukit Sana

Seakan dia tak ingin terbang
Meski seribu pemburu membidiknya
Kini, ilalang itu pun resah
Padahal matahari tetap yang dulu
Yang selalu menjaga waktu hingga senja Memalang

Inilah anakku nyanyian itu
Yang telah berubah larik dan nadanya
Sampai dia menjadi sampah seperti aku"

Banda Aceh, April l994

Rahmad Sanjaya lahir l8 Juni l972 di Takengon, Gayo, Aceh Tengah. Ia berdarah campuran suku Gayo dan Jawa. Kegiatan seninya selain menulis puisi, bermusikalisasi puisi, juga bemain dalam lakon Bachbeth, Sinyak, dan Perampok. Sebuah lakon yang juga ikut didukungnya berjudul 'Poma' karya Maskirbi pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki.

Bicara tentang penggunaan simbul alam dalam puisinya, masih dapat ditemukan dalam puisi-puisi lainnya. Dalam sajak berjudul 'Berangkat' misalnya, situasi perpisahan tergambar sedih, dan daun-daun digunakan sebagai alat komunikasi. Petikannya sebagai berikut,


Bila ada yang tertinggal
Biarlah dia rindu
Yang kutitipkan lewat daun-daun
Dan deru bus antar kota

Bila ada yang tertambat
Biarlah dia cintaku
Yang kuselipkan di dasar hatimu

Bila ada yang mendamba
Biarlah dia aku
Yang merangkai sepi
Di hitungan waktu

Bila ada yang dirindu
Biarlah dia engkau
Yang kubawa di jiwa
Dari suatu perjalanan

Bila ada yang terbingkai
Biarlah dia nada-nada
Yang kubiaskan di detak jantungmu

Banda Aceh, Agustus l994

PUISI SA’DI PADA BATU NISAN NAI’NA HUSAM AL DIN

Oleh L.K.Ara

Pada batu Aceh terdapat puisi ciptaan penyair sufi Sa'di. Sajak penyair besar dari Persia itu diguratkan di batu nisan Na'na Husam Al Din, seorang ratu pada masa kerajaan Pasai. Pada batu nisan yang terpahat dengan tulisan Arab Persia itu menggambarkan kehidupan yang singkat. Pada baris pertama dibayangkan bagai tahun-tahun datang dan berlalu. Hampir tak terhitung jumlahnya. Dan itu semua melintas dibumi ini seperti air mengalir tak henti-henti. Juga seperti angin yang tak berhenti mengalir. Dan kehidupan seperti itu jugalah. Dan kehidupan tak lain dari sekumpulan hari-hari, bulan dan tahun. Selama ini menempuh hari-harinya manusia ada di bumi. Selama itulah manusia singgah di bumi. Setelah itu ia kembali.

Mengetahui kehidupan demikian mengapa manusia ‘merasa angkuh’. Ghazal Sa'di yang tertulis dibatu nias itu berbunyi, (terjemahan),

Tiada terhitung jumlah tahun-tahun
yang melalui bumi kita/bagaimana air mengalir
dan semilir angin lalu.
Bila kehidupan ini
tak lain hanyalah seperangkat
kumpulan/hari-hari manusia
mengapakah orang yang menyinggahi
bumi
ini merasa angkuh?

Itulah bagian awal dari puisi yang menyinggung kehiduan manusia itu. Bagian lain yang merupakan kelanjutan puisi itu menggambarkan orang yang diberi nasihat. Nasihat itu disampaikan kepada ‘sahabat’. Bila seorang sahabat lewat atau melalui kuburan seorang musuh janganlah bersukaria. Memang musuh telah binasa dan kuburan telahnya telah kita ketahui pula. Bahkan sedang kita lalui. Namun seorang sahabat itu tetap diberi nasihat, janganlah bersukaria. Mengapa diberi nasihat. Karena kematian tak hanya dapat menimpa musuh tetapi juga dapat menimpa kita. Kata Sa’di,

Oh sahabat
jika kau lalui makam seorang musuh
janganlah kau bersuka ria
karena hal semacam itu dapat jua
menimpa dirimu.

Dibagian lain yang merupakan kelanjutan puisi ini Sa’di memperingatkan janganlah bersikap sombong. Karena sekali waktu manusia yang hidupun bila telah mati, dalam kubur akan merasakan debu memsuki tulang belulang. Dengan mengambil contoh sehari-hari penyair melukiskan sebagai layaknya pupur celak, sekali waktu akan memasuki kotaknya.

Tak usah pula orang menyombongkan diri dengan pakaian yang cantik dan mahal harganya. Karena bila sekaliwaktu ia mati, badannya akan terkubur. Orang dalam kubur tak ada yang dapat menolong. Isteri atau suami yang paling kasihpun hanya mengantar ditepi kuburan. Namun masih ada yang dapat menolong orang yang sudah meninggal. Yakni budi baik, sedekah, amal-amal selama ia hidup.

Wahai yang bercelik mata dengan kesombongan
debu-debu akan memasuki tulang belulang
laksana pupur celak
memasuki kotak penyimpanannya.

Barang siapa pada hari ini
menyombongkan diri dengan hiasan bajunya
maka esok hari
debu badannya yang terkubur hanya tinggal menguap.

Tak ada yang memberi
pertolongan kepadanya
kecuali amal saleh."

Tradisi penulisan puisi pada batu nisan seperti pada Na'na Husam Al Din di Lhok Seumawe, Aceh, terdapat juga pada misalnya batu nisan Raja Fatimah (m l495) di Pekan, Pahang. Disana terdapat perkataan Arab yang diterjemahkan oleh Barnes sebagai 'gate'(pintu gerbang). Menurut terjemahannya baris puisi itu berbunyi, "Death is a gate and all men go in threat" atau "kematian adalah sebuah pintu gerbang dan semua manusia akan melaluinya untuk ke sana." Di dalam buku “Warisan Kesenian Dalam Tamadun Islam” karangan DR Othman Mohd.Yatim juga dijelaskan bahwa Linehan telah pula menterjemahkan perkataan Arab yang sama sebagai 'door' atau pintu. Terjemahan bagi puisi itu adalah sebagai berikut, "death is door which all men must enter" atau "kematian adalah sebuah pintu, semua manusia akan masuk melaluinya."

DR Othman didalam bukunya itu menyebutkan bahwa dalam sufisme, mihrab, pintu ataupun pintu gerbang semuanya melambangkan tempat lalu setiap orang muslim, setelah kematian dalam perjalanan ke dunia yang lain untuk menghadapi Tuhan yang menciptanya. Cammann menarik perhatian kita kepada beberapa orang penyair sufi seperti, Rumi (meninggal l273) dan Hafiz (meninggal l389) yang sangat gemar menggunakan perbendaharaan kata sufi dan bayangannya. Syair-syair Hafiz sering menyebut pintu atau pintu gerbang untuk menuju ke 'pangkuan' Allah, merujuk kepada pintu langit dan arah setelah itu, yaitu pintu mata hari yang berhampiran dengan pintu syurga. Sebagai contoh dibawah ini kita kutipkan bagian sajak Hafiz berjudul Diwan,

Musuh-musuhku telah menyekapku dan menghukumku
Cintaku berpaling dan meninggalkan pintuku
Tuhan cermat menghitung air mata kami
Dan tahu derita kami:
Ah, jangan berduka! Tuhan telah mendengar
Jika derita datang dan dalam malam kau karam
Hafiz, ambil qur'an dan bacalah
Lagu maha abadi, jangan berduka

Pintu nampaknya ada hubungan yang erat dengan tangga. Terutama bagi rumah yang tinggi. Dan motif tangga itulah yang juga digunakan dan terdapat dalam beberapa tulisan. Tulisan-tulisan itu biasanya dalam bentuk dua, tiga, empat dan lima baris berbentuk relief. Hal ini mengingatkan kita pada doktrin sufi yang penting, ialah, "Tuhan itu Satu (Ahad)" dan "Jalan Menuju kepada-Nya (Tariqat)". Menurut Dr Othman, motif tangga ini boleh dikaitkan dengan jalan menuju kepada Tuhan.

Pada bagian pembicaraan tentang sumber sufisme di Semenanjung Malaysia, DR Othman Mohd. Yatim menyebutkan bahwa bentuk-bentuk dan ragam hias (tulisan dan motif) pada batu-batu Aceh dan beberapa bahan seni yang lain menunjukkan telah dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kesenian agama lain. Othman juga menyatakan persetujuannya pada pendapat Heine Geldern, yang menyatakan bentuk-bentuk kesenian Islam di Sumatera sepintas lalu nampaknya seperti terdiri daripada satu gaya sahaja tetapi dalam kenyataannya terdapat campuran daripada berbagai-bagai unsur. Pengaruh Hindu, Hindu Jawa, kemudian Cina dan Islam dan semuanya itu digabungkan menjadi satu.

Di bagian akhir tulisannya Othman mengambil semacam kesimpulan bahwa sungguhpun orang-orang Melayu di Kepulauan Melayu telah menganut agama Islam, kebudayaan dan simbolisme mereka masih tetap dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Sementara itu ia juga mengetengahkan pendapat Johns yang menyebut bahwa orang-orang Kepulauan Melayu secara sadar atau tidak telah bersedia untuk mengekalkan semacam kesinambungan dengan zaman lepas dan terus menggunakan unsur-unsur pra-Islam dalam konteks Islam.

Bila melihat pembicaraan yang ditulis secara khusus tentang simbolisme di dalam buku berjudul "Warisan Kesenian Dalam Tamadun Islam" terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka,K.L, l989, itu, maka Othman mengisaratkan bahwa penyampaiannya berupa perutusan Islam yang tersembunyi. Kata Othman, "Simbul secara visual maupun secara vokal telah digunakan dengan meluas sekali dalam kehidupan manusia. Lantaran itu kita dapati banyak sekali definisi yang diberikan terhadap perkataan simbol. Definisi yang paling umum telah dikemukakan oleh Needham yang mengatakan simbol itu ialah sesuatu yang mewakili sesuatu perkara yang lain. Beliau mengambil mahkota sebagai contoh, menurutnya mahkota ialah simbol kepada sistem pemerintahan beraja."

Terdapat pula simbol untuk masyarakat. Needham berpendapat bahwa fungsi simbol masyarakat bukanlah sekedar menandakan atau untuk membesarkan kepentingan apa yang disimbolkan itu tetapi juga bertujuan untuk menimbulkan dan mempertahankan kewajiban emosi yang telah ditetapkan sebagai perlu atau penting didalam sesuatu kumpulan masyarakat itu. Berdasarkan para ahli-ahli itu
telah dibuat semacam kesimpulan bahwa simbolisme adalah penting karena ia bertujuan untuk menandakan sesuatu yang penting dari segi sosial dan mendorong manusia untuk mematuhi atau mengikuti dan mengenali nilai-nilai yang mereka patut hidup bersamanya.
Selain puisi Sa’di pada batu nisan Na’na Husam Al-Din masih dapat ditemukan puisi sufi pada batu nisan Malikul Saleh (meninggal 1297 M) di Geudong, Lhok Seumawe, Aceh. Di sana ditulis puisi sufi dengan huruf Aceh yang menggambarkan dan menjelaskan bahwa dunia ini sesungguhnya fana. Dunia ini tidak kekal, dan ditamsilkan bagai sarang laba-laba yang sangat rapuh. Puisi itu berbunyi, (terjemahan)

Wahai sesungguhnya dunia ini fana
Dunia ini tiadalah kekal

Sesungguhnya dunia ini
Ibarat sarang yang ditenun oleh laba-laba

Demi sesungguhnya memadailah buat engkau dunia ini
Hai orang yang mencari kekuatan
Hidup hanya untuk masa singkat sahaja
Semuanya tentu akan menghembuskan nafas yang penghabisan


(dari: “Seulawah”, Antologi Sastra Aceh, Yayasan Nusantara, Jakarta, 1995)

PUISI SA’DI PADA BATU NISAN NAI’NA HUSAM AL DIN

Oleh L.K.Ara

Pada batu Aceh terdapat puisi ciptaan penyair sufi Sa'di. Sajak penyair besar dari Persia itu diguratkan di batu nisan Na'na Husam Al Din, seorang ratu pada masa kerajaan Pasai. Pada batu nisan yang terpahat dengan tulisan Arab Persia itu menggambarkan kehidupan yang singkat. Pada baris pertama dibayangkan bagai tahun-tahun datang dan berlalu. Hampir tak terhitung jumlahnya. Dan itu semua melintas dibumi ini seperti air mengalir tak henti-henti. Juga seperti angin yang tak berhenti mengalir. Dan kehidupan seperti itu jugalah. Dan kehidupan tak lain dari sekumpulan hari-hari, bulan dan tahun. Selama ini menempuh hari-harinya manusia ada di bumi. Selama itulah manusia singgah di bumi. Setelah itu ia kembali.

Mengetahui kehidupan demikian mengapa manusia ‘merasa angkuh’. Ghazal Sa'di yang tertulis dibatu nias itu berbunyi, (terjemahan),

Tiada terhitung jumlah tahun-tahun
yang melalui bumi kita/bagaimana air mengalir
dan semilir angin lalu.
Bila kehidupan ini
tak lain hanyalah seperangkat
kumpulan/hari-hari manusia
mengapakah orang yang menyinggahi
bumi
ini merasa angkuh?

Itulah bagian awal dari puisi yang menyinggung kehiduan manusia itu. Bagian lain yang merupakan kelanjutan puisi itu menggambarkan orang yang diberi nasihat. Nasihat itu disampaikan kepada ‘sahabat’. Bila seorang sahabat lewat atau melalui kuburan seorang musuh janganlah bersukaria. Memang musuh telah binasa dan kuburan telahnya telah kita ketahui pula. Bahkan sedang kita lalui. Namun seorang sahabat itu tetap diberi nasihat, janganlah bersukaria. Mengapa diberi nasihat. Karena kematian tak hanya dapat menimpa musuh tetapi juga dapat menimpa kita. Kata Sa’di,

Oh sahabat
jika kau lalui makam seorang musuh
janganlah kau bersuka ria
karena hal semacam itu dapat jua
menimpa dirimu.

Dibagian lain yang merupakan kelanjutan puisi ini Sa’di memperingatkan janganlah bersikap sombong. Karena sekali waktu manusia yang hidupun bila telah mati, dalam kubur akan merasakan debu memsuki tulang belulang. Dengan mengambil contoh sehari-hari penyair melukiskan sebagai layaknya pupur celak, sekali waktu akan memasuki kotaknya.

Tak usah pula orang menyombongkan diri dengan pakaian yang cantik dan mahal harganya. Karena bila sekaliwaktu ia mati, badannya akan terkubur. Orang dalam kubur tak ada yang dapat menolong. Isteri atau suami yang paling kasihpun hanya mengantar ditepi kuburan. Namun masih ada yang dapat menolong orang yang sudah meninggal. Yakni budi baik, sedekah, amal-amal selama ia hidup.

Wahai yang bercelik mata dengan kesombongan
debu-debu akan memasuki tulang belulang
laksana pupur celak
memasuki kotak penyimpanannya.

Barang siapa pada hari ini
menyombongkan diri dengan hiasan bajunya
maka esok hari
debu badannya yang terkubur hanya tinggal menguap.

Tak ada yang memberi
pertolongan kepadanya
kecuali amal saleh."

Tradisi penulisan puisi pada batu nisan seperti pada Na'na Husam Al Din di Lhok Seumawe, Aceh, terdapat juga pada misalnya batu nisan Raja Fatimah (m l495) di Pekan, Pahang. Disana terdapat perkataan Arab yang diterjemahkan oleh Barnes sebagai 'gate'(pintu gerbang). Menurut terjemahannya baris puisi itu berbunyi, "Death is a gate and all men go in threat" atau "kematian adalah sebuah pintu gerbang dan semua manusia akan melaluinya untuk ke sana." Di dalam buku “Warisan Kesenian Dalam Tamadun Islam” karangan DR Othman Mohd.Yatim juga dijelaskan bahwa Linehan telah pula menterjemahkan perkataan Arab yang sama sebagai 'door' atau pintu. Terjemahan bagi puisi itu adalah sebagai berikut, "death is door which all men must enter" atau "kematian adalah sebuah pintu, semua manusia akan masuk melaluinya."

DR Othman didalam bukunya itu menyebutkan bahwa dalam sufisme, mihrab, pintu ataupun pintu gerbang semuanya melambangkan tempat lalu setiap orang muslim, setelah kematian dalam perjalanan ke dunia yang lain untuk menghadapi Tuhan yang menciptanya. Cammann menarik perhatian kita kepada beberapa orang penyair sufi seperti, Rumi (meninggal l273) dan Hafiz (meninggal l389) yang sangat gemar menggunakan perbendaharaan kata sufi dan bayangannya. Syair-syair Hafiz sering menyebut pintu atau pintu gerbang untuk menuju ke 'pangkuan' Allah, merujuk kepada pintu langit dan arah setelah itu, yaitu pintu mata hari yang berhampiran dengan pintu syurga. Sebagai contoh dibawah ini kita kutipkan bagian sajak Hafiz berjudul Diwan,

Musuh-musuhku telah menyekapku dan menghukumku
Cintaku berpaling dan meninggalkan pintuku
Tuhan cermat menghitung air mata kami
Dan tahu derita kami:
Ah, jangan berduka! Tuhan telah mendengar
Jika derita datang dan dalam malam kau karam
Hafiz, ambil qur'an dan bacalah
Lagu maha abadi, jangan berduka

Pintu nampaknya ada hubungan yang erat dengan tangga. Terutama bagi rumah yang tinggi. Dan motif tangga itulah yang juga digunakan dan terdapat dalam beberapa tulisan. Tulisan-tulisan itu biasanya dalam bentuk dua, tiga, empat dan lima baris berbentuk relief. Hal ini mengingatkan kita pada doktrin sufi yang penting, ialah, "Tuhan itu Satu (Ahad)" dan "Jalan Menuju kepada-Nya (Tariqat)". Menurut Dr Othman, motif tangga ini boleh dikaitkan dengan jalan menuju kepada Tuhan.

Pada bagian pembicaraan tentang sumber sufisme di Semenanjung Malaysia, DR Othman Mohd. Yatim menyebutkan bahwa bentuk-bentuk dan ragam hias (tulisan dan motif) pada batu-batu Aceh dan beberapa bahan seni yang lain menunjukkan telah dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kesenian agama lain. Othman juga menyatakan persetujuannya pada pendapat Heine Geldern, yang menyatakan bentuk-bentuk kesenian Islam di Sumatera sepintas lalu nampaknya seperti terdiri daripada satu gaya sahaja tetapi dalam kenyataannya terdapat campuran daripada berbagai-bagai unsur. Pengaruh Hindu, Hindu Jawa, kemudian Cina dan Islam dan semuanya itu digabungkan menjadi satu.

Di bagian akhir tulisannya Othman mengambil semacam kesimpulan bahwa sungguhpun orang-orang Melayu di Kepulauan Melayu telah menganut agama Islam, kebudayaan dan simbolisme mereka masih tetap dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Sementara itu ia juga mengetengahkan pendapat Johns yang menyebut bahwa orang-orang Kepulauan Melayu secara sadar atau tidak telah bersedia untuk mengekalkan semacam kesinambungan dengan zaman lepas dan terus menggunakan unsur-unsur pra-Islam dalam konteks Islam.

Bila melihat pembicaraan yang ditulis secara khusus tentang simbolisme di dalam buku berjudul "Warisan Kesenian Dalam Tamadun Islam" terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka,K.L, l989, itu, maka Othman mengisaratkan bahwa penyampaiannya berupa perutusan Islam yang tersembunyi. Kata Othman, "Simbul secara visual maupun secara vokal telah digunakan dengan meluas sekali dalam kehidupan manusia. Lantaran itu kita dapati banyak sekali definisi yang diberikan terhadap perkataan simbol. Definisi yang paling umum telah dikemukakan oleh Needham yang mengatakan simbol itu ialah sesuatu yang mewakili sesuatu perkara yang lain. Beliau mengambil mahkota sebagai contoh, menurutnya mahkota ialah simbol kepada sistem pemerintahan beraja."

Terdapat pula simbol untuk masyarakat. Needham berpendapat bahwa fungsi simbol masyarakat bukanlah sekedar menandakan atau untuk membesarkan kepentingan apa yang disimbolkan itu tetapi juga bertujuan untuk menimbulkan dan mempertahankan kewajiban emosi yang telah ditetapkan sebagai perlu atau penting didalam sesuatu kumpulan masyarakat itu. Berdasarkan para ahli-ahli itu
telah dibuat semacam kesimpulan bahwa simbolisme adalah penting karena ia bertujuan untuk menandakan sesuatu yang penting dari segi sosial dan mendorong manusia untuk mematuhi atau mengikuti dan mengenali nilai-nilai yang mereka patut hidup bersamanya.
Selain puisi Sa’di pada batu nisan Na’na Husam Al-Din masih dapat ditemukan puisi sufi pada batu nisan Malikul Saleh (meninggal 1297 M) di Geudong, Lhok Seumawe, Aceh. Di sana ditulis puisi sufi dengan huruf Aceh yang menggambarkan dan menjelaskan bahwa dunia ini sesungguhnya fana. Dunia ini tidak kekal, dan ditamsilkan bagai sarang laba-laba yang sangat rapuh. Puisi itu berbunyi, (terjemahan)

Wahai sesungguhnya dunia ini fana
Dunia ini tiadalah kekal

Sesungguhnya dunia ini
Ibarat sarang yang ditenun oleh laba-laba

Demi sesungguhnya memadailah buat engkau dunia ini
Hai orang yang mencari kekuatan
Hidup hanya untuk masa singkat sahaja
Semuanya tentu akan menghembuskan nafas yang penghabisan


(dari: “Seulawah”, Antologi Sastra Aceh, Yayasan Nusantara, Jakarta, 1995)

PUISI DALAM HIKAYAT RAJA PASAI

L.K.Ara

Naskah 'Hikayat Raja Pasai' dapat dikatakan merupakan karya sastra yang bersifat sejarah yang tertua dari zaman Islam. Di dalam naskah diceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi antara tahun 1250-1350 M. Yakni dari zaman raja Malikul Saleh hingga sampai ditaklukkan oleh Majapahit.

Seorang ahli bernama W.O.Winstedt mengambil kesimpulan bahwa Hikayat Raja Pasai merupakan teks yang tertua dan diperkirakan ditulis sebelum tahun l534. Melihat isinya Hikayat Raja Pasai juga dapat digolongkan sebagai hikayat yang mengandung ciri-ciri historical dan ciri-ciri mythological.

Setelah melihat perbendaharaan yang ada kemudian dapat pula disebut bahwa Hikayat Raja Pasai merupakan satu-satunya karya sejarah peninggalan Pasai. Bagaimana gambaran sastra yang terdapat dalam naskah tertua ini? Mari kita lihat. Hikayat Raja Pasai dimulai dengan teks yang cukup menonjol yang berbunyi sebagai berikut:

' Alkisah peri menyatakan ceritera raja yang pertama masuk agama Islam ini Pasai. Maka ada diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini, negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah'.

Melihat isinya DR Teuku Iskandar menyatakan, Hikayat Raja Pasai merupakan karya yang mempunyai unsur-unsur legalisasi keluarga yang memerintah, menyatakan asal usul yang sakral keluarga tersebut. Tetapi disamping itu ia juga mempunyai fungsi didaktik. Raja yang zalim akan mendapat hukuman, negerinya musnah. Demikian halnya dengan Sultan Malikul-Mansur yang merampas gundik abangnya, demikian pula halnya dengan Sultan Ahmad yang cemburu terhadap putera-puteranya dan oleh sebab itu membunuh mereka. (Dr Teuku Iskandar, 'Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad', Libra, Jakarta, l996) Di dalam Hikayat Raja Pasai kita menjumpai dua jenis puisi. Yakni bahasa berirama dan pantun.

Di bawah ini dipetik jenis bahasa berirama, sebagai berikut:

Ayohai Dara Zulaika Tingkap
Bangun apalah engkau!
Asalmu orang terjunan pengaliran!
Karena engkau penghulu gundikku
Bergelar Tun Derma Dikara

Bangun apalah engkau!
Tiadakah engkau dengar bunyi
Genderang perang di Tukas
Palu tabuh-tabuhan
Hari dinihari
Bulanpun terang?

Berbeda dengan bahasa berirama yang ditemukan di dalam cerita-cerita rakyat atau penglipurlara yang biasa digunakan untuk menggambarkan suasana, di dalam Hikayat Raja Pasai digunakan dalam dialog.

Hal ini akan terasa lebih lengkap bila kita ikuti petikan puisi dari Hikayat Raja Pasai di bawah ini:

Ya tuaku Syah Alam
Mengapa hambamu dipanggil
Pada ketika dinihari ini
Bulannya terang semalam ini
Pada ketika selatan
Pada ketika tidur nyedar

Maka paduka Syah Alampun bersabda:
Ayohai Dara Zulaika Tingkap
Bergelar Tun Derma dikara
Tiadakah kamu dengar (bunyi)
Genderang (perang) di Tukas
Palunya tabuh-tabuhan
Hari ini dinihari
Bulannya terang

Semalam ini musuh darimana
ketah datangnya
Berapa ketah pertuhanya
Suruh lihat apalah
Kepada segala orang banyak
yang dibawah istana ini
Siapa ada, siapa tiada

Puisi lainnya yang dapat kita jumpai di dalam Hikayat Raja Pasai ialah pantun. Di bawah ini dikutip sebuah pantun dari Hikayat Raja Pasai terbitan tahun l914.

Lada siapa dibangsalkan
Rama saujana kerati
Pada siapa di sesalkan
Tuan juga empunya pekerti
Lada siapa dibangsalkan
Sa-lama lada sa-kerati
Pada siapa disesalkan
Tuan juga empunya pekerti

Untuk sekedar perbandingan dengan pantun tertua di dalam Sejarah Melayu kita petik pantun awal dibawah ini:

Cau Pandan anak Bubunnya
Hendak menyerang ka Melaka
Ada cincin berisi bunga
Bunga berisi air mata

Guna melengkapi pengetahuan kita berkenaan dengan Hikayat Raja Pasai dibawah ini dipetik, wasiat Sultan Malikul Saleh kepada orang-orang besar dan anak-anaknya:

'Hai anakku, dan segala taulanku kamu pegawaiku, bahwa aku ini telah hampirlah ajalku akan mati, adapun baik-baik kamu sekalian pada peninggalku ini. Hai anakku, jangan banyak tamak kamu akan segala harta orang, dan jangan kamu ingin akan isteri anak hamba kamu. Kamu-kamu kedua ini mufakat dua bersaudara dan jangan kamu bersalahan dua bersaudara'.

PENYAIR TGK ASHALUDDIN MENGGUNAKAN KATA MUTIARA

Oleh L.K.Ara

Tgk Ashaluddin dikenal luas sebagai seorang ulama. Beliau juga cukup lama memimpin Panti Asuhan Budi Luhur di Takengon, Aceh Tengah. Tulisan-tulisannya yang bernas dalam bentuk syair menempatkan beliau sebagai penyair.

Berbeda dengan penyair pendahulunya seperti Tgk Yahya dan Tgk Mudekala yang mengambil tema syair dari Quran dan Hadis, Tgk Ashaluddin menggunakan kata-kata mutiara. Mengapa? Ketika perta¬nyaan itu diajukan bulan Juli l998 yang lalu dirumahnya di Jln Mersa, Takengon, beliau berkata, 'Bila mengambil ayat Quran takut kalau-kalau terpeleset".

Bagaimana kira-kira bentuk syair yang ditulis Tgk Ashaluddin dengan mengambil tema kata-kata mutiara? Mari kita ikuti petikan ¬puisi ciptaan beliau dibawah ini, yang aslinya ditulis dalam bahasa Gayo,

Ike nge semperne akal ni manusie
gere sie-sie we munyerakan cerak
sesara cerak gere i cerakne
melengkan nge i pikirie benasa urum rusak

(kalau telah sempurna akan manusia
tidak sia-sia dia mengucapkan kata
suatu ucapan tidak dikatakannya
kecuali telah dipikirkan kotor dan buruk)

Si jelen benasa gere i cerakne
i tason wanni ate gere mugegerak
we becerak kediken ara perlu
kujelen mutentu si patut layak

(hal yang buruk tak dikatakannya
disimpan di hati rapat-rapat
dia berkata bila perlu saja
hal-hal yang baik dan pantas)

Syair diatas ditulis Tgk Ashaluddin pada sebuah notes kecil, berukuran saku. 'Ini sebagian dari yang masih tinggal', ucap Tgk Ashaluddin sambil memperlihatkan notes bertulisan huruf Arab dan berbahasa Gayo itu. Menurut ulama yang telah hidup tiga zaman ini sejumlah buku dan tulisannya telah hilang. Ada yang hilang karena pindah dari kota yang satu ke kota yang lainnya. Ada juga yang hilang karena hanyut dibawa air bah.

Bagaimana kelanjutan syair yang mengambil tema kata-kata mutiara tersebut? Mari kita ikut dibawah ini,

Kediken bengis pe urum kekedeke
kesakit pe i ate gere teridah i salak
cerakke si tangkuh si nge berpilih
ke i barat waih gere muserlak

(bila marah pun sambil ketawa
meski sakit di hati tak nampak di muka
kata yang diucap telah terpilih
ibarat air tidak melimpah)

Tgk Ashaluddin dilahirkan di Isaq, Aceh Tengah, tahun l9l7. Pendidikan SR (SD) ditempuhnya pada tahun l927. Kemudian belajar mengaji pada beberapa ulama seperti, Tgk M.Hasbi Ash Shiddieqy, Ustad Saleh Syarif dan lain-lain.

Ketika belajar pada Tgk Hasbi Ash Shiddieqy, Tgk Ashaluddin harus menempuh perjalanan dari Takengon menuju Banda Aceh. 'Mula-mula naik bus dari Takengon - Bireun dengan ongkos 75 sen. Kemud¬ian dengan kereta api, Bireun - Banda Aceh. Ongkos keretapi lebih murah', tutur Tgk Ashaluddin. Menurut ingatan ulama ini yang kini sudah berusia 8l tahun, beliau belajar pada Tgk Hasbi lebih kurang lebih setahun.

Sebuah pengalaman yang tak terlupakan bagi Tgk Ashaluddin, ketika sekali waktu beliau diajak ustad Saleh Syarif ke desa Kutelintang, Kecamatan Pegasing. Disana ustad Saleh yang juga ternyata politikus akan memberi ceramah tentang agama. Pada hari itu beramai-ramai orang datang memenuhi ruangan rumah Guru Tua Pak Kadir. Diantara yang hadir nampak Tgk Jahya beserta murid-muridnya. Ustad Saleh Syarif yang lepasan Thawalib memang member¬ikan ceramah hari itu cukup menarik. Bahkan bagi sejumlah orang yang mengikuti ceramah yang disampaikan ustad Saleh cukup menge¬sankan. Tgk Yahya yang kini disebut orang sebagai pelopor Syaer Gayo pada saat itu sempat menitikkan air mata.

Menurut Tgk Ashaluddin, kehidupan ustad Saleh Syarif memang cukup menarik. Selain dia mengajar mengaji, juga sehari-hari bekerja sebagai tukang dobi. Tidak diketahui apakah Tgk Ashaluddin juga belajar mendobi. Tapi yang jelas sebagai putra Gayo yang lahir di Isaq (ibu kota kerajaan Lingge), Tgk Ashaluddin amat dekat dengan alam sekitar yang memiliki lapangan luas dan bukit serta pegunungan. Tak heran jika kemudian beliau tertarik menapaki alam luas dengan rumput menghijau sambil memelihara sejumlah kerbau.

Begitulah ketika akan berpisah di rumahnya di jln Mersa, akhir bulan Juli l998 itu, beliau sudah bersiap-siap menunggu jemputan akan pergi ke desa Lane tempat sejumlah kerbaunya dipe¬lihara. Pada usia tuanya dengan tongkat ditangan dan jalan terta¬tih-tatih Tgk Ashaluddin sang penyair yang memungut puisi dari kata-kata mutiara akan meneruskan kembaranya.

(dari: Antologi Syair Gayo. Penyusun L.K.Ara. Terbitan Pena, cetakan ke-2. Banda Aceh 2009)


Beberapa Syair Tgk Ashaluddin

KALIMAH TUJUH

gere ara lain Tuhen
melainkaan Tuhen Allah
Nabi Muhammad i kirim Tuhen
mah peraturen ku hamba Allah

Nabi Muhammad Rasulni Tuhen
munyawahan suruh tegah
suruh tegah isawahan rasul
kati enti murakul benar urum salah

gelah tetap ingeti Tuhen
enti lupen wan senang susah
wan senang susah ingeti Tuhen
oya baru imen i yakui syah

mendepet nikmat i puji Tuhen
gelah i ucepen Alhamdulillah
ke wanni belepe ingeti Tuhen
mudah-mudahan mendepet luah

oya bele kin pengujin
si berimen suci i sone i erah
nge kuwan bele baru i betih
si berimen pedih depet teridah

bier baring kune perputeren zaman
iktiket ku Tuhen enti minah-minah
kati depet ridho ni Tuhen
gelah i bueten si benar perintah

ridhoni Tuhen kul faedahe
sa mendepete we jema mutuah
kalimah tujuh leloni ate
sa muningetie gere gelisah

gere gangu gere macik
gere usik gere gunah


Tgk Ashaluddin

SYAER ARAB


wo suderengku umet Islam
gelah i pikiri ini syaer Arab
terpanang melie si kena ate
ketikikpe hartai merasa genap

hawa nafsu pues murasa
gere olok mengap
ketikik pe genap kedelepe bise
gere bermacik ate ku Tuhen berharap

we jema si terbilang melie
ke rugi urum lebe ate we tetap
kedelepe harta terpanang hine
kesengkiren gere merasa genap

kelem gere nome porak lo gere jenta
memikiri harta terang urum gelep
ulu kin kiding kiding kin ulu
asale demu harta si harap

kedelepe harta perasanne tikek
suntuk berate macik gere ara tetap



Tgk Ashaluddin

IKE AKAL NGE SEMPERNE

ike nge semperne akal ni manusie
gere sie-sie we munyerakan cerak
sesara cerak gere i cerakne
melengkan nge i pikirie benasa urum rusak

si jelen benasa gere i cerakne
i tasonne wan i ate gere mugegerak
we bercerak kediken ara perlu
kujelen mutentu si patut layak

kediken bengis pe urum kekedike
kesakit pe i ate gere teridah i salak
cerakke si tangkuh si nge bersipilih
ke i barat waih gere muserlak

kenge semperne akal cerakpe mutentu
semisel ni kayu nge ara mukerak

‘DUNIA GILA’ DIMATA NASRI LISMA DAN ROGGOWARSITO

Oleh L.K.Ara


Dalam ucapan yang sederhana Nasri Lisma berpesan ‘pintu surga cepatlah diraih’. Pesan itu diucapkan bagai pesan seorang ulama dalam ceramah keagamaan. Namun Nasri Lisma mengungkap larik itu dalam lantunan suara yang berdendang. Karena ia membubuhkan baris kalimat itu dalam nyanyian berirama campuran India dan Melayu.

Judul nyanyian yang menggunakan bahasa Gayo itu berbunyi, ‘Dunia Gila’ (‘Denie Mugile’ ditulis th 2001). Judulnya sendiri memang menarik dan mungkin sesuai dengan zaman ini.

Pada bagian awal Nasri menggambarkan bahwa ada orang yang berkata dunia akan kiamat. Orang memburu uang, menumpuk harta dan kurang melihat barkah dari apa yang dicari itu. Oleh karena itu orang dapat bersenang-senang memperoleh kemewahan di dunia sementara itu ia lupa pada akhirat. Kata penyair,

Kene jema dunie kiamat
Bene berkat reta sidedik
Galak kin denia taring akhirat
Oya alamat kite muserik

(kata orang dunia kiamat
hilang barkah harta dikejar
senang akan dunia tinggal akhirat
itulah jalan kita musrik)

Kene jema denie mugile
Si munos cerite mubalik-balik
Perang sedere wan sara ine
Taringen surge rara I jentik

(kata orang dunia gila
yang membuat kisah bolak balik
perang saudara dalam keluarga
tinggalkan surga api diraih)

Ucapan penyair mengingatkan manusia lupa pada akhirat dan hanya mencari kesenangan duniawi saja, itu di tegaskan kembali bahwa itu jalan menuju musrik.

Ketika kalimat dalam bait berikutnya menyebut ‘kata orang dunia gila’ penyair mengambil salah satu contoh saja dalam kehidupan manusia yakni sudah terjadi ‘perang saudara dalam keluarga’. Dan menurut kebiasaan yang sering terjadi perang saudara dalam keluarga dikarenakan harta. Dan untuk itu kita diingatkan dengan kalimat pendek ‘tinggalkan surga api diraih’. Kata api disini bisa diartikan bencana. Tapi bisa juga di tafsirkan lebih jauh yakni ‘api neraka’. Karena itu kata api dalam puisi, ambigu atau polyinterpretable, mengandung banyak tafsir.

Penyair dalam puisi ini juga melihat segi-segi kehidupan yang bermacam ragam yang dilakukan manusia. Misalnya ia memperlihatkan keinginan-keinganan manusia lengkap dengan nostalgianya. Seorang yang telah berada dalam posisi tua ingin kembali muda. Dan ini wajar. Karena kata orang masa muda itu memang indah. Terutama untuk dikenang. Kata penyair, ‘Denie, denie si tuwe kenak mude/ I ulakki cerite sene masa jemen‘ (dunia, dunia yang tua ingin muda/kembali kisah gurau masa silam).

Kemudian mengenai bentuk dunia itu sendiri menjadi pertanyaan. Apakah dunia gepeng, bundah telur, atau bulat dan lain sebagainya. Serta dapatkah dunia itu diukur. Namun yang pasti digambarkan penyair bahwa dunia itu punya aturan dan adatnya sendiri.

Udah pe betul denie bulet
Gere tersipet ujung ralik
Lebih kurang gere ter uwet
Denie beredet gere usik

(mungkin betul dunia bulat
tak terukur ujung pangkal
lebih kurang tak dapat diambil
dunia punya adat tak dapat dirobah)

Sejumlah pertanyaan yang diajukan penyair dalam larik puisi ini merupakan gambaran kewatiran penyair sebagai manusia yang tinggal dan berdiam di bumi. Lebih-lebih setelah melihat kenyataan bukit-bukit mulai gundul. ‘Betul kedie denie nge rusak/Ari jarak tulok pelentik’(sungguhkah dunia sudah rusak/dari jauh telunjuk menunjuk).

Ike betul denie mu buntul
Baur arul uten pejejik
Tape besilo nge meh gutul
Nge muretul lagu tersik

(kalau betul dunia berbukit
pematang dan lembah hutan menghijau
tapi sekarang telah habis gundul
telah gundul bagai kayu kering)

Ditengah-tengah pertanyaan dan gambaran dunia seperti itulah ada pesan. Pesan itu berupa citra manusia berserah diri kepada Tuhan.
Kalimat itu tampil pada bait bagian akhir yang berkata,’Si ku kenakki murip I denie/Pintu ni serge tair I dedik‘(yang kuinginkan hidup di dunia/pintu surga cepat di raih).

Berbeda dengan puisi penyair modern Indonesia lainnya, pesan lewat puisi Nasri Lisma ini dapat dinikmati dalam alunan nyanyian para pendendang lagu. Karena larik-larik puisinya disertai irama yang sengaja diciptakan untuk itu.

Nasri (lahir 1958) yang dulu semasa kuliah IAIN Arraniri giat dalam dunia teater di Banda Aceh dan pernah memperoleh juara baca puisi, kini lebih mengkhususkan diri pada peciptaan karya yang bertema religius.

Puisinya yang terkenal seperti “Malahayati”, “Denia Mugile”, “Ama”, “Uten Gayo” telah sering disampaikan seniman terkenal seperti, Damora, Sakdiah, Mahlil dan Win Kul.

Puisinya yang telah merebut pasar dapat ditemukan dalam album “Mukale”, dan “ Rupe”. Sedang puisinya berjudul “Guru” diperlombakan di sekolah.

Tak jauh berbeda dengan gambaran Nasri Lisma pujangga Roggowarsito (1802-1873) telah mengungkapkannya lk 200 tahun yang lalu. Ronggowarstio menyebutnya zaman edan yang berarti zaman gila. Pujangga yang dalam tradisi kepustakaan Jawa itu dianggap sebagai penutup. Atau pujangga terakhir. Setelah kematiannya sudah tidak ada lagi seorang pujangga. Seorang pujangga menurut teradisi ini, bukan sekadar seorang penulis, melainkan juga memiliki kemampuan dan otoritas menangani persoalan-persoalan dunia spiritual. Kadang kala mereka disebut juga sebagai nujum istana. Ia juga mempunyai kecerdasan dan daya ingat yang kuat. Lebih dari itu ia juga mempunyai kemampuan untuk menangkap dan memahami tanda-tanda zaman yang tak diketahui orang biasa.

Begitulah ia bicara tentang dunia gila itu dalam salah sebuah karyanya berjudul ‘Zaman Edan’ diterbitkan kembali Bentang Budaya, Jogyakarta, 1998. Ia menggambarkan dalam zaman edan jiwa menjadi gelap dan bingung, pikiran tak menentu. Hati pun jadi gelisah. Orang tertindah dan kelaparan. Tapi ada sesuatu yang pasti yakni, janji Tuhan. Pada bagian ke VII ia menulis larik-larik berikut ini,

Hidup di zaman edan
Gelap jiwa bingung pikiran
Turut edan hati tak tahan
Jika tidak turut
Batin merana dan penasaran
Tertindas dan kelaparan
Tapi janji Tuhan pasti
Seuntung apa pun orang yang lupa daratan
Lebih selamat orang yang menjaga kesadaran


(dari buku ‘Zaman Edan’, Bentang Budaya, Jogyakarta, 1998)

NAGUIB MAHFOUZ SASTRAWAN PERAIH NOBEL DARI MESIR

Oleh L.K.Ara

Naguib Fahfouz seorang sastrawan Arab telah berhasil memenangkan Hadiah Nobel untuk Kesusastraan pada tahun l988. Ia lahir di daerah Jamaliyyah, Kaherah pada tahun l9ll. Ijazah dalam bidang filsafah telah diperolehnya dari Universitas Kaherah pada tahun l934. Ia pernah bekerja pada penyiaran film kerajaan. Ada 20 buah novel dan cerpen Naquib yang telah diterbitkan. Kebayakan dari karyanya itu telah di filmkan. Karangan-karangannya yang terkenal ditulis antara tahun l945 - l952.

Sebagai sastrawan kenamaan Naguib telah menerima ijazah kehormatan dari negara Prancis, Republik Sovyet Rusia dan Denmark ketika karya-karyanya telah diterjemahkan kedalam berbagai baha¬sa. Pada tahun l970, ia telah dikaruniai Anugerah Sastra Kebangsaan (National Prize for Letter). Serta pada tahun l972 telah memperoleh 'The Collar of the Republic', anugerah yang tertinggi
di negaranya.

Orang tua Naquib berasal dari kalangan kelas pertengahan
saudagar Islam di Kahirah. Ketika berumur 6 tahun mereka pindah
dari kawasan lama, yang sesak dan konsevatif ke kawasan pinggir
kota Abbasyiah yang lebih bercorak Eropah modern. Naquib dibesar
kan dan disekolahkan disitu, yang kemudian memasuki Universitas
Kahirah dan memperoleh ijazah Sarjana Muda Falsafah pada tahun
l934.

Dunia tulis menulis dimasukinya ketika ia masih menjadi
mahasiswa. Ia menulis cerpen dan sering dimuat didalam jurnal-
jurnal sastra. Dari hasil cerpennya itu orang sudah dapat melihat
tentang seorang pemuda yang dengan jujur begitu sensitif terhadap
isu konflik dan tragedi yang melanda kehidupan orang lain. Cer
pen-cerpennya mengingatkan orang pada karya Mustafa al-Manfaluti
yang memang berpengaruh pada Naquib.

Ketika Naquib berusia sekitar 30-an, ia telah menerbitkan
sebuah karya terjemahan Inggeris yang menyentuh tentang kehidupan pada zaman Mesir tua. Kemudian ia menulis 3 buah novel yang
menggambarkan aspek-aspek kehidupan Mesir purba yang mempunyai
makna tertentu yang jelas untuk kaum bangsanya yang masih hidup
dibawah kekuasaan Inggeris dan juga pemerintahan Raja Farouk yang
kejam. Dua buah novel itu menyentuh tentang perjuangan rakyat
Mesir menentang pemerintahan yang zalim. Sedang novel yang ketiga
membayangkan bagaimana orang-orang Mesir menjatuhkan pemerintahan
bangsa Hyksos yang ceroboh.

Sebuah novelnya yang sangat terkenal berjudul 'Lorong
Midaq' (dalam bahasa Arab 'Zuqaq al-Midaq' diterjemahkan kedalam
bahasa Inggeris 'Midaq Alley' oleh Trevor Le Gassick) diterbitkan
di Kaherah pada tahun l947. Di lorong ini terdapat berbagai jenis
manusia dengan berbagai ragam kehidupan. Mereka merupakan satu
pemandangan yang biasa ditemui oleh siapa saja yang pernah hidup
di dalam suasana kemesraan rakyat kecil. Dibawah ini kita petik
pragmennya yang dikutip dari 'Lorong Midaq' (terjemahan Abdullah
Hussain, Dewan Bahasa dan Pustaka, KL, l988).

" Perlahan-lahan sedikit", katanya sambil berjalan
seiring dengan Hamida, "saya ada sesuatu..."

"Berani anda bercakap dengan saya? Anda tidak mengenali
saya". Kini suara Hamida nyaring dan mengandung nada marah.

" Kita sahabat lama... Dalam beberapa hari ini saya melihat
anda lebih daripada yang biasa dilihat oleh tetangga anda selama
bertahun-tahun. Saya telah banyak memikirkan tentang anda, lebih
daripada apa yang dapat difikirkan oleh orang-orang yang rapat
dengan anda. Bagaimana anda boleh mengatakan yang saya tidak
mengenali anda?"

Lelaki itu berkata dengan tenang dan tanpa ragu-ragu.
Hamida memasang telinganya dengan teliti, berusaha sedaya
upayanya untuk mengingat tiap-tiap patah kata lelaki tersebut.
Berhati-hati untuk menyembunyikan kekasaran nada suaranya yang
semula, Hamida kini bercakap dengan nada suara yang disesuaikan:
"Kenapa anda mengekori saya?" "Kenapa saya mengekori anda?". Dia bertanya pura-pura
heran. "Kenapa saya tinggalkan pekerjaan dan duduk di warung kopi
memandang ke atas ke jendela anda? Kenapa saya melepaskan dunia
saya yang sempurna dan pergi tinggal di Lorong Midaq? Dan kenapa
saya sanggup menunggu begitu lama?"

Cerpen-cerpen karya Naguib Mahfouz memang tampak terpengaruh oleh pengarang Mustafa al Manfaluti. Sebagai sebuah contoh
disini dipetik cerpennya berjudul 'Kelaparan' yang diambil dari
Short Story Internasional. Kita ikuti petikannya berikut ini;

Haruskah saya cengkeram leher wanita pulas itu dan lantas
mencekiknya sampai mampus? Tapi, Tuan, ketahuilah, pikiran-
pikiran kotor yang merayap otak saya mengamati anak-anak. Apa
yang akan mereka dapati kalau sampai kehilangan ibu mereka dan
sehabis itu saya, ayah mereka? Saya menjadi ragu dan harus
menahan marah. Untuk melampiaskan kemarahan tak kuasa saya cegah
untuk menendang keras isteri saya sebelum kemudian ngeloyor
pergi. Tangisnya yang menyayat mengikuti langkah-langkah saya.

Tanpa menggubrisnya saya pun kembali ke jalan-jalan di mana saya
biasa mengemis dan berjalan keliling tanpa tujuan pasti. Mestikah
saya kembali dan lantas membereskan nyawa Soliman, atau jika tak
begitu saya telentang dan pura-pura menunggu lewatnya Abdel Qawi
Bey dan kemudian menikam bos saya itu? Namun, oh, saya hanyalah
manusia cacat yang apes dan lemah. Apa daya saya tanpa tangan
kanan begini?

Dengan perasaan ini yang terus menyiksa, langkah sayapun
terseret ke tempat ini. Saya melihat sungai ini baik-baik. Aliran
airnya menghipnotis saya, membuat saya melupakan kepedihan hati
ini, dan akhirnya saya tahu bagaimana melunasi hidup. Nil inilah
yang sesungguhnya saya butuhkan. Nasib telah membimbing saya
kesini untuk memasuki suatu jalan ke pembebasan diri (dari deri
ta) dan kedamaian abadi. Niat mati sedikit demi sedikit menyerang
sampai benar-benar menguasai saya ketika saya pikirkan tentang
cacat saya ini, kelemahan, kelaparan saya, keluhan anak-anak dan
Å penderitaan mereka. Saya masih bersyukur kepada Tuhan yang telah
mencabut amarah saya hingga saya tak jadi membunuh isteri.

Malah dengan kepergian ini saya memberi dia keleluasaan untuk menghidu
pi anak-anak kami yang masih kecil secara jujur. Entah lewat
Soliman atau orang lain itu bukan masalah. Saya satu-satunya yang
berdosa maka sayalah yang pantas menjadi korban. Dan ketika saya
akan menyudahi kisah semua ini, Tuan malah berdiri di antara saya
dan niat pembebasan itu. Nah Tuan, sekarang tahukah Tuan alangkah
salahnya tindakan Tuan itu?

Semenjak tadi pemuda Abdel Qawi telah mendengarkan
penuturan lelaki itu dengan penuh perhatian.

"Apa kamu bermaksud melakukannya lagi?" tanya Abdel
Qawi kemudian.

Jawaban kalem dan sudah jadi keputusan pun meluncur
pasti dari mulut lelaki kumal itu: "Tak usah ditanya. Pasti".

Abdel Qawi tersenyum lebar. Dia merogoh sakunya,
mengambil uang l0 piaster-an dan mengulurkannya kepada lelaki
itu, sambil berkata: "Ayo, ambillah ini. Ayolah ambil. Besok pagi
datanglah ke pabrik tempatmu bekerja dulu. Aku akan berada
disana. Dan ini kartu namaku. Tunjukkan kartu ini kepada siapapun
yang mencoba mencegahmu masuk".

Pemuda Abdel Qawi menarik lelaki itu dari parapet. dan
seraya menambahkan: "Urungkan keputusanmu untuk mati. Masih ada
harapan. Aku akan mencarikan kamu satu pekerjaan entah sebagai
porter atau apa sajalah nanti. Nah sekarang marilah kita
tinggalkan tempat ini. Kamu pulanglah dan gunakanlah akal sehat.
Tapi, o ya, siapa namamu?"

(dari : Arsip lama)

MUSTAFA LUTFI AL-MANFALUTI UNSUR KEBENARAN SELARAS DENGAN AGAMA ISLAM

Oleh L.K.Ara

Mustafa Lutfi al-Manfaluti dikenal sebagai pengarang. Ia menulis puisi, cerpen dan esei. Sastrawan kelahiran pada l876 di daerah Manfalut, salah satu propinsi di Mesir ini sejak usia tiga belas tahun sudah rajin menulis. Ia mendapat pendidikan awal di kampungnya sendiri. Kemudian melanjutkan pelajaran di Universitas al-Azhar, Mesir. Selama sepuluh tahun kuliah disana, al-Manfaluti menggunakan banyak waktu membaca karya sastra Arab klasik berupa
puisi dan prosa.

Karya-karya al-Manfaluti pernah dimuat secara berturut-turut di majalah 'al-Mu'ayid' dan kini telah dibukukan. Sejumlah esei dan cerpennya telah diterbitkan didalam antologi yang berjudul, 'al-Nazarat' dan 'al-Abarat'. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi yang diberi judul 'Mukhtarat al-Manfaluti'. Sebuah cerpennya berjudul 'Kenangan'(Al-Dzikra) melukiskan keja
yaan Andalusia. Dalam cerpen itu juga diungkapkan runtuhnya Raja
Granada. Dibawah ini petikannya:

Kelihatan pada setiap keping dinding itu riak air laut yang
tertahan pengalirannya oleh kepingan-kepingan cermin. Sambil dia
memerhatikan itu, mengalirlah dalam jiwanya semula kenangan dan
keinsafan serta pengajaran masa; dan tercetuslah lirik-lirik ini.

Berdiri aku didepan Hambra menangis meratap, membilang dan
meratus.

Kutanyakan Hambra, akan kembalikah mereka
Kembalikah orang yang sudah mati? dia bertanya
Menangis lagi aku di depannya, menangis lagi
Aduhai jauhnya! Jauh sekali berdendang tangisan ini.

Ini semua nenekku punya peninggalan tegaknya di sini
Tegak ganti semua yang sudah hilang

('Kenangan', Dewan Bahasa dan Pustaka, KL, l985, hal. 25)


Dibagian akhir cerpen yang mempertemukan dua remaja Said dan
Floranda yang saling jatuh cinta itu mengisahkan hal yang sangat
memilukan hati. Karena Said dihukum pancung. Berikut ini
petikannya:

Said diseret ke situ di mana sudah ramai orang lelaki dan
perempuan berkumpul. Ketika pedang algojo akan mengenai tengkuk
Said secara spontan kedengaran suara jeritan seorang wanita yang
berada di antara orang yang berkerumunan di situ. Jeritan nyaring
itu menyebabkan orang ramai mengalihkan pandangan mereka ke arah
tempat terbitnya suara tetapi mereka tidak mendapat suatu
ketentuan suara siapa. Hanya dalam suatu jangka yang amat pendek,
sekejap mata, bercerailah kepala mangsa algojo itu daripada tubuh
tuannya dan gugur ke tanah.

Kini orang-orang yang melewati pekuburan Bani Ahmar yang
terletak di luar kota Granada akan melihat sebuah kubur yang
terindah dan terhias di antara kubur-kubur yang banyak di situ.
Kubur itu dibuat daripada kepingan marmar biru jernih, di
bahagian tengah terdapat sebuah lopak kecil yang senantiasa
digenangi air hujan dan menjadi pemandian dan peminuman burung-
burung dalam musim panas. Pada satu sisi kubur itu terukir baris-
baris berikut:

Inilah pusara Bani Ahmar yang
terakhir
Dari pada kekasihnya
yang setia pada janjinya
sehingga akhir hayat
-Flora

('Kenangan', DBP, KL, l985, hal. 30-31)
Selain sebagai pengarang Mustafa al-Manfaluti dikenal juga dengan
terjemahan-terjemahannya dari bahasa Prancis. Telah diterbitkan
empat buku terjemahannya berjudul, 'Majdulin', 'Fi Sabil al-Tal',
'Al-Sya'ir', dan 'al-Fadila'.

Bagaimana pandangan kritikus sastra Arab terhadap karya-karya al-Manfaluti? Anis al-Maqdisi menggolongkannya sebagai
sastrawan Timur yang berusaha mempertahankan ketimurannya dari
pengaruh asing. Ada dua kritikus yang menganggap karya al-Manfal¬
uti sebagai yang selalu membeberkan keburukan yang ada ditengah
masyarakat.

Kedua kritikus itu adalah Muhammad Husein dan Ahmad al-Iskandari. Sedangkan sastrawan Ali Audah yang cukup banyak menterjemahkan buku sastra Arab mengatakan al-Fanfaluti seorang sastrawan yang mempunyai gaya klasik. Dan lebih dari itu tentulah sudah diketahui bahwa al-Manfaluti merupakan seorang ulama Azhar.
Di dalam cerpennya yang berjudul 'Hari Perhitungan' (Yaum al-
Hisab), pengarang mengisahkan mimpi 'aku' yang seakan-akan hidup
di alam akhirat. Si 'aku' bertemu dengan orang-orang yang sudah
mati. Mereka semua yang sudah mati itu sedang menunggu panggilan
di perhitungkan. Akan ditimbang amal baik dan amal buruknya untuk
kemudian nanti ditentukan bagaimana nasib akhir.

Di dalam cerpen ini digambarkan tokoh pertama akan masuk surga
karena di dunia telah menolong orang miskin. Sedangkan tokoh
kedua akan masuk neraka karena menghindari kewajiban zakat. Tokoh
ketiga juga akan masuk neraka karena di dunia pekerjaannya
menjual agama untuk kepentingan pribadi. Masih ada tokoh lagi,
tokoh terakhir Muhammad Abduh dan Qasim Amin yang tidak jelas
akan masuk ke mana. Di bayangkan keduanya sedang berdebat saling
menyalahkan perbuatannya di dunia.

Apa yang digambarkan di dalam cerpen ini bila dihubungkan dengan
ajaran agama Islam, maka dapat kita temui di dalam Quran mengenai
'hari perhitungan'. Di dalam 'kitab amal' semua perbuatan manusia
ditulis yang baik maupun yang buruk. Tiap perbuatan manusia ada
imbalannya.

Di awal cerpen ini di gambarkan si 'aku' bertemu dengan orang
yang pernah dikenalnya di dunia. Orang ini wajahnya berseri-seri
karena sudah mendapat kepastian bahwa ia akan masuk surga. Sedang
amalnya didunia biasa-biasa saja. Ia banyak juga melakukan dosa.
Di dalam cerpen itu dibayangkan yang membuat ia masuk surga ialah
karena ia telah membantu meringankan penderitaan tetangganya yang
miskin.

Setiap malam ia menyimpan lima dirham ke kantong si
miskin tadi. Bantuan itu diberikan terus menerus dan dalam waktu
yang lama. Sampai ajalnya tiba si miskin tidak mengetahui siapa
yang telah membantunya.

Bila dihubungkan dengan ajaran agama Islam, memang sesuai dengan
anjuran Islam. Apa yang dilukiskan di dalam cerpen itu sepadan
dengan makna yang terkandung di dalam Quran yang berbunyi,
'Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan tidak menyakiti perasaan si
penerima, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih
hati'. (Q.S.2:262).

Di dalam cerpen ini al-Manfaluti telah memperlihatkan nilai
keindahan bahasa tapi juga mengandung unsur-unsur kebenaran dan
kebaikan yang selaras dengan ajaran agama Islam.


(dari : Arsip lama)

MUHAMMAD BASYIR LAKKIKI SENIMAN YANG AKRAB DENGAN ALAM

Oleh L.K.Ara

Dia seorang petani lahir di Kampung Kutelintang yang sunyi, namanya Muhammad Basir. Kelak nama itu ditambah dengan Lakkiki, menjadi Muhammad Basir Lakkiki. Muhammad Basir memang mempopulerkan nama Lakkiki sebagai sebuah Klob (grup ) Didong yang sangat terkenal di Gayo, Aceh Tengah.

Dengan beroleh pendidikan SD di Takengon dan Madrasyah Islamiyah di Sigli, Muhammad Basir menghasilkan karya-karyanya berupa didong ( sebuah kesenian tradisional Gayo ) yang sangat menyakinkan. Selain lagu yang merdu dan berciri khas Gayo lirik-liriknyapun cukup menarik. Menarik karena berisi “nasehat” kepada muda-mudi dan sering menggambarkan suasana masa lalu. Tema-tema didongnya mencakup nasib manusia, suasana pembangunan, penderitaan, ungkapan kegembiraan muda-mudi, dan lain-lain.

Kehidupan bertani yang dihayatinya sepanjang waktu melahirkan beberapa didong yang sangat berkesan. Minsalnya dalam didong Guduk-guduk dapat kita lihat suasana musim panen dan kehidupan muda-mudi pada saat itu. Kata Muhammad Basir.

Musim panen gadis beriring
Di atas pematang perjaka memandang
Kembang gemerlap hijau dan merah
Miring topinya sudah melintang terpasang

Suasana yang romantis itu dilanjutkan dengan kehidupan muda-mudi di senja hari,

Jika hari senja pulang ke rumah
Belanga dicari emping digongseng
Dicari lesung diusahakan alu
Dibawa tampah untuk menampinya

Tapi bagaimana suasana hubungan muda-mudi di zaman silam itu? Hal ini terungkap dalam bait di bawah ini :

Perjaka dahulu membawa tongkat senja
Di air pancuran gadis-gadis bersisir
Seakan-akan iya seolah-olah tiada
Maklumlah dahulu halus itu tuturnya

Hubungan muda-mudi seperti ini masih kita jumpai dalam lirik-lirik Muhammad Basir, minsalnya kita temukan pula dalam didong Teganing. Bagaimana terbatasnya hubungan muda-mudi di zaman lalu itu tapi juga bagaimana mesra dapat kita lihat dari bait di bawah ini :

Gadis-gadis ke telaga membawa kendi
Perjaka ke pintu gerbang tiba-tiba melambaikan tangan
Berdendanglah adik berdendanglah
O o o wahai adikku

Dalam lirik didong Utih Roda, Muhammad Basir mengisahkan gadis-gadis Gayo bekerja menumbuk padi. Di sana dikemukakan bagaimana para gadis itu menjemur padi, membawa ke roda lalu menumbuk. Coba kita simak lirik Utih Roda di bawah ini :

Utih roda ramah dan bijak
Jari-jari cekatan kulihat menampi
Lah uwo jang kerlak 1)

Suara alu keltang-keltung
Suara lesung seolah bernyanyi
Lah uwo jang kerlak

Beberapa didong Muhammad Basir berisi semacam nasehat kepada para pemuda. Bagaimana seharusnya para pemuda bersikap, bagaimana seharusnya bertingkah laku, bekerja dan sebagainya digambarkan seniman Muhammad Basir dalam Pemanis. Coba kita ikuti :

Sebagai ganti mentera perindu sebaiknya lagi
Berbicaralah yang pintar kau perjaka
Pandailah berbicara mahir menenggang hati
Kepada orang banyak jangan congkak
Hari pun pagi lebih baik dan sebaiknya
Jangan asyik tidur kau luruskan kaki telentang
Tu kelta keltu tidaklah layu sirih di gagang

Tumbuh-tumbuhan yang hidup di tengah alam sering dijadikan perlambang oleh para penyair. Pujangga Baru dalam kesusasteraan Indonesia misalnya sangat menyenangi ini. Sampai-sampai seorang pengarang Sari Amin “bersembunyi” ketika mengarang di balik nama Selasih. Akhirnya nama Selasih ( yang berupa nama tumbuh-tumbuhan ) sangat terkenal, melebihi nama asli Sari Amin sendiri.

Dalam didong Muhammad Basir mengambil tumbuh-tumbuhan renggali sebagai simbul. Dalam didongnya Renggali ia mengisahkan bahwa tumbuhan itu hidup dalam hutan namun ia berfaedah untuk manusia karena bunga itu wangi dan harum. Semisal seniman Muhammad Basir tinggal dalam desa sunyi namun karya-karyanya selalu didengdangkan, dibaca orang, didengar orang di manapun dan kapan pun karena karya-karya itu menghasilkan hubungan yang intim dengan keindahan.
Mari kita coba lihat serangkum lirik Renggali :

Tumbuhlah kau renggali semoga subur
Supaya kami jadikan untuk minyak wangi
Tumbuhlah kau renggali tidak usah disemai
Agar dapat menjadi perhiasan diatas bumi

Betapa sederhana tapi betapa luhur keinginannya agar dapat menjadi perhiasan di atas bumi. Sementara itu ia sendiri tak ingin di hiraukan menjadi bertunas dan tumbuh sehingga dapat memberikan wangi, tumbuhlah kau renggali tidak usah disemai

Ada satu saat di mana seniman-seniman Gayo menghasilkan karya yang bertema memperkenalkan kampungnya lengkap dengan batas-batasnya. “Dewantara” grup Didong dari kampung Kebayakan misalnya menghasilkan didong Perbatasan. Pada tahun-tahun itu juga Muhammad Basir menghasilkan Pegasing. Lagu yang terkenal itu dihiasi dengan lirik yang berbunyi :

Kutelintang itu pun Pegasing
Bila ke hulu hingga Uning ke hilir hingga Burlintang
Di sana sudah terbayang jalan ke Gayo wo wi wo 1)
Awan putih langit biru wo wi wo
Awan putih langit biru wo wi wo

Selain memperkenalkan Kutelintang dalam didong ini ia juga mengetengahkan kampung-kampung Kayu Kaul, Simpang Kelaping, Lukup dan lain-lain.

Suasana pembangunan sebagai pengisi kemerdekaan bagi Muhammad Basir sudah lama terpikirkan. Hal ini dapat kita simak lewat sebuah didongnya yang berjudul Kulubana. Kata Muhammad Basir :

Sekarang dunia sudah terang
Tanamlah kacang banyak-banyak
Semuanya seluruhnya

Dalam berdidong lirik itu diucapkan oleh ceh Muhammad Basir (ceh utama) dan apitnya (ceh pendamping) lalu disambut oleh grup secara koor dengan kalimat :

Setuju saja
Setuju saja

Dilanjutkan lagi oleh ceh Muhammad Basir dengan lirik

Tanamlah jagung tanam ubi jalar
Capli cabe itu pun di tanam
Bagian pinggir untuk selingan

Disambut lagi oleh grup dengan:

Setuju saja
Setuju saja

Dari contoh yang singkat ini bisa juga dilihat image bahwa ucapan pimpinan itu disambut hangat dengan kata setuju oleh rakyat banyak. Begitu rupa Muhammad Basir mengatur semua ini didalam kesenian tradisional didong sehingga semua berjalan wajar dan intim.

Suara burung, desau air, angina, muncul dalam lagu-lagu ciptaan seniman ini. Karena memang itulah sumber ciptaannya. Ini semua lahir karena ia hidup di tengah alam dan menghayati alam itu secara intens.

Suasana derita bukan tak pernah muncul dalam didong Muhammad Basir. Coba lihat minsalnya pada didong Di Zaman Jepang. Di sini ia menceritakan bagaimana manusia dipaksa kerja rodi membuat jalan oleh orang Jepang.

Dan dimanakah sebenarnya kebahagiaan yang dicari manusia itu? Ini nampak pada lirik lagunya yang berjudul Bong ketis tis bong. Kini untuk mengetahui riwayat penciptaan kesenian Muhammad Basir saya turunkan sebuah wawancara seperti di bawah ini.

“Didong apa yang Anda ciptakan pertama sekali”
“Didong berjudul Lakkiki sekitar tahun 1945, lagu itu tak sengaja tapi kemudian menjadi populer”.
“Siapa yang mula-mula membuat nama Lakkiki?”
“Orang lain, tapi lama-lama semakin melekat ketika ada perayaan dikampung Uning (Kecamatan Pegasing) ketika itu kami bertanding dengan grup Sipi-sipi. Pertandingan itu mencari dana untuk membangun jembatan, pada tahun 1947”
“Bagaimana pada mulanya seingat Anda didong bisa mencari dana?”
“Suatu kali grup Lakkiki mupakat di bawah pimpinan ketuanya Aman Jenen alm. Lalu didong diadakan dengan mengundang orang-orang untuk dana membangun joyah ( surah untuk wanita ). Mungkin karena baru pertama kali diadakan saat itu banyak sekali orang menyumbang”.
“Selama diadakan pertandingan didong grup mana yang anda anggap cukup kuat untuk berlawan grup Anda?”
“Yang agak kuat berlawan grup “Siner Pagi” dengan ceh utamanya To’et dan Thalib”.
“Apa yang paling menarik pada grup Siner Pagi, lagu atau akal (lirik)?”
“Di masa itu akal mulai kami robah. Sewaktu bertemu dengan grup Siner Pagi tidak lagi kami pentingkan akal. Pada generasi sebelum kami memang dipentingkan akal. Siapa yang bisa menjawab teka-teki misalnya itu dianggap menang. Tapi kalau tidak bisa menjawab meskipun didongnya bagus tetap dianggap kalah”.
“Menurut Anda ceh sebelum Lakkiki, ceh mana yang terkuat?”
“Ceh To’et dari grup Siner Pagi dan ceh Tujuh dari grup Sipi-sipi”.
“Dimana saja Anda pernah bertanding dengan ceh Tujuh?”
“Kalau tak salah kami pernah bertanding didong di Simpang Kelaping dengan ceh Tujuh. Selesai pertandingan ceh Tujuh sendiri mengatakan bahwa kalau masih hidup Lakkiki lebih baik aku berhenti karena jauh sekali bedanya, begitu kata ceh Tujuh. Jadi seingat saya ceh Tujuh berhenti sejak bertanding dengan kami”.
“Saya dengar Anda pernah menghentikan sebuah grup bermain untuk selanjutnya dengan menelkin, apa benar?”
“Di saat bertanding dengan ceh Tujuh itu, begitulah. Kami menelkin. Memang apabila lawan lemah sekali kami terus saja menelkin. Maksud saya supaya sempurna ia berhenti berdidong”.
“O ya saat Anda mencipta kapan saja, apa dalam keadaan sepi, atau dalam keadaan ramai barangkali?”
“Seingat saya ada dua cara. Pertama pada masa sepi, sedih sedang menimang anak sedang sakit. Saya berdendang untuk menyejukkan hatinya. Lalu timbul lagu sedih.
Kedua di saat gembira, dalam keadaan ramai di saat ketawa-ketawa timbul lagu gembira. Pernah saya pergi ke dalam hutan terkadang berhenti di belantara itu mendengar suara burung. Saya tertegun. Saya terus teringat suara burung itu. Pada suatu saat kemudian dari suara burung itu saya dapat menciptakan lagu”.
“O ya kalau tak salah sebuah lagu terkenal ciptaan Anda adalah Utih Roda, bagaimana lahirnya karya itu?”
“Utih Roda timbul ketika saat berada di roda tempat menumbuk padi. Melihat alat-alat menumbuk padi itu berputar, melihat orang-orang menumbuk padi lalu lahirlah Utih Roda”.
“Kapan Anda mencipta pagi, sore, atau malam?”
“Sering kami sore-sore berkumpul berdendang-dendang di suatu tempat bersama rekan-rekan. Di saat itu saya mencoba lagu-lagu yang saya temukan. Bersama rekan-rekan diulang-ulang. Kadang-kadang dalam pertemuan itu disempurnakan. Tapi kadang-kadang di tempat itu juga muncul lagi lagu baru”.
“Seingat Anda sudah berapa kira-kira karya Anda ciptakan ?”
“Lebih kurang 150 buah”.
“Kalau mencipta lagu Anda sendiri atau mengajak teman untuk membicarakannya”
“Kalau sedang mencipta lagu saya berusaha sendiri, karena timbul lagu kadang-kadang dalam sunyi sepi, tak seorang yang dapat menggangu saya. Sewaktu kita sedang mencipta di ajak orang lain bicara seolah suara orang lain tak terdengar. Rupanya karena seluruh pikiran kita tumpahkan pada ciptaan tadi”.
“Bagaimana pendapat Anda jika sekali waktu lagu-lagu Anda dibawakan orang lain?”
“Saya bersyukur kalau lagu saya dibawa orang. Cuma kan tak ada salahnya kalau si pembawa menyebut bahwa karya itu siapa yang menciptakannya”.
“Menurut kebiasaan Anda apa dahulu yang diciptakan lagu atau liriknya?”
“Sebenarnya membuat lirik gampang, bisa bermufakat.

Yang sulit mencipta lagu. Bayangkan mencipta lagu kita harus mengikuti naik turun sebuah lagu. Dan itu semua kan harus dicari menurut suasana perasaan kita”.
“Boleh disebut lagu yang paling lama Anda ciptakan?”
“Boleh, lagu-lagu yang agak lama saya buat adalah “Reduk gantung (Guduk-guduk)?”
“Apa yang dimaksud dengan Guduk-guduk itu?”
“Guduk-guduk adalah ucapan pertama bagi kanak-kanak ketika mulai merangkak”.
“Sekarang tentang teman yang setia mendamping Anda dari dulu siapa saja?”
“Rekan paling setia ialah Sahak, baik dalam berdidong atau dalam pergaulan. Perpisahan kami karena ia tinggal di kebunnya dan saya tinggal di kebun saya. Letak kedua kebun kami agak berjauhan beberapa km”.
“Sekarang tentang lagu Pegasing yang terkenal itu, kapan Anda ciptakan?”
“Lagu Pegasing muncul tahun 1947 saat bertanding dengan grup Dewantara. Mula-mula Dewantara mengeluarkan lagu “Perbatasan” lalu kami menampilkan lagu Pegasing”.
“Boleh diketahui lagu-lagu yang bersifat romantis yang Anda ciptakan?”
“Di umur muda memang saya juga menciptakan lagu-lagu yang bersifat romantis misalnya : “Melas Ko Kutetunung”, “Manut Waih Manut Atu”, “Guduk-guduk” dan lain-lain.”
“Kabarnya Anda pernah pergi ke kampung Lumut menghibur pekerja paksa pembuat jalan, apa benar?”
“Sebenarnya kami pergi bukan untuk menghibur tapi pergi untuk rodi membuat jalan. Tapi ketika suatu kali memperingati acara orang Jepang diadakan hiburan. Saat itu mereka menawarkan kapada siapa saja yang bisa menghibur. Dipanggil To’et dan kami mengisi acara hiburan. Tempatnya saya masih ingat saat itu di Pintu Rime Kekabu. Sejak itu saya bertugas menghibur saja lagi, tidak ikut rodi lagi”.
“Lagu-lagu apa saja yang anda bawa waktu itu?”
“Lagu Miyoto Kaino mula-mula saya bawa kemudian saya perkenalkan lagu daerah, seperti lagu Ciak-ciak berasal dari ayam. Yang penting saat itu bagaimana supaya orang Jepang bisa terhibur sehingga benar-benar mereka ketawa”.
“Apa ada imbalan dari Jepang waktu itu?”
“Semenjak kami ikut menghibur pada acara itu saya diberi pekerjaan baru yakni memangkas. Khusus kepala orang Jepang”.
“Sekarang tentang lirik lagu-lagu Anda. Kalau ada orang minat mengumpulkannya bagaimana perasaan Anda?”
“Sebenarnya kalau ada orang berminat mengumpulkan lirik-lirik didong saya, saya bersyukur. Kuucapkan terimakasih kepada orang itu. Kenapa?” Karena lirik didong ini sering hilang. Satu kali bertanding saja kadang-kadang saya sudah lupa, yang ingat kadang-kadang justru orang lain. Jadi kalau ada orang yang berminat mengumpulkan aku bersyukur”.


(dari: Kata Pengantar “Didong Lakkiki” Dikumpulkan L.K.Ara, Departemen P dan K Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta 1982)

MENGENANG ADNAN PMTOH DAN TO’ET

Oleh L.K.Ara

Tangan kiri To’et meregang kedepan lalu tangan kanannya menekuk berada persis di atas tangan kiri tadi sementara itu suaranya yang merdu mengalun “wo renggali…wo renggali…”. Saat itu To’et sedang menyanyian lagu “Renggali” di Bengkel Teater Rendra, Depok tahun 1970. Penonton yang terdiri dari anggota Bengkel Teater dan tamu penyair Rendra dari Japan Foundation santai saja menyaksikan tontonan yang diperlihatkan penyair tradisional Gayo, Aceh Tengah itu. Sikap To’et dalam tontonan agaknya membayangkan orang sedang memainkan biola.

Melihat gaya To’et bila membawakan “Renggali” selalu dalam bentuk yang sama, sekali waktu diajukan pertanyaan kepadanya. Dan secara santai To’et berkisah, “Sekali waktu saya menyaksikan orang main biola. Merdu sekali bunyi alat musik itu. Saya kepingin juga punya biola. Tapi tak punya uang untuk membeli. Ya jadi saya mainkan saja dengan cara saya sambil bernyanyi”.

Nyanyian Renggali sendiri bercerita tentang bunga yang harum baunya. Kemudian dibagian lain ia menyinggung bahwa lagu yang dibawakannya pada saat tengah malam bukan harta pinjam. Dibagian bait akhir To’et juga menyinggung sekarang banyak ‘ceh’ (pencipta lagu) tapi banyak tak berbobot. Berikut ini kita ikuti syair “Renggali”,

wo renggali
si bau bau bau lungi
renggali ni si tajuk dilem
ini lagu ayu rap tengah melem

wo renggali

si bau bau bau lungi
ceh besilo memakin dele
ketape nge delen ku semara
si mubeli motor memakin dele
ketape minyakke memakin menyala

wo renggali

si bau bau bau lungi
renggali ni si tajuk dilem
ini lagu naku nume harta pinyem
enih ni ume memakin simen
keta jakat e nge olok kurang

l978
Terjemahannya:

RENGGALI

wahai renggali
yang harum harum harum mewangi
renggali ini si tajuk hias
ini lagu baru dekat tengah malam

wahai renggali

yang harum harum harum mewangi
ceh sekarang semakin banyak
tetapi lagunya banyak tak mengena
yang membeli kenderaan semakin banyak
tetapi minyaknya semakin menyala

wahai renggali

yang harum harum harum mewangi
renggali ini si tajuk hias
ini laguku bukan harta pinjam
benih sawah semakin banyak
tapi zakatnya semakin berkurang

Daya pikat To’et ketika membawakan nyanyian Renggali tentu bukan hanya karena ia memperlihatkan imajinasi memainkan biola tetapi juga lengkap dengan gerak bahu, tangan, badan serta mimik wajah.

Berbeda dengan penampilan Adnan PMTOH yang menampilkan tokoh dalam hikayat yang dipertontonkan selalu dilengkapi dengan kustum dan properti lainnya. Dalam Hikayat Maleem Dewa misalnya ketika menampilkan tokoh Inen Keben (nenek kebayan) Adnan mengenakan pakaian wanita lengkap dengan kerudung. Sementara itu suaranya pun berubah menjadi suara wanita yakni Nenek Kebayan.

Seperti diketahui Hikayat Maleem Dewa menceritakan Maleem Dewa suatu kali ketika berada di Sungai Pesangan melihat ada sehelai rambut panjang di air. Timbul dalam pikirannya tentu ada orang dihulu. Begitulah ia menyusur sungai hingga hulu. Di hulu sungai Pesangan di Atu Pepangiran ia menyaksikan tujuh puteri sedang mandi. Sedang baju terbang ketujuh puteri itu ia letakkan. Mengintip beberapa hari tahulah Maleem Dewa yang mana Puteri Bungsu. Suatu ketika Maleem Dewa menyembunyikan baju terbang Puteri Bungsu. Ketika akan terbang ke langit Puteri Bungsu tak bisa pergi karena baju terbangnya hilang. Itulah bagian awal Hikayat Maleem Dewa. Dalam kisah selanjutnya Puteri Bungsu bertemu dengan Nenek Kebayan dan Maleem Dewa.

Perobahan dari tokoh yang satu ke tokoh yang lainnya sesuai dengan cerita dilakukan Adnan dalam tempo yang sangat singkat. Begitulah penonton asyik menyaksikan bagaimana Adnan menjadi Nenek Kebayan, Maleem Dewa dan Puteri Bungsu. Dalam percakapan antara Nenek Kebayan dengan Maleem Dewa misalnya dapat kita bayangkan betapa sibuknya seniman Adnan PMTOH mengganti kustum dan merobah suara dari suara nenek ke suara seorang pemuda. Yang menarik juga bagi penonton adalah ketika melakukan pergantian kustum dan properti tokoh-tokoh cerita secara terbuka. Dan memang Adnan sudah siap dengan satu atau dua tas besar berisi kustum dan properti lainnya.

Begitu juga ia lakukan ketika mentas di Teater Terbuka Taman Budaya Banda Aceh. “Dulu di kampong-kampung saya mainkan Hikayat Maleem Dewa biasanya sampai 7 malam”, kata Adnan suatu kali. Dan Hikayat Maleem Dewa memang tak hanya dipentaskan dikampung yang menguasai bahasa Aceh tapi juga dikampung yang memakai bahasa Gayo. Karena memang Adnan bijak juga menggunakan bahasa Gayo. Bahkan menguasai sejumlah nyanyian berbahasa Gayo.

Bila dalam cerita romantis seperti Hikayat Maleem Dewa penonton menyaksikan Adnan berlakon berucap lembah lembut merayu dan bahkan memainkan suling dalam peran Maleem Dewa maka dalam hikayat perang Adnan segera tampil sebagai tentara atau panglima perang. Lengkap dengan senjata dan topi baja. Dalam hal mengenakan topi baja Adnan benar-benar mengenakan topi baja atau yang mirip topi baja.

Berbeda dengan penyair To’et yang sewaktu-waktu juga berlakon seperti tentara dalam membawakan puisinya. To’et boleh dikatakan tidak mempunyai persiapan properti. Ia hanya mempunyai alat bantu yang berfungsi sebagai musik.

Ketika hendak mentas di rumah Tides Katoppo, sutradara Teguh Karya bertanya kepada To’et alat musik apa yang diperlukan. Sedang omong-omong di ruang tamu Tides, tiba-tiba To’et menghilang. Kemana To’et?

Ternyata penyair lugu itu sudah menyelinap kedapur. Datang ke ruang tamu ia membawa piring, sendok, tempayan dan peralatan dapur lainnya.

To’et mulai berdendang. Ia menggerakkan tubuh, suara dialunkan, serta tangannya menyentuh tempayan, piring, dan kadang-kadang pukulan telapak tangannya mendarat didinding rumah.

Ketika membawakan nyanyian “Perang Sabil” tempayan tiba-tiba berobah dari alat musik menjadi topi baja. Begitu saja kedua tangan To’et mengangkat tempayan lalu meletakkan diatas kepalanya. Dan nyanyiannyapun mengalir,

PERANG SABI

laillahaillallah
perang sabilollah mulayang nyawante
ukum ni perang sebenare wajib
seumur murip turah kite jege
rayoh ni si mate sahid
porak lo sine mamur
langso mukamul mujadi minyak bunge
jema mate sahid geh berdidodari
berpermandani sembilan ratus unte

laillahaillallah
perang sabilollah tun empat lime

l947

Terjemahan:

PERANG SABI

laillahaillallah
perang sabi nyawa kita pun melayang
hukum perang wajib di sandang
sepanjang usia harus kita jaga
darah yang sahid
siang tadi tertumpah
kelak berkumpul kembali jadi minyak wangi
yang mati sahid dikunjungi bidadari
pakai permadani sembilan ratus unta

laillahaillallah
perang sabilillah tahun empat lima

Rupanya tertarik menyaksikan kebolehan To’et membawakan beberapa nyanyian Teguh Karya lalu menyusun rencana untuk menampilkan untuk suatu forum yang lebih besar. Begitulah beberapa hari kemudian rumah disulap jadi tempat tontonan. Teguh Karya turun tangan sendiri membawa kain warna warni menghiasi pagar dan ruang rumah. Pada malam pertunjukkan sejumlah undangan seniman Jakarta hadir. Pers ikut menyebarkan pertunjukkan secara luas. To’et sebagai seniman tradisional Gayo, Aceh Tengah semakin dikenal.

Di kampung kelahirannya di Gelelungi To’et dikenal sebagai seorang penyair yang meninggalkan grupnya Sinar Pagi. Grup Didong yang terdiri dari 25 hingga 30 orang ditinggalkan To’et karena ia ingin menggeluti keseniannya lebih dalam. Begitulah akhirnya To’et membawakan seni bertuturnya dari rumah kerumah. Bahkan ia juga membawakan warkah kejadian bencana alam misalnya nyanyian “Redines” dari kampung ke kampung.

Kepiawaian To’et nampak terutama selain hafal ribuan baris syairnya juga membawakan nyanyian dengan totalitas. Tak heran jika sutradara Arifin C. Noer menyebut To’et pembaca puisi nomor wahid. Memang ketika membawakan puisinya penyair tradisi pedalaman Tanah Gayo ini dalam waktu seketika dapat merobah suasana sedih ke gembira dan begitu juga sebaliknya.

Kecepatan merobah suasana seketika pada seniman Adnan PMTOH dapat dibayangkan pada Hikayat Kancamara. Sebuah hikayat yang pada bagian tertentu memperdebatkan ajaran Islam dan Hindu dalam bentuk dialog. Ada dua tokoh yang diperankan Adnan yakni Ratu dan pemuda Kancamara. Dialog itu berbunyi sebagai berikut.

Ratu: “Apa yang raya dalam dunia ini?
Kancamara: “Yang raya dalam alam ini ialah angan hati manusia (hawa nafsu)”
Ratu: “Apa yang kecil dalam alam ini?
Kancamara: “ Alam ini kecil sekali”
Ratu: “Apa yang jauh dalam alam ini?
Kancamara: “Perkataan yang sudah diucapkan, karena tak dapat ditarik lagi”
Ratu: “Apa yang lebih dekat dalam alam ini?
Kancamara: “Yang lebih dekat ialah mati”
Ratu: “Apa yang lebih tinggi dari langit?
Kancamara: “Kemuliaan, hormat menghormati”

Mungkin salah satu ujian bagi penutur hikayat Adanan PMTOH adalah membawakan adegan percakapan diatas. Sebentar ia jadi Ratu sebentar lagi jadi Kancamara. Selain kustum yang harus diganti juga suara dirobah dan sekaligus suasana.

Suatu hari To’et muncul di kampung Tringgading tempat Adnan PMTOH berdomisili. Disamping menikmati pertunjukkan Adnan, To’et juga muncul dengan gayanya yang khas. Berbeda dengan pemunculannya ditempat lain di Tringgadeng, To’et berdendang sambil menjual tembakau yang dibawa Gayo. Dalam bahasa Aceh, To’et berdendang sementara tangannya langsung membungkus tembakau dan memberikan kepada pembelinya. “Berbulan-bulan saya menjual tembakau sambil berdendang di Tringgading”, cerita To’et sekali waktu. Ternyata bukan hanya uang yang didapat To’et tapi juga seorang isteri.

Beberapa tahun kemudian tak terbayangkan kalau satu hari hari kami sempat berada di rumah Adnan PMTOH di Tringgading. Kedua tokoh ini saling cerita tentang pengalamannya masing-masing. Ditutup dengan acara pergi ke pantai menyaksikan ombak.

Kini semua itu hanya tinggal kenangan. Seniman Adnan PMTOH telah pergi menemui Tuhannya tgl 5 Juli 2006. Sedang seniman To’et telah meninggal tgl 24 Mei 2004.

(dari : Arsip lama)