Senin, 22 Maret 2010

DAPATKAH PUISI MENGOBATI LUKA ACEH

Oleh L.K.Ara

Mugkin ada sebuah pertanyaan yang agak sulit mencari jawabannya. Pertanyaan itu berbunyi “Dapatkah Puisi Mengobati Luka Aceh”. Meski tak pasti apa jawaban yang sesuai namun para penyair terus saja melahirkan puisi untuk bersimpati terhadap negeri yang tgl 26 Desember 2004 itu terkena musibah gempa dan gelombang tsunami itu.
Penyair Wina SW1, gadis Aceh kelahiran 20 Februari 1969 yang sangat mencintai tanah kelahirannya yang menyatakan bahwa "luka Aceh adalah lukaku”. Kata Wina lagi, “Sejauh manapun saya berada, rasa sakitnya tetap terasa. Inilah puisi tanda duka cita dan cinta bagi rakyat Aceh tercinta. Semoga Allah swt, memberi kita kekuatan untuk bangkit kembali dan bercermin dari cobaan ini."

Wina yang sedang menyelesaikan studynya di Jepang dari perantauan mendengar musibah itu menulis puisi berjudul “Rindu”. Dalam puisi itu penyair membayangkan kejadian yang menimpa Serambi Mekan tanah leluhurnya itu. Dengan bahasa sederhana ia melukiskan ada air datang lalu menyentuh tiang-tiang menunjung jembatan. Melihat kejadian itu dilukiskan banyak orang lari melintasi sungai. Membayangkan kejadian itu si aku lirik berkata, “aku duduk dalam hening”. Sajak “Rindu” ditulis Wina di Kamogawa, empat belas hari setelah terjadi musibah itu. Tepatnya penyair yang menutup puisinya dengan baris, “mimpikan percakapan tak pernah berakhir” itu ditulis tgl 10 Januari 2005. Dari rantau penyair yang rindu pada negeri yang dikenal dengan nama Tanah Rencong itu hanya bisa menghayati masa lalu dan menyaksikan kenyataan saat ini, lalu “duduk dalam hening”.

Dalam puisi pendeknya yang lain Wina tiba pada kesadaran bahwa segala sesuatu bisa terjadi. Musibah dan malapetaka bisa datang secara tiba-tiba. Seperti musibah tsunami yang datang dalam waktu sekejap dan meluluh lantakkan negeri dalam sekejap pula. Dalam puisinya “Peraduan Bulan” penyair melukiskan ada sejumlah doa dan kenangan bagi yang terkena musibah. Begitu indahnya doa dan kenangan itu diumpamakan seperti selimut. Dan pada selimut itulah dirajut doa dan kenangan itu sehingga akan dapat menghangati tubuh bagi yang sedang tidur. Kata penyair,

selimut berajut doa dan kenangan
akan menghangati tidurmu
mimpi-mimpi yang tercecer
akan mengaliri darahku
: aku masih punya pagi dan matahari

Obaku, 6 Januari 2005


Walaupun Wina menggeluti dunia sains dan sekarang sedang menyelesaikan program doktor di Universitas Kyoto, ia tetap menulis bukan hanya puisi tapi juga ikut memperkenalkan seni budaya Indonesia. Tentang hidup mengambil perumpamaan negeri Jepang ia pernah berucap, "Seperti sakura yang mekar, hidup hanya sebentar. Biarpun singkat, bisa memberi arti bagi sekitarnya."

Dapakah puisi mengobati luka Aceh? Jika pertanyaan itu diajukan kepada penyair Wiratmadinata ia sudah siap dengan jawaban. Penyair kelahiran Aceh ini melukiskan meski beribu bait ditulis penyair “tak sebanding dengan seiris duka-deritamu”. Bahkan beribu bait puisi yang paling indahpun. Dan penyair mengaku ia malu menulis bait-bait puisi. Kata penyair dalam puisinya , “ Betapa malunya aku menulis puisi”(untuk saudaraku di tanah kelahiran; Aceh),

Betapa malunya aku menulis bait-bait puisi ini
Karena cintaku tak akan bisa mengatasi lukamu
Bahkan beribu bait puisi yang paling indahpun
Tak akan sebanding dengan seiris duka-deritamu.

Dengan rendah hati sang penyair mengaku “apalah artinya syair dari seorang penyair/bagi hidup yang engkau lewati dengan getir”. Dilukiskan mereka yang kena musibah menghadapi bencana itu dengan hati yang tegar. Sedang mereka berada dalam situasi laut sedang pasang ditambah badai dan bumi bergoncang oleh gempa.
Pada bait berikutnya penyair membayangkan mereka yang kena musibah merupakan hamba Allah yang pasrah kepada Yang Maha Pencipta. Dan hamba itu menyatakan tunduk dan memohon agar dapat diberi petunjuk untuk mengenali cinta yang diturunkan Allah. Dengan datangnya gelombang tsunami penyair bertanya, ”dosa seperti apakah yang tengah Engkau bersihkan?”

Pada bait berikutnya Wiratmadinata mengulang kembali rasa rendah hatinya, betapa malu ia menulis syair yang sederhana. Dibayangkan betapapun cinta si aku lirik tetap tak bisa mengatasi perih mereka yang kena musibah. “Bahkan berjuta baris puisi dan nyanyian terindahpun/Tak akan sanggup menandingi kekuatan batinmu”.

Puisi yang ditulis sembilan hari setelah terjadi bencana alam ini pada bagian akhir si aku lirik minta izin agar dapat menangis bersama derita yang dialami saudara-saudaranya yang kena bencana. Kata penyair,

Tapi izinkan aku ikut menangis bersama nyerimu
Izinkan aku memelukmu dalam cinta yang lugu
Katakan padaku apa yang tersimpan dalam tangismu
Karena engkau jauh lebih mengerti arti semua ini

5 Januari 2004

Wiratmadinata atau Muhammad Wiratmadinata, Lahir, 29 Juli 1968, di Takengon, Aceh Tengah. Sambil sekolah dan bekerja, aktip di dunia teater dan menulis sastra. Dua kali mendapat penghargaan nasional sebagai pembaca puisi terbaik; Meraih Piala H.B Jassin (1993) dan Penghargaan Mendikbud Fuad Hasan (1989). Bermain bersama Merah Panggung, Ratna Sarumpaet (Alia, Luka Serambi Mekah) dan satu panggung dengan Zainal Abidin Domba dalam SEKDA karya Rendra bersama Teater Tanah Air pimpinan Jose Rizal Manua. Selebihnya ia bermain dalam berbagai pementasan dan menulis puisi.

Didalam puisi “Cermin Nuh” Wiratmadinata menggambarkan bahwa Nuh telah pergi berlayar. Nuh dengan perahunya telah berlayar jauh. Meski Nuh telah menempuh pelayaran yang jauh dibayangkan kita masih tetap melakukan pesta di daratan. Kita seperti tak menghiraukan Nuh. Penyair mengharapkan agar kita cepat menghayati Nuh dan menjadilah teman yang akrab. Dan itu semua diharapkan terjadi sebelum air pasang, sebelum gelombang menerjang. Kalau tidak bisa jadi semua usaha akan menjadi sia-sia. Dalam kalimatnya sendiri Wiratmadinata berkata, “Bergegaslah menemani Nuh-mu/ Sebelum pasang air, sebelum beku waktu/Dan tangan Nuh tak akan tergapai lagi”.

Selanjutnya dalam bait puisi berikutnya penyair melukiskan Nuh telah pergi meninggalkan daratan. Nuh sesuai dengan kehendaknya telah memilih keluasan langit yang berwarna biru. Setelah Nuh bagaimana keadaan kita? “Tinggal kita dikungkung gulita abadi”.

Puisi yang bernada mengingatkan ini ditulis penyair persis pada hari terjadinya bencana tsunami. Mengambil pengalaman kisah Nuh dan menyadari realita kehidupan manusia kini penyair seperti mencoba memberi lukisan seperti seorang pelukis menggambar diatas kanvas untuk memperlihatkan kisah manusia. Kata penyair,

Saat Nuh telah berlayar,
Lalu pasang air,
Lalu beku waktu,
Tangan tak gapai lagi.

26 Desember 2004


Penyair Mustafa Ismail (lahir 1971) menulis pula sejumlah puisi setelah bencana tsunami. Penyair yang akrab dengan lingkungan kota Sigli, Ibukota Kabupaten Pidie ini mencurahkan rasanya lewat puisi “Kopi dan Angin Laut” dan “Kota Sigli”. Dapatkah puisi Mustafa mengobati luka Aceh? Tapi setidaknya penyair dalam dua buah puisinya itu memberi gambaran tentang Sigli setelah bencana terjadi. Mungkin orang dapat “terhibur” lewat imaji penyair.

Mustafa dalam puisi “Kopi dan Angin Laut” menggambarkan ada orang sedang berada di sebuah kafe terapung dipinggir pantai Sigli. Mereka minum kopi sambil bercakap-cakap dan suasana sejuk oleh angin laut.

Mereka juga mengolah kelahiran puisi tapi, “ belum matang, masih mendidih/di atas tungku, bersama ceritamu: surat-surat dari lautan”.

Penyair juga bercerita bagaimana mereka menulis puisi tentang kota, tentang dewa-dewa dalam kehidupan manusia. Juga digambarkan bagaimana sulitnya penyair bersajak dalam gelap. Lebih sulit lagi karena ada bunyi-bunyi yang terdengar disekitar yang tak dibisa difahami.

“Dimanakah kita?” tanya penyair. Dilukiskan ketika tersentak mereka ternyata masih berada di kafe terapung itu. Dan suasana sungguh romantik, “malam terus bergerak/ kopi telah habis/kita pulang, menyusuri jalan sunyi”.

Lukisan yang menggelisahkan setelah bencana tsunami digambarkan Mustafa dalam puisi “Kota Sigli”. Dalam gaya bertanya penyair melontarkan baris-baris puisi, “ entah masih ada kafe terapung itu/menantang laut, menantang angin/seperti tak pernah membayangkan/arti hidup dan kematian”.

Setelah mempertanyakan tentang kafe terapung, penyair juga ingin tahu tentang terminal bus yang terdapat di Kota Sigli. Masihkah ada terminal yang digunakan masyarakat luas untuk datang dan pergi atau hanya sekedar singgah dikota itu. Penyair juga risau dengan sebuah pendopo yang terletak dipinggir pantai masihkah ada tegak seperti biasa disitu. Ucap penyair,

entah masih ada pendopo itu
tegak menghadap lautan
tak pernah tersenyum dan membungkukkan
tubuh kepada orang-orang
entah masih ada hikayat kecil
tentang malam yang menggigil
menghitung panjang jalanan
di bawah bulan yang kuyup
kota-kota telah menjadi bubur

Pamulang, 4 Januari 2005

Meski baris-baris puisi Mustafa berupa tanya namun pada bagian akhir ia seperti sudah dapat membayangkan bagaimana sebenarnya nasib kota Sigli. Memberi lukisan alam, bulan yang kuyup dan dibawahnya nampak kota yang hancur. Memang ada keindahan yang dilambangkan pada bulan tapi kuyup sehingga tak dapat menebar cahayanya yang indah. Dan dibawah bulan yang tak dapat memberi cahaya itulah terdampar, “kota telah menjadi bubur”.

Puisi yang memperlihatkan kesejukan ditengah kegelisahan bahkan mungkin rasa putus asa dapat ditemukan dalam puisi Doel CP Allisah (lahir 1961). Pada puisi berjudul “Ingatan” penyair yang lahir di Banda Aceh ini melukiskan bahwa akibat bencana tsunami itu tak ada lagi yang tersisa. Rumah hancur, sanak famili lenyap, harta sudah tiada. Yang tinggal hanya,

“air mata dan doa kami yang tak putus-putus”.

Untuk kejadian yang dahsyat ini penyair membayangkan bahwa ada kerelaan menerima semua ini. Rela menerima kehilangan yang meski datang secara tiba-tiba. Dan hal itu dihadapi dengan keridhaan tanpa batas. Digambarkan siapa dapat mengukur bagaimana pedih hati ribuan jiwa. Dengan pasrah penyair menyebut bila telah tiba saatnya, “menjemput ajal dan takdir-Nya”.

Upaya manusia sebagai hamba Allah digambarkan penyair dalam keadaan demikian harus kuat. Karena percaya mereka yang meninggal adalah para syuhada dan telah menuju perjalanan ke surga.

kami mesti kuat
kalian adalah para syuhada yang sudah setengah jalan
menuju surga
dan Tuhan telah menghapus dosa-dosa itu


(Dari : Ekspresi Aceh Menghadapi Musibah, Oleh L.K. Ara, diterbitkan BRR, Banda Aceh, tanpa tahun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar