L.K.Ara, lahir di Takengon, Aceh, 12 November 1937. Pernah menjadi redaktur budaya Harian Mimbar Umum (Medan), Pegawai Sekretariat Negara, terakhir bekerja di Balai Puataka hingga pensiun (1963-1985). Bersama K. Usman, Rusman Setiasumarga dan M. Taslim Ali, mendirikan Teater Balai Pustaka (1967). Memperkenalkan penyair Tradisional Gayo, To’et, mentas di kota-kota besar Indonesia. Menulis puisi, cerita anak-anak dan artikel seni dan sastra. Dipublikasikan di Koran dan majalah di Indonesia, Malaysia dan Brunai.
Karyanya yang sudah terbit antara lain: Angin Laut Tawar (Balai Pustaka, 1969), Namaku Bunga (Balai Pustaka, 1980), Kur Lak Lak (Balai Pustaka, 1982), Pohon Pohon Sahabat Kita (Balai Pustaka, 1984) Catatan Pada Daun (BP, 1986), Dalam Mawar (BP, 1988), Perjalanan Arafah (1994), Si Karmin jadi Ulama , Cerita Rakyat dari Aceh I, (Grasindo, 1995), Cerita Rakyat Aceh II, (Grasindo, 1995), Seulawah: Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas (ed. YN, 1995), Belajar Berpuisi (Syaamil Bandung), Berkenalan Dengan Sastrawan Indonesia dari Aceh (l997), Aceh Dalam Puisi (ed. Syaamil, 2003), Langit Senja Negeri Timah (YN 2004), Pangkal Pinang Berpantun (ed. DKKP, YN, 2004), Pantun Melayu Bangka Selatan (ed. YN, 2004), Pucuk Pauh (ed YN 2004) Syair Tsunami (Balai Pustaka 2006), Puisi Didong Gayo (Balai Pustaka 2006), Tanoh Gayo Dalam Puisi ( YMA, 2006), Kemilau Bener Meriah (YMA, 2006), Ekspressi Puitis Aceh Menghadapi Musibah (BRR 2006), Sastra Aceh (Pena, 2008), Antologi Syair Gayo (Pena, 2008), Ensiklopedi Aceh I (ed YMAJ, 2008), Malim Dewa dan Cerita Lainnya (ed. YMAJ, 2009), Ensiklopedi Aceh II (ed. YMAJ, 2009).
Puisinya dapat juga ditemukan dalam: Tonggak, (1995), Horison Sastra Indonesia 1 (2002), dan Sajadah Kata (Syaamil, 2003).
Perjalanan : Menunaikan ibadah haji ke Mekkah (1993), Mengikuti Kongres Bahasa Melayu Dunia, Kuala Lumpur (1995), Pertemuan Sastrawan Nusantara IX di Kayutanam, Sumatera Barat (1997), Pertemuan Dunia Melayu Dunia Islam, Pangkalpinang, Bangka (2003), Pertemuan Dunia Melayu Islam, Malaka, Malaysia (2004).Mengikuti Festival Kesenian Nasional (Sastra Nusantara) di Mataram NTB (2007), Kongres Bahasa Indonesia di Jakarta (2008), Seminar Perpustakaan di Bandung (2009).
Penghargaan: Memperoleh Hadiah Seni dari Pemda Aceh (2009).
Senin, 01 Maret 2010
PUISI L.K. ARA
TIANG PANCANG SUATU HARI
Angin perlahan berjalan
Di sela tiang pancang
Di antara orang-orang
Yang duduk diatas rumputan
Seseorang bangkit
Menengadah kelangit
Bagai meniru angin
Perlahan melangkah
Ke atas tiang pancang
Memandang kesekitar
Lalu mulutnya bergetar
Di sini dulu tokoh negeri ini
Menghimpun para dermawan
Mengharapkan uluran tangan
Untuk membeli pesawat terbang
Lalu para dermawan memberikan
Barang berharga emas dan berlian
Kemudian dibelilah pesawat terbang
Yang menjadi modal utama
Bagi kepentingan Negara
Angin perlahan berjalan
Disela tiang pancang
Seperti membuka lembaran sejarah
Yang tertutup oleh debu dan sampah
Orang-orang mulai berjalan
Melangkah dan meloncat ketiang pancang
Ada bersuara keras sambil mengacungkan tangan
Ada yang bersuara lembut seperti bergumam
Ada pula yang menggerakkan tubuh
Kaki dan tangan ia mainkan
Ada yang menatap ke lubang tiang pancang
Terkejut melihat wajah kotor
Dalam air bagai cerminan
Seorang wanita berdiri dan merapat ketiang pancang
Lalu penyemburkan kata
Seperti mengucapkan mantera
Tiang pancang gemetar jatuh berhamburan
Angin perlahan berjalan
Disela tiang pancang
Menitipkan pesan
Sejarah jangan hapuskan
Banda Aceh, 22 Maret 2009
NYANYIAN ELANG
Kulik …kulik…kulik
Kemana perginya reranting dan dedaunan
Kemana lenyapnya pepohonan di hutan-hutan
Kemana raibnya warna kehijau-hijauan
Kulik …kulik…kulik
Tangan siapa yang demikian perkasa
Membuat gunung-gunung gundul
Dan padang-padang jadi gersang
Hati siapa yang demikian keras
Sehingga tempat kami bermain pun dirampas
Bahkan sarang tempat kami berteduh ikut ditumpas
Kulik…kulik…kulik
Jika suaraku kini terdengar parau
Bukan risau
Karena tempatku bermain hilang
Dan sarang tempat tinggal terbuang
Bukan
Tapi hatiku galau
Melihat air bah di sungai
Menderu menerjang kampung
Menghilangkan harta dan nyawa
Yang seharusnya dipelihara manusia
Karena mereka berakal
Tapi
Mereka mungkin lupa
Pada pesan nenek moyang
Yang sudah lama berkembang
Yang tersimpan dibuku tua
Yang lusuh lembar-lembarnya
Yang tak pernah lagi dibuka
Orang dikatakan berbudi
Kalau merusak alam ia jauhi
Orang dikatakan ingat anak cucu
Kalau merusak alam ia merasa malu
Orang dikatakan ingat hari kemudian
Kalau ia menjaga laut dan hutan
Kini setelah rusak alam lingkungan
Telah datang segala kemalangan
Musibah silih bergantian
Celaka melanda tak berkesudahan
Alampun telah porak poranda
Menumbuhkan silang sengketa
Dan anak cucu akan hidup merana
Salah siapa?
Aku tidak tahu
Kulik … kulik…kulik
Suaraku kini agak bergetar
Melihat orang orang mulai menanam pohon dengan sabar
Banda Aceh, 1 Januari 2010
Sumber Serambi Indonesia
31 Januari 2010, 09:38
MALIO NAMAKU
Malio namaku
Ya begitulah orang memanggilku, Malio
Kalau sedikit dipanjangkan jadi Malio Adnan
Ketika tinggal di Medan
Orang pernah memanggilku Mas Trio Malio Adnan
Ketika di Banda Aceh seorang ibu bersuara merdu
Menyanyikan namaku Lio…Lio
Meski baru kenal seperti ibu itu tahu
Aku pernah tinggal di panti asuhan
Sejak kecil hingga remaja berdiam dipanti asuhan
Dan sejak dipanti asuhan itulah
Aku yang sendiri
Merasa tidak sendiri
Aku diasuh bersama teman yang yatim dan piatu
Aku merasa ramai
Masa kanak yang permai
Aku terkadang mengukir kayu untuk mainan
Masa kanak yang damai
Terkadang menyusun batu membuat lingkaran
Kini semua tinggal kenangan
Kini aku tinggal di kampung di pedalaman
Di Arul Relem, Silih Nara sebuah kecamatan
Berteman desau angin di pepohonan
Atau hamparan bebatu di tepi sungai berkilauan
Suatu kali datanglah masa sulit
Orang katakan masa konflik
Angin tak lagi kurasakan membawa kesejukan
Malam purnama tak lagi membawa keindahan
Karena menjelang malam pintu rumah segera ditutup
Dan bila terdengar ketekun, jantung cepat berdegup
Tak lagi beraturan
Dada sesak mata membelalak
Hati bertanya siapa gerangan
Suara biasa yang memanggil
Atau bentakan yang membuat tubuh menggigil
Masa itu masa konflik
Hidup bagai tercekik
Orang takut ke kebun atau sawah
Takut keluar rumah
Mencari nafkah
Takut hilang dijalanan
Karena bisa lenyap hampir tanpa sebab
Gumpalan cuaca hitampun bergetar
Hingga datang masa damai
Udara cerah alampun permai
Wajah-wajah mulai ceria
Akupun meneruskan kesukaan masa kanakku
Menyusun batu dan mengukir kayu
Begitulah suatu hari disebuah kebun
Ada tunggul kayu terkapar
Aku terpikat karena bentuknya memukau
“Sudah empat puluh tahun yang lalu ditebang”,
Kata yang punya kebun
“Usia pohon itu mungkin sekitar seratus tahun
Kami ingin membakarnya
Tapi kalau mau silakan ambil saja”.
Begitulah tunggul terkapar mulai kami gali
Berhari hari kami menggali
Lumayan dalam
Namun seperti ada sesuatu yang terpendam
Tersimpan di akar kayu yang terbenam
Apakah goresan warkah nenek moyangku
Atau tetesan air mata duka menjadi beku
Atau guratan pikiran jernih tertutup debu
Dan ketika cahaya bertemu akar
Nampak seluruh wujud bergetar
Aku menjadi kelu
Dengan bahasa apa kubaca isyaratmu
Mungkin sebuah kesedihan
Yang ditutupi keindahan
Hingga suatu hari
Aku melanjutkan kebiasaan masa kecilku
Kutata akar kayu itu
Hingga muncul bunga
Bunga mekar di seluruh tubuh akar itu
Puluhan bunga ratusan bunga
Jutaan bunga
Seperti berkata
Terimalah kami dihatimu
Hiruplah semerbak wangi dari kuntum mekar
Dan anakku, anakku rasakan udara damai
Akar itu kini berbentuk korsi
Kuberi nama korsi perdamaian
Begitu saja nama itu mengalir dari hatiku
Lalu bergetar dibibirku
Korsi perdamaian
Hanya itulah karyaku
Ditengah orang membuat karya yang banyak
Sangat banyak bertumpuk-tumpuk
Puluhan kilo bahkan ratusan kilogram
Berbentuk surat (sebagian mungkin proposal)
Kepada pemegang tampuk negeri
Dan aku
Biarlah karyaku yang satu ini
Kayu limbah yang kutata dengan jari
Kusampaikan kepada pemegang tampuk negeri
Yang telah menjaga perdamaian negeri ini
Banda Aceh, 9 Juli 2009
SAMPAI KE IDUL FITRI
Ya Allah
Inilah sujudku di bulan ramadhan
Kening menyentuh sajadah
Sahalat malam yang nyaman
Oleh angin yang Kau turunkan
Ya Allah
Inilah air mata rindu di bulan ramadhan
Mengalir untukMu
Saat masjid diserbu kelam
Saat alam mulai diam
Ya Allah
Inilah sujudku di bulan ramadhan
Sujud seorang hamba
Yang ngembara di bumi Mu
Membawa beban beribu keluh
Ingin merlindung pada Mu
Mohon ampun pada Mu
Di bulan penuh ampunan
Ya Allah
Bagai besi dibakar
Lalu ditempa
Begitulah aku terbakar
Menempa diri
Untuk sampai ke idulfitri
Aceh, 2007
DOA ANAK YANG KEHILANGAN MESJID
Ya Allah
Aku tak lagi dapat merebahkan diri
Tersungkur di altarmu
Untuk shalat dan berdoa kepada Mu
Ya Allah
Masuk kerumah Mu saja
Aku sudah tak bisa
Bukan karena aku malas
Atau kaki sedang lemas
Tapi karena rumah Mu sudah tak ada
Aku kehilangan ya Allah
Sebagai anak yatim
Kedamaian di hati telah kutemukan
Saat aku mengadu kepada Mu
Dan Kau menerimanya
Rinduku pada orang tua
Pupus saat air mata tumpah di altar Mu
Dan Kau membelai rambutku
Ya Allah
Kemana lagi kucari rumah Mu
Aku benar-benar kehilangan
Ratusan temanku juga merasa kehilangan
Saat magrib biasanya kami shalat berjamaah
Dan belajar bersama memuja Mu
Dan berihtiar bersama mengabdi kepada Mu
Ya Allah
Ingin rasanya serempak kami bertanya
Mengapa rumah Mu dihilangkan dari lingkungan kami
Apakah karena ketika shalat kami kurang khusuk
Atau karena ada orang berhati busuk
Yang semena-mena menjual rumah Tuhan
Demi mengeruk keuntungan
Ya Allah
Kami tidak tahu
Kau lah yang tahu
Dan untuk kami yang baru belajar merindukan Mu
Dirikanlah mesjid kecil dalam diri kami satu-satu
Bna, 8 Maret 2009
LEKUK GUNUNG
Lekuk gunung-gunung itu
Seperti lekuk puisiku
Melukiskan kesunyian
Menanti kedatangmu
Rimbun pohon-pohon itu
Seperti rimbun hijau puisiku
Tersenyum melambai kepadamu
Dalam riang yang lama terpendam
Kini akan bertemu
Dengan mata terpejam
Sabang, 10 Januari 2010
HUTAN SABANG
Hutan Sabang
Hutan kerinduan
Hijau dedaunan memberi kesejukan
Hutan digunung memberi kedamaian
Hutan Sabang
Hutan kerinduan
Jangan ada yang merusak rimba larangan
Biarkan burung-burung membuat sarang
Hidup riang diselingi nyanyian
Hutan Sabang
Hutan cinta
Tempat margasatwa bercengkrama
Tempat angin menyanyikan lagu
Tempat laut menyampaikan rindu
Tempat penyair menyejukkan kalbu
Sabang, 13 Januari 2010
BAGAI DUA JARI
Bagai dua jari
Begitulah dekatnya kita kelak
Bila engkau mengasihi anak yatim
Meluangkan waktu untuknya
Membelai rambutnya
Membendung air matanya
Saat kesedihan akan mengucur dari tubuhnya
Bagai dua jari
Begitulah setaranya kita kelak
Bila engkau beri seteguk air minum buat si yatim
Menyanyikan kegembiraan untuknya
Melipur gundah didadanya
Saat ia gelisah menerawang mencari ayah
Bagaimana mungkin kita bagai dua jari
Pada satu saat kelak
Bila engkau membiarkan anak yatim
Bahkan haknya kau rebut
Dan kehendakmu kau peturut
Kau pancing air mata
Kesedihan yang menggumpal didada
Dan kehendakmu itu
Nafsu serakahmu itu
Masih kau pelihara juga
Dan untuk itu sandaraku
Tak usah khawatir
Akan mengalir
Rasa sangsai
Bagai sungai
Mengilingi tubuhmu
Menusuk-nusuk dagingmu
Menyerang urat sarafmu
Sehingga kau berkata
Racun apa yang masuk kemulutku
Sedang engkau sedang melahap
Juadah yang serba enak
Bagaimana mungkin kita bagai dua jari
Suatu saat kelak di akhirat
Sedang hak anak yatim kau gasak
Banda Aceh, 8 Mei 2009
MEREKA USIR AKU
Mereka usir aku dari pesta itu
Dan aku pun pergi menyendiri
Ke mushola sepi
Dekat kuburan Sultan Iskandar Muda yang sunyi
Mereka benar
Mungkin karena pakaianku lusuh
Aromanya pun bau peluh
Mereka mungkin salah pilih
Ketika mengundangku ke pesta itu
Tempat orang-orang arif dan berilmu
Mereka usir aku dari pesta itu
Dengan kata sederhana
Ternyata anda tak terpilih
Disini tempat orang-orang terpilih
Di musola sunyi
Akupun menginsafi diri
Apa sih
Yang kukerjakan selama ini
Selain mengumpul remah-remah
Dijalan raya kehidupan yang kan punah
Mereka usir aku dari pesta itu
Dimata mereka aku belum pantas
Berada dipentas yang bertabur bunga
Aku menginsafi diri
Lalu dimusola yang sunyi
Kuucapkan zikir berkali-kali
Hingga tempatku penuh bunga
Dan kini kupinta
Bila terusir biarlah terusir dari pesta mereka
Bahkan dari rumah mereka
Tapi jangan terusir dari rumah Mu ya Rabbana
Banda Aceh, 11 Agustus 2009
Sumber Serambi Indonesia
13 September 2009, 10:01
Angin perlahan berjalan
Di sela tiang pancang
Di antara orang-orang
Yang duduk diatas rumputan
Seseorang bangkit
Menengadah kelangit
Bagai meniru angin
Perlahan melangkah
Ke atas tiang pancang
Memandang kesekitar
Lalu mulutnya bergetar
Di sini dulu tokoh negeri ini
Menghimpun para dermawan
Mengharapkan uluran tangan
Untuk membeli pesawat terbang
Lalu para dermawan memberikan
Barang berharga emas dan berlian
Kemudian dibelilah pesawat terbang
Yang menjadi modal utama
Bagi kepentingan Negara
Angin perlahan berjalan
Disela tiang pancang
Seperti membuka lembaran sejarah
Yang tertutup oleh debu dan sampah
Orang-orang mulai berjalan
Melangkah dan meloncat ketiang pancang
Ada bersuara keras sambil mengacungkan tangan
Ada yang bersuara lembut seperti bergumam
Ada pula yang menggerakkan tubuh
Kaki dan tangan ia mainkan
Ada yang menatap ke lubang tiang pancang
Terkejut melihat wajah kotor
Dalam air bagai cerminan
Seorang wanita berdiri dan merapat ketiang pancang
Lalu penyemburkan kata
Seperti mengucapkan mantera
Tiang pancang gemetar jatuh berhamburan
Angin perlahan berjalan
Disela tiang pancang
Menitipkan pesan
Sejarah jangan hapuskan
Banda Aceh, 22 Maret 2009
NYANYIAN ELANG
Kulik …kulik…kulik
Kemana perginya reranting dan dedaunan
Kemana lenyapnya pepohonan di hutan-hutan
Kemana raibnya warna kehijau-hijauan
Kulik …kulik…kulik
Tangan siapa yang demikian perkasa
Membuat gunung-gunung gundul
Dan padang-padang jadi gersang
Hati siapa yang demikian keras
Sehingga tempat kami bermain pun dirampas
Bahkan sarang tempat kami berteduh ikut ditumpas
Kulik…kulik…kulik
Jika suaraku kini terdengar parau
Bukan risau
Karena tempatku bermain hilang
Dan sarang tempat tinggal terbuang
Bukan
Tapi hatiku galau
Melihat air bah di sungai
Menderu menerjang kampung
Menghilangkan harta dan nyawa
Yang seharusnya dipelihara manusia
Karena mereka berakal
Tapi
Mereka mungkin lupa
Pada pesan nenek moyang
Yang sudah lama berkembang
Yang tersimpan dibuku tua
Yang lusuh lembar-lembarnya
Yang tak pernah lagi dibuka
Orang dikatakan berbudi
Kalau merusak alam ia jauhi
Orang dikatakan ingat anak cucu
Kalau merusak alam ia merasa malu
Orang dikatakan ingat hari kemudian
Kalau ia menjaga laut dan hutan
Kini setelah rusak alam lingkungan
Telah datang segala kemalangan
Musibah silih bergantian
Celaka melanda tak berkesudahan
Alampun telah porak poranda
Menumbuhkan silang sengketa
Dan anak cucu akan hidup merana
Salah siapa?
Aku tidak tahu
Kulik … kulik…kulik
Suaraku kini agak bergetar
Melihat orang orang mulai menanam pohon dengan sabar
Banda Aceh, 1 Januari 2010
Sumber Serambi Indonesia
31 Januari 2010, 09:38
MALIO NAMAKU
Malio namaku
Ya begitulah orang memanggilku, Malio
Kalau sedikit dipanjangkan jadi Malio Adnan
Ketika tinggal di Medan
Orang pernah memanggilku Mas Trio Malio Adnan
Ketika di Banda Aceh seorang ibu bersuara merdu
Menyanyikan namaku Lio…Lio
Meski baru kenal seperti ibu itu tahu
Aku pernah tinggal di panti asuhan
Sejak kecil hingga remaja berdiam dipanti asuhan
Dan sejak dipanti asuhan itulah
Aku yang sendiri
Merasa tidak sendiri
Aku diasuh bersama teman yang yatim dan piatu
Aku merasa ramai
Masa kanak yang permai
Aku terkadang mengukir kayu untuk mainan
Masa kanak yang damai
Terkadang menyusun batu membuat lingkaran
Kini semua tinggal kenangan
Kini aku tinggal di kampung di pedalaman
Di Arul Relem, Silih Nara sebuah kecamatan
Berteman desau angin di pepohonan
Atau hamparan bebatu di tepi sungai berkilauan
Suatu kali datanglah masa sulit
Orang katakan masa konflik
Angin tak lagi kurasakan membawa kesejukan
Malam purnama tak lagi membawa keindahan
Karena menjelang malam pintu rumah segera ditutup
Dan bila terdengar ketekun, jantung cepat berdegup
Tak lagi beraturan
Dada sesak mata membelalak
Hati bertanya siapa gerangan
Suara biasa yang memanggil
Atau bentakan yang membuat tubuh menggigil
Masa itu masa konflik
Hidup bagai tercekik
Orang takut ke kebun atau sawah
Takut keluar rumah
Mencari nafkah
Takut hilang dijalanan
Karena bisa lenyap hampir tanpa sebab
Gumpalan cuaca hitampun bergetar
Hingga datang masa damai
Udara cerah alampun permai
Wajah-wajah mulai ceria
Akupun meneruskan kesukaan masa kanakku
Menyusun batu dan mengukir kayu
Begitulah suatu hari disebuah kebun
Ada tunggul kayu terkapar
Aku terpikat karena bentuknya memukau
“Sudah empat puluh tahun yang lalu ditebang”,
Kata yang punya kebun
“Usia pohon itu mungkin sekitar seratus tahun
Kami ingin membakarnya
Tapi kalau mau silakan ambil saja”.
Begitulah tunggul terkapar mulai kami gali
Berhari hari kami menggali
Lumayan dalam
Namun seperti ada sesuatu yang terpendam
Tersimpan di akar kayu yang terbenam
Apakah goresan warkah nenek moyangku
Atau tetesan air mata duka menjadi beku
Atau guratan pikiran jernih tertutup debu
Dan ketika cahaya bertemu akar
Nampak seluruh wujud bergetar
Aku menjadi kelu
Dengan bahasa apa kubaca isyaratmu
Mungkin sebuah kesedihan
Yang ditutupi keindahan
Hingga suatu hari
Aku melanjutkan kebiasaan masa kecilku
Kutata akar kayu itu
Hingga muncul bunga
Bunga mekar di seluruh tubuh akar itu
Puluhan bunga ratusan bunga
Jutaan bunga
Seperti berkata
Terimalah kami dihatimu
Hiruplah semerbak wangi dari kuntum mekar
Dan anakku, anakku rasakan udara damai
Akar itu kini berbentuk korsi
Kuberi nama korsi perdamaian
Begitu saja nama itu mengalir dari hatiku
Lalu bergetar dibibirku
Korsi perdamaian
Hanya itulah karyaku
Ditengah orang membuat karya yang banyak
Sangat banyak bertumpuk-tumpuk
Puluhan kilo bahkan ratusan kilogram
Berbentuk surat (sebagian mungkin proposal)
Kepada pemegang tampuk negeri
Dan aku
Biarlah karyaku yang satu ini
Kayu limbah yang kutata dengan jari
Kusampaikan kepada pemegang tampuk negeri
Yang telah menjaga perdamaian negeri ini
Banda Aceh, 9 Juli 2009
SAMPAI KE IDUL FITRI
Ya Allah
Inilah sujudku di bulan ramadhan
Kening menyentuh sajadah
Sahalat malam yang nyaman
Oleh angin yang Kau turunkan
Ya Allah
Inilah air mata rindu di bulan ramadhan
Mengalir untukMu
Saat masjid diserbu kelam
Saat alam mulai diam
Ya Allah
Inilah sujudku di bulan ramadhan
Sujud seorang hamba
Yang ngembara di bumi Mu
Membawa beban beribu keluh
Ingin merlindung pada Mu
Mohon ampun pada Mu
Di bulan penuh ampunan
Ya Allah
Bagai besi dibakar
Lalu ditempa
Begitulah aku terbakar
Menempa diri
Untuk sampai ke idulfitri
Aceh, 2007
DOA ANAK YANG KEHILANGAN MESJID
Ya Allah
Aku tak lagi dapat merebahkan diri
Tersungkur di altarmu
Untuk shalat dan berdoa kepada Mu
Ya Allah
Masuk kerumah Mu saja
Aku sudah tak bisa
Bukan karena aku malas
Atau kaki sedang lemas
Tapi karena rumah Mu sudah tak ada
Aku kehilangan ya Allah
Sebagai anak yatim
Kedamaian di hati telah kutemukan
Saat aku mengadu kepada Mu
Dan Kau menerimanya
Rinduku pada orang tua
Pupus saat air mata tumpah di altar Mu
Dan Kau membelai rambutku
Ya Allah
Kemana lagi kucari rumah Mu
Aku benar-benar kehilangan
Ratusan temanku juga merasa kehilangan
Saat magrib biasanya kami shalat berjamaah
Dan belajar bersama memuja Mu
Dan berihtiar bersama mengabdi kepada Mu
Ya Allah
Ingin rasanya serempak kami bertanya
Mengapa rumah Mu dihilangkan dari lingkungan kami
Apakah karena ketika shalat kami kurang khusuk
Atau karena ada orang berhati busuk
Yang semena-mena menjual rumah Tuhan
Demi mengeruk keuntungan
Ya Allah
Kami tidak tahu
Kau lah yang tahu
Dan untuk kami yang baru belajar merindukan Mu
Dirikanlah mesjid kecil dalam diri kami satu-satu
Bna, 8 Maret 2009
LEKUK GUNUNG
Lekuk gunung-gunung itu
Seperti lekuk puisiku
Melukiskan kesunyian
Menanti kedatangmu
Rimbun pohon-pohon itu
Seperti rimbun hijau puisiku
Tersenyum melambai kepadamu
Dalam riang yang lama terpendam
Kini akan bertemu
Dengan mata terpejam
Sabang, 10 Januari 2010
HUTAN SABANG
Hutan Sabang
Hutan kerinduan
Hijau dedaunan memberi kesejukan
Hutan digunung memberi kedamaian
Hutan Sabang
Hutan kerinduan
Jangan ada yang merusak rimba larangan
Biarkan burung-burung membuat sarang
Hidup riang diselingi nyanyian
Hutan Sabang
Hutan cinta
Tempat margasatwa bercengkrama
Tempat angin menyanyikan lagu
Tempat laut menyampaikan rindu
Tempat penyair menyejukkan kalbu
Sabang, 13 Januari 2010
BAGAI DUA JARI
Bagai dua jari
Begitulah dekatnya kita kelak
Bila engkau mengasihi anak yatim
Meluangkan waktu untuknya
Membelai rambutnya
Membendung air matanya
Saat kesedihan akan mengucur dari tubuhnya
Bagai dua jari
Begitulah setaranya kita kelak
Bila engkau beri seteguk air minum buat si yatim
Menyanyikan kegembiraan untuknya
Melipur gundah didadanya
Saat ia gelisah menerawang mencari ayah
Bagaimana mungkin kita bagai dua jari
Pada satu saat kelak
Bila engkau membiarkan anak yatim
Bahkan haknya kau rebut
Dan kehendakmu kau peturut
Kau pancing air mata
Kesedihan yang menggumpal didada
Dan kehendakmu itu
Nafsu serakahmu itu
Masih kau pelihara juga
Dan untuk itu sandaraku
Tak usah khawatir
Akan mengalir
Rasa sangsai
Bagai sungai
Mengilingi tubuhmu
Menusuk-nusuk dagingmu
Menyerang urat sarafmu
Sehingga kau berkata
Racun apa yang masuk kemulutku
Sedang engkau sedang melahap
Juadah yang serba enak
Bagaimana mungkin kita bagai dua jari
Suatu saat kelak di akhirat
Sedang hak anak yatim kau gasak
Banda Aceh, 8 Mei 2009
MEREKA USIR AKU
Mereka usir aku dari pesta itu
Dan aku pun pergi menyendiri
Ke mushola sepi
Dekat kuburan Sultan Iskandar Muda yang sunyi
Mereka benar
Mungkin karena pakaianku lusuh
Aromanya pun bau peluh
Mereka mungkin salah pilih
Ketika mengundangku ke pesta itu
Tempat orang-orang arif dan berilmu
Mereka usir aku dari pesta itu
Dengan kata sederhana
Ternyata anda tak terpilih
Disini tempat orang-orang terpilih
Di musola sunyi
Akupun menginsafi diri
Apa sih
Yang kukerjakan selama ini
Selain mengumpul remah-remah
Dijalan raya kehidupan yang kan punah
Mereka usir aku dari pesta itu
Dimata mereka aku belum pantas
Berada dipentas yang bertabur bunga
Aku menginsafi diri
Lalu dimusola yang sunyi
Kuucapkan zikir berkali-kali
Hingga tempatku penuh bunga
Dan kini kupinta
Bila terusir biarlah terusir dari pesta mereka
Bahkan dari rumah mereka
Tapi jangan terusir dari rumah Mu ya Rabbana
Banda Aceh, 11 Agustus 2009
Sumber Serambi Indonesia
13 September 2009, 10:01
LANGIT SENJA DI NEGERI TIMAH
PERJALANAN
Setiap kutempuh perjalanan itu
Antara Pangkalpinang, Sungailiat ke Belinyu
Ku ingat pesanmu
Pandanglah alam sekitar
Dan nikmati sesuatu yang segar
Riap dedaunan yang hijau
Memang kulihat alam sekitar
Cuaca dan angin bergetar
Serta ku pandang dedaunan hijau
Tapi yang tampak
Dilembar dedaunan itu
Wajah Depati Amir yang berdebu
Namun tersenyum padaku
Bagai mengucap salam
Kepada seorang pendatang
Kini benar-benar nampak
Sesuatu yang tak bergerak
Jauh tertimbun debu sejarah
Tapi bagai bunga ia merekah
Seorang lelaki yang gagah
Yang berjuang membela negeri
Yang berkorban untuk anak negeri
Setiap kutempuh perjalanan itu
Antara Pangkalpinang, Sungailiat ke Belinyu
Yang nampak di lembar daun itu
Adegan sejarah masa lalu
Depati Amir dan kawan-kawan
Bergerilya di dalam hutan
Melawan Belanda habis-habisan
Ada pula lembar daun yang lain
Bagai cermin
Ia menampakkan penghinatan
Sehingga persembunyian Depati Amir ditemukan
Lalu dibuang jauh ke Kupang
Dan disanalah ia kelak menemukan pintu
Untuk bertemu dengan Yang Maha Tahu
Setiap kutempuh perjalanan itu
Antara Pangkalpinang, Sungailiat dan Belinyu
Yang nampak diribuan lembar daun itu
Uraian sejarah masa lalu
Ketika ku ingin tahu tentang masa kini
Ku cari di lembar daun itu
Tak ketemu
Ku periksa lembar demi lembar
Tak ketemu
Dalam hati aku bertanya
Apakah lembar daun yang bertebaran
Antara Pangkal Pinang, Sungailiat dan Belinyu
Yang jutaan jumlahnya
Tak selebarpun suka menggoreskan
Nasib zaman ini
Zaman dimana akhlak rusak
Dan moralpun luluh lantak
P. Pinang, 26 Desember 2003
SUNGAILIAT
Konon ketika Pangeran Tumanggung Dita tiba
Pada jejak kaki yang pertama
Dia melihat tanah ditempat itu
Liat
Lalu jejak itu
Orang menyebut daerah itu
Sungailiat
Entah bagaimana mulanya
Tapi yang pasti
Orang bersetuju
Dan menyepakati
Hari jadi Sungailiat
Jatuh pada
Tanggal dua puluh tujuh
Bulan empat
Tahun tujuh belas tujuh puluh enam
Dan bagi pengembara ini
Sungailiat tempat ia berteduh
Melonjorkan kaki
Melepas lelah
Membasuh wajah
Melekatkan dahi
Sambil mengutip puisi
Sungailiat, 29 Desember 2003
DIBAWAH LANGIT PANGKAL PINANG
Untuk Z.K.
1
Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu subuh yang tenang
Aku menyaksikan embun bergayutan
Disetiap daun, disetiap cabang
Pada ribuan pepohonan
Embun bergayutan
Siapa yang memanjakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanyya embun bergayutan
Disetiap daun di setiap cabang
Pada ribuan pepohonan
Embun bergayutan
Siapa yang memanjakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanya terdengar perlahan
Semacam gumam
Semakin kutanya
Semakin keras terdengar gumam
Ya kini semakin kentara
Semakin nyaring
Semakin pasti
Zikir yang bertubi-tubi
Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu subuh yang tenang
Telah kusaksikan
Embun menggoncang daunan
Embun menggoncang cabang
Menggoncang pepohonan
Ribuan pepohonan
Tergoncang – goncang
Oleh jutaan embun
Yang sedang mengingat Tuhan
Dalam zikir yang mengalir
Hingga ke akar pepohonan
2
Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu siang yang garang
Matahari menyala
Rumah dan toko – toko kepanasan
Jalanan yang dipenuhi kendaraan
Pejalan kaki yang keringatan
Semua mengalir
Seperti dalam suratan
Siapa yang menggerakanmu, tanyaku
Tiada jawaban
Hanya semua bergerak beraturan
Mencari dan mengolah kehidupan
Dan nafas dalam terdengar mendesah
Sangat perlahan
Bagai ratap di bumi yang basah
Siapa yang menggerakkanmu, tanyaku
Tiada jawaban
Hanya alam yang terdengar mendesah
Sangat perlahan
Kemudian bagai degerakkan
Alam bergoncang
Bergoncang dan bergoncang
Rumah dan toko-toko bergoncang
Kendaraan bergoncang
Jalanan bergoncang
Pejalan kaki bergoncang
Semua menyebut nama Mu
Dalam zikir yang dalam
3
Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu malam yang nyaman
Bintang – bintang bersinaran
Disambut cahaya lampu taman
Cahaya lampu kendaraan
Cahaya lampu jalanan
Cahaya lampu rumah bertebaran
Siapa yang sedang membahagiakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanya cahaya berpendaran
Langit mengirim cahaya kebumi
Dan bumi bagai dalam mimpi
Menikmati
Taburan cahaya berpendaraan
Rumah dan toko-toko
Mengapung dalam cahaya
Kendaraan yang berseliweran
Dan taman serta halaman
Berbinar dalam cahaya
Siapa yang sedang membahagiakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanya cahaya berkilauan
Cahaya bertemu cahaya
Cahaya langit mengulur salam
Dan cahaya bumi menerima salam
Kemudian cahaya berpendaran
Menebar keseluruh alam
Seperti dalam suratan
Mengingat Mu dalam riang
Sehingga tak terlupakan
Lebih-lebih bila sedih datang
Mengingat Mu selalu
Zikir pada Mu selalu
Pangkalpinang, 23-24 Desember 2003
SHALAT MAGRIB DI TUA TUNU
Inilah sholat magrib yang nyaman di Tua Tunu
Disebuah mesjid tua yang tak dimakan api
Meski Belanda telah membakar seluruh kampung
Inilah shalat magrib yang nyaman di Tua Tunu
Disebuah masjid tua yang sederhana
Ada tujuh saf jemaahnya
Semua berzikir kepada Mu
Mereka rakyat kecil biasa
Mendiami Desa Tua Tunu
Hingga tiga orang pegawai negeri
Ratusan yang lainnya bertani
Dan berdagang kecil-kecilan
Inilah shalat magrib yang nyaman di Tua Tunu
Selesai shalat menuju rumah kenalan
Pak Siri dan Ibu Salamah
Telah menyediakan rebus singkong
Kami makan dengan lahapnya
Tua Tunu, Pangkalpinang , 25 Des 2003
SAYAP
Kataku :
Kalau kau mengepakkan sayap
Terbang meninggalkan pulau
Apakah kau tahu
Ada yang berhati galau
Dan pulau ini
Akan terasa lebih sunyi
Katamu:
Terbangpun tak sekehendak hati
Kelak saksikan pulau ini tak pernah sunyi
Karena kan tiba masa
Kala putra – putri pulau
Kan kembali tuk mengabdi
Pangkalpinang, 24 Desember 2003
SUNGAI
Seorang murid SD menangis
Ia kehilangan sungai
Tempat ia mandi
Tempat ia mencuci
Tempat ia bermain
Adalah sungai
Beri aku sungaiku, tangisnya
Orang-orang kasihan padanya
Orang memberi mainan
Orang-orang mengirim cd
Tapi tetap ia menangis
Kembalikan sungaiku, tangisnya
Orang-orang tak dapat memberi sungai
Karena air sungai sudah tak ada
Sungai yang dulu airnya jernih
Kini berobah jadi kotor
Orang-orang menggali timah
Mengotori sungai
Bangka, Desember 2003
MALAM LARUT
Malam yang larut
Mengapa tak beringsut
Siapa yang kau tunggu hingga larut
Apakah kekasih diseberang laut
Malam yang larut
Telepon pun tak berdering
Di malam hening
Apakah tanda kasih kian menyusut
Pangkalpinang, 22 Desember 2003
KAU PERGI
Kau pergi melewati rumahku
Lalu terbang ke negeri jauh
Keseberang pulau
Aku sendiri menunggu kabar
Tentang kepergianmu
Hanya cahaya berkilau
Masuk lewat pintu
Pangkalpinang, 29 Des 2003
SALAM
Pagi itu kau mengirim salam
Dan menyambutku, bisikmu
Gemulai gerak tari seudati
Sepintu sedulang persembahan kami
Kehadiran tuan di pulau kami berkesan di hati
Semoga sua kita awal suatu persahabatan sejati
Pangkalpinang, 17 Desember 2003
DARI TOBOALI SUATU PAGI
Kepakkan sayapmu dan terbanglah
Tembus kabut lalu berenanglah diatas awan
Aku disini dipantai Toboali
Hanya bisa melambai
Dengan mulut bergetar
Mendoakanmu
Tak banyak yang bisa kuberi
Untuk pulau ini, katamu
Sementara sayapmu disaput kabut
Tak banyak ku mohon
Hanya doa
Yang senantiasa
Kan menyertai langkahku, katamu pula
Sambil memandangmu terbang
Melayari awan
Aku memang hanya melambai
Dengan rasa berdebar
Dari tepi pantai
Di Toboali
Suatu pagi
Toboali, 26 Des 2003
TAK ADA BULAN
Inilah perjalanan yang menakjubkan
Memang tak ada bulan
Namun ada nyanyian
Yang menghibur kesedihan
Sepanjang jalan pulang
Menuju Mentok dari Pangkalpinang
Pangkalpinang – mentok, 6 Januari 2003
PANTAI TEPIAN
Puteri pulauku
Bolehkah aku menyebutmu begitu
Saat aku kegelapan
Dan kau memberiku lampu
Saat aku dipermainkan lautan
Dan kau menjadi pantai tepian
Pangkalpinang, 30 Desember 2003
BISIK
Ditengah keletihan
Angin sungai Baturusalah
Yang memijat-mijat lengan ku
Di tengah kerisauan
Angin sungai Baturusalah
Yang menenangkan pikiranku
Ditengah kesepian
Angin sungai Baturusalah
Datang mendesir menghiburku
Ditengah kerinduanku padamu
Angin sungai Baturusalah
Membisikkan sesuatu di telingaku
Pangkalpinang, 30 Desember 2003
CAHAYA
Cahaya di depan Bumi Asih
Pagi ini gemetar
Bagai tak sabar
Menyaksikanmu melintas
Menuju bandara
Angin didepan Bumi Asih
Pagi ini mewangi
Melepasmu pergi
Ia tahu sang putri
Kelak akan kembali
Membangun negeri
Pangkalpinang, 27 Desember 2003
MENGUTIP PANTUN
Ketika ku dengar
Berita duka
Di ujung negeriku
Aku sedang mencari pantun
Aku sedang tersuruk-suruk
Di kolam-kolam, dirawa-rawa
Pantun sudah terendam
Tertimbun timah dan lada
Di pulau Bangka
Ketika kudengar
Berita duka
Diujung negeriku
Aku sedang mengutip pantun
Serta merta kulihat
Pantun berobah jadi air mata
Menetes
Menetes dari kolam kesedihan
Kesedihan bertahun
Mentok, 6 Januari 2004
KESENYAPAN LAUT
Dalam kesenyapan laut yang beku
Aku ingin kau datang menari
Melenggokkan tubuh
Lalu bernyanyi
Walau untuk diri sendiri
Lautan akan cair
Melihat tarimu
Laut akan mengalir
Mendengar nyanyianmu
Pangkalpinang, 22 Desember 2003
KEINDAHAN
Aku mulai iri padamu
Setelah melihat Parai bersamamu
Sebuah keindahan telah lama mengasuhmu
Dan aku kemudian datang
Ingin mengecap keindahan itu
Dan kau begitu tenang
Mengulurkan keindahan Parai bagiku
Yang membuat aku malu
Kau begitu ikhlas menyambutku
Menyuguhkan keindahan bagiku
Dan itu menghapus iri
Dalam diri ini
Sungailiat, 28 Desember 2003
MEMANGGIL IBU
Kau tak pernah memberi tahu
Bahwa ada orang menjerit
Memangil ibu
Dipinggir pantai itu
Urat lehernya menegang
Tangannya meregang
Memanggil ibu
Kepala menunduk
Tubuh terbungkuk
Memanggil ibu
Jemari kakinya bergetar
Seluruh tubuhnya menggeletar
Memanggil ibu
Mengatasi suara ombak
Ia menjerit
Memanggil ibu
Kau tak pernah memberitahu
Suara jerit itu
Mengalir dari kerongkonganmu
Dan aku nanti tak kan pernah memberitahu
Bahwa suara jerit itu telah kukenal
Sebagai suara hatimu
Parai, 28 Desember 2003
PARAI
Takkan kutahu dimana letak Parai
Bila tak kutunjuk arah kepinggir laut itu
Takkan kukecap madu Parai
Bila tak mengorak senyum diwajahmu
Kini Parai berderai-derai dalam kalbu
Nyanyian laut itu
Lagu sunyi tapi merdu
Kemilau cahaya pagi itu
Telah membersit dari matamu
Parai, teriakku
Batu-batu yang kukuh yang menjorok kelaut itu
Membawa ingatan kepada keteguhan perlawanan
Depati Amir, Batin Tikal dan Depati Barin
Yang berjuang untuk anak cucu
Parai, kataku tersedu
Laut yang biru yang tenang itu
Membawa ingatan kepada ketenangan pikiran
Para tokoh pejuang kita itu
Parai, kataku setengah terisyak
Pasir putih yang bertaburan dipantai itu
Bagai menikam yang berpercikan
Dari ucapanmu yang sederhana
Namun kini bergema
Memenuhi udara
Pangkalpinang, 22 Desember 2003
BELINYU
Meluncurlah kendaraan ku ke Belinyu
Meluncurlah
Kurindukan ahli pantun
Yang lahir di kaki gunung Maras
Yang memiliki kebiasaan yang pas
Menulis pantun isi dulu
Sampiran setelah itu
Semangatnya kini mulai layu
Setelah berpisah dengan sahabatnya pak Su
Tapi kini setelah dijenguk pak Su
Ia membuka pintu utama
Yang sudah berdebu
Semogalah setelah itu
Pantunpun mulai menderu
Meluncurlah kendaraan ku ke Belinyu
Meluncurlah
Kurindu Urang Lum
Yang dikisahkan naik perahu
Diterpa gelombang sudahlah tentu
Berminggu ditengah laut melulu
Mereka datang dari jauh
Dari negeri Cina yang jauh
Mendarat disebuah daratan
Masuk ke Bukit Pelawan
Lalu tinggal dan menetap di pedalaman
Merekalah konon nenek moyang Urang Lum
Ada lagi kisah yang terlontar dari bibir
Ketika bukit Semidang di landa banjir
Muncul dua manusia
Mirip raksasa
Lalu orang menyebut
Merekalah nenek moyang Urang Lum
Meluncurlah kendaraan ku ke Belinyu
Meluncurlah
Kurindu Urang Lum
Ingin kutahu titian Taber, Puri Adat
Mata Kakap, Penunjang Langit
Kudengar engkau
Ada di gunung muda, Gunung Pelawan
Dan Bukit Cudung
Ingin ku tahu tanah Mapur, desa kecil
Air Abik dan desa Pejem
Kini berhentilah kendaraan ku
Berhentilah
Kita telah tiba di Belinyu
Kita telah bertemu ahli pantun
Yang kurindu
Kita telah mendengar kisah masa lalu
Tentang Urang Lum
Konon penduduk pertama
Yang mendiami Pulau Bangka
Belinyu – Sungailiat – Pangkalpinang. 20 Des 2003
BILA
Diatas kendaraan menuju pantai Pasir Padi
Aku ingat berita darimu
Subuh itu
Dalam hiruk pikuk kota
Dan kembang api yang gemerlap
Hatimu merasa kosong
Hampa
Bila hatimu hampa
Kenanglah Parai
Disana butir pasir kemilau
Menunggumu pulang dari rantau
Dan disana tergolek pula
Sebutir yang sangsai
Yang mungkin tak kau hirau
Pangkalpinang. 1 Jan 2004
PERCAKAPAN
Subuh itu nampak di kaca jendela
Goresan embun
Orang-orang kemudian membaca
Sebuah percakapan rahasia
Antara Putri pulau dan Pengembara
Pangkalpinang. 31 Des 2003
BATU RUSA
Melewati Sungai Batu Rusa
Seperti ada yang menahan langkahku
Jembatan besi yang kukuh
Atau suaramu bernada keluh
Sungailiat, 27 Desember 2003
ALAM
Alam mempertemukan
Dan Tuhan merestui
Lalu lahirlah puisiku
Lewat desah nafasmu
Duri, 8 Januari 2003
PANTAI PASIR PADI
Di pantai pasir padi
Kita mendengar percakapan abadi
Percakapan ombak yang sunyi
Percakapan cinta sejati
Tentang persahabatan
Yang kau idamkan
Angin kencang
Yang datang dari jauh
Membawa percakapan ini
Terbang ke pulau-pulau
Menyebarkan nyanyian cinta
Yang tumbuh di hati manusia
Dan warna biru langit
Yang singgah ke wajahmu
Menyatu dengan biru laut
Yang telah kau genggam
Mengekalkan persahabatan
Pangkalpinang. 23 Des 2003
KE TOBOALI, KITA KE TOBOALI
Kami tambah jauh darimu
Tapi kami makin dekat
Dengan Koba dan Toboali
Udara langit tebal menghitam
Dan pepohonan di pelataran
Semakin temaram
Namun kami harus berjalan
Ke Koba dan Toboali
Ingin kulihat tapak Cheng Ho
Seorang muslim
Laksamana dan pelaut sejati
Yang berasal dari Desa He Dai
Ingin kusaksikan benteng Portugis
Yang konon bekasnya masih terguris
Ke Toboali, kita ke Toboali
Dalam sore yang indah
Kami semakin dekat ke Toboali
Daerah perjuangan
Rakyat terang terangan
Malawan penjajahan
Dibawah pimpinan Depati Amir
Depati Barin dan Depati Marawang
Di lembar daun sejarah
Tertulis dengan tegas
Masyarakat dan penduduk asli Suku Laut
Juga kaum Lanun tak pernah takut
Terbayang mereka menyerbu parit-parit timah Belanda
Di sekitar Sungai Kepo
Untuk merebut kembali Toboali
Lihatlah mereka maju dengan berani
Sehingga pasukan Belanda terpaksa mundur
Ke Pangkalpinang dengan teratur
Di lembar daun sejarah
Juga terlukis
Tentang kota Toboali yang manis
Kota indah di pinggir lautan
Yang tumbuh jadi kota pertambangan
Ke Toboali, kita ke Toboali
Kota kenangan di zaman revolusi
Toboali, Pangkalpinang. 26 Des 2003
SUARA TETABUHAN
Dengarlah suara tetabuhan itu
Mengetuk-ngetuk telingamu
Dengarlah pula suara gerimis itu
Mengetuk-ngetuk kalbumu
Bagai ketukan dari pintu langit
Dan berpesan kepadamu
Jagalah adat nenek moyang
Dengarlah suara tabuhan itu
Bertalu-talu
Membangunkan engkau dari tidur pulasmu
Dengarlah suara tetabuhan itu
Dan lihatlah pula rentak tari itu
Di bawah gerimis
Di halaman terbuka pula
Di bawah hujan
Pangkalpinang. 13 Des 2003
EMBUN PAGI
Embun pagi di akhir tahun
Penuh harapan dengan santun
Pada puteri pulau yang akan terbang
Sebentar ikutlah berdendang
Baca puisi dan pantun
Untuk menyambut awal tahun
Sungailiat, 25 Desember 2003
HARUM DEDAUNAN
Harum dedaunan jalanan ini
Seperti pernah kutahu
Tapi kau tak di sini
Itu kutahu pasti
Apa kau mengirim dari jauh
Bagi perjalanan kami
Yang sunyi
Sungailiat, 28 Desember 2003
SUBUH ITU
Subuh itu suaramu
Nyanyian laut sedang kasmaran
Deburnya merambah kelangit jiwa
Mengejutkan bintang gemintang
Bertaburan menebar cahaya
Subuh itu suaramu
Gemercik air pancuran
Ceria, jernih dan mengalun
Pangkalpinang. 23 Des 2003
NONTON TARI CAMPAK
Seribu soal yang memusingkan
Beban berat yang tak terpikulkan
Kini lenyap setelah tangan diayunkan
Dan tubuh di gerakkan, bisik mu
Musik campak membawa kita keawan
Pantun campak membawa kita ke rembulan
Dan dunia berputar lebih keras
Bagai darah kita yang menderas
Nonton tari campak
Mata terpacak
Menyaksikan gerak
Sederhana tak menghentak
Namun didalam diri
Ada rasa mengayun
Bagai butir embun di ujung daun
Jernih berkilau
Melupakan risau
Seribu soal
Meski hanya sebentar
Dendang, 29 Desember 2003
PANTUN
Dari Pangkalpinang ke Belinyu
Singgah dulu ke Sungailiat
Kukenang sejak awal bertemu
Lalu ku rindu dalam surat
Mendesir angin di Pantai Parai
Bantu kukuh menjaga pulau
Rasa ingin berhandai-handai
Aku berpeluh engkau di rantau
Pasir berkilau di Pantai Parai
Disebuah sudut batu samadi
Hatiku risau berdebar-debar
Rasakan kecut ketika menanti
Palembang, 6 Januari 2004
INGAT KURAU
Hati akan selalu terpaut
Pada kampung nelayan dipinggir laut
Kurau, begitu orang menyambut
Begitu kami melangkah pergi
Ada yang tak surut
Hati akan selalu terpaut
Pada kampung Kurau
Kampung nelayan di pinggir laut
Rumah sederhana berjejer
Ditepi sungai Kurau
Rumah berdiri diatas tiang nibung
Begitu sambung menyambung
Hati akan selalu terpaut
Pada kedamaian penduduk
Orang-orang sederhana
Nelayan pencari ikan
Untuk orang kota ia kirimkan
Hati akan selalu terpaut
Pada Kurau
Pada air sungaimu yang coklat
Pada tiang – tiang nibung
Tempat Kario merenung
Tepat Kario berpantun
Hati akan selalu terpaut
Pada Kurau
Kampung bersungai coklat
Tempat Kario mencatat
Nasib zaman yang coklat
Di lembar yang bersih
Dengan bahasa jernih
Kurau – Jakarta, 26 Des 2003 – 22 Jan 2004
KEPADA PEMANTUN TUA
Untuk TS
Inilah pertama kali
Kaki kujejakkan di ubin mar-mar ini
Di pendopo Toboali, bisiknya
Dia memang hanya seorang tua
Pemantun dengan tubuh ringkih
Dan rambut memutih
Yang boleh saja orang lupa
Sengaja atau tak sengaja
Tapi mungkin ada sesuatu
Yang orang sukar lupa
Dari tubuh ringgkih ini
Yakni pesan dan budi
Yang ia susun dan patri
Dalam baris-baris pantun
Selama bertahun-tahun
Yang ini memang orang sukar lupa
Karena setiap di baca
Baris-barisnya akan menyala
Menerangi nurani pembaca
Jakarta, 17 Januari 2004
PERTEMUAN
Hari ini dimana kita bertemu kekasih
Koba sudah tertinggal
Air Gegas baru kulalui
Dimana kita berjumpa, wahai kekasih
Jam demi jam
Berdentangan
Mengingatkan pertemuan
Tapi dimana wahai kekasih kita bertemu
Ombak laut berdebur
Berdebur dan berdebur
Bersahutan dengan debur di hati
Membangunkan rindu yang sunyi
Ternyata di sini kita bertemu kekasih
Di Toboali, dirumahmu yang bersih
Terimalah aku bersimpuh
Menyerahkan diri pada Mu
Hanya pada Mu
Toboali, 25 Desember 2003
LANGIT SENJA NEGERI TIMAH
Warna senja terhampar
Di negeri timah
Saksikanlah, katamu
Negeri timah
Negeri yang penuh berkah
Dalam warna senja yang mewah
Senya yang ramah
Menyapa pepohonan dan bebukitan
Menyapa pantai dan lautan
Menyapa petani dan nelayan
Warna senja terhampar
Di negeri timah
Nikmatilah, katamu
Dan negeri timahpun berhias
Dalam cahaya gemerlapan
Dalam hias berkilau
Dalam warna langit keemasan
Dan bumi keperakan
Toboali, 15 Mei 2004
MENYAKSIKAN FAJAR DI TOBOALI
Untuk MZK
Telah kusaksikan fajar di Toboali
Fajar dengan berkas cahaya
Meretas kegelapan
Fajar dengan sinar kegelapan
Berbinar – binar
Menembus keremangan
Telah kusaksikan fajar di Toboali
Fajar bertangan ajaib
Mengusir kebodohan
Mengusir kemiskinan
Fajar berlidah fasih
Mengusir kegelisahan
Mengusir kecemasan
Fajar berhati kasih
Menawarkan kebersamaan
Membina kesejahteraan
Telah kusaksikan fajar di Toboali
Ya Tuhan
Benar – benar telah kusaksikan
Fajar di Toboali
Dengan warna berkilauan
Menawarkan kebahagiaan
Toboali, 15 Mei 2004
MENGHITUNG OMBAK DI GUNUNG SAMAK
Mari mendaki ke Gunung Samak
Hingga tiba di puncak
Lalu lepaskan pandangan kesegala yang nampak
Saksikan alam yang bergerak
Saksikan alam yang berdetak
Lalu angkat tangan mu ke atas
Rasakan angin di jemari yang lepas
Lalu rebahkan tubuhmu
Hingga menyentuh rumputan
Rasakan cinta yang besahutan
Dan kini mulailah menghitung ombak
Manggar, 7 Juni 2004
SUNGAI LENGGANG MELENGGANG
Sungai Lenggang melenggang
Dan Saderi pun melenggang
Sungai lenggang melenggang
Membawa celoteh alam sekitar
Dan Saderi pun melenggang
Membawa nyanyian kocak yang segar
Sungai lenggang melenggang
Membawa merdu nyanyian gunung
Dan Saderi pun melenggang
Membawa syair kedalaman renung
Sungai lenggang melenggang
Membawa arus air ke kuala
Dan Saderi pun melenggang
Membawa suara hati ke laut jiwa
Sungai lenggang
Memberi nyanyi pada Saderi
Dan Saderi
Memeberi puisi pada sungai Lenggang
Mereke memang saling berlenggang
Dan saling gantung bergantung
Di kampung Gantung
Manggar, 7 Juni 2004
DIANTARA DUA SUNGAI
Dia bersedih duduk diantara dua sungai
Dia menangis bersimpuh di antara dua sungai
Dia merunduk terbungkuk di antara dua sungai
Dia tengadah kelangit diantara dua sungai
Sungai Buding yang bernyanyi nyaring
Sungai Lenggang yang mengalir tenang
Buding engkaulah sungai yang membasuh jiwa yang luka
Lenggang engkaulah sungai yang meneduhkan jiwa yang resah
Dari seorang pertapa yang ingin menuntut bela
Dia bersenandung diantara dua sungai
Dia merenung diantara dua sungai
Dia berharap di antara dua sungai
Dia berdoa di antara dua sungai
Sungai Buding dan sungai Lenggang
Engkaulah sungai yang memberi kesejukan
Bagi jiwa yang panas membara
Bagi jiwa yang ingin menuntut bela
Atas kematian ayahanda
Dia bertapa diantara dua sungai yang mengalir
Jiwanya mengalir bersama sungai yang mengalir
Jiwanya yang mengalir kesamudra cinta
Samudra Cinta Maha Besar
Allah Allah Allah
Manggar – Toboali, 8-15 2004
PANTAI BURUNG MANDI
Ketika menjejakkan kaki
Pertama kali
Dipantai Burung Mandi
Langit sangatlah bersih
Ketika itu
Pantai sangatlah tenang
Ketika itu
Ombak bernyanyi merdu
Ketika itu
Angin bertiup sejuk
Ketika itu
Udara sangatlah nyaman
Ketika itu
Enam abad yang lalu
Bagai terbayang
Seorang lelaki dari Pasai
Menjejakkan kaki pertama kali
Di pantai Burung Mandi
Mungkin pantai taklah tenang
Ombak tak bernyanyi
Dan angin tak bertiup sejuk
Dan udara taklah nyaman
Karena lanun sang perampok
Menjemputmu
Dengan mata merah
Dan pedang di tangan
Tapi lelaki dari Pasai itu
Tetaplah menjejakan kaki
Di pantai Burung Mandi
Karena tekad dalam hati
Ada yang akan diberi
Sesuatu yang berarti
Mudah-mudahan diberkahi Illahi
Orang-orang memang telah menjauh
Berumah ke daratan
Ke dalam hutan
Dan Pantai Burung Mandi ditinggalkan
Takut pada lanun
Sang perampok
Harta dan para kaum wanita
Dia boyong semuanya
Lelaki dari Pasai itu bertahan
Lalu membangun rumah di Menangan
Sambil bercocok tanam
Faham agama Islam dikembangkan
Lelaki dari Pasai itu
Bernama Jakfar
Seorang lelaki yang pintar
Bersungguh-sungguh namun
Kadang suka berkelekar
Kelak nama beliau dikenal
Sebagai Datuk Jakfar
Datuk Jakfar bersama keluarga
Hidup sederhana
Gemar bercocok tanam
Sambil menyebar agama Islam
Hingga usia lanjut
Tak pernah surut
Menyebar agama Islam
Bagai menyebar tanaman
Yang selalu tumbuh
Yang Alhamdulillah
Selalu diberkahi
Sehingga agama Islam
Menyebar keseluruh negeri
Menyebar kesetiap hati
Seorang lelaki dari Pasai
Semakin menua
Dan lanjutlah usia
Serta tibalah saatnya
Untuk kembali
Keharibaan Illahi
Orang – orang kemudian
Memberi gelar kehormatan
Keramat Menangan
Manggar, 8 Juni 2004
SUNGAI BUDING
Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh kakinya
Dari Lumpur dan debu
Dari perjalanan jauh
Ketika menjejakkan kaki
Pertama kali
Di Belitung ini
Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh tubuhnya
Dari daki dunia
Dalam kembara
Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh wajahnya
Ketika sholat pertama
Suatu hari
Di Belitung ini
Engkaulah sungai pertama
Yang memberi kesejukan
Yang menerima kehadiran
Ketika mengadakan perjalanan
Menuju daratan
Tempat musafir mampir
Syeh Abubakar Abdullah
Untuk sekian lama
Menyebar agama
Sungai Buding
Sungai yang bening engkaupun tahu
Ketika tamu mu yang satu itu
Meninggal dunia
Mayatnya di bungkus
Dengan kulit kayu kepang
Maka tesebarlah harum wangi
Padahal sudah dikubur dua puluh hari
Lalu digali
Dan sesuai pesanmu
Mayatmu dikubur
Di antara bumi dan langit
Dan tempat itu ditafsirkan
Di Gunung Tajam
Manggar – Toboali, 8-25 Juni 2004
SURAT DARI MENUMBING
Dapatkah anda membayangkan
Hari ini
Pada tahun 2004 ini
Tiba-tiba
Anda menerima surat
Dari Menumbing
Dari seseorang yang anda kenal
Bahkan tulisannya pun anda kenal
Bertahun 1949
Surat itu meluncur begitu saja
Dibawa angin Bangka
Melayang-layang di udara
Lalu turun
Jatuh keharibaan anda
Begitu anda membuka sampulnya
Surat itu pun terhidang
Tulisanya amatlah terang
Miring ke kanan gayanya
Bahasanya sederhana
Jelas kata-katanya
Maksudnya pun langsung tertangkap
Oleh kita
Mari kita membacanya
Beginilah antara lain bunyinya
Kegembiraan rakyat di Bangka
Tentang cita-cita kebangsaan
Dan kemerdekaan bangsa
Adalah besar
Pekik merdeka
Adalah salam rakyat
Diseluruh kepulauan ini
Surat itu memang bicara tentang rakyat
Tapi juga bicara tentang pemimpin
Setelah bicara tentang rakyat
Apa katanya tentang pemimpin
Mari dengarin
Pemimpin berarti memberi contoh
Dan teladan dalam segala perbuatan
Tentu saja contoh yang diberikan
Contoh yang di tauladankan oleh pemimpin
Yang baik-baik dan bijaksana
Bukan sebaliknya
Dapatkah anda membayangkan
Hari ini
Pada tahun 2004 ini
Tiba-tiba
Anda menerima surat
Dari Menumbing
Dari seseorang yang anda kenal
Bahkan tulisannya pun anda hafal
Bertahun 1949
Surat dari seseorang
Yang sederhana
Hemat dalam bicara
Yang pernah memimpin negeri ini
Toboali-Pangkal Pinang, 4 mei 2004
BELINYU 1946
Bumi hanguskan Belinyu
Begitu perintah terdengar
Lewat telepon hari itu
Yang menerima perintah singkat itu
Segera tahu
Karena Kota Belinyu
Kota pertahanan terakhir TKR ketika itu
Bumi hanguskan Belinyu
Begitu singkat perintah itu
Tapi terdengar
Bagai suara petir menyambar-nyambar
Tapi yang menerima perintah tak gentar
Bahkan faham dan sabar
Karena segera mengerti
Ini pasti untuk antisipasi
Agar NICA tak akan menduduki
Tempat penting diwilayah ini
Agar kantorpos tak mereka kuasai
Agar Pusat pembangkit listrik
Dan telepon tak mereka kuasai
Pangkalpinang, 26 Oktober 2004
SUNGAI RANGKUI SUNGAI KENANGAN
Sungai Rangkui seperti legenda
Tinggallah dalam kenangan hamba
Berdiamlah di sudut-sudut mimpi
Seperti pertemuan kita pertama kali
Lewat pantun dan cerita lama
Lewat gambus dan lagu jenaka
Sungai Rangkui seperti nyanyian indah
Janganlah gelisah dalam angan hamba
Tenanglah dalam relung-relung sunyi
Seperti pertemuan kita pertama kali
Lewat riak menempuh tepi
Lewat perempuan membasuh kaki
Sungai Rangkui sungai kenangan
Jangan biarkan
Ia pergi dari mimpi
Jangan lepaskan
Ia dari kenangan
Hanya karena ulah
Tangan serakah
Yang mengirim luka dan nanah
Sungai Rangkui sungai kesayangan
Telah tersimpan dalam kenangan
Pangkalpinang, 7 Maret 2005
Setiap kutempuh perjalanan itu
Antara Pangkalpinang, Sungailiat ke Belinyu
Ku ingat pesanmu
Pandanglah alam sekitar
Dan nikmati sesuatu yang segar
Riap dedaunan yang hijau
Memang kulihat alam sekitar
Cuaca dan angin bergetar
Serta ku pandang dedaunan hijau
Tapi yang tampak
Dilembar dedaunan itu
Wajah Depati Amir yang berdebu
Namun tersenyum padaku
Bagai mengucap salam
Kepada seorang pendatang
Kini benar-benar nampak
Sesuatu yang tak bergerak
Jauh tertimbun debu sejarah
Tapi bagai bunga ia merekah
Seorang lelaki yang gagah
Yang berjuang membela negeri
Yang berkorban untuk anak negeri
Setiap kutempuh perjalanan itu
Antara Pangkalpinang, Sungailiat ke Belinyu
Yang nampak di lembar daun itu
Adegan sejarah masa lalu
Depati Amir dan kawan-kawan
Bergerilya di dalam hutan
Melawan Belanda habis-habisan
Ada pula lembar daun yang lain
Bagai cermin
Ia menampakkan penghinatan
Sehingga persembunyian Depati Amir ditemukan
Lalu dibuang jauh ke Kupang
Dan disanalah ia kelak menemukan pintu
Untuk bertemu dengan Yang Maha Tahu
Setiap kutempuh perjalanan itu
Antara Pangkalpinang, Sungailiat dan Belinyu
Yang nampak diribuan lembar daun itu
Uraian sejarah masa lalu
Ketika ku ingin tahu tentang masa kini
Ku cari di lembar daun itu
Tak ketemu
Ku periksa lembar demi lembar
Tak ketemu
Dalam hati aku bertanya
Apakah lembar daun yang bertebaran
Antara Pangkal Pinang, Sungailiat dan Belinyu
Yang jutaan jumlahnya
Tak selebarpun suka menggoreskan
Nasib zaman ini
Zaman dimana akhlak rusak
Dan moralpun luluh lantak
P. Pinang, 26 Desember 2003
SUNGAILIAT
Konon ketika Pangeran Tumanggung Dita tiba
Pada jejak kaki yang pertama
Dia melihat tanah ditempat itu
Liat
Lalu jejak itu
Orang menyebut daerah itu
Sungailiat
Entah bagaimana mulanya
Tapi yang pasti
Orang bersetuju
Dan menyepakati
Hari jadi Sungailiat
Jatuh pada
Tanggal dua puluh tujuh
Bulan empat
Tahun tujuh belas tujuh puluh enam
Dan bagi pengembara ini
Sungailiat tempat ia berteduh
Melonjorkan kaki
Melepas lelah
Membasuh wajah
Melekatkan dahi
Sambil mengutip puisi
Sungailiat, 29 Desember 2003
DIBAWAH LANGIT PANGKAL PINANG
Untuk Z.K.
1
Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu subuh yang tenang
Aku menyaksikan embun bergayutan
Disetiap daun, disetiap cabang
Pada ribuan pepohonan
Embun bergayutan
Siapa yang memanjakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanyya embun bergayutan
Disetiap daun di setiap cabang
Pada ribuan pepohonan
Embun bergayutan
Siapa yang memanjakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanya terdengar perlahan
Semacam gumam
Semakin kutanya
Semakin keras terdengar gumam
Ya kini semakin kentara
Semakin nyaring
Semakin pasti
Zikir yang bertubi-tubi
Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu subuh yang tenang
Telah kusaksikan
Embun menggoncang daunan
Embun menggoncang cabang
Menggoncang pepohonan
Ribuan pepohonan
Tergoncang – goncang
Oleh jutaan embun
Yang sedang mengingat Tuhan
Dalam zikir yang mengalir
Hingga ke akar pepohonan
2
Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu siang yang garang
Matahari menyala
Rumah dan toko – toko kepanasan
Jalanan yang dipenuhi kendaraan
Pejalan kaki yang keringatan
Semua mengalir
Seperti dalam suratan
Siapa yang menggerakanmu, tanyaku
Tiada jawaban
Hanya semua bergerak beraturan
Mencari dan mengolah kehidupan
Dan nafas dalam terdengar mendesah
Sangat perlahan
Bagai ratap di bumi yang basah
Siapa yang menggerakkanmu, tanyaku
Tiada jawaban
Hanya alam yang terdengar mendesah
Sangat perlahan
Kemudian bagai degerakkan
Alam bergoncang
Bergoncang dan bergoncang
Rumah dan toko-toko bergoncang
Kendaraan bergoncang
Jalanan bergoncang
Pejalan kaki bergoncang
Semua menyebut nama Mu
Dalam zikir yang dalam
3
Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu malam yang nyaman
Bintang – bintang bersinaran
Disambut cahaya lampu taman
Cahaya lampu kendaraan
Cahaya lampu jalanan
Cahaya lampu rumah bertebaran
Siapa yang sedang membahagiakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanya cahaya berpendaran
Langit mengirim cahaya kebumi
Dan bumi bagai dalam mimpi
Menikmati
Taburan cahaya berpendaraan
Rumah dan toko-toko
Mengapung dalam cahaya
Kendaraan yang berseliweran
Dan taman serta halaman
Berbinar dalam cahaya
Siapa yang sedang membahagiakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanya cahaya berkilauan
Cahaya bertemu cahaya
Cahaya langit mengulur salam
Dan cahaya bumi menerima salam
Kemudian cahaya berpendaran
Menebar keseluruh alam
Seperti dalam suratan
Mengingat Mu dalam riang
Sehingga tak terlupakan
Lebih-lebih bila sedih datang
Mengingat Mu selalu
Zikir pada Mu selalu
Pangkalpinang, 23-24 Desember 2003
SHALAT MAGRIB DI TUA TUNU
Inilah sholat magrib yang nyaman di Tua Tunu
Disebuah mesjid tua yang tak dimakan api
Meski Belanda telah membakar seluruh kampung
Inilah shalat magrib yang nyaman di Tua Tunu
Disebuah masjid tua yang sederhana
Ada tujuh saf jemaahnya
Semua berzikir kepada Mu
Mereka rakyat kecil biasa
Mendiami Desa Tua Tunu
Hingga tiga orang pegawai negeri
Ratusan yang lainnya bertani
Dan berdagang kecil-kecilan
Inilah shalat magrib yang nyaman di Tua Tunu
Selesai shalat menuju rumah kenalan
Pak Siri dan Ibu Salamah
Telah menyediakan rebus singkong
Kami makan dengan lahapnya
Tua Tunu, Pangkalpinang , 25 Des 2003
SAYAP
Kataku :
Kalau kau mengepakkan sayap
Terbang meninggalkan pulau
Apakah kau tahu
Ada yang berhati galau
Dan pulau ini
Akan terasa lebih sunyi
Katamu:
Terbangpun tak sekehendak hati
Kelak saksikan pulau ini tak pernah sunyi
Karena kan tiba masa
Kala putra – putri pulau
Kan kembali tuk mengabdi
Pangkalpinang, 24 Desember 2003
SUNGAI
Seorang murid SD menangis
Ia kehilangan sungai
Tempat ia mandi
Tempat ia mencuci
Tempat ia bermain
Adalah sungai
Beri aku sungaiku, tangisnya
Orang-orang kasihan padanya
Orang memberi mainan
Orang-orang mengirim cd
Tapi tetap ia menangis
Kembalikan sungaiku, tangisnya
Orang-orang tak dapat memberi sungai
Karena air sungai sudah tak ada
Sungai yang dulu airnya jernih
Kini berobah jadi kotor
Orang-orang menggali timah
Mengotori sungai
Bangka, Desember 2003
MALAM LARUT
Malam yang larut
Mengapa tak beringsut
Siapa yang kau tunggu hingga larut
Apakah kekasih diseberang laut
Malam yang larut
Telepon pun tak berdering
Di malam hening
Apakah tanda kasih kian menyusut
Pangkalpinang, 22 Desember 2003
KAU PERGI
Kau pergi melewati rumahku
Lalu terbang ke negeri jauh
Keseberang pulau
Aku sendiri menunggu kabar
Tentang kepergianmu
Hanya cahaya berkilau
Masuk lewat pintu
Pangkalpinang, 29 Des 2003
SALAM
Pagi itu kau mengirim salam
Dan menyambutku, bisikmu
Gemulai gerak tari seudati
Sepintu sedulang persembahan kami
Kehadiran tuan di pulau kami berkesan di hati
Semoga sua kita awal suatu persahabatan sejati
Pangkalpinang, 17 Desember 2003
DARI TOBOALI SUATU PAGI
Kepakkan sayapmu dan terbanglah
Tembus kabut lalu berenanglah diatas awan
Aku disini dipantai Toboali
Hanya bisa melambai
Dengan mulut bergetar
Mendoakanmu
Tak banyak yang bisa kuberi
Untuk pulau ini, katamu
Sementara sayapmu disaput kabut
Tak banyak ku mohon
Hanya doa
Yang senantiasa
Kan menyertai langkahku, katamu pula
Sambil memandangmu terbang
Melayari awan
Aku memang hanya melambai
Dengan rasa berdebar
Dari tepi pantai
Di Toboali
Suatu pagi
Toboali, 26 Des 2003
TAK ADA BULAN
Inilah perjalanan yang menakjubkan
Memang tak ada bulan
Namun ada nyanyian
Yang menghibur kesedihan
Sepanjang jalan pulang
Menuju Mentok dari Pangkalpinang
Pangkalpinang – mentok, 6 Januari 2003
PANTAI TEPIAN
Puteri pulauku
Bolehkah aku menyebutmu begitu
Saat aku kegelapan
Dan kau memberiku lampu
Saat aku dipermainkan lautan
Dan kau menjadi pantai tepian
Pangkalpinang, 30 Desember 2003
BISIK
Ditengah keletihan
Angin sungai Baturusalah
Yang memijat-mijat lengan ku
Di tengah kerisauan
Angin sungai Baturusalah
Yang menenangkan pikiranku
Ditengah kesepian
Angin sungai Baturusalah
Datang mendesir menghiburku
Ditengah kerinduanku padamu
Angin sungai Baturusalah
Membisikkan sesuatu di telingaku
Pangkalpinang, 30 Desember 2003
CAHAYA
Cahaya di depan Bumi Asih
Pagi ini gemetar
Bagai tak sabar
Menyaksikanmu melintas
Menuju bandara
Angin didepan Bumi Asih
Pagi ini mewangi
Melepasmu pergi
Ia tahu sang putri
Kelak akan kembali
Membangun negeri
Pangkalpinang, 27 Desember 2003
MENGUTIP PANTUN
Ketika ku dengar
Berita duka
Di ujung negeriku
Aku sedang mencari pantun
Aku sedang tersuruk-suruk
Di kolam-kolam, dirawa-rawa
Pantun sudah terendam
Tertimbun timah dan lada
Di pulau Bangka
Ketika kudengar
Berita duka
Diujung negeriku
Aku sedang mengutip pantun
Serta merta kulihat
Pantun berobah jadi air mata
Menetes
Menetes dari kolam kesedihan
Kesedihan bertahun
Mentok, 6 Januari 2004
KESENYAPAN LAUT
Dalam kesenyapan laut yang beku
Aku ingin kau datang menari
Melenggokkan tubuh
Lalu bernyanyi
Walau untuk diri sendiri
Lautan akan cair
Melihat tarimu
Laut akan mengalir
Mendengar nyanyianmu
Pangkalpinang, 22 Desember 2003
KEINDAHAN
Aku mulai iri padamu
Setelah melihat Parai bersamamu
Sebuah keindahan telah lama mengasuhmu
Dan aku kemudian datang
Ingin mengecap keindahan itu
Dan kau begitu tenang
Mengulurkan keindahan Parai bagiku
Yang membuat aku malu
Kau begitu ikhlas menyambutku
Menyuguhkan keindahan bagiku
Dan itu menghapus iri
Dalam diri ini
Sungailiat, 28 Desember 2003
MEMANGGIL IBU
Kau tak pernah memberi tahu
Bahwa ada orang menjerit
Memangil ibu
Dipinggir pantai itu
Urat lehernya menegang
Tangannya meregang
Memanggil ibu
Kepala menunduk
Tubuh terbungkuk
Memanggil ibu
Jemari kakinya bergetar
Seluruh tubuhnya menggeletar
Memanggil ibu
Mengatasi suara ombak
Ia menjerit
Memanggil ibu
Kau tak pernah memberitahu
Suara jerit itu
Mengalir dari kerongkonganmu
Dan aku nanti tak kan pernah memberitahu
Bahwa suara jerit itu telah kukenal
Sebagai suara hatimu
Parai, 28 Desember 2003
PARAI
Takkan kutahu dimana letak Parai
Bila tak kutunjuk arah kepinggir laut itu
Takkan kukecap madu Parai
Bila tak mengorak senyum diwajahmu
Kini Parai berderai-derai dalam kalbu
Nyanyian laut itu
Lagu sunyi tapi merdu
Kemilau cahaya pagi itu
Telah membersit dari matamu
Parai, teriakku
Batu-batu yang kukuh yang menjorok kelaut itu
Membawa ingatan kepada keteguhan perlawanan
Depati Amir, Batin Tikal dan Depati Barin
Yang berjuang untuk anak cucu
Parai, kataku tersedu
Laut yang biru yang tenang itu
Membawa ingatan kepada ketenangan pikiran
Para tokoh pejuang kita itu
Parai, kataku setengah terisyak
Pasir putih yang bertaburan dipantai itu
Bagai menikam yang berpercikan
Dari ucapanmu yang sederhana
Namun kini bergema
Memenuhi udara
Pangkalpinang, 22 Desember 2003
BELINYU
Meluncurlah kendaraan ku ke Belinyu
Meluncurlah
Kurindukan ahli pantun
Yang lahir di kaki gunung Maras
Yang memiliki kebiasaan yang pas
Menulis pantun isi dulu
Sampiran setelah itu
Semangatnya kini mulai layu
Setelah berpisah dengan sahabatnya pak Su
Tapi kini setelah dijenguk pak Su
Ia membuka pintu utama
Yang sudah berdebu
Semogalah setelah itu
Pantunpun mulai menderu
Meluncurlah kendaraan ku ke Belinyu
Meluncurlah
Kurindu Urang Lum
Yang dikisahkan naik perahu
Diterpa gelombang sudahlah tentu
Berminggu ditengah laut melulu
Mereka datang dari jauh
Dari negeri Cina yang jauh
Mendarat disebuah daratan
Masuk ke Bukit Pelawan
Lalu tinggal dan menetap di pedalaman
Merekalah konon nenek moyang Urang Lum
Ada lagi kisah yang terlontar dari bibir
Ketika bukit Semidang di landa banjir
Muncul dua manusia
Mirip raksasa
Lalu orang menyebut
Merekalah nenek moyang Urang Lum
Meluncurlah kendaraan ku ke Belinyu
Meluncurlah
Kurindu Urang Lum
Ingin kutahu titian Taber, Puri Adat
Mata Kakap, Penunjang Langit
Kudengar engkau
Ada di gunung muda, Gunung Pelawan
Dan Bukit Cudung
Ingin ku tahu tanah Mapur, desa kecil
Air Abik dan desa Pejem
Kini berhentilah kendaraan ku
Berhentilah
Kita telah tiba di Belinyu
Kita telah bertemu ahli pantun
Yang kurindu
Kita telah mendengar kisah masa lalu
Tentang Urang Lum
Konon penduduk pertama
Yang mendiami Pulau Bangka
Belinyu – Sungailiat – Pangkalpinang. 20 Des 2003
BILA
Diatas kendaraan menuju pantai Pasir Padi
Aku ingat berita darimu
Subuh itu
Dalam hiruk pikuk kota
Dan kembang api yang gemerlap
Hatimu merasa kosong
Hampa
Bila hatimu hampa
Kenanglah Parai
Disana butir pasir kemilau
Menunggumu pulang dari rantau
Dan disana tergolek pula
Sebutir yang sangsai
Yang mungkin tak kau hirau
Pangkalpinang. 1 Jan 2004
PERCAKAPAN
Subuh itu nampak di kaca jendela
Goresan embun
Orang-orang kemudian membaca
Sebuah percakapan rahasia
Antara Putri pulau dan Pengembara
Pangkalpinang. 31 Des 2003
BATU RUSA
Melewati Sungai Batu Rusa
Seperti ada yang menahan langkahku
Jembatan besi yang kukuh
Atau suaramu bernada keluh
Sungailiat, 27 Desember 2003
ALAM
Alam mempertemukan
Dan Tuhan merestui
Lalu lahirlah puisiku
Lewat desah nafasmu
Duri, 8 Januari 2003
PANTAI PASIR PADI
Di pantai pasir padi
Kita mendengar percakapan abadi
Percakapan ombak yang sunyi
Percakapan cinta sejati
Tentang persahabatan
Yang kau idamkan
Angin kencang
Yang datang dari jauh
Membawa percakapan ini
Terbang ke pulau-pulau
Menyebarkan nyanyian cinta
Yang tumbuh di hati manusia
Dan warna biru langit
Yang singgah ke wajahmu
Menyatu dengan biru laut
Yang telah kau genggam
Mengekalkan persahabatan
Pangkalpinang. 23 Des 2003
KE TOBOALI, KITA KE TOBOALI
Kami tambah jauh darimu
Tapi kami makin dekat
Dengan Koba dan Toboali
Udara langit tebal menghitam
Dan pepohonan di pelataran
Semakin temaram
Namun kami harus berjalan
Ke Koba dan Toboali
Ingin kulihat tapak Cheng Ho
Seorang muslim
Laksamana dan pelaut sejati
Yang berasal dari Desa He Dai
Ingin kusaksikan benteng Portugis
Yang konon bekasnya masih terguris
Ke Toboali, kita ke Toboali
Dalam sore yang indah
Kami semakin dekat ke Toboali
Daerah perjuangan
Rakyat terang terangan
Malawan penjajahan
Dibawah pimpinan Depati Amir
Depati Barin dan Depati Marawang
Di lembar daun sejarah
Tertulis dengan tegas
Masyarakat dan penduduk asli Suku Laut
Juga kaum Lanun tak pernah takut
Terbayang mereka menyerbu parit-parit timah Belanda
Di sekitar Sungai Kepo
Untuk merebut kembali Toboali
Lihatlah mereka maju dengan berani
Sehingga pasukan Belanda terpaksa mundur
Ke Pangkalpinang dengan teratur
Di lembar daun sejarah
Juga terlukis
Tentang kota Toboali yang manis
Kota indah di pinggir lautan
Yang tumbuh jadi kota pertambangan
Ke Toboali, kita ke Toboali
Kota kenangan di zaman revolusi
Toboali, Pangkalpinang. 26 Des 2003
SUARA TETABUHAN
Dengarlah suara tetabuhan itu
Mengetuk-ngetuk telingamu
Dengarlah pula suara gerimis itu
Mengetuk-ngetuk kalbumu
Bagai ketukan dari pintu langit
Dan berpesan kepadamu
Jagalah adat nenek moyang
Dengarlah suara tabuhan itu
Bertalu-talu
Membangunkan engkau dari tidur pulasmu
Dengarlah suara tetabuhan itu
Dan lihatlah pula rentak tari itu
Di bawah gerimis
Di halaman terbuka pula
Di bawah hujan
Pangkalpinang. 13 Des 2003
EMBUN PAGI
Embun pagi di akhir tahun
Penuh harapan dengan santun
Pada puteri pulau yang akan terbang
Sebentar ikutlah berdendang
Baca puisi dan pantun
Untuk menyambut awal tahun
Sungailiat, 25 Desember 2003
HARUM DEDAUNAN
Harum dedaunan jalanan ini
Seperti pernah kutahu
Tapi kau tak di sini
Itu kutahu pasti
Apa kau mengirim dari jauh
Bagi perjalanan kami
Yang sunyi
Sungailiat, 28 Desember 2003
SUBUH ITU
Subuh itu suaramu
Nyanyian laut sedang kasmaran
Deburnya merambah kelangit jiwa
Mengejutkan bintang gemintang
Bertaburan menebar cahaya
Subuh itu suaramu
Gemercik air pancuran
Ceria, jernih dan mengalun
Pangkalpinang. 23 Des 2003
NONTON TARI CAMPAK
Seribu soal yang memusingkan
Beban berat yang tak terpikulkan
Kini lenyap setelah tangan diayunkan
Dan tubuh di gerakkan, bisik mu
Musik campak membawa kita keawan
Pantun campak membawa kita ke rembulan
Dan dunia berputar lebih keras
Bagai darah kita yang menderas
Nonton tari campak
Mata terpacak
Menyaksikan gerak
Sederhana tak menghentak
Namun didalam diri
Ada rasa mengayun
Bagai butir embun di ujung daun
Jernih berkilau
Melupakan risau
Seribu soal
Meski hanya sebentar
Dendang, 29 Desember 2003
PANTUN
Dari Pangkalpinang ke Belinyu
Singgah dulu ke Sungailiat
Kukenang sejak awal bertemu
Lalu ku rindu dalam surat
Mendesir angin di Pantai Parai
Bantu kukuh menjaga pulau
Rasa ingin berhandai-handai
Aku berpeluh engkau di rantau
Pasir berkilau di Pantai Parai
Disebuah sudut batu samadi
Hatiku risau berdebar-debar
Rasakan kecut ketika menanti
Palembang, 6 Januari 2004
INGAT KURAU
Hati akan selalu terpaut
Pada kampung nelayan dipinggir laut
Kurau, begitu orang menyambut
Begitu kami melangkah pergi
Ada yang tak surut
Hati akan selalu terpaut
Pada kampung Kurau
Kampung nelayan di pinggir laut
Rumah sederhana berjejer
Ditepi sungai Kurau
Rumah berdiri diatas tiang nibung
Begitu sambung menyambung
Hati akan selalu terpaut
Pada kedamaian penduduk
Orang-orang sederhana
Nelayan pencari ikan
Untuk orang kota ia kirimkan
Hati akan selalu terpaut
Pada Kurau
Pada air sungaimu yang coklat
Pada tiang – tiang nibung
Tempat Kario merenung
Tepat Kario berpantun
Hati akan selalu terpaut
Pada Kurau
Kampung bersungai coklat
Tempat Kario mencatat
Nasib zaman yang coklat
Di lembar yang bersih
Dengan bahasa jernih
Kurau – Jakarta, 26 Des 2003 – 22 Jan 2004
KEPADA PEMANTUN TUA
Untuk TS
Inilah pertama kali
Kaki kujejakkan di ubin mar-mar ini
Di pendopo Toboali, bisiknya
Dia memang hanya seorang tua
Pemantun dengan tubuh ringkih
Dan rambut memutih
Yang boleh saja orang lupa
Sengaja atau tak sengaja
Tapi mungkin ada sesuatu
Yang orang sukar lupa
Dari tubuh ringgkih ini
Yakni pesan dan budi
Yang ia susun dan patri
Dalam baris-baris pantun
Selama bertahun-tahun
Yang ini memang orang sukar lupa
Karena setiap di baca
Baris-barisnya akan menyala
Menerangi nurani pembaca
Jakarta, 17 Januari 2004
PERTEMUAN
Hari ini dimana kita bertemu kekasih
Koba sudah tertinggal
Air Gegas baru kulalui
Dimana kita berjumpa, wahai kekasih
Jam demi jam
Berdentangan
Mengingatkan pertemuan
Tapi dimana wahai kekasih kita bertemu
Ombak laut berdebur
Berdebur dan berdebur
Bersahutan dengan debur di hati
Membangunkan rindu yang sunyi
Ternyata di sini kita bertemu kekasih
Di Toboali, dirumahmu yang bersih
Terimalah aku bersimpuh
Menyerahkan diri pada Mu
Hanya pada Mu
Toboali, 25 Desember 2003
LANGIT SENJA NEGERI TIMAH
Warna senja terhampar
Di negeri timah
Saksikanlah, katamu
Negeri timah
Negeri yang penuh berkah
Dalam warna senja yang mewah
Senya yang ramah
Menyapa pepohonan dan bebukitan
Menyapa pantai dan lautan
Menyapa petani dan nelayan
Warna senja terhampar
Di negeri timah
Nikmatilah, katamu
Dan negeri timahpun berhias
Dalam cahaya gemerlapan
Dalam hias berkilau
Dalam warna langit keemasan
Dan bumi keperakan
Toboali, 15 Mei 2004
MENYAKSIKAN FAJAR DI TOBOALI
Untuk MZK
Telah kusaksikan fajar di Toboali
Fajar dengan berkas cahaya
Meretas kegelapan
Fajar dengan sinar kegelapan
Berbinar – binar
Menembus keremangan
Telah kusaksikan fajar di Toboali
Fajar bertangan ajaib
Mengusir kebodohan
Mengusir kemiskinan
Fajar berlidah fasih
Mengusir kegelisahan
Mengusir kecemasan
Fajar berhati kasih
Menawarkan kebersamaan
Membina kesejahteraan
Telah kusaksikan fajar di Toboali
Ya Tuhan
Benar – benar telah kusaksikan
Fajar di Toboali
Dengan warna berkilauan
Menawarkan kebahagiaan
Toboali, 15 Mei 2004
MENGHITUNG OMBAK DI GUNUNG SAMAK
Mari mendaki ke Gunung Samak
Hingga tiba di puncak
Lalu lepaskan pandangan kesegala yang nampak
Saksikan alam yang bergerak
Saksikan alam yang berdetak
Lalu angkat tangan mu ke atas
Rasakan angin di jemari yang lepas
Lalu rebahkan tubuhmu
Hingga menyentuh rumputan
Rasakan cinta yang besahutan
Dan kini mulailah menghitung ombak
Manggar, 7 Juni 2004
SUNGAI LENGGANG MELENGGANG
Sungai Lenggang melenggang
Dan Saderi pun melenggang
Sungai lenggang melenggang
Membawa celoteh alam sekitar
Dan Saderi pun melenggang
Membawa nyanyian kocak yang segar
Sungai lenggang melenggang
Membawa merdu nyanyian gunung
Dan Saderi pun melenggang
Membawa syair kedalaman renung
Sungai lenggang melenggang
Membawa arus air ke kuala
Dan Saderi pun melenggang
Membawa suara hati ke laut jiwa
Sungai lenggang
Memberi nyanyi pada Saderi
Dan Saderi
Memeberi puisi pada sungai Lenggang
Mereke memang saling berlenggang
Dan saling gantung bergantung
Di kampung Gantung
Manggar, 7 Juni 2004
DIANTARA DUA SUNGAI
Dia bersedih duduk diantara dua sungai
Dia menangis bersimpuh di antara dua sungai
Dia merunduk terbungkuk di antara dua sungai
Dia tengadah kelangit diantara dua sungai
Sungai Buding yang bernyanyi nyaring
Sungai Lenggang yang mengalir tenang
Buding engkaulah sungai yang membasuh jiwa yang luka
Lenggang engkaulah sungai yang meneduhkan jiwa yang resah
Dari seorang pertapa yang ingin menuntut bela
Dia bersenandung diantara dua sungai
Dia merenung diantara dua sungai
Dia berharap di antara dua sungai
Dia berdoa di antara dua sungai
Sungai Buding dan sungai Lenggang
Engkaulah sungai yang memberi kesejukan
Bagi jiwa yang panas membara
Bagi jiwa yang ingin menuntut bela
Atas kematian ayahanda
Dia bertapa diantara dua sungai yang mengalir
Jiwanya mengalir bersama sungai yang mengalir
Jiwanya yang mengalir kesamudra cinta
Samudra Cinta Maha Besar
Allah Allah Allah
Manggar – Toboali, 8-15 2004
PANTAI BURUNG MANDI
Ketika menjejakkan kaki
Pertama kali
Dipantai Burung Mandi
Langit sangatlah bersih
Ketika itu
Pantai sangatlah tenang
Ketika itu
Ombak bernyanyi merdu
Ketika itu
Angin bertiup sejuk
Ketika itu
Udara sangatlah nyaman
Ketika itu
Enam abad yang lalu
Bagai terbayang
Seorang lelaki dari Pasai
Menjejakkan kaki pertama kali
Di pantai Burung Mandi
Mungkin pantai taklah tenang
Ombak tak bernyanyi
Dan angin tak bertiup sejuk
Dan udara taklah nyaman
Karena lanun sang perampok
Menjemputmu
Dengan mata merah
Dan pedang di tangan
Tapi lelaki dari Pasai itu
Tetaplah menjejakan kaki
Di pantai Burung Mandi
Karena tekad dalam hati
Ada yang akan diberi
Sesuatu yang berarti
Mudah-mudahan diberkahi Illahi
Orang-orang memang telah menjauh
Berumah ke daratan
Ke dalam hutan
Dan Pantai Burung Mandi ditinggalkan
Takut pada lanun
Sang perampok
Harta dan para kaum wanita
Dia boyong semuanya
Lelaki dari Pasai itu bertahan
Lalu membangun rumah di Menangan
Sambil bercocok tanam
Faham agama Islam dikembangkan
Lelaki dari Pasai itu
Bernama Jakfar
Seorang lelaki yang pintar
Bersungguh-sungguh namun
Kadang suka berkelekar
Kelak nama beliau dikenal
Sebagai Datuk Jakfar
Datuk Jakfar bersama keluarga
Hidup sederhana
Gemar bercocok tanam
Sambil menyebar agama Islam
Hingga usia lanjut
Tak pernah surut
Menyebar agama Islam
Bagai menyebar tanaman
Yang selalu tumbuh
Yang Alhamdulillah
Selalu diberkahi
Sehingga agama Islam
Menyebar keseluruh negeri
Menyebar kesetiap hati
Seorang lelaki dari Pasai
Semakin menua
Dan lanjutlah usia
Serta tibalah saatnya
Untuk kembali
Keharibaan Illahi
Orang – orang kemudian
Memberi gelar kehormatan
Keramat Menangan
Manggar, 8 Juni 2004
SUNGAI BUDING
Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh kakinya
Dari Lumpur dan debu
Dari perjalanan jauh
Ketika menjejakkan kaki
Pertama kali
Di Belitung ini
Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh tubuhnya
Dari daki dunia
Dalam kembara
Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh wajahnya
Ketika sholat pertama
Suatu hari
Di Belitung ini
Engkaulah sungai pertama
Yang memberi kesejukan
Yang menerima kehadiran
Ketika mengadakan perjalanan
Menuju daratan
Tempat musafir mampir
Syeh Abubakar Abdullah
Untuk sekian lama
Menyebar agama
Sungai Buding
Sungai yang bening engkaupun tahu
Ketika tamu mu yang satu itu
Meninggal dunia
Mayatnya di bungkus
Dengan kulit kayu kepang
Maka tesebarlah harum wangi
Padahal sudah dikubur dua puluh hari
Lalu digali
Dan sesuai pesanmu
Mayatmu dikubur
Di antara bumi dan langit
Dan tempat itu ditafsirkan
Di Gunung Tajam
Manggar – Toboali, 8-25 Juni 2004
SURAT DARI MENUMBING
Dapatkah anda membayangkan
Hari ini
Pada tahun 2004 ini
Tiba-tiba
Anda menerima surat
Dari Menumbing
Dari seseorang yang anda kenal
Bahkan tulisannya pun anda kenal
Bertahun 1949
Surat itu meluncur begitu saja
Dibawa angin Bangka
Melayang-layang di udara
Lalu turun
Jatuh keharibaan anda
Begitu anda membuka sampulnya
Surat itu pun terhidang
Tulisanya amatlah terang
Miring ke kanan gayanya
Bahasanya sederhana
Jelas kata-katanya
Maksudnya pun langsung tertangkap
Oleh kita
Mari kita membacanya
Beginilah antara lain bunyinya
Kegembiraan rakyat di Bangka
Tentang cita-cita kebangsaan
Dan kemerdekaan bangsa
Adalah besar
Pekik merdeka
Adalah salam rakyat
Diseluruh kepulauan ini
Surat itu memang bicara tentang rakyat
Tapi juga bicara tentang pemimpin
Setelah bicara tentang rakyat
Apa katanya tentang pemimpin
Mari dengarin
Pemimpin berarti memberi contoh
Dan teladan dalam segala perbuatan
Tentu saja contoh yang diberikan
Contoh yang di tauladankan oleh pemimpin
Yang baik-baik dan bijaksana
Bukan sebaliknya
Dapatkah anda membayangkan
Hari ini
Pada tahun 2004 ini
Tiba-tiba
Anda menerima surat
Dari Menumbing
Dari seseorang yang anda kenal
Bahkan tulisannya pun anda hafal
Bertahun 1949
Surat dari seseorang
Yang sederhana
Hemat dalam bicara
Yang pernah memimpin negeri ini
Toboali-Pangkal Pinang, 4 mei 2004
BELINYU 1946
Bumi hanguskan Belinyu
Begitu perintah terdengar
Lewat telepon hari itu
Yang menerima perintah singkat itu
Segera tahu
Karena Kota Belinyu
Kota pertahanan terakhir TKR ketika itu
Bumi hanguskan Belinyu
Begitu singkat perintah itu
Tapi terdengar
Bagai suara petir menyambar-nyambar
Tapi yang menerima perintah tak gentar
Bahkan faham dan sabar
Karena segera mengerti
Ini pasti untuk antisipasi
Agar NICA tak akan menduduki
Tempat penting diwilayah ini
Agar kantorpos tak mereka kuasai
Agar Pusat pembangkit listrik
Dan telepon tak mereka kuasai
Pangkalpinang, 26 Oktober 2004
SUNGAI RANGKUI SUNGAI KENANGAN
Sungai Rangkui seperti legenda
Tinggallah dalam kenangan hamba
Berdiamlah di sudut-sudut mimpi
Seperti pertemuan kita pertama kali
Lewat pantun dan cerita lama
Lewat gambus dan lagu jenaka
Sungai Rangkui seperti nyanyian indah
Janganlah gelisah dalam angan hamba
Tenanglah dalam relung-relung sunyi
Seperti pertemuan kita pertama kali
Lewat riak menempuh tepi
Lewat perempuan membasuh kaki
Sungai Rangkui sungai kenangan
Jangan biarkan
Ia pergi dari mimpi
Jangan lepaskan
Ia dari kenangan
Hanya karena ulah
Tangan serakah
Yang mengirim luka dan nanah
Sungai Rangkui sungai kesayangan
Telah tersimpan dalam kenangan
Pangkalpinang, 7 Maret 2005
PERJALANAN ARAFAH
MESJID YANG MELAYU
Dalam mesjid yang melaju
Dengan kecepatan 850 km per jam
Kami suduk kepada Mu
Dalam mesjid yang sedang terbang
Diatas ketinggin 10.000 m
Kami berteduh mengharap kasih Mu
Kau lah yang kami tuju ya Allah
Kau lah yang kami rindu ya Allah
Jakartta – Jeddah, 18 Mei 1993
TIBA DI MAKKAH
wahai kota suci
kota kelahiran Nabi
terimalah kami
datang dari jauh
lebih dari 70.000 m
telah kami tempuh
wahai kota suci
kota perjuangan Nabi
menjelang fajar kami tiba
jemari sejuk embun pun menerima
wahai kota suci
kota kerinduan
telah kami jejakkan kaki
di bumi Makkah
lalu wajah tengadah
mengucap syukur kapada Nya
patas undangan Nya
atas perkenan Nya
atas keridhaan Nya
Makkah, l9 Mei l993
SALAT FAJAR DI ATAS TANGGA
inilah salat fajar
seorang hamba
hanya diatas tangga
karena tempat lain
di Masjidil Haram
penuh semua
inilah salat fajar
seorang hamba
bersama embun
menetes air mata
hingga basahlah altar Mu
maafkan hamba, Tuhanku
Makkah, 20 Mei l993
MENGINGAT ENGKAU
ya Allah
aku berjalan
mengelilingi Ka'bah
membawa tubuh luka
aku berlari
membawa hati yang aib
mengelilingi rumah Mu
ya Tuhanku
aku ingin mendapat ampunan Mu
aku ingin mendapat ridha Mu
kaki berjalan
dituntun ingatan
kaki berlari
dipecut jiwa
yang rindu pada Mu
ya Allah
beri hamba
iman yang teguh
hati yang khusuk
mengingat Engkau
merindukan Engkau
Makkah, 26 Mei l993
MAAFKAN YANG PUNYA HOTEL, YA ALLAH
ya Allah
maafkan yang punya hotel
tempat para jamaah menginap
karena layanan yang kurang memuaskan
lampu sebentar hidup sebentar mati
sehingga jamaah yang sedang makan
meraba-raba dalam gelap
apa yang akan di suap
maafkan yang punya hotel, ya Allah
yang air untuk mandi dan wudhu'
sebentar hidup sebentar mati
lalu terpaksa mandi cara singkat
dan dari wc mulai tersebar harum yang
menyengat
ya Allah
maafkan yang punya hotel
yang layanannya kepada jamaah kurang
memuaskan
karena lifnya sering macet
sehingga jamaah harus naik turun tangga
ketingkat enam atau lebih
dan saat itu alangkah menderitanya
yang mengidap penyakit jantung atau
asma
ya Allah
maafkan yang punya hotel
yang menurut janji semua akan beres
air pasti ada, aliran listrik bagus
dan lif baik turun naiknya
ya Allah
maafkan yang punya hotel
karena jamaah yang ratusan jumlahnya
tetap sabar meski ada satu dua yang
kesal
tapi tak sampai mengeluarkan kata-kata
kasar
Misfalah, Makkah, 28 Mei l993
SUJUD PERTAMA DI ARAFAH
ya Allah
inilah sujudku yang pertama di Arafah
kening menyentuh pasir dan batu
salat magrib yang nyaman
oleh angin yang Kau turunkan
ya Allah
inilah air mata rindu di Arafah
mengalir untuk Mu
saat kemah mulai diserbu kelam
saat gunung batu mulai diam
ya Allah
inilah sujudku yang pertama di Arafah
sujud seorang hamba
yang datang dari negeri jauh
membawa beban beribu keluh
ingin berlindung pada Mu
mohon ampun pada Mu
pada hari wuquf itu
Arafah, 30 Mei l993
ARAFAH 1
panas pasir di Arafah
mencoba membakar telapak kakiku
panas batu di Arafah
mencoba membakar kulitku
panas angin di Arafah
mencoba membakar dagingku
panas matahari di Arafah
mencoba membakar tubuhku
panas rindu Mu di Arafah
mencoba membakar cintaku
panas air mata di Arafah
dengan sekolam penyesalan
mohon ampunan kepada Mu
semoga ridha Mu
membakar dosa-dosaku
Arafah, 30 Mei l993
ARAFAH 2
batu-batu disisi kemah
adakah engkau batu
yang pernah menyaksikan
pertemuan Adam dan Hawa
di padang Arafah ini
bukit-bukit yang memagari
ratusan ribu kemah jamaah haji
adakah engkau bukit
yang pernah mendengar
permintaan Adam dan Hawa
mohon pengampunan
di padang Arafah ini
langit pagi yang agak mendung
adakah engkau langit murung
yang pernah memandang
dua hamba Allah
Adam dan Hawa
merasa damai kembali
setelah terlempar kebumi
pasir berserakan di padang Arafah
adakah engkau pernah melukis
mengukir jejak Adam dan Hawa
yang kemudian tercatat
dalam sejarah yang abadi
sajadah yang terkembang
disetiap kemah
dan dahi yang sujud diatasnya
bukankah ini pernyataan rasa
yang ingin selalu
lebih dekat pada Mu
ingin memperoleh ampunan Mu
ingin mendapat ridha Mu
Makkah, 30 Mei l993
WANITA, SIAPAKAH ENGKAU
wanita, siapakah engkau
yang melengos memandang kearahku
dia yang tidur
dipelataran Masjidil Haram
antara tempat sa'i
dan tempat mancur air zamzam
wanita, siapakah engkau
yang berwajah pucat
memandang dengan sayu kepadaku
dia yang lelah
rebah diatas kardus bekas
di pelataran Masjidil Haram
dan tempat mancur air zamzam
wanita, siapakah engkau
yang dibangunkan orang berpakaian ihram
lalu meraih uang satu real
kemudian engkau runduk
dan rebah lagi ke atas kardus bekas
di pelataran Masjidil Haram
dekat tempat sa'i dan air zamzam
wanita, siapakah engkau
yang tak pernah lagi perduli padaku
tak memandang tak melengos
badan rebah
berupa seonggok tubuh lelah
dan tidur dengan pulas
wanita, kucari engkau dalam diriku
dan kutemu
wanita engkaulah itu
engkaulah yang berwajah pucat engkaulah yang bermata sayu
wanita engkaulah itu
yang ketika aku masih kecil
kau izinkan kupetik ketimun dari
kebunmu
lalu kujual untuk biaya sekolahku
wanita, engkaulah itu
yang sebelum meninggal dulu
sempat bergurau denganku
kau minta dibayarkan resep obatmu
wanita, engkaulah itu
engkau adalah adik ibuku
yang telah lama pergi
dipanggil Illahi Rabbi
Makkah, 4 Juni l993
NENEK YAMNUN
nenek Yamnun
orang kata nenek yang pikun
usianya memang tua
(sekitar 80 tahun)
orang menyebutnya pikun
tapi ia tak merasa pikun
malah ia bilang
jangan saya disebut pikun
melakukan salat di Masjidil Haram
nenek Yamnun pergi bersama teman jamaah
ketika pulang ia terpisah
lalu pulang kepondokan sendirian
dibantu petugas lalu lintas
atau siapa saja yang ikhlas
nenek Yamnun tak suka disebut pikun
walau pergi ke kamar mandi saja
ia lupa pulang kekemahnya
nenek Yamun tak suka disebut pikun
walau ia sering bertanya
apa ia sudah salat atau belum
dalam perjalanan
menunuaikan ibadah haji
sekitar empat puluh hari
orang-orang diserang flu dan batuk
nenek Yamnun tidak
ia tak pernah pergi
kedokter kloter
nenek Yamnun tak terkena sakit perut
meski makanan sangat berbeda
dengan kebiasaannya
nenek Yamnun tak suka disebut pikun
waktu luangnya diisi dengan tekun
sebuah Quran kecil selalu berada
ditangan
dia baca tanpa suara
matanya menyala tanpa kaca mata
tasbih tak lepas dari genggaman
kadang sambil tiduran ia gunakan
nenek Yamnun
seluruh hidup diisi dengan tekun
zikir dimulut, zikir dihati
ganti berganti beralun-alun
Makkah, 5 Juni l993
SEORANG NENEK DARI BAMBU APUS
hari jum'at
jum'at yang panas
seorang nenek dari Bambu Apus melakukan
tawaf
tubuhnya yang kecil
telah merasakan api matahari di Arafah
dan tangannya yang mungil
telah melempar setan dan jin di Mina
hari jum'at
jum'at yang panas
seorang nenek dari Bambu Apus melakukan
tawaf
bersama ribuan jamaah
langkahnya langkah kecil
mulut komat kamit
mengucap doa dan zikir
pada putaran ketiga
diantara Ka'bah dan maqam Nabi Ibahim
tubuh nenek dari Bampu Apus
terjepit
nafasnya sesak
ia mengucap Allah...Allah
tiba-tiba disisinya ada
seorang berbadan tinggi
berpakaian putih-putih bertopi haji
merentangkan lengan
melindungi
melihat itu
sang nenek menangis
nenek itu bersyukur
orang berpakain putihpun menangis
mereka sama menangis
lalu orang berpakaian putih
menyeka mata nenek dengan baju putihnya
lalu menuntun melangkah
berjalan melanjutkan tawaf
ketika nenek menoleh
ingin mengucapkan terimakasih
orang berpakain putih
tak nampak lagi
hari jum'at
jum'at yang panas
seorang nenek dari Bambu Apus melakukan
tawaf
tubuhnya yang kecil
bergerak perlahan-lahan
ditengah gelombang manusia bergesekan
bagai mengitari tujuh lapis langit
ternyata ada sesuatu yang sulit
yang kemudian dilapangkan
kini hati nenek nyaman
ia merasa memperoleh keridhaan
Makkah, 6 Juni 1993
SUPIR BUS KAMI ORANG TURKI
Arafah malam hari
udara masih terasa panas
para jamaah mulai naik bus
akan segera menuju Mina
supir bus kami
orang muda
berkulit putih rata
berbadan tinggi
mengaku orang Turki
bercelana warna terang
dada bidang
tanpa baju
diatas bus meski diisi
lebih dari semestinya
karena disamping korsi yang penuh
masih ada puluhan yang berdiri
masih terasa sejuk juga
karena pendingin menyala
tapi begitu bus bergerak
belum dua puluh meter
mulai terasa panas
karena pendingin mati
udara pengap karena
jendela tak bisa dibuka
penumpang yang berkeringat
mulai buka suara
mengapa pendinginnya tak menyala
tapi supir orang Turki
tak menjawab apa-apa
ia tak bisa berbahasa Arab
Inggeris pun tidak jamaah makin gelisah
peluh menglir dimana-mana
baju mulai basah
jamaah wanita minta
jamaah pria tidak merokok
jamaah pria minta
jamaah wanita mengambil kipas
kalau-kalau dapat mengurangi panas
sedang bus semakin perlahan jalannya
macet dimana-mana
memang banyak jalan menuju Mina
tapi jutaan jamaah menuju kesana
pada waktu kurang lebih sama
dan bus kami cuma salah satu
diantara puluhan atau ratusan ribu
walau kesabaran masih terpelihara
namun panas terus menyengat
maka supir diminta membuka pintu
yang didepan dan dibelakang
dua lubang angin dibubungan
dibuka jamaah tanpa rundingan
dan supir yang tanpa baju
rupanya maklum hal itu
bus yang bergerak bagai siput itu
setelah sekitar enam jam merambat
akhirnya menjelang subuh tiba dikawasan
Mina
tapi dimana kemah kami belum diketahui
hampir setengah jam lagi
bus merambat
barulah tiba di kemah
dan jamaah dengan tubuh lelah
mulai turun
gontai langkahnya perjalanan Arafah - Mina
yang berjarak hanya belasan km saja
sempat ditempuh dengan enam jam
mungkin ini mengesalkan
fikir beberapa jamaah
tapi ketika diketahui
ada rombongan menempuh
sehari semalam
para jamaah yang tadi kesal
bersyukur juga
ternyata nasibnya lebih baik juga
dikemah para jamaah tak bisa berlama-
lama
mereka siap-siap salat subuh
kemudian segera menuju tempat melempar
jumrah
Makkah, 7 Juni l993
IBU MIMIH DARI PISANGAN MELEMPAR JIN DI MINA
ibu Mimih dari Pisangan
naik haji bersama suami
acara di Mina memanglah singkat
cuma tiga hari
namun ibadah amatlah padat
salat dan zikir ganti berganti
hari pertama di Mina
melempar jin
berjalan licin
hari kedua di Mina
melempar setan
tercatatlah kejadian
seperti biasa
ibu Mimih yang berbadan gembur
melontar didampingi suami
tapi entah karena apa
pada lemparan batu ke tujuh
di Wustha
suami tak nampak
jutaan orang berdesakan
dan ibu Mimih rubuh
bruk...
tapi tiba-tiba
datang orang berbadan besar
berpakaian putih-putih
parasnya pun bersih
dengan mudah mengangkat pada ketiak
dan ibu Mimih bagai terpacak
ditengah gelombang jutaan orang
berdesakan
merasa lepas dari maut
ibu Mimih dari Pisangan
mengucapkan pujian
Alhamdulillah...
dan kepada orang berpakaian putih
mengucapkan terimakasih
dan orang itu berbalik menepuk
bahu ibu Mimih tiga kali
lalu pergi
menghilang
raib...
Makkah, l0 Juni l993
GADIS KECIL DAN ROTI
seorang gadis manis
kecil setinggi lutut ibunya
membawa plastik besar berisi roti
dengan girang ia menyandangnya
meski nampak tubuhnya yang kecil
terasa tak seimbang
dituntun ibunya
yang berbaju hitam berkerudung hitam
mereka sampai pada pelataran Mesjidil
Haram
lalu duduk diatas kardus bekas
sang ibu tengadah
berdoa
bagai meniru ibu
gadis kecil itu
menengadahkan wajah
lalu mengangkat tangan
lalu menepuk-nepuk
sambil bicara kepada ibunya
kita tak tahu
apakah mereka sudah makan sehari ini
yang kita saksikan
gadis kecil dengan riang
membawa roti dalam plastik besar
berputar-putar
mengelilingi ibunya
yang terus berdoa
roti itu beberapa saat lalu
mereka peroleh secara cuma-cuma
dibagikan kepada para jamaah
sebagai sedekah
Makkah, l2 Juni l993
SEORANG LELAKI 56 TAHUN JUMPA NENEK DI MAKKAH
selesai salat jum'at
seorang lelaki 56 tahun
melintasi halaman Mesjidil Haram
ingin pulang kepondokan
diluar udara pukul l3.45 sangat panas
payung dikembang
dan handuk dibasahi
lalu ditaruh diatas kepala
melewati halaman Mesjidil Haram
mendekat arah ke jalan raya
ada mobil dikerumuni orang-orang
ternyata ada pembagian makanan
untuk para jamaah yang memerlukan
lelaki 56 tahun itu melangkah dalam
panas
persis ketika melintasi dan berpapasan
dengan mobil
pembagian sedekah selesai
orang-orang di atas mobil
yang ingin mendapatkan makanan
diminta turun
petugas berseru
habis-habis
seorang wanita berbadan agak gemuk
mendekat ke pintu mobil bagian depan
rupanya ia ingin mendapat bagian
tapi petugas berseru
habis-habis
ketika wanita gemuk itu menoleh sekejap
ketemu pandang dengan lelaki 56 tahun
ia ingat persisi sama dengan wajah
neneknya
yang sudah 50 tahun lalu meninggal
lelaki 56 tahun itu ingat
ketika ia sekolah SD di desanya
nenek sering memberi uang jajan
dan ketika jenazah nenek dibawa
dari rumah kekubur
ayahnya menangis
sebuah sisir tanduk berwarna hitam
milik neneknya diberikan padanya
salat magrib dan isa selanjutnya
lelaki 56 tahun itu berdoa untuk
neneknya
dan sebuah quran dibelinya untuk wakaf
neneknya
Makkah, l2 Juni l993
BERTEMU BAYANG
matahari pagi
menurunkan bayang jendela
pada ruang sa'i
setiap aku berjalan
dari Safa ke Marwa
aku bertemu bayang itu
bayang yang jelas ada
tapi terputus-putus
tak jelas sambungannya
setiap aku melangkah
aku bertemu bayang itu
aku bertanya-tanya dalam diri
begitukah kiranya bentuk dosa hamba
yang jelas ada
tapi tak jelas asal usulnya
ya Tuhanku
walau hamba yang membuat dosa
dan kini lupa asal usulnya
hingga tak jelas
garis-garis hitamnya
tapi Engkau, Tuhanku
pasti tahu
Engkau Maha tahu
perjelaslah kembali
garis-garis hitam itu padaku
agar segera aku mensucikan diri
hamba berdoa
ampunilah dosa hamba
dan bukalah pintu rahmat bagi hamba
Makkah, l3 Juni l993
DALAM PERJALANAN
dalam perjalanan ratusan km
antara Makkah dan Madinah
telah kudengar ayat-ayat Mu diucapkan
dan bukit dan gunung diam mendengarkan
lembah dan pasir asyik menyimak
mendengar ayat-ayat Mu
punggung gunung batu hitam terbakar
seperti tercelup air dingin
pohon-pohon korma yang kering
seperti mendapat titik gerimis
dan batu-batu yang bertebaran
sepanjang jalan dataran padang
perjalanan
yang terbakar sepanjang tahun
seperti memperoleh curahan hujan
dan tanah pasir yang luas
seperti dimainkan angin yang nyaman
dan pohonan semak dengan dedaunan yang
tipis
yang selalu disengat matahari
seperti mendapat keteduhan gumpalan
awan
mendengar ayat-ayat Mu diucapkan
batu cadas dipinggir jalan
sepanjang perjalanan
seperti mendapat siraman
udara sungai
dengan air melimpah dan jernih
mendengar ayat-ayat Mu ya, Allah
jamaah dalam bus menuju Madinah
menuju rumah terakhir Nabi junjungan
merasa nyaman dan berkah dalam
perjalanan
Makkah - Madinah, l6 Juni l993
LELAKI 56 TAHUN DI MADINAH
kota Madinah
Senin sore diminggu keempat Juni l993
sinar matahari tetaplah panas
menuju mesjid Nabawi
untuk salat magrib
seorang lelaki 56 tahun
membeli dua qur'an
ketika meletakkan ditempat qur'an
di mesjid Nabawi
ia berniat untuk wakaf kakek dan nenek
yang sudah lama pulang kerahmatullah
udara di dalam mesjid Nabawi
dingin sekali
selesai salat magrib
ia berebahkan diri
diatas permadani
rupanya ia ketiduran
begitu terjaga
salat isa akan tiba
karena itu ia buru-buru
ingin mengambil air wudhuk
tapi baru lima langkah
seorang tua datang
bertanya dalam bahasa
yang tak dimengertinya
untunglah orang tua
yang sedikit bungkuk itu
bertanya sambil menggerakkan tangan
kewajah dan kesiku
yang ditafsirkan sebagai wudhuk
tempat wudhuk disana
mari ikut saya
saya juga ingin berwudhuk mendengar kata wudhuk
orang tua itu mengangguk
dan ketika diajak ia ikut
ia menurut
lalu mereka berjalan
perlahan-lahan menuju pintu
dan akan segera ketempat wudhuk
begitu tiba dipintu
lelaki 56 tahun mengambil sandal dari
plastik
lalu memakainya sambil turun ke halaman
ingat pada orang tua
ia menoleh rupanya sedang mengenakan
sandalnya
sambil melambai berkata
kisini, tempat air wudhuk disana
faham isyarat lelaki 56 tahun
orang tua itu mendekat
lalu mereka berjalan beriringan
perlahan-lahan mereka berjalan
mereka berjalan beriringan
ditempat yang agak tinggi
lelaki 56 tahun menunjuk kearah timur
berkata kepada orang tua disampingnya
itu tempat wudhuk
sambil mengajak bersama-sama kesana
tiga langkah berjalan
lelaki 56 tahun menoleh
tetapi aneh
orang tua itu
sudah tak ada
raib
ketika ia ingat-ingat
wajah orang tua tadi
persis sama
dengan wajah kakeknya
yang wafat 30 tahun lalu
Madinah, 22 Juni l993
DOA ORANG BERPAYUNG
orang berpayung itu
melangkah menuju mesjid Nabawi
ia akan melaksanakan salat asar
di bawah matahari Madinah yang terik
ia berdoa
ya Rabbi
izinkan hamba
salat asar lagi
di mesjid Nabawi
meski badan hamba
sangat lemah
(karena buang-buang air sejak pagi)
hamba biar berjalan
perlahan-lahan
hamba tahu keadaan
kesehatan hamba amat merosot hari ini
ini tentu ujian dari Mu
karena itu
biarkan hamba berjalan perlahan-lahan
biarkan hamba merambat
menuju pintu mesjid Nabawi
biarkan hamba terjerembab berkali-kali
tapi, ya Rabbi
izinkan hamba salat asar lagi
di mesjid Nabawi
izinkan kening hamba menyentuh lagi
lantai mesjid Nabawi
izinkan air mata hamba membasahi lagi
pualam mesjid Nabawi
Madinah, 23 Juni l993
YA ALLAH JADIKAN HAMBA
ya Allah
jadikan hamba
angin Madinah
agar dapat menggapai
puncak mesjid Nabawi
ya Allah
jadikan hamba
gerimis Madinah
agar dapat menyiram
dan membasuh tubuh
mesjid Nabawi
ya Allah
jadikan hamba
mata seorang pengunjung Madinah
yang tak bosan-bosan
menikmati keindahan
mesjid Nabawi
ya Allah
jadikan hamba
tangan seorang buta
pengelana Madinah
yang tak pernah lupa
lekuk bentuk
pintu mesjid Nabawi
ya Allah
jadikah hamba
kaki seorang perindu Madinah
yang tak pernah lelah
sehari lima waktu
tersungkur di mesjid Nabawi
ya Allah
jadikan juga hamba
jadi belalang Madinah
yang dengan riang
mengerubungi lampu mesjid Nabawi
kemudian setelah terbakar cahaya
ia mati
Madinah, 23 Juni l993
FADILLAH JUALAN TAS PLASTIK DI BANDARA KING ABDUL AZIZ
Fadillah baru l8 tahun usianya
datang dari Chad di Afrika
mengadu nasib ke Saudia Arabia
datang ke Jeddah
jualan plastik di bandara King Abdul
Aziz
Fadillah agak semampai
hitam orangnya
kulitnya hitam
bajunya juga hitam
ia tawarkan tak plastik
seharga 5 real setiap buahnya
Fadillah datang tersenyum
kepada setiap orang
giginya yang putih
dan matanya yang jernih
mengajak kita membeli dagangannya
Fadillah tertawa
bila dagangannya dibeli
dengan gesit ia melayani
dan bila dikejar polisi
terbirit-birit ia lari
Fadillah datang dari Chad
disudut Afrika
negeri yang kering dan papa
kini mencari nasib di Saudi Arabia
ketika ditanya ibu bapanya dimana
ia melengos pergi
seperti ingin berkata tak usah ditanya
kami sangat menderita
dan matanya yang bersinar
seperti memberi cahaya
bagi ruang hidupnya
Jeddah, 26 Juni l993
JANGAN MARAHI ORANG PINTER
ya Allah
jangan marahi orang yang pinter
yang pergi naik haji
lalu pulang membawa banyak barang
melebihi timbangan
dari yang telah ditetapkan
dan memang ia bisa tak membayar
kelebihan timbangan
karena otak pinternya ia pakai
dengan alasan untuk pelicin
dipemeriksaan
ia menyarankan kepada semua jamaah
untuk memberikan dana tambahan
tak terkecuali
jamaah yang kurang timbangan
dari yang telah ditetapkan
ya Allah
jangan marahi orang yang pinter
yang membawa barang berlebih-lebihan
begitu banyak lebih
sehingga air zamzam
semua jamaah
terpaksa tinggal
dan harus diangkut
dengan pesawat berikutnya
sehingga para jamaah
belum dapat membawa zamzam kerumah
ya Allah
jangan marahi orang yang pinter
yang pulang dari tanah suci
masih bernafsu membawa barang duniawi
meski mereka sudah memotong qurban
yang berarti sudah memotong leher hawa
nafsu dan keserakahan
ya Allah
jangan marahi orang yang pinter
yang baru pulang menunaikan ibadah haji
karena api marah Mu
alangkah panas
sedang ketika wukuf di Arafah
dibawah matahari saja
mereka sudah mengaduh
Jeddah-Jakarta, 26-28 Juni l993
Dalam mesjid yang melaju
Dengan kecepatan 850 km per jam
Kami suduk kepada Mu
Dalam mesjid yang sedang terbang
Diatas ketinggin 10.000 m
Kami berteduh mengharap kasih Mu
Kau lah yang kami tuju ya Allah
Kau lah yang kami rindu ya Allah
Jakartta – Jeddah, 18 Mei 1993
TIBA DI MAKKAH
wahai kota suci
kota kelahiran Nabi
terimalah kami
datang dari jauh
lebih dari 70.000 m
telah kami tempuh
wahai kota suci
kota perjuangan Nabi
menjelang fajar kami tiba
jemari sejuk embun pun menerima
wahai kota suci
kota kerinduan
telah kami jejakkan kaki
di bumi Makkah
lalu wajah tengadah
mengucap syukur kapada Nya
patas undangan Nya
atas perkenan Nya
atas keridhaan Nya
Makkah, l9 Mei l993
SALAT FAJAR DI ATAS TANGGA
inilah salat fajar
seorang hamba
hanya diatas tangga
karena tempat lain
di Masjidil Haram
penuh semua
inilah salat fajar
seorang hamba
bersama embun
menetes air mata
hingga basahlah altar Mu
maafkan hamba, Tuhanku
Makkah, 20 Mei l993
MENGINGAT ENGKAU
ya Allah
aku berjalan
mengelilingi Ka'bah
membawa tubuh luka
aku berlari
membawa hati yang aib
mengelilingi rumah Mu
ya Tuhanku
aku ingin mendapat ampunan Mu
aku ingin mendapat ridha Mu
kaki berjalan
dituntun ingatan
kaki berlari
dipecut jiwa
yang rindu pada Mu
ya Allah
beri hamba
iman yang teguh
hati yang khusuk
mengingat Engkau
merindukan Engkau
Makkah, 26 Mei l993
MAAFKAN YANG PUNYA HOTEL, YA ALLAH
ya Allah
maafkan yang punya hotel
tempat para jamaah menginap
karena layanan yang kurang memuaskan
lampu sebentar hidup sebentar mati
sehingga jamaah yang sedang makan
meraba-raba dalam gelap
apa yang akan di suap
maafkan yang punya hotel, ya Allah
yang air untuk mandi dan wudhu'
sebentar hidup sebentar mati
lalu terpaksa mandi cara singkat
dan dari wc mulai tersebar harum yang
menyengat
ya Allah
maafkan yang punya hotel
yang layanannya kepada jamaah kurang
memuaskan
karena lifnya sering macet
sehingga jamaah harus naik turun tangga
ketingkat enam atau lebih
dan saat itu alangkah menderitanya
yang mengidap penyakit jantung atau
asma
ya Allah
maafkan yang punya hotel
yang menurut janji semua akan beres
air pasti ada, aliran listrik bagus
dan lif baik turun naiknya
ya Allah
maafkan yang punya hotel
karena jamaah yang ratusan jumlahnya
tetap sabar meski ada satu dua yang
kesal
tapi tak sampai mengeluarkan kata-kata
kasar
Misfalah, Makkah, 28 Mei l993
SUJUD PERTAMA DI ARAFAH
ya Allah
inilah sujudku yang pertama di Arafah
kening menyentuh pasir dan batu
salat magrib yang nyaman
oleh angin yang Kau turunkan
ya Allah
inilah air mata rindu di Arafah
mengalir untuk Mu
saat kemah mulai diserbu kelam
saat gunung batu mulai diam
ya Allah
inilah sujudku yang pertama di Arafah
sujud seorang hamba
yang datang dari negeri jauh
membawa beban beribu keluh
ingin berlindung pada Mu
mohon ampun pada Mu
pada hari wuquf itu
Arafah, 30 Mei l993
ARAFAH 1
panas pasir di Arafah
mencoba membakar telapak kakiku
panas batu di Arafah
mencoba membakar kulitku
panas angin di Arafah
mencoba membakar dagingku
panas matahari di Arafah
mencoba membakar tubuhku
panas rindu Mu di Arafah
mencoba membakar cintaku
panas air mata di Arafah
dengan sekolam penyesalan
mohon ampunan kepada Mu
semoga ridha Mu
membakar dosa-dosaku
Arafah, 30 Mei l993
ARAFAH 2
batu-batu disisi kemah
adakah engkau batu
yang pernah menyaksikan
pertemuan Adam dan Hawa
di padang Arafah ini
bukit-bukit yang memagari
ratusan ribu kemah jamaah haji
adakah engkau bukit
yang pernah mendengar
permintaan Adam dan Hawa
mohon pengampunan
di padang Arafah ini
langit pagi yang agak mendung
adakah engkau langit murung
yang pernah memandang
dua hamba Allah
Adam dan Hawa
merasa damai kembali
setelah terlempar kebumi
pasir berserakan di padang Arafah
adakah engkau pernah melukis
mengukir jejak Adam dan Hawa
yang kemudian tercatat
dalam sejarah yang abadi
sajadah yang terkembang
disetiap kemah
dan dahi yang sujud diatasnya
bukankah ini pernyataan rasa
yang ingin selalu
lebih dekat pada Mu
ingin memperoleh ampunan Mu
ingin mendapat ridha Mu
Makkah, 30 Mei l993
WANITA, SIAPAKAH ENGKAU
wanita, siapakah engkau
yang melengos memandang kearahku
dia yang tidur
dipelataran Masjidil Haram
antara tempat sa'i
dan tempat mancur air zamzam
wanita, siapakah engkau
yang berwajah pucat
memandang dengan sayu kepadaku
dia yang lelah
rebah diatas kardus bekas
di pelataran Masjidil Haram
dan tempat mancur air zamzam
wanita, siapakah engkau
yang dibangunkan orang berpakaian ihram
lalu meraih uang satu real
kemudian engkau runduk
dan rebah lagi ke atas kardus bekas
di pelataran Masjidil Haram
dekat tempat sa'i dan air zamzam
wanita, siapakah engkau
yang tak pernah lagi perduli padaku
tak memandang tak melengos
badan rebah
berupa seonggok tubuh lelah
dan tidur dengan pulas
wanita, kucari engkau dalam diriku
dan kutemu
wanita engkaulah itu
engkaulah yang berwajah pucat engkaulah yang bermata sayu
wanita engkaulah itu
yang ketika aku masih kecil
kau izinkan kupetik ketimun dari
kebunmu
lalu kujual untuk biaya sekolahku
wanita, engkaulah itu
yang sebelum meninggal dulu
sempat bergurau denganku
kau minta dibayarkan resep obatmu
wanita, engkaulah itu
engkau adalah adik ibuku
yang telah lama pergi
dipanggil Illahi Rabbi
Makkah, 4 Juni l993
NENEK YAMNUN
nenek Yamnun
orang kata nenek yang pikun
usianya memang tua
(sekitar 80 tahun)
orang menyebutnya pikun
tapi ia tak merasa pikun
malah ia bilang
jangan saya disebut pikun
melakukan salat di Masjidil Haram
nenek Yamnun pergi bersama teman jamaah
ketika pulang ia terpisah
lalu pulang kepondokan sendirian
dibantu petugas lalu lintas
atau siapa saja yang ikhlas
nenek Yamnun tak suka disebut pikun
walau pergi ke kamar mandi saja
ia lupa pulang kekemahnya
nenek Yamun tak suka disebut pikun
walau ia sering bertanya
apa ia sudah salat atau belum
dalam perjalanan
menunuaikan ibadah haji
sekitar empat puluh hari
orang-orang diserang flu dan batuk
nenek Yamnun tidak
ia tak pernah pergi
kedokter kloter
nenek Yamnun tak terkena sakit perut
meski makanan sangat berbeda
dengan kebiasaannya
nenek Yamnun tak suka disebut pikun
waktu luangnya diisi dengan tekun
sebuah Quran kecil selalu berada
ditangan
dia baca tanpa suara
matanya menyala tanpa kaca mata
tasbih tak lepas dari genggaman
kadang sambil tiduran ia gunakan
nenek Yamnun
seluruh hidup diisi dengan tekun
zikir dimulut, zikir dihati
ganti berganti beralun-alun
Makkah, 5 Juni l993
SEORANG NENEK DARI BAMBU APUS
hari jum'at
jum'at yang panas
seorang nenek dari Bambu Apus melakukan
tawaf
tubuhnya yang kecil
telah merasakan api matahari di Arafah
dan tangannya yang mungil
telah melempar setan dan jin di Mina
hari jum'at
jum'at yang panas
seorang nenek dari Bambu Apus melakukan
tawaf
bersama ribuan jamaah
langkahnya langkah kecil
mulut komat kamit
mengucap doa dan zikir
pada putaran ketiga
diantara Ka'bah dan maqam Nabi Ibahim
tubuh nenek dari Bampu Apus
terjepit
nafasnya sesak
ia mengucap Allah...Allah
tiba-tiba disisinya ada
seorang berbadan tinggi
berpakaian putih-putih bertopi haji
merentangkan lengan
melindungi
melihat itu
sang nenek menangis
nenek itu bersyukur
orang berpakain putihpun menangis
mereka sama menangis
lalu orang berpakaian putih
menyeka mata nenek dengan baju putihnya
lalu menuntun melangkah
berjalan melanjutkan tawaf
ketika nenek menoleh
ingin mengucapkan terimakasih
orang berpakain putih
tak nampak lagi
hari jum'at
jum'at yang panas
seorang nenek dari Bambu Apus melakukan
tawaf
tubuhnya yang kecil
bergerak perlahan-lahan
ditengah gelombang manusia bergesekan
bagai mengitari tujuh lapis langit
ternyata ada sesuatu yang sulit
yang kemudian dilapangkan
kini hati nenek nyaman
ia merasa memperoleh keridhaan
Makkah, 6 Juni 1993
SUPIR BUS KAMI ORANG TURKI
Arafah malam hari
udara masih terasa panas
para jamaah mulai naik bus
akan segera menuju Mina
supir bus kami
orang muda
berkulit putih rata
berbadan tinggi
mengaku orang Turki
bercelana warna terang
dada bidang
tanpa baju
diatas bus meski diisi
lebih dari semestinya
karena disamping korsi yang penuh
masih ada puluhan yang berdiri
masih terasa sejuk juga
karena pendingin menyala
tapi begitu bus bergerak
belum dua puluh meter
mulai terasa panas
karena pendingin mati
udara pengap karena
jendela tak bisa dibuka
penumpang yang berkeringat
mulai buka suara
mengapa pendinginnya tak menyala
tapi supir orang Turki
tak menjawab apa-apa
ia tak bisa berbahasa Arab
Inggeris pun tidak jamaah makin gelisah
peluh menglir dimana-mana
baju mulai basah
jamaah wanita minta
jamaah pria tidak merokok
jamaah pria minta
jamaah wanita mengambil kipas
kalau-kalau dapat mengurangi panas
sedang bus semakin perlahan jalannya
macet dimana-mana
memang banyak jalan menuju Mina
tapi jutaan jamaah menuju kesana
pada waktu kurang lebih sama
dan bus kami cuma salah satu
diantara puluhan atau ratusan ribu
walau kesabaran masih terpelihara
namun panas terus menyengat
maka supir diminta membuka pintu
yang didepan dan dibelakang
dua lubang angin dibubungan
dibuka jamaah tanpa rundingan
dan supir yang tanpa baju
rupanya maklum hal itu
bus yang bergerak bagai siput itu
setelah sekitar enam jam merambat
akhirnya menjelang subuh tiba dikawasan
Mina
tapi dimana kemah kami belum diketahui
hampir setengah jam lagi
bus merambat
barulah tiba di kemah
dan jamaah dengan tubuh lelah
mulai turun
gontai langkahnya perjalanan Arafah - Mina
yang berjarak hanya belasan km saja
sempat ditempuh dengan enam jam
mungkin ini mengesalkan
fikir beberapa jamaah
tapi ketika diketahui
ada rombongan menempuh
sehari semalam
para jamaah yang tadi kesal
bersyukur juga
ternyata nasibnya lebih baik juga
dikemah para jamaah tak bisa berlama-
lama
mereka siap-siap salat subuh
kemudian segera menuju tempat melempar
jumrah
Makkah, 7 Juni l993
IBU MIMIH DARI PISANGAN MELEMPAR JIN DI MINA
ibu Mimih dari Pisangan
naik haji bersama suami
acara di Mina memanglah singkat
cuma tiga hari
namun ibadah amatlah padat
salat dan zikir ganti berganti
hari pertama di Mina
melempar jin
berjalan licin
hari kedua di Mina
melempar setan
tercatatlah kejadian
seperti biasa
ibu Mimih yang berbadan gembur
melontar didampingi suami
tapi entah karena apa
pada lemparan batu ke tujuh
di Wustha
suami tak nampak
jutaan orang berdesakan
dan ibu Mimih rubuh
bruk...
tapi tiba-tiba
datang orang berbadan besar
berpakaian putih-putih
parasnya pun bersih
dengan mudah mengangkat pada ketiak
dan ibu Mimih bagai terpacak
ditengah gelombang jutaan orang
berdesakan
merasa lepas dari maut
ibu Mimih dari Pisangan
mengucapkan pujian
Alhamdulillah...
dan kepada orang berpakaian putih
mengucapkan terimakasih
dan orang itu berbalik menepuk
bahu ibu Mimih tiga kali
lalu pergi
menghilang
raib...
Makkah, l0 Juni l993
GADIS KECIL DAN ROTI
seorang gadis manis
kecil setinggi lutut ibunya
membawa plastik besar berisi roti
dengan girang ia menyandangnya
meski nampak tubuhnya yang kecil
terasa tak seimbang
dituntun ibunya
yang berbaju hitam berkerudung hitam
mereka sampai pada pelataran Mesjidil
Haram
lalu duduk diatas kardus bekas
sang ibu tengadah
berdoa
bagai meniru ibu
gadis kecil itu
menengadahkan wajah
lalu mengangkat tangan
lalu menepuk-nepuk
sambil bicara kepada ibunya
kita tak tahu
apakah mereka sudah makan sehari ini
yang kita saksikan
gadis kecil dengan riang
membawa roti dalam plastik besar
berputar-putar
mengelilingi ibunya
yang terus berdoa
roti itu beberapa saat lalu
mereka peroleh secara cuma-cuma
dibagikan kepada para jamaah
sebagai sedekah
Makkah, l2 Juni l993
SEORANG LELAKI 56 TAHUN JUMPA NENEK DI MAKKAH
selesai salat jum'at
seorang lelaki 56 tahun
melintasi halaman Mesjidil Haram
ingin pulang kepondokan
diluar udara pukul l3.45 sangat panas
payung dikembang
dan handuk dibasahi
lalu ditaruh diatas kepala
melewati halaman Mesjidil Haram
mendekat arah ke jalan raya
ada mobil dikerumuni orang-orang
ternyata ada pembagian makanan
untuk para jamaah yang memerlukan
lelaki 56 tahun itu melangkah dalam
panas
persis ketika melintasi dan berpapasan
dengan mobil
pembagian sedekah selesai
orang-orang di atas mobil
yang ingin mendapatkan makanan
diminta turun
petugas berseru
habis-habis
seorang wanita berbadan agak gemuk
mendekat ke pintu mobil bagian depan
rupanya ia ingin mendapat bagian
tapi petugas berseru
habis-habis
ketika wanita gemuk itu menoleh sekejap
ketemu pandang dengan lelaki 56 tahun
ia ingat persisi sama dengan wajah
neneknya
yang sudah 50 tahun lalu meninggal
lelaki 56 tahun itu ingat
ketika ia sekolah SD di desanya
nenek sering memberi uang jajan
dan ketika jenazah nenek dibawa
dari rumah kekubur
ayahnya menangis
sebuah sisir tanduk berwarna hitam
milik neneknya diberikan padanya
salat magrib dan isa selanjutnya
lelaki 56 tahun itu berdoa untuk
neneknya
dan sebuah quran dibelinya untuk wakaf
neneknya
Makkah, l2 Juni l993
BERTEMU BAYANG
matahari pagi
menurunkan bayang jendela
pada ruang sa'i
setiap aku berjalan
dari Safa ke Marwa
aku bertemu bayang itu
bayang yang jelas ada
tapi terputus-putus
tak jelas sambungannya
setiap aku melangkah
aku bertemu bayang itu
aku bertanya-tanya dalam diri
begitukah kiranya bentuk dosa hamba
yang jelas ada
tapi tak jelas asal usulnya
ya Tuhanku
walau hamba yang membuat dosa
dan kini lupa asal usulnya
hingga tak jelas
garis-garis hitamnya
tapi Engkau, Tuhanku
pasti tahu
Engkau Maha tahu
perjelaslah kembali
garis-garis hitam itu padaku
agar segera aku mensucikan diri
hamba berdoa
ampunilah dosa hamba
dan bukalah pintu rahmat bagi hamba
Makkah, l3 Juni l993
DALAM PERJALANAN
dalam perjalanan ratusan km
antara Makkah dan Madinah
telah kudengar ayat-ayat Mu diucapkan
dan bukit dan gunung diam mendengarkan
lembah dan pasir asyik menyimak
mendengar ayat-ayat Mu
punggung gunung batu hitam terbakar
seperti tercelup air dingin
pohon-pohon korma yang kering
seperti mendapat titik gerimis
dan batu-batu yang bertebaran
sepanjang jalan dataran padang
perjalanan
yang terbakar sepanjang tahun
seperti memperoleh curahan hujan
dan tanah pasir yang luas
seperti dimainkan angin yang nyaman
dan pohonan semak dengan dedaunan yang
tipis
yang selalu disengat matahari
seperti mendapat keteduhan gumpalan
awan
mendengar ayat-ayat Mu diucapkan
batu cadas dipinggir jalan
sepanjang perjalanan
seperti mendapat siraman
udara sungai
dengan air melimpah dan jernih
mendengar ayat-ayat Mu ya, Allah
jamaah dalam bus menuju Madinah
menuju rumah terakhir Nabi junjungan
merasa nyaman dan berkah dalam
perjalanan
Makkah - Madinah, l6 Juni l993
LELAKI 56 TAHUN DI MADINAH
kota Madinah
Senin sore diminggu keempat Juni l993
sinar matahari tetaplah panas
menuju mesjid Nabawi
untuk salat magrib
seorang lelaki 56 tahun
membeli dua qur'an
ketika meletakkan ditempat qur'an
di mesjid Nabawi
ia berniat untuk wakaf kakek dan nenek
yang sudah lama pulang kerahmatullah
udara di dalam mesjid Nabawi
dingin sekali
selesai salat magrib
ia berebahkan diri
diatas permadani
rupanya ia ketiduran
begitu terjaga
salat isa akan tiba
karena itu ia buru-buru
ingin mengambil air wudhuk
tapi baru lima langkah
seorang tua datang
bertanya dalam bahasa
yang tak dimengertinya
untunglah orang tua
yang sedikit bungkuk itu
bertanya sambil menggerakkan tangan
kewajah dan kesiku
yang ditafsirkan sebagai wudhuk
tempat wudhuk disana
mari ikut saya
saya juga ingin berwudhuk mendengar kata wudhuk
orang tua itu mengangguk
dan ketika diajak ia ikut
ia menurut
lalu mereka berjalan
perlahan-lahan menuju pintu
dan akan segera ketempat wudhuk
begitu tiba dipintu
lelaki 56 tahun mengambil sandal dari
plastik
lalu memakainya sambil turun ke halaman
ingat pada orang tua
ia menoleh rupanya sedang mengenakan
sandalnya
sambil melambai berkata
kisini, tempat air wudhuk disana
faham isyarat lelaki 56 tahun
orang tua itu mendekat
lalu mereka berjalan beriringan
perlahan-lahan mereka berjalan
mereka berjalan beriringan
ditempat yang agak tinggi
lelaki 56 tahun menunjuk kearah timur
berkata kepada orang tua disampingnya
itu tempat wudhuk
sambil mengajak bersama-sama kesana
tiga langkah berjalan
lelaki 56 tahun menoleh
tetapi aneh
orang tua itu
sudah tak ada
raib
ketika ia ingat-ingat
wajah orang tua tadi
persis sama
dengan wajah kakeknya
yang wafat 30 tahun lalu
Madinah, 22 Juni l993
DOA ORANG BERPAYUNG
orang berpayung itu
melangkah menuju mesjid Nabawi
ia akan melaksanakan salat asar
di bawah matahari Madinah yang terik
ia berdoa
ya Rabbi
izinkan hamba
salat asar lagi
di mesjid Nabawi
meski badan hamba
sangat lemah
(karena buang-buang air sejak pagi)
hamba biar berjalan
perlahan-lahan
hamba tahu keadaan
kesehatan hamba amat merosot hari ini
ini tentu ujian dari Mu
karena itu
biarkan hamba berjalan perlahan-lahan
biarkan hamba merambat
menuju pintu mesjid Nabawi
biarkan hamba terjerembab berkali-kali
tapi, ya Rabbi
izinkan hamba salat asar lagi
di mesjid Nabawi
izinkan kening hamba menyentuh lagi
lantai mesjid Nabawi
izinkan air mata hamba membasahi lagi
pualam mesjid Nabawi
Madinah, 23 Juni l993
YA ALLAH JADIKAN HAMBA
ya Allah
jadikan hamba
angin Madinah
agar dapat menggapai
puncak mesjid Nabawi
ya Allah
jadikan hamba
gerimis Madinah
agar dapat menyiram
dan membasuh tubuh
mesjid Nabawi
ya Allah
jadikan hamba
mata seorang pengunjung Madinah
yang tak bosan-bosan
menikmati keindahan
mesjid Nabawi
ya Allah
jadikan hamba
tangan seorang buta
pengelana Madinah
yang tak pernah lupa
lekuk bentuk
pintu mesjid Nabawi
ya Allah
jadikah hamba
kaki seorang perindu Madinah
yang tak pernah lelah
sehari lima waktu
tersungkur di mesjid Nabawi
ya Allah
jadikan juga hamba
jadi belalang Madinah
yang dengan riang
mengerubungi lampu mesjid Nabawi
kemudian setelah terbakar cahaya
ia mati
Madinah, 23 Juni l993
FADILLAH JUALAN TAS PLASTIK DI BANDARA KING ABDUL AZIZ
Fadillah baru l8 tahun usianya
datang dari Chad di Afrika
mengadu nasib ke Saudia Arabia
datang ke Jeddah
jualan plastik di bandara King Abdul
Aziz
Fadillah agak semampai
hitam orangnya
kulitnya hitam
bajunya juga hitam
ia tawarkan tak plastik
seharga 5 real setiap buahnya
Fadillah datang tersenyum
kepada setiap orang
giginya yang putih
dan matanya yang jernih
mengajak kita membeli dagangannya
Fadillah tertawa
bila dagangannya dibeli
dengan gesit ia melayani
dan bila dikejar polisi
terbirit-birit ia lari
Fadillah datang dari Chad
disudut Afrika
negeri yang kering dan papa
kini mencari nasib di Saudi Arabia
ketika ditanya ibu bapanya dimana
ia melengos pergi
seperti ingin berkata tak usah ditanya
kami sangat menderita
dan matanya yang bersinar
seperti memberi cahaya
bagi ruang hidupnya
Jeddah, 26 Juni l993
JANGAN MARAHI ORANG PINTER
ya Allah
jangan marahi orang yang pinter
yang pergi naik haji
lalu pulang membawa banyak barang
melebihi timbangan
dari yang telah ditetapkan
dan memang ia bisa tak membayar
kelebihan timbangan
karena otak pinternya ia pakai
dengan alasan untuk pelicin
dipemeriksaan
ia menyarankan kepada semua jamaah
untuk memberikan dana tambahan
tak terkecuali
jamaah yang kurang timbangan
dari yang telah ditetapkan
ya Allah
jangan marahi orang yang pinter
yang membawa barang berlebih-lebihan
begitu banyak lebih
sehingga air zamzam
semua jamaah
terpaksa tinggal
dan harus diangkut
dengan pesawat berikutnya
sehingga para jamaah
belum dapat membawa zamzam kerumah
ya Allah
jangan marahi orang yang pinter
yang pulang dari tanah suci
masih bernafsu membawa barang duniawi
meski mereka sudah memotong qurban
yang berarti sudah memotong leher hawa
nafsu dan keserakahan
ya Allah
jangan marahi orang yang pinter
yang baru pulang menunaikan ibadah haji
karena api marah Mu
alangkah panas
sedang ketika wukuf di Arafah
dibawah matahari saja
mereka sudah mengaduh
Jeddah-Jakarta, 26-28 Juni l993
CATATAN PADA DAUN (kumpulan puisi)
JABAL GHAFUR
Untuk N.A.R.
Kulalui petak sawah yang luas
Padinya hijau melambai padaku
Kulalui kebun kelapa
Tinggi pohonnya
Daun menggapai awan
Lalu turun
Menggapai hatiku
Kulalui desa-desa tua
Desa perjuangan masa lalu
Disana tersenyum ayah bundaku
Lalu kutembus kabut debu
Kutembus juga sejarah gelap masa lalu
Kutembus semua yang menghalangiku
Aku harus bertemu dengan mu
Aku juga sangat rindu padamu
Engkau adalah kekasihku
Engkau adalah
Rumah di bawah langit biru
Disitu menitik kasih Tuhan
Aku terpana
Aku bertanya siapa namamu
Lalu pepohonan, gunung di jauhan
Sungai dan lautan gelombang berseru
Semua berseru
Jabal Ghafur, Jabal Ghafur
Sigli, 25 Januari 1986
SEORANG TUA BERJALAN
Setiap hari ia berjalan
Dijalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Badan sedikit terbungkuk
Langkah satu-satu
Di jalan itu juga
Ada senja
Menyamarkan jalannya
Tapi ada bintang
Terbit menolongnya
Semua tak ia minta
Tapi turun begitu saja
Di jalan itu juga
Ada matahari terik
Meneteskan keringatnya
Tapi ada angin
Meniup tubuhnya
Datang begitu saja
Semua turun begitu saja
Di jalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Di jalan itu juga
Dibawah langit itu juga
Pohon, dedaunan
Tiang listrik, aspal jalanan
Begitu ramah padanya
Kadang seperti menegurnya
Selamat pagi
Atau selamat sore
Atau selamat malam
Oarng tua itu
Melangkah dan melangkah
Di jalan itu juga
Setiap langkah
Ia mengucap Allah
Jakarta, 1986
DI GERBANG KAMPUS ITU
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba berdiri
Di gerbang kampus itu
Ia tengadah ke langit
Lalu menjerit
Suaranya hilang entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari bintang
Jatuh kebumi
Berserakan di bumi
Menjadi syair
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba terengah
Di gerbang kampus itu
Setelah ribuan kilometer berlari
Mencari
Lalu tertunduk
Menangis
Tangisnya kemudina hilang
Entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari batu
Tergulir ke bumi
Menjadi puisi
Yang abadi
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Kemudian pergi
Entah kemana
Di subuh hari
Ketika seorang mahasiswa
Membuka pintu gerbang kampus itu
Ia lihat kertas lusuh
Di sana tertulis
Tuhan, berkahi usaha mulia ini
Jakarta, 1986
SEDEKAH
Tujuh puluh bencana
Mengarah pada kita
Bagai mana menolaknya
Tujuh puluh sakit
Mendera kita
Bagaimana menyembuhkannya
Tujuh puluh pencuri
Mengganyang harta kita
Bagaimana mencegahnya
Tujuh puluh amarah Tuhan
Membakar kita
Bagaimana menghindarkannya
Bahkan membakar nadi kita
Bagaimana memadamkannya
Hampir kita lupa
Untuk itu semua
Ada satu cara
Sedarhana dan bersahaja
Mari kita bersedekah
Sedekah menolak bencana
Menyembuhkan sakit
Mencegah pencuri
Menghapus amarah Tuhan
Sedekah mencipta
Keakraban handai taulan
Sedekah mencipta
Suasana sejuk antara kita
Ia embun pagi
Menetes ke hati
Jakarta, 1985
166 NAMAKU
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan pepohonan dan rimba
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan sungai dan segara
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan besi dan baja
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan langit dan angkasa
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang disirami ibu-bapa
Kuncup bunga
Yang digayuti embun dinihari
Kuncup bunga
Yang diusap mentari pagi
Ya aku bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang ingin mekar
Ingin mengirim wangi sekitar
Jakarta, 1985
TAK ADA LAGI
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan sinar bulan
Yang dingin oleh rindu
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali mendengar rintih angin
Di air danau
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali memandang kuburan tua
Tempat istirahat nenek moyang ku
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali menyaksikan embun turun
Membasuh wajah rakyatku
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan gema doa
Dari orang yang menderita
Doa yang membumbung ke langit
Bersatu dengan awan
Bersatu dengan matahari
Lalu turun kebumi
Mendatangi rumahmu
Memberi salam padamu
Masuk kehatimu
Bicara tentang keadilan
Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Kecuali bekas masa kanak-kanak
Yang tertutup debu
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali melihat bayang sejarah
Perlahan tenggelam
Tak tertulis
Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Selain menyaksikan kasih Mu
Yang terus menyirami bumi
Lho’Seumawe – Takengon, Januari 1986
PESAN
Untuk Radio Rimba Raya
Jangan sampaikan pesan lagi padaku
Karena aku tak dapat lagi menyampaiakan pesan
Jangan kirim pesan lagi padaku
Karena aku tak dapat lagi mengirim pesan
Lihatlah, lidahku telah kelu
Mulut tertutup
Tubuh tinggal bayang
Dulu memang pernah
Bisikmu kusampaikan ke balik gunung
Keseberang lautan ke negeri-negeri jauh
Dulu memang pernah
Detak hatimu
Cita-cita merdeka mu
Kukirim kesetiap hati sahabat-sahabat
Atau musuh-musuhmu
Di desa, di kota, bahwakan di laut dan di rimba
Dulu memang pernah ada
Ucapan merdeka yang kau sampaikan bagai bisik
Kujeritkan sekeras-kerasnya
Hingga bergema menyentuh cakrawala
Bergelegar menjadi guntur
Merobek-robek angkasa
Hingga musuh gentar tak berdaya
Dan sahabat-sahabatmu mendegar ucapan itu
Bangkit
Bangkit, lalu berlawan habis-habisan
Semangatnya telah menjadi baja
Walau di tangan hanya bambu runcing saja
Dulu memang pernah
Saat malam menjelang pagi
Dengan suara menggigil karena dingin
Kusampaikan pesanmu
Tiktok tiktok hallo Sudarsono
Tiktok tiktok hallo Palar
Kirimi kami mentega
Kirimi kami susu
Kirimi kami beras
Kemudian datanglah kiriman
Dan yang datang adalah senjata
Lalu dibagi pada setiap tentara
Lalu mereka menembak musuh
Tepat di jidatnya
Dulu memang pernah
Ketika kita hampir tak punya daya
Ketika suara di pusat negeri ini dibungkam
Kami bangkit menyuarakan nurani bangsa
Hallo dunia
Hallo dunia
Negeri kami masih ada
Negeri kami merdeka
Tapi kini jangan sampaikan pesan lagi padaku
Karena tak dapat lagi kusampaikan pesan apa pun
Lidahku kaku
Mulut tertutup
Tubuh tinggal bayang
Tinggal bayang
Dari ingatanmu pun
Mungkin akan hilang
Takengon, 22 Januari 1986
BEKASMU
Nanti masih dapat kulihat
Bekasmu di pasir itu
Debu dan waktu
Memang ingin menutup masa lalu
Tapi matahari senja
Yang kuning kemerahan itu
Menerangi selalu
Bekasmu
Mungkin aku lupa
Pada perjalanan kita
Tapi debur ombak itu
Selalu berseru
Berseru
Menyebut namamu
Nanti masih dapat kuingat
Bekasmu dipasir itu
Karena pasir pun berbisik padaku
Menuntun arahku
Tapi sekiranya
Pasir pantai lenyap
Matahari hilang cahaya
Ombak kelu
Tetap dapat kuingat bekasmu
Karena telah kusimpan
Dalam kalbu
O bekas yang menggores
Peta jalur hidupku
Banda Aceh, 27 Januari 1986
GERAIKAN RAMBUTMU
Geraikan rambutmu, bidadariku
Geraikan
Lalu seribu bintang menyinari
Sehingga setiap helai tersepuh emas
Cakrawala memerah
Dan laut mabuk rindu
Geraikan rambutmu, bidadariku
Geraikan
Lalu angin malam menciumi
Sehingga setiap helai menyebar wangi
Bumi semerbak
Dan alam tidur dalam mimpi
Geraikan rambutmu, bidadariku
Geraikan
Izinkan disana akan lewat
Debu dosa
Menuju langit
Kemudian dari setiap helai
Menitiklah belai
Kasih tak henti
Mata air abadi
Dunia akan terjaga
Dari lelap lama
Medan, Februari 1986
BISIK
Kupelihara daun
Kusimpan batu
Dalam biliku
Bila ada ketukan di pintu
Mungkin tangan angin
Mungkin tanganmu
Atau mungkin
Tak siapa – siapa
Hanya malam
Tambah kelam
Dan sunyi
Menanti
Kupelihara daun
Kusimpan batu
Dalam biliku
Aku tahu
Jika aku rindu
Disana ku dengar bisikmu
Wahai, bilik ku yang sunyi
Apa dia juga mendengar bisik hati
Ucapan doa untuknya
Dalam syairku yang lara
Prapat – Jakarta, Februari 1986
PERCAKAPAN
Katakan apa yang ingin kau katakan,
Kata pantai pada ombak
Tak ada yang ingin ku katakan,
Jawab ombak
Aku rindu pada kata-katamu sekarang,
Kata pantai
Aku tak ingin berkata-kata sekarang,
Jawab ombak
Langit gelap
Bulan tak ada
Bintang tak ada
Bumi gelap
Ayolah kalau begitu berbisik sajalah
Aku tak mau berbisik
Sunyi sekitar
Daun tak bergetar
Alam terhampar
Dengan sabar
Kalau tak mau berkata- kata
Kalau tak mau berbisik saja
Lalu....
Ombak hanya berkejap
Ombak tak menjawab
Ombak dengan sedap
Mengelus pantai
Meremas pantai
Hingga malam usai
Medan – Jakarta, Februari 1986
KE LAUT
Ia pergi kelaut
Mencari ombak
Mencari kabut
Jutaan helai rambut
Gugur dari angkasa
Dari langit luka
Menerpa wajahnya
Ketika mengaduh
Sebelum rubuh
Jeritnya parau
Ombakpun risau
Menambah gembalau
Kini ia meniti kabut
Membubung bersama kabut
Kelangit yang kalut
Sigli, 31 Januari 1986
CATATAN PADA DAUN
Kau mencatat pada daun
Sebuah pesan
Ketika langit sangat biru
Tanpa awan
Setelah kau pergi
Jauh
Ku baca pesanmu
Lalu kusimpan
Jauh
Dalam diriku
Kini pesan itu
Mengalir dalam darahku
Dan bila aku mati
Ia kusimpan di syair sunyi
Jakarta, Februari 1986
BUNGA
Subuh itu ada yang memetik bunga
Disusunya di gelas kaca
Ditaruhnya di atas meja
Terasa Cezanne tiba
Menegaskan warna
Memberi kesegaran rasa
Yang sudah lama sirna
Jakarta, Februari 1986
MEDAN KOTAKU
Medan
Lemparkan aku kembali
Kelorong-lorong jalan kota mu
Akan kucari bekas kakiku dulu
Yang tertutup debu
Akan kucari tetes keringatku dulu
Yang menyirami bumi mu
Medan
Lemparkan aku kembali
Kerumah-rumah rakyatmu
Akan kucari bayang juluran tanganku
Yang raib oleh waktu
Akan ku cari sapa ku dulu
Yang ditiup angin kelabu
Medan, kotaku
Lemparkan, lalu dekaplah aku
Ke jantungmu
Biar kureguk lagi cinta kasihmu
Kasih yang perih
Menggoreskan derita
Kasih yang salih
Memberiku makna
Medan, Februari 1986
DISEBUAH ISTANA TUA
Sambil menaiki tangga
Kurasa telapak kaki ku
Menyentuh jejekmu dulu
Yang tersimpan pualam putih itu
Ketika berdiri di pintu
Tanganku yang terulur
Terasa dingin
Dingin
Menyentuh jemarimu
Yang disimpan waktu
Memasuki ruang balairung
Ragaku, ragaku yang rindu
Mendekap tubuhmu
O.... sosok sejarah yang pilu
Medan, Februari 1986
PADAMKAN
Bagai suara ibuku
Ia berbisik
Padamkan lampu
Kunci pintu
Lalu tidurlah
Aku lelah
Lalu aku padamkan lampu
Dan ia tidur
Dalam gelap
O tubuh pualam yang lelap
Mataku memandangmu tak berkejap
Engkaulah bidadari
Yang menjauhi dosa
Yang menolongku menghindari dosa
Medan, Februari 1986
LEWAT EMBUN
Lewat embun
Lewat sunyi
Suara azan subuh itu
Menyelinap kamarku
Lewat embun
Lewat sunyi
Air wuduk yang dingin
Membersihkan diriku
Lewat embun
Lewat sunyi
Aku sujud
Sujud
Kepada Mu
Hanya kepada Mu
Takengon – Medan, 1986
MIHRAB TUA
Tubuh tua
Terpupus sudah warna-warna
Tapi kaligrafi ini
Terpatri
O mataku yang buta
Telinga ku yang tuli
Kaligrafi ini
Terpatri
Mengalir dalam sunyi
Zikir dalam sunyi
Ya Rabbi, Ya Rabbi 1986
Sigli, Januari 1986
MENASAH KECIL
Ketika usia semakin menua
Dan hidup disibukkan kota jelaga
Tiba-tiba aku ingin berada
Di desa kecil desaku dulu
Yang ketika masih kanak-kanak
Shalat di atas tikar tua
Dengan dinding sebagian terbuka
Yang aku ingin sekali
Mengambil air wuduk dikali
Kaliku dulu
Airnya jernih selalu
Ya aku ingin sekali
Melekapkan kening ini
Pada tikar lusuh
Pada menasah kecilku
Mendekatkan diri pada - Mu
Dari kota jelaga
Yang keringatan dan terluka
Aku benar-benar ingat padamu
Desa kecil desaku dulu
Menasah kecil menasahku dulu
Tempat mula aku belajar
Membaca dan menghafal alif – Mu
Menasah kecil menasah kekasih
Kini engkau berdiri putih
Dalam cermin yang bersih
Cermin yang salih
BIARLAH
Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Biarlah nyanyianmu kusimpan di sana
Biarlah senyumanmu mengelopak disana
Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Biarlah perihku merintih disana
Biarlah lukaku mengaduh disana
Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Biarlah tarianmu terpahat disana
Biarlah kemudaanmu kemilau disana
Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Tempat doaku mengalir disana
Doa musafir kembara
Yang selalu mencari kasih Nya
DOA UNTUK PENARI SEPI
Tuhan
Telah Kau ciptakan
Tari sunyi
Dengan gerak beku
Musik kelu
Tuhan
Kami antar penari sepi
Kerumahnya yang baru
Beratap langit biru
Ia hamba – Mu
Tuhan
Izinkan kami
Berharap dan meminta
Sambil menitikkan air mata
Beri kepada penari sepi
Kasih – Mu yang abadi
1985
KUTOREH
Kutoreh puisiku
Mencantumkan nama mu
Biar perih syairku
Melukiskan deritamu
O, negeriku
1985
SETELAH KITA
Setelah kita
Siapa lagi akan kesana
Memesan nasi dan sop ayam
Dan lalap kesukaan
Sambil duduk
Minum air jeruk
Air dari ketinggian berdesir
Mengalir ke kolam kecil
Aku suka warna ikan itu, katamu
Aku mengangguk
Aku suka percikan air gunung itu, kataku
Kubayangkan kau mengangguk
Sambil makan
Dengan rasa nyaman
Kita melihat hijau rumputan
Kita mendengar musik
Gemericik dalam tasik
Dan kilatan ikan
Bagai dalam lukisan
Yang kau goreskan
Masihkah kita
Suatu kali ke sana
Meski dalam usia renta
Melihat gemercik dalam tasik
Dan ikan yang kau goreskan
Dalam lukisan
Jakarta, 17 Februari 1986
AKAR TUA DI MUSEUM
Akar tua rapuh dan terpotong
Disimpan dalam kotak kaca
Disebuah museum tua
Tiba – tiba akar tua itu bergetar
Seperti ingin menjalar
Kedalam hujan renyai
Ke dalam angin membadai
Ia seperti ingin kembali
Memberi hijau pada daun
Warna-warni pada bunga
Dan sosok muda
Pada pohonan
Ia seperti ingin
Mengalahkan angin
Mengalahkan musim
Akar tua rapuh dan terpotong
Disimpan dalam kotak kaca
Disebuah museum tua
Medan, Februari 1986
ADA DOA
Di Sibaganding
Ada batu gamping
Batu coklat
Bergaris putih
Berpercik pijar
Batu keras
Kristal zaman lalu
Air mata nenek moyangku
Di Sihusapi Dolok
Ada pasir debu
Pasir kelabu
Bekas keluh
Semangat berpeluh
Nenek moyangku
Di Tomok
Ada tufa
Batu bersih
Hampir putih
Tergurat peta
Nasip nenek moyangku
Di Deli Tua
Ada andesit
Batu terhimpit
Batu diam
Berwarna kelam
Runcing tajam
Tempat semadi diam
Zikir moyangku
Kepada – Mu
Medan, Februari 1986
Untuk N.A.R.
Kulalui petak sawah yang luas
Padinya hijau melambai padaku
Kulalui kebun kelapa
Tinggi pohonnya
Daun menggapai awan
Lalu turun
Menggapai hatiku
Kulalui desa-desa tua
Desa perjuangan masa lalu
Disana tersenyum ayah bundaku
Lalu kutembus kabut debu
Kutembus juga sejarah gelap masa lalu
Kutembus semua yang menghalangiku
Aku harus bertemu dengan mu
Aku juga sangat rindu padamu
Engkau adalah kekasihku
Engkau adalah
Rumah di bawah langit biru
Disitu menitik kasih Tuhan
Aku terpana
Aku bertanya siapa namamu
Lalu pepohonan, gunung di jauhan
Sungai dan lautan gelombang berseru
Semua berseru
Jabal Ghafur, Jabal Ghafur
Sigli, 25 Januari 1986
SEORANG TUA BERJALAN
Setiap hari ia berjalan
Dijalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Badan sedikit terbungkuk
Langkah satu-satu
Di jalan itu juga
Ada senja
Menyamarkan jalannya
Tapi ada bintang
Terbit menolongnya
Semua tak ia minta
Tapi turun begitu saja
Di jalan itu juga
Ada matahari terik
Meneteskan keringatnya
Tapi ada angin
Meniup tubuhnya
Datang begitu saja
Semua turun begitu saja
Di jalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Di jalan itu juga
Dibawah langit itu juga
Pohon, dedaunan
Tiang listrik, aspal jalanan
Begitu ramah padanya
Kadang seperti menegurnya
Selamat pagi
Atau selamat sore
Atau selamat malam
Oarng tua itu
Melangkah dan melangkah
Di jalan itu juga
Setiap langkah
Ia mengucap Allah
Jakarta, 1986
DI GERBANG KAMPUS ITU
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba berdiri
Di gerbang kampus itu
Ia tengadah ke langit
Lalu menjerit
Suaranya hilang entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari bintang
Jatuh kebumi
Berserakan di bumi
Menjadi syair
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba terengah
Di gerbang kampus itu
Setelah ribuan kilometer berlari
Mencari
Lalu tertunduk
Menangis
Tangisnya kemudina hilang
Entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari batu
Tergulir ke bumi
Menjadi puisi
Yang abadi
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Kemudian pergi
Entah kemana
Di subuh hari
Ketika seorang mahasiswa
Membuka pintu gerbang kampus itu
Ia lihat kertas lusuh
Di sana tertulis
Tuhan, berkahi usaha mulia ini
Jakarta, 1986
SEDEKAH
Tujuh puluh bencana
Mengarah pada kita
Bagai mana menolaknya
Tujuh puluh sakit
Mendera kita
Bagaimana menyembuhkannya
Tujuh puluh pencuri
Mengganyang harta kita
Bagaimana mencegahnya
Tujuh puluh amarah Tuhan
Membakar kita
Bagaimana menghindarkannya
Bahkan membakar nadi kita
Bagaimana memadamkannya
Hampir kita lupa
Untuk itu semua
Ada satu cara
Sedarhana dan bersahaja
Mari kita bersedekah
Sedekah menolak bencana
Menyembuhkan sakit
Mencegah pencuri
Menghapus amarah Tuhan
Sedekah mencipta
Keakraban handai taulan
Sedekah mencipta
Suasana sejuk antara kita
Ia embun pagi
Menetes ke hati
Jakarta, 1985
166 NAMAKU
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan pepohonan dan rimba
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan sungai dan segara
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan besi dan baja
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan langit dan angkasa
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang disirami ibu-bapa
Kuncup bunga
Yang digayuti embun dinihari
Kuncup bunga
Yang diusap mentari pagi
Ya aku bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang ingin mekar
Ingin mengirim wangi sekitar
Jakarta, 1985
TAK ADA LAGI
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan sinar bulan
Yang dingin oleh rindu
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali mendengar rintih angin
Di air danau
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali memandang kuburan tua
Tempat istirahat nenek moyang ku
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali menyaksikan embun turun
Membasuh wajah rakyatku
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan gema doa
Dari orang yang menderita
Doa yang membumbung ke langit
Bersatu dengan awan
Bersatu dengan matahari
Lalu turun kebumi
Mendatangi rumahmu
Memberi salam padamu
Masuk kehatimu
Bicara tentang keadilan
Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Kecuali bekas masa kanak-kanak
Yang tertutup debu
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali melihat bayang sejarah
Perlahan tenggelam
Tak tertulis
Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Selain menyaksikan kasih Mu
Yang terus menyirami bumi
Lho’Seumawe – Takengon, Januari 1986
PESAN
Untuk Radio Rimba Raya
Jangan sampaikan pesan lagi padaku
Karena aku tak dapat lagi menyampaiakan pesan
Jangan kirim pesan lagi padaku
Karena aku tak dapat lagi mengirim pesan
Lihatlah, lidahku telah kelu
Mulut tertutup
Tubuh tinggal bayang
Dulu memang pernah
Bisikmu kusampaikan ke balik gunung
Keseberang lautan ke negeri-negeri jauh
Dulu memang pernah
Detak hatimu
Cita-cita merdeka mu
Kukirim kesetiap hati sahabat-sahabat
Atau musuh-musuhmu
Di desa, di kota, bahwakan di laut dan di rimba
Dulu memang pernah ada
Ucapan merdeka yang kau sampaikan bagai bisik
Kujeritkan sekeras-kerasnya
Hingga bergema menyentuh cakrawala
Bergelegar menjadi guntur
Merobek-robek angkasa
Hingga musuh gentar tak berdaya
Dan sahabat-sahabatmu mendegar ucapan itu
Bangkit
Bangkit, lalu berlawan habis-habisan
Semangatnya telah menjadi baja
Walau di tangan hanya bambu runcing saja
Dulu memang pernah
Saat malam menjelang pagi
Dengan suara menggigil karena dingin
Kusampaikan pesanmu
Tiktok tiktok hallo Sudarsono
Tiktok tiktok hallo Palar
Kirimi kami mentega
Kirimi kami susu
Kirimi kami beras
Kemudian datanglah kiriman
Dan yang datang adalah senjata
Lalu dibagi pada setiap tentara
Lalu mereka menembak musuh
Tepat di jidatnya
Dulu memang pernah
Ketika kita hampir tak punya daya
Ketika suara di pusat negeri ini dibungkam
Kami bangkit menyuarakan nurani bangsa
Hallo dunia
Hallo dunia
Negeri kami masih ada
Negeri kami merdeka
Tapi kini jangan sampaikan pesan lagi padaku
Karena tak dapat lagi kusampaikan pesan apa pun
Lidahku kaku
Mulut tertutup
Tubuh tinggal bayang
Tinggal bayang
Dari ingatanmu pun
Mungkin akan hilang
Takengon, 22 Januari 1986
BEKASMU
Nanti masih dapat kulihat
Bekasmu di pasir itu
Debu dan waktu
Memang ingin menutup masa lalu
Tapi matahari senja
Yang kuning kemerahan itu
Menerangi selalu
Bekasmu
Mungkin aku lupa
Pada perjalanan kita
Tapi debur ombak itu
Selalu berseru
Berseru
Menyebut namamu
Nanti masih dapat kuingat
Bekasmu dipasir itu
Karena pasir pun berbisik padaku
Menuntun arahku
Tapi sekiranya
Pasir pantai lenyap
Matahari hilang cahaya
Ombak kelu
Tetap dapat kuingat bekasmu
Karena telah kusimpan
Dalam kalbu
O bekas yang menggores
Peta jalur hidupku
Banda Aceh, 27 Januari 1986
GERAIKAN RAMBUTMU
Geraikan rambutmu, bidadariku
Geraikan
Lalu seribu bintang menyinari
Sehingga setiap helai tersepuh emas
Cakrawala memerah
Dan laut mabuk rindu
Geraikan rambutmu, bidadariku
Geraikan
Lalu angin malam menciumi
Sehingga setiap helai menyebar wangi
Bumi semerbak
Dan alam tidur dalam mimpi
Geraikan rambutmu, bidadariku
Geraikan
Izinkan disana akan lewat
Debu dosa
Menuju langit
Kemudian dari setiap helai
Menitiklah belai
Kasih tak henti
Mata air abadi
Dunia akan terjaga
Dari lelap lama
Medan, Februari 1986
BISIK
Kupelihara daun
Kusimpan batu
Dalam biliku
Bila ada ketukan di pintu
Mungkin tangan angin
Mungkin tanganmu
Atau mungkin
Tak siapa – siapa
Hanya malam
Tambah kelam
Dan sunyi
Menanti
Kupelihara daun
Kusimpan batu
Dalam biliku
Aku tahu
Jika aku rindu
Disana ku dengar bisikmu
Wahai, bilik ku yang sunyi
Apa dia juga mendengar bisik hati
Ucapan doa untuknya
Dalam syairku yang lara
Prapat – Jakarta, Februari 1986
PERCAKAPAN
Katakan apa yang ingin kau katakan,
Kata pantai pada ombak
Tak ada yang ingin ku katakan,
Jawab ombak
Aku rindu pada kata-katamu sekarang,
Kata pantai
Aku tak ingin berkata-kata sekarang,
Jawab ombak
Langit gelap
Bulan tak ada
Bintang tak ada
Bumi gelap
Ayolah kalau begitu berbisik sajalah
Aku tak mau berbisik
Sunyi sekitar
Daun tak bergetar
Alam terhampar
Dengan sabar
Kalau tak mau berkata- kata
Kalau tak mau berbisik saja
Lalu....
Ombak hanya berkejap
Ombak tak menjawab
Ombak dengan sedap
Mengelus pantai
Meremas pantai
Hingga malam usai
Medan – Jakarta, Februari 1986
KE LAUT
Ia pergi kelaut
Mencari ombak
Mencari kabut
Jutaan helai rambut
Gugur dari angkasa
Dari langit luka
Menerpa wajahnya
Ketika mengaduh
Sebelum rubuh
Jeritnya parau
Ombakpun risau
Menambah gembalau
Kini ia meniti kabut
Membubung bersama kabut
Kelangit yang kalut
Sigli, 31 Januari 1986
CATATAN PADA DAUN
Kau mencatat pada daun
Sebuah pesan
Ketika langit sangat biru
Tanpa awan
Setelah kau pergi
Jauh
Ku baca pesanmu
Lalu kusimpan
Jauh
Dalam diriku
Kini pesan itu
Mengalir dalam darahku
Dan bila aku mati
Ia kusimpan di syair sunyi
Jakarta, Februari 1986
BUNGA
Subuh itu ada yang memetik bunga
Disusunya di gelas kaca
Ditaruhnya di atas meja
Terasa Cezanne tiba
Menegaskan warna
Memberi kesegaran rasa
Yang sudah lama sirna
Jakarta, Februari 1986
MEDAN KOTAKU
Medan
Lemparkan aku kembali
Kelorong-lorong jalan kota mu
Akan kucari bekas kakiku dulu
Yang tertutup debu
Akan kucari tetes keringatku dulu
Yang menyirami bumi mu
Medan
Lemparkan aku kembali
Kerumah-rumah rakyatmu
Akan kucari bayang juluran tanganku
Yang raib oleh waktu
Akan ku cari sapa ku dulu
Yang ditiup angin kelabu
Medan, kotaku
Lemparkan, lalu dekaplah aku
Ke jantungmu
Biar kureguk lagi cinta kasihmu
Kasih yang perih
Menggoreskan derita
Kasih yang salih
Memberiku makna
Medan, Februari 1986
DISEBUAH ISTANA TUA
Sambil menaiki tangga
Kurasa telapak kaki ku
Menyentuh jejekmu dulu
Yang tersimpan pualam putih itu
Ketika berdiri di pintu
Tanganku yang terulur
Terasa dingin
Dingin
Menyentuh jemarimu
Yang disimpan waktu
Memasuki ruang balairung
Ragaku, ragaku yang rindu
Mendekap tubuhmu
O.... sosok sejarah yang pilu
Medan, Februari 1986
PADAMKAN
Bagai suara ibuku
Ia berbisik
Padamkan lampu
Kunci pintu
Lalu tidurlah
Aku lelah
Lalu aku padamkan lampu
Dan ia tidur
Dalam gelap
O tubuh pualam yang lelap
Mataku memandangmu tak berkejap
Engkaulah bidadari
Yang menjauhi dosa
Yang menolongku menghindari dosa
Medan, Februari 1986
LEWAT EMBUN
Lewat embun
Lewat sunyi
Suara azan subuh itu
Menyelinap kamarku
Lewat embun
Lewat sunyi
Air wuduk yang dingin
Membersihkan diriku
Lewat embun
Lewat sunyi
Aku sujud
Sujud
Kepada Mu
Hanya kepada Mu
Takengon – Medan, 1986
MIHRAB TUA
Tubuh tua
Terpupus sudah warna-warna
Tapi kaligrafi ini
Terpatri
O mataku yang buta
Telinga ku yang tuli
Kaligrafi ini
Terpatri
Mengalir dalam sunyi
Zikir dalam sunyi
Ya Rabbi, Ya Rabbi 1986
Sigli, Januari 1986
MENASAH KECIL
Ketika usia semakin menua
Dan hidup disibukkan kota jelaga
Tiba-tiba aku ingin berada
Di desa kecil desaku dulu
Yang ketika masih kanak-kanak
Shalat di atas tikar tua
Dengan dinding sebagian terbuka
Yang aku ingin sekali
Mengambil air wuduk dikali
Kaliku dulu
Airnya jernih selalu
Ya aku ingin sekali
Melekapkan kening ini
Pada tikar lusuh
Pada menasah kecilku
Mendekatkan diri pada - Mu
Dari kota jelaga
Yang keringatan dan terluka
Aku benar-benar ingat padamu
Desa kecil desaku dulu
Menasah kecil menasahku dulu
Tempat mula aku belajar
Membaca dan menghafal alif – Mu
Menasah kecil menasah kekasih
Kini engkau berdiri putih
Dalam cermin yang bersih
Cermin yang salih
BIARLAH
Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Biarlah nyanyianmu kusimpan di sana
Biarlah senyumanmu mengelopak disana
Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Biarlah perihku merintih disana
Biarlah lukaku mengaduh disana
Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Biarlah tarianmu terpahat disana
Biarlah kemudaanmu kemilau disana
Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Tempat doaku mengalir disana
Doa musafir kembara
Yang selalu mencari kasih Nya
DOA UNTUK PENARI SEPI
Tuhan
Telah Kau ciptakan
Tari sunyi
Dengan gerak beku
Musik kelu
Tuhan
Kami antar penari sepi
Kerumahnya yang baru
Beratap langit biru
Ia hamba – Mu
Tuhan
Izinkan kami
Berharap dan meminta
Sambil menitikkan air mata
Beri kepada penari sepi
Kasih – Mu yang abadi
1985
KUTOREH
Kutoreh puisiku
Mencantumkan nama mu
Biar perih syairku
Melukiskan deritamu
O, negeriku
1985
SETELAH KITA
Setelah kita
Siapa lagi akan kesana
Memesan nasi dan sop ayam
Dan lalap kesukaan
Sambil duduk
Minum air jeruk
Air dari ketinggian berdesir
Mengalir ke kolam kecil
Aku suka warna ikan itu, katamu
Aku mengangguk
Aku suka percikan air gunung itu, kataku
Kubayangkan kau mengangguk
Sambil makan
Dengan rasa nyaman
Kita melihat hijau rumputan
Kita mendengar musik
Gemericik dalam tasik
Dan kilatan ikan
Bagai dalam lukisan
Yang kau goreskan
Masihkah kita
Suatu kali ke sana
Meski dalam usia renta
Melihat gemercik dalam tasik
Dan ikan yang kau goreskan
Dalam lukisan
Jakarta, 17 Februari 1986
AKAR TUA DI MUSEUM
Akar tua rapuh dan terpotong
Disimpan dalam kotak kaca
Disebuah museum tua
Tiba – tiba akar tua itu bergetar
Seperti ingin menjalar
Kedalam hujan renyai
Ke dalam angin membadai
Ia seperti ingin kembali
Memberi hijau pada daun
Warna-warni pada bunga
Dan sosok muda
Pada pohonan
Ia seperti ingin
Mengalahkan angin
Mengalahkan musim
Akar tua rapuh dan terpotong
Disimpan dalam kotak kaca
Disebuah museum tua
Medan, Februari 1986
ADA DOA
Di Sibaganding
Ada batu gamping
Batu coklat
Bergaris putih
Berpercik pijar
Batu keras
Kristal zaman lalu
Air mata nenek moyangku
Di Sihusapi Dolok
Ada pasir debu
Pasir kelabu
Bekas keluh
Semangat berpeluh
Nenek moyangku
Di Tomok
Ada tufa
Batu bersih
Hampir putih
Tergurat peta
Nasip nenek moyangku
Di Deli Tua
Ada andesit
Batu terhimpit
Batu diam
Berwarna kelam
Runcing tajam
Tempat semadi diam
Zikir moyangku
Kepada – Mu
Medan, Februari 1986
DALAM MAWAR
WANITA DARI LAMPADANG
Ada seorang wanita dari Lampadang
Rumah dan kampungnya dibakar
Lalu ia menyingkir ke hutan rimba
Ketika remaja
Ia bukan gadis manja
Ringan tangannya
Bergunjing ia tak suka
Tak sombong ia
Tekun belajar agama
Langit bersih
Udara nyaman
Ketika itu
Tiba-tiba pasukan Belanda
Menyulut nyala
Membakar Mesjid Baiturrahman
Api marak tak tertahan
Wanita dari Lampadang itu
Keluar rumah buru-buru
Matanya merah
Menatap kobar api
Lalu menjerit
Wahai rakyat Aceh yang beriman
Lihat sendiri
Rumah suci
Mereka bakar dengan api
Nama Allah
Mereka cemarkan
Masikah kita
Mau jadi budak Belanda ?
Lalu
Semua orang
Keluar rumah
Pedang dan rencong
Dicabut dari sarong
Semua mereka berseru
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Seketika pucuk rumput berdarah
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Kolam-kolam berwarna merah
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Langit berwarna merah
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Orang Belanda
Kohler namanya
Jenderal pangkatnya
Tewas saat itu juga
Wanita dari Lampadang
Menyapu keringat di keningnya
Perlahan tersenyum ia
Melihat Belanda mundur
Surut bertempur
Jakarta, 1985
BANDA ACEH
Yang masih ku ingat tentang dirimu
Adalah pahatan sejarah di batu
Dalam goresan bisu
Yang kuraba dengan rindu
Ujung Bate, 8 Agustus 1986
LAUT SIGLI
Semua keluh kukirim kepadamu
Semua risau kubenam kelaut mu
Rasa kesal dan benci kusampaikan kepadamu
Rasa kawatir dan takut kuceritakan padamu
O, laut Sigli
Semua derita ku tumpahkan kepadamu
Semua rindu kunyanyikan untukmu
Rasa sunyi dan nyeri kukirim padamu
Rasa takluk dan menyerah rubuh kepangkuanmu
O, laut Sigli
Izinkan aku memanggilmu
Ibu
Sigli, 21 Juli 1986
KASUR
Kau rajut daun
Dengan benang kasih
Kau susun pasir
Dengan nada rindu
Menyiapkan kasurku
Untuk tergolek tidur
Dan mimpi
Di sampingmu
Ujung Bate, 1986
KENING BULAN
Kening bulan
Bagai perak berkilau
Bersinar oleh cahaya iman
Yang selalu melekat
Di sajadah
Kening bulan
Bagai perak berkilau
Mendekatlah
Kepada angin kembara
Yang nestapa
Yang mencari
Dan mengembara
Di belantara dunia
Mendekatlah
O kening bulan
Angin kembara
Ingin mengecupnya
Untuk melepas risaunya
Jakarta, 1986
PERJALANAN MALAM
Seperti awan
Menjamah punggung bukit di jauhan
Begitu jemariku
Penuh kasih
Penuh rindu
Sebuah perjalanan malam
Sudah kita lalui
Perjalanan rindu
Antara awan dan bukit
Antara kau dan aku
Jakarta, 1986
BILA KELAK
Wahai
Bila kelak
Kau berangkat
Memetik bunga
Dan menari
Sepanjang jalan raya
Lemparkan aku di pasir
Aku akan tinggal di pasir
Aku akan berumah dipasir
Aku akan tidur di pasir
Aku akan mengutip nyanyianmu di pasir
Aku akan meraba kasihmu di pasir
Di pasir
Rindu kita akan tetap mengalir
Jakarta, 1986
MENCARI JEJAK
Malam itu
Aku
Seperti terlempar
Di kotamu
Aku memang tidak punya apa-apa
Dan tak mencari siapa-siapa
Jendela dan pintu
Telah tertutup untuk ku
Angin dengan leluasa
Merubuhkan tubuhku
Di emper-emper toko
Dan got jalanan
Tapi mimpiku mengalir
Bersama sunyi
Mencari jejakmu
Sampai dini hari
Penayung, 8 Agustus 1986
DI TANGSE
Siapa yang masih mendengar suara
Yang bangkit dari rumput
Siapa yang masih mendengar suara
Yang mengalir dari air
Siapa yang masih mendengar suara
Yang menjerit dari tanah
Dari daun
Dari pohon
Dari duri
Dihutan Tangse ini
Suara serak parau
Suara wanita
Yang berkata
Jangan sentuh aku
Jangan
Meski aku haus
Dan kau tawarkan air minum
Jangan sentuh aku
Meski lukaku menganga
Dan kau ingin membalutnya
Jangan
Jangan sentuh kulitku
Kerena kau kafir
Musuhku
Banda Aceh, 2 Agustus 1986
UNTUK DO KARIM
Pagi ini
Seperti ada yang menitik ke bumi
Barangkali embun
Atau gerimis sunyi
Atau desah syair sepi
Pagi ini
Seperti ada yang bergumam di bumi
Barangkali suaramu
Atau jerit luka
Atau tusukan syairmu
Ke hulu hati
Pagi ini
Seperti terdengar kersik angin
Atau percik keringat bumi
Mengguratkan namamu
Di pualam abadi
Sigli, 20 Juli 1986
SINAR
Tuhan
Aku perlu matahari
Sinar yang kau hamparkan
Bagi umat semesta
Tapi aku perlu juga
Sinar mata kekasih
Sinar mata yang menggorek dosa
Dan menggantinya
Dengan amal dan iman
Lamprik, 9 Agustus 1986
GEMBALAU
Tiba-tiba ada gembalau di hati
Bagai gelombang
Bagai angin
Menderu
Ke daerah tak bertepi
Mungkin ke hatimu yang sunyi
Takengon, 5 Agustus 1986
TANYA
Ku nikmati titik gerimis senja itu
Bagai sinar matamu meyerbu tubuhku
Dan dia bertanya
Dengan bahasa semesta
Kp. Laksana, 4 Agustus 1986
CUKA
Kau bertanya tentang lukaku
Aku bertanya tentang lukamu
Kita saling bertanya
Lalu
Kita saling
Merendam diri dalam cuka
Banda Aceh, 4 Agustus 1986
MATA AIR
Jangan terbangi hutan
Agar mata air terus mengalir
Mata air bagi sawah
Mata air bagi pengembara
Dan kerongkongan yang kering
Jangan ganggu keteduhan
Agar mata air terus mengalir
Mata air bagi syairku
Mata air bagi penyair
Dan pena yang dahaga
O keteduhanmu
Kekasih
Jangan ganggu ia
Dengan nafsu, iri dan dengki
O keteduhanmu
Kekasih
Peliharalah dengan kasih
Dengan doa
Dan iman kepada Nya
Lamprik, 9 Agustus 1986
DIBALIK KACA
Dibalik kaca
Kau berseru
Bulan, bulan
Bulan manis
Tanpa gerimis
Mengapung di rimba Sumatra
Mengapung di Selat Malaka
Dibalik kaca
Kau membaca
Syair purba
Bintang terang
Berkedip cemerlang
Diatas rimba Sumatra
Di atas selat Malaka
Di balik kaca
Mengalir nyanyian bunga
Persembahan perdana
Bagi alam semesta
Jakarta, 1986
RIMBA
Lewat sisa gerimis di kaca
Kita saksikan rimba
Rimba yang tertutup kabut
Dan bukitpun dilingkup senyap
Cipayung, 7 Maret 1986
KITA RINDU
Kita rindu
Keteduhan pohon
Seperti kita rindu
Belai tangan ibu
Saat kita di jepit batu
Batu gelisah itu
Kita rindu
Nyanyian di bawah bulan
Seperti kita rindu
Suara ibu
Berkenan menyapu luka
Luka yang berdarah itu
Rawamangun, 6 Maret 1986
DENGAN SAYAP PUISI
Dengan sayap puisi
Ia terbang
Dari satu negeri
Ke lain negeri
Langit biru
Adalah warna bajunya
Hijau pegunungan
Adalah kesejukan hatinya
Dengan sayap puisi
Ia terbang
Dari bintang
Ke bintang
Memetik bunga cahaya
Lalu ia sebar
Ke taman-taman dunia
Ia titipkan juga
Di gubuk orang yang menderita
Jakarta, 20 Maret 1986
SORE ITU
Sore itu
Kau bernyanyi
Bersama angin
Kau bernyanyi
Bersama ombak
Kau bernyanyi
Bersama daun luruh
Kau bernyanyi
Bersama batu yang diam
Ya sore itu
Kau bernyanyi juga
Bersama syairku
Syair yang akan lahir
Dari kilau sinar matamu
Sinar mata yang menjalin
Baris-baris syairku
Ujung Bate, 8 Agustus 1986
DATANGLAH
Datanglah sakit
Sakit ya sakit
Datanglah pedih
Pedih ya pedih
Hingga sakit
Di mana- mana
Pedih
Dimana-mana
Dalam diriku
Setiap sakit baru
Menimpa sakit yang lama
Bergumullah sakit dengan sakit
Pedih dengan pedih
Seluruh diriku sakit
Seluruh diriku pedih
Hingga
Sakitku lelah
Pedihpun lelah
Kutatap dengan mata cahaya – Mu
Ketika fajar tumbuh
Sakit dan pedih rebah
Ia tidur dalam dagingku
Ia lelap dalam darahku
Kini sakit dan pedih
Menjadi teman akrabku
Ia bagai bintang
Menerangi dan menunjuk arahku
Surabaya – Jakarta, 31 Maret 1986
DIBAWAH HUJAN
Dibawah hujan bagai kapas
Siang itu
Aku mencarimu
Tetapi hanya gerimis
Yang melintas
Ada daun luruh
Membuat hening
Melengkapkan sunyi
Pencarianku
Yogya, 27 Maret 1986
NYANYIAN BUNGA
Aku barangkali
Tak memerlukan pena lagi
Untuk menulis kata
Karena kata
Telah dibawa cahaya
Aku barangkali
Tak memerlukan suara lagi
Untuk menyampaikan
Ucapan
Karena suara
Telah direbut angin
Tapi aku tau
Aku memerlukan
Nyanyian bunga
Mengaliri sukma
Ketika angin dan cahaya
Berbisik
Lalu rebah di pangkuan mu
Adik, sungguh aku memerlukan
Nyanyian bunga
Yang berdendang
Menderu dalam kalbu
Untuk mencatat sunyi
Bumi
Surabaya – Jakarta, 31 Maret 1986
JAWABAN KANCAMARA
Disebuah istana
Seorang puteri jelita
Bertanya
Kepada seorang anak muda
Kancamara
Coba jawab pertanyaan ku ini
Apa yang panas
Terpanas
Di alam ini
Dibanding dengan api ?
Kancamara menjawab
Segera berkata
Yang panas
Terpanas
Di alam ini
Adalah
Amarah di dalam hati
Puteri jelita
Bertanya pula
Apa yang dingin
Paling dingin
Di alam ini ?
Perasaan orang
Yang nyaman
Yang niatnya
Dicapai
Dengan izin Tuhan
Nah ini
Satu lagi
Kata putri
Apa yang disayang
Paling di sayang
Di dunia ini ?
Yang disayang
Paling disayang
Di dunia
Bohong dan dosa
Jakarta, 25 Juni 1986
SEPERTI LEONARDO DA VINCI
Seperti Leonardo da Vinci
Iapun suka berjalan sendiri
Kadang dalam sunyi
Menanyakan bunga
Menanyakan matahari
Seperti Leonardo da Vinci
Ia pun suka mencari
Daun dan batu di kali
Kadang bernyanyi
Bersama bintang
Hingga pagi
Kadang bertanya
Ke mana raibnya
Cahaya demi cahaya
Seperti Leonardo da Vinci
Ia ingin
Mengekalkan semua ini
Dalam goresan abadi
Jakarta, 5 Maret 1986
KESAMUDRA
Pejamkan matamu
Lalu saksikan
Jejak kita
Di pucuk ombak
Heningkan sekitarmu
Lalu tangkap
Kata-kata kita
Di angin lewat
Sepikan dirimu
Lalu dengar
Detak rindu kita
Di nadi yang bergetar
Jejak
Kata-kata
Dan detak rindu kita
Mengapung di sungai kasih
Mengalir kesamudra kasih
Samudra yang putih
Kasih yang bersih
Danau Toba, 8 Pebruari 1986
BATU PUTIH
Kepala perempuan dari batu putih itu
Mengangguk pada kita
Apa ini maknanya
Kemudian menggeleng
Apa pula ini maksudnya
Lalu ia diam
Apalagi ini artinya
O bahasa isyarat
Yang sarat makna
Hamba dungu
Beri petunjuk Mu
Sono Budoyo, Yogya, 27 Maret 1986
SUNYI
Sore itu gerimis lagi
Rumah dan pepohonan
Disaput sunyi
Cipayung, 7 Maret 1986
HA... HA...
Ha... ha...
Lalu bunga mengelopak di taman
Lalu seribu pucuk bergetaran
Ha... ha...
Lalu bintang berkedipan
Lalu seribu cahaya berkilauan
Ha... ha...
Lalu suara merdu dialunkan
Lalu seribu nyanyian didendangkan
Ha... ha...
Lalu laut bergelora
Lalu seribu debur membahana
Ha... ha...
Lalu alis degerakkan
Lalu seribu isyarat dibangunkan
Ha... ha...
Lalu nafsu birahi dimatikan
Lalu kasih sejati dihidupkan
Ha... ha...
Menglir bunga rindu
Mengalir bunga kasih
Ha... ha...
Hening sungai rindu
Hening sungai kasih
Jakarta, 1 Maret 1986
OMBAK
Ombak samudra
Semakin deras menerpa
Tebing sukma
Ombak berpeluh
Datang dari jauh
Dalam pagi ku
Dalam siangku
Dalam malam ku
Ia terus berlagu
Nyanyian sendu
Cahaya Mu
Memberi sinar
Pada ombak
Dan ombakmu
Memberi sinar
Pada sukmaku
Hingga diriku
Penuh dengan
Binar rindu
Entah
Kapan segalanya akan reda
Tapi ombak samudra
Dan tebing
Memang sedang bercanda
Jakarta, 27 Februari 1986
KUNANG – KUNANG
Selaksa kunang – kunang
Menerangi kelam
Selaksa kunang – kunang
Menerangi hatiku
Terima kasih Tuhanku
Cipayung, 8 Maret 1986
DALAM MAWAR
Tak Lagi
Kutiup suling sedih
Bila sedih
Datang
Ku peras saja
Air mata
Lalu kusiram bunga
Air mataku
Akan mendaki
Akar mawar
Mendaki pohon
Cabang dan bunga
Dengan sabar
Sedihku kini
Mengalir dalam wangi
Wangi mawar
Jakarta, 8 April 1986
SUARA DARI GUNUNG
Untuk Pak Bus
Inilah suara daun
Inilah suara ranting
Inilah suara rimba
Yang mengalun
Menyusur lembah
Menyusur pantai
Menembus kabut
Menembus kelam
Kelam yang kelam
Suara yang ingin bersuara
Suara bersahaja
Suara rakyat jelata
Yang ingin bersuara
Suara dari gunung
Yang bertahun-tahun terlindung
Kini mendengung
Mengaliri belantara
Menempuh samudra
Bergetar dicakrawala
Suara bersahaja
Suara rakyat jelata
Bukan sekedar
Menyampaikan derita
Tapi juga ingin mengulurkan
Salam bahagia
Salam suka
Karena suara gunung
Terdengar juga
Di kota
Bahkan bergetar
Dihati bapak
Takengon, 26 February 1987
DEBU
Berjalanlah puisi
Menyusuri darahku
Dengan kaki ajaibmu
Ketuk pintu-pintu
Dan bangunkan
Debu dalam diriku
Km Rinjani, 27 November 1986
MEMBUMBUNG
Daun sudah kering
Tak apa
Catatanmu
Sudah ku pindah
Dalam kalbu
Dan bila kalbu kering
Tak apa
Catatanmu
Sudah kupindah
Ke dalam arwahku
Ia membumbung
Kelangit biru
Langit sunyi
Langit abadi
Km Rinjani, 29 November 1986
K.A. KITA
K.a. kita
Kereta tak beroda
Tapi kencang larinya
Ia juga tanpa mesin
Tapi terbang mendesing
Menuju cakrawala
Yang tanpa batas
Sebuah maya cinta
K.A. Bima, 31 Maret 1986
DALAM KABUT SAMAR
Biarlah aku tak dikenal
Orang ramai
Biarlah aku tinggal
Dalam kabut samar
Kabut rahasia
Tapi bagimu
Reguklah air jernih itu
Dari mata air
Yang selalu mengalir
Biarlah aku tak di kenal
Tapi kau tentu hafal
Siapa mata air itu
Dan itu sudah cukup bagiku
Jakarta, 11 September 1986
TAK ADA LAMBAIAN
Hari ini
Tak ada lambaian untukku
Pelabuhan sepi dan kelabu
Tak ada senyum
Kuntum bunga
Dan tak ada
Desah angin lirih
Tanda bersedih
Dimana tersimpan
Semua itu
Saat aku
Sangat ingin
Menyaksikan lambaian
Melihat senyum bunga
Dan mendengar desah
Angin sedih dan basah
Dimana tersimpan
Semua itu
Pegunungan dan pepohonan
Di jauhan
Hanya terpaku bisu
Blang Bintang, 9 September 1986
KALAU ENGKAU
Kalau engkau datang lagi
Aku punya teman lagi
Tapi kalau engkau pergi jauh
Aku punya teman pergi jauh
Kalau engkau pergi ke awan
Aku punya teman pergi ke awan
Kalau engkau pergi memetik bintang
Aku punya teman pergi memetik bintang
Kalau engkau pergi ke laut biru
Aku punya teman pergi ke laut biru
Kalau engkau manari di pucuk ombak
Aku punya teman menari di pucuk ombak
Kalau engkau bernyanyi di pantai
Aku punya teman bernyanyi di pantai
Kalau engkau menggores rindu di pasir
Aku punya teman menggores rindu dipasir
Kalau engkau datang lagi
Aku punya teman datang lagi
Tapi kalau engkau pergi
Aku tak punya teman lagi
Aku
Tak punya
Teman
Lagi
Langit
Bumi
Jadi sunyi
Jakarta, Agustus 1986
KUTEMANI KAU
Ku temani kau melangkah
Ke padang kembara
Ke hutan sunyi tak terduga
Kutemani kau menempuh malam
Mencari bintang gemintang
Kutemani kau menempuh siang
Menyaksikan lembah dan pegunungan
Ku temani kau mendengar
Nyanyian sungai
Suara merdu diantara deru batu
Kutemani kau berjalan dipantai
Ketika ombak
Mengeluh berderai
Kutemani kau menunggu senja hari
Saat kau menggoreskan
Duka dalam puisi
Masihkah kau berkata
Kasihku padamu
Kecil saja
Banda Aceh – Jakarta, awal September 1986
NASEHAT KEPADA DIRI SENDIRI
Tadah tetes – tetes kesepian
Ke dalam cawan
Lalu dengan tenang
Tatap berjuta ombak
Yang gelisah bergerak
Mendaki sepi
Kemudian minum
Air kesepian
Dari cawan
Biarkan ia mengalir
Ke dalam diri
Tanjung Perak, 28 November 1986
MENGEPAK
Kelopak bunga menggelegar
Di pinggir padang hijau
Di jauhan gunung mendayu
Dalam nyanyian rindu
Dan burung itu mengepak
Dalam gugusan yang panjang
Burung itu
Mengepak
Dalam barisan
Yang panjang
Dau jauh
Tak mengeluh
1986
NYANYIAN LHO SEUDU
Lembut ombak di Lho Seudu
Menjamah pantai satu-satu
Ramah ombak di Lho Seudu
Memberi salam padamu dan padaku
Semilir angin di Lho Seudu
Mengusap wajahmu dan wajahku
Hijau daun di Lho Seudu
Menyimpan gairahmu dan gairahku
Terjal karang di Lho Seudu
Menahan risaumu dan risauku
Putih pasir di Lho Seudu
Mengutip kasihmu dan kasihku
Biru laut di Lho Seudu
Membenamkan gelisahmu dan gelisahku
Teduh langit di Lho Seudu
Melindungi perjalananmu dan perjalananku
Diam batu di Lho Seudu
Menyimpan rahasiamu dan rahasiaku
Lho Seudu-Banda Aceh, 28 Agustus 1986
KELOPAK BIRU
Di gumpal awan
Kutulis namamu
Dan ku tulis juga
Syair cinta
Nanti bila
Awan turun
Bumi di siram kasih
Bunga akan menyimpan
Namamu
Dan sebuah syair cinta
Tergores dikelopak biru
Yang kutulis untukmu
Jakarta – Banda Aceh, 25 Agustus 1986
CATATAN MURID SD DI SEBUAH KOTA KECIL
Inilah catatanku
Catatan murid SD
Di sebuah desa kecil
Yang jauh terpencil
Lewat buku
Yang berdebu
Aku tahu
Tentang sebuah desa
Dipinggir kota
Dibangun bersama – sama
Pejabat dan rakyat jelata
Yang kaya
Memberikan harta
Yang miskin
Menitikkan keringatnya
Bersama-sama
Mendirikan
Sebuah taman pendidikan
Lewat lembar yang berdebu
Yang ku buka satu-satu
Kubaca
Pikiran yang jernih
Niat yang tulus
Dari orang-orang pintar
Membangun
Sebuah taman pendidikan
Lewat lembar yang lepas
Kerena kurang bagus jilidnya
Kubaca
Sejumlah nama
Yang dapat kuhafal satu-satu
Nama yang melekat
Di kepalaku
Sebagai nama
Pohon-pohon dikebunku
Nama yang terus tumbuh
Nama orang yang berjasa
Nama yang tak bisa kulupakan
Kuukir dibatu sebisaku
Lalu kususun di bukit
Di desaku
Bukit itu seperti biasa
Selalu kena cahaya
Dan letaknya bangus
Setiap orang kekali
Orang akan memandangnya
Aku akan bangga
Bila orang desaku
Menyenangi ukiranku
Dan lebih bangga
Bila mereka tahu
Siapa nama yang ku ukir itu
Inilah catatanku
Catatan seorang murid SD
Di desa kecil
Yang belum pernah sempat
Berkunjung
Ke taman pendidikan
Yang kubaca
Dalam buku itu
Tapi aku tahu
Betapa jernih
Ia dalam benakku
Dan kupahat namamu
Dalam hatiku
Kadang-kadang sesekali
Mengalir dalam gumam
Darussalam, Darussalam
Gumamku di bawa angin
Sehingga gunung dan lembah
Menggemakan suara
Darussalam, Darussalam
Gumamku di bawa air
Lewat kali mengalir
Dan memercik suara
Darussalam, Darussalam
Gumamaku direbut awan
Yang terbang kelangit
Disana ia menjerit
Darussalam, Darussalam
Banda Aceh, 31 Agustus 1986
DISEBUAH KOTA INDUSTRI SUATU PAGI
Tiga orang lelaki desa
Tiba pada sebuah kota industri
Mata mereka membesar
Ketika melihat akar
Bukan yang mengokohkan pohonan
Tapi akar baja
Yang mengokohkan bangunan
Mata mereka silau
Bukan oleh sinar fajar
Tapi silau oleh sinar lampu pijar
Karena telah diguncang Bus
Tepat jam 10.30 malam
Mereka tidur
Dibaraknya
Barak nomor dua
Mereka lelap
Meski kota industri itu panas
Tapi alangkah nyaman rasanya
Dibarak nomor dua ini
Udara dingin sekali
Udara tehnologi
Pagi hari
Seperti di desa mereka yang dingin
Lelaki itu bangun
Mandi, berwuduk
Lalu sholat subuh
Udara tehnologi
Terus menyirami
Dalam bercakap-cakap
Tentang tempat tidur
Yang lembut dari busa
Dan tentang air yang muncrat
Dari pipa
Pagi jam tujuh
Setelah subuh
Tiga lelaki desa itu
Berjalan dan berjalan
Sepuluh menit kemudian
Dengan rasa aman
Mereka tiba
Di depan ruang makan
Tapi alangkah sepi
Ruang makan ini
Meja-meja korsi-korsi
Memang ada
Tapi tamu tak ada
Seorang pun tak ada
Ketika seseorang melintas
Di tengah ruang
Lewat kaca
Seorang lelaki
Dari desa itu
Bertanya
Mengapa pintu itu ditutup
Dan apa makanan tak ada
( Semua pertanyaan dilakukan dengan bahasa isyarat )
Orang yang ditanya
Menggoyang-goyangkan tangannya
Mungkin artinya
Sudah habis
Sudah tak ada
Sudah tutup
Tetapi lelaki dari desa itu
Tetap ingin masuk
Lalu pintu di buka
Dan terdengar suara
Sudah tak ada apa – apa
Air panas pun tak ada?
Tak ada semua sudah dingin.
Tak apa dingin pun tak apa
Lalu ketiga lelaki desa
Minum sekedarnya
Lalu permisi
Pada sepi
Lalu mereka berjalan
Dan berjalan
Dilorong-lorong kota industri
Dengan perut tak jadi di isi
Lalu mereka berjalan
Dan berjalan
Dilorong-lorong kota industri
Dengan sanubari terisi
Ketika bersua dengan rumput
Rumput yang hijau
Mereka seperti berkata
Dalam hati
Kita puasa hari ini
Lhok Seumawe, 20 Februari 1987
KRUENG DAROY
Untuk IH
Bila mendesir
Krueng daroy
Membangunkan tidurmu
Subuh itu
Bangunlah
Itulah suara kami
Rakyatmu
Yang selalu berseru
Memuja Tuhan
Bila berkilau
Krueng daroy
Sore itu
Tersenyumlah
Itulah senandung hati kami
Rakyatmu
Yang ingin hidup aman
Dan tentram
Bila berdendang
Krueng daroy
Menghibur hati
Malam itu
Sujudlah
Itulah doa kami
Rakyatmu
Yang hidup dalam iman
Dan memuja Tuhan
Krueng daroy
Krueng daroy
Kami bersyukur
Bersyukur dalam tafakur
Krueng daroy
Krueng daroy
Bila lelap nanti
Bangunkan kami
Dengan desirmu
Desir mengalir
Bersama azan subuh dinihari
Untuk memuji Illahi Rabbi
Jakarta, 17 Agustus 1986
UNTUK TGK CHIK PANTE KULU
Tak kutahu
Dimana akan kubaca namamu
Dipapan tak ada
Dibatu tak ada
Di tanah tak ada
Dirumput tak ada
Tak kutahu
Dimana akan kutulis namamu
Pohon tak ada
Angin tak ada
Awan tak ada
Tapi ketika kuambil air wuduk
Dengan tubuh terbungkuk
Hati bergetar
Memberi kabar
Namamu tertulis disini
Di hati
Darussalam, Banda Aceh, 8 September 1986
DOA SEHELAI DAUN
Bila saatnya tiba
Beri aku angin
Menggugurkan diri
Ke bumi
Aku akan tidur
Dalam kelopak dunia
Yang mekar
Oleh senyum kekasih hamba
1986
AKU TIBA-TIBA RINDU
Selesai shalat Isa
Dalam pelayaran ini
Aku tiba – tiba rindu
Pada ibu
Apakah ibu
Sedang berlayar juga
Di alam baqa
Serta masih
Sempat menjagaku
Seperti masa kanak dulu
Laut Jawa, 20 November 1986
BINTANG – BINTANG
Di langit bintang – bintang
Teratur berjalan
Sambil berjalan
Ia kirim sinar
Kepada kegelapan
Aku ingin
Seperti bintang
Teratur berjalan
Dan mengirim sinar
Kepada kegelapan
Tapi aku hanya debu
Setitik debu
Tak punya sinar
Tapi aku
Tak sekedar debu
Tak sekedar setitik debu
Kalau aku mau
Dengan redha – Mu
Aku bisa jadi bintang
Menerangi hatiku
Untuk memberi sinar
Pada kegelapan
Jakarta, 7 November 1986
DOA UNTUK CAMAR KECIL
Camar kecil
Terbang menggigil
Dalam mega
Menempuh badai
Beri dia
Bulu yang hangat
Oleh kasih – Mu
Beri dia
Sayap yang kuat
Oleh Redha – Mu
Beri dia
Hati yang terang
Oleh sinar – Mu
Jakarta, 8 April 1986
KARANGAN BUNGA
Sambil tertawa
Disusunnya bunga
Menjadi karangan bunga
Sambil tersenyum
Dijualnya karangan bunga
Lalu dibawa orang ke kubur
Untuk menemani si mati
Dalam sunyi
Menemui engkau, Ya Robbi
Jakarta, 2 Desember 1986
PERJALANAN SUBUH
Hari masih subuh
Subuh benar – benar subuh
Ketika kami mencari mesjid
Untuk sholat subuh
Dalam perjalanan
Di tengah embun
Di tepi jalan kami berhenti
Sebuah lampu templok
Bersinar lemah
Menerangi ruang yang luas
Dalam mesjid
Si sebuah sudut
Dalam samar
Dalam sunyi subuh
Suara seorang hamba
Terdengar bergetar
Melafazkan ayat-ayat Mu
Dijauhan terdengar
Kokok ayam bergetar
Melafazkan ayat-ayat Mu
Air pancuran mengalir
Mendesir
Melafazkan ayat-ayat Mu
Hari masih subuh
Subuh benar – benar subuh
Embun kasih Mu
Mengalir kehutan – hutan
Ke pucuk pohonan
Mengalir ke kubah mesjid
Menyusup keruang luas
Dan sajadah sejuk oleh kasih Mu
Dan cahaya lampu menggeliat
Oleh kasih Mu
Meski penat
Ia terus menggeliat
Melafazkan ayat-ayat Mu
Takengon, 8 Januari 1987
DOA SEORANG PENDAKWAH PROFESIONAL
Tuhan
Hamba adalah seorang pendakwah profesional
Memang hamba lahir di kampung
Besar di kampung
Lalu bedakwah di kampung
Gambar hamba tak pernah tersiar
Di surat kabar
Hamba ini
Tak pernah muncul di TVRI
Tapi hamba tetap pendakwah profesional
Karena syarat untuk itu hamba penuhi
Hamba rajin membaca tentang agama
Dan tak lupa membaca tentang budaya
Termasuk sastra
Hamba faham pikiran Ghazali
Iqbal, Hamzah Fansuri, Ar-Raniri
A. Hasimy hingga Latief Rousdy
Hamba menguasai materi
Dan tahu kepada siapa dakwah di beri
Hamba fasih
Berkata-kata
Suara hamba merdu
Sering orang terpesona
Kalau hamba bicara
Orang banyak memuji
Pada diri hamba ini
Tuhan
Kadang kala datang rasa aneh
Rasa bangga
Ingin tepuk tangan
Ingin pujian
Inikah perasaan yang hamba pupuk
Bisa – bisa ini menjadikan
Kesombangan
Wah, ini celaka
Hamba tahu
Hamba hanya sebutir debu
Karena iu hamba malu
Hamba sangat malu
Tuhan
Beri hamba
Ketetapan hati
Untuk tetap rendah hati
Lhok Seumawe, 9 Januari 1987
SEORANG SAHABAT DI PINGGIR DANAU
Seorang sahabat datang
Datang dari negeri jauh
Dalam keringat yang berpeluh
Matanya menatap danau
Ia berkata-kata dengan danau
Ia berbicara dengan orang-orang berpeci
Di pinggir danau
Ia berbicara dengan orang – orang berkerudung
Di pinggir danau
Ia berbisik dengan ombak danau
Ia bersihkan diri dengan air danau
Kemudian
Ia sujud diatas batu di pinggir danau
Lama ia sujud
Kemudian
Tubuhnya bergoncang
Matanya basah
Ia tengadah
Mengucap Allah
Takengon – Jakarta, November 1986
AZAN
Azan itu
Diucapkan ombak laut
Dengan gumam
Gumam yang dalam
Azan itu
Kuucapkan dengan rindu
Rindu yang dalam
Kepada Mu
Laut Jawa, 28 November 1986
SHALATKU
Shalatku
Bagai mawar
Bunga dalam taman
Memberi kesejukan
Dan menyebar wangi
Dalam ladang kehidupan
Shalatku
Bagai pisau
Kuasah berkilau
Semakin tajam
Untuk menikam
Dosa – dosaku
Shalatku
Bagai titi
Kujalin dalam sunyi
Jembatan kepada Mu
Ya Robbi
Jakarta, 5 November 1986
Ada seorang wanita dari Lampadang
Rumah dan kampungnya dibakar
Lalu ia menyingkir ke hutan rimba
Ketika remaja
Ia bukan gadis manja
Ringan tangannya
Bergunjing ia tak suka
Tak sombong ia
Tekun belajar agama
Langit bersih
Udara nyaman
Ketika itu
Tiba-tiba pasukan Belanda
Menyulut nyala
Membakar Mesjid Baiturrahman
Api marak tak tertahan
Wanita dari Lampadang itu
Keluar rumah buru-buru
Matanya merah
Menatap kobar api
Lalu menjerit
Wahai rakyat Aceh yang beriman
Lihat sendiri
Rumah suci
Mereka bakar dengan api
Nama Allah
Mereka cemarkan
Masikah kita
Mau jadi budak Belanda ?
Lalu
Semua orang
Keluar rumah
Pedang dan rencong
Dicabut dari sarong
Semua mereka berseru
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Seketika pucuk rumput berdarah
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Kolam-kolam berwarna merah
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Langit berwarna merah
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Orang Belanda
Kohler namanya
Jenderal pangkatnya
Tewas saat itu juga
Wanita dari Lampadang
Menyapu keringat di keningnya
Perlahan tersenyum ia
Melihat Belanda mundur
Surut bertempur
Jakarta, 1985
BANDA ACEH
Yang masih ku ingat tentang dirimu
Adalah pahatan sejarah di batu
Dalam goresan bisu
Yang kuraba dengan rindu
Ujung Bate, 8 Agustus 1986
LAUT SIGLI
Semua keluh kukirim kepadamu
Semua risau kubenam kelaut mu
Rasa kesal dan benci kusampaikan kepadamu
Rasa kawatir dan takut kuceritakan padamu
O, laut Sigli
Semua derita ku tumpahkan kepadamu
Semua rindu kunyanyikan untukmu
Rasa sunyi dan nyeri kukirim padamu
Rasa takluk dan menyerah rubuh kepangkuanmu
O, laut Sigli
Izinkan aku memanggilmu
Ibu
Sigli, 21 Juli 1986
KASUR
Kau rajut daun
Dengan benang kasih
Kau susun pasir
Dengan nada rindu
Menyiapkan kasurku
Untuk tergolek tidur
Dan mimpi
Di sampingmu
Ujung Bate, 1986
KENING BULAN
Kening bulan
Bagai perak berkilau
Bersinar oleh cahaya iman
Yang selalu melekat
Di sajadah
Kening bulan
Bagai perak berkilau
Mendekatlah
Kepada angin kembara
Yang nestapa
Yang mencari
Dan mengembara
Di belantara dunia
Mendekatlah
O kening bulan
Angin kembara
Ingin mengecupnya
Untuk melepas risaunya
Jakarta, 1986
PERJALANAN MALAM
Seperti awan
Menjamah punggung bukit di jauhan
Begitu jemariku
Penuh kasih
Penuh rindu
Sebuah perjalanan malam
Sudah kita lalui
Perjalanan rindu
Antara awan dan bukit
Antara kau dan aku
Jakarta, 1986
BILA KELAK
Wahai
Bila kelak
Kau berangkat
Memetik bunga
Dan menari
Sepanjang jalan raya
Lemparkan aku di pasir
Aku akan tinggal di pasir
Aku akan berumah dipasir
Aku akan tidur di pasir
Aku akan mengutip nyanyianmu di pasir
Aku akan meraba kasihmu di pasir
Di pasir
Rindu kita akan tetap mengalir
Jakarta, 1986
MENCARI JEJAK
Malam itu
Aku
Seperti terlempar
Di kotamu
Aku memang tidak punya apa-apa
Dan tak mencari siapa-siapa
Jendela dan pintu
Telah tertutup untuk ku
Angin dengan leluasa
Merubuhkan tubuhku
Di emper-emper toko
Dan got jalanan
Tapi mimpiku mengalir
Bersama sunyi
Mencari jejakmu
Sampai dini hari
Penayung, 8 Agustus 1986
DI TANGSE
Siapa yang masih mendengar suara
Yang bangkit dari rumput
Siapa yang masih mendengar suara
Yang mengalir dari air
Siapa yang masih mendengar suara
Yang menjerit dari tanah
Dari daun
Dari pohon
Dari duri
Dihutan Tangse ini
Suara serak parau
Suara wanita
Yang berkata
Jangan sentuh aku
Jangan
Meski aku haus
Dan kau tawarkan air minum
Jangan sentuh aku
Meski lukaku menganga
Dan kau ingin membalutnya
Jangan
Jangan sentuh kulitku
Kerena kau kafir
Musuhku
Banda Aceh, 2 Agustus 1986
UNTUK DO KARIM
Pagi ini
Seperti ada yang menitik ke bumi
Barangkali embun
Atau gerimis sunyi
Atau desah syair sepi
Pagi ini
Seperti ada yang bergumam di bumi
Barangkali suaramu
Atau jerit luka
Atau tusukan syairmu
Ke hulu hati
Pagi ini
Seperti terdengar kersik angin
Atau percik keringat bumi
Mengguratkan namamu
Di pualam abadi
Sigli, 20 Juli 1986
SINAR
Tuhan
Aku perlu matahari
Sinar yang kau hamparkan
Bagi umat semesta
Tapi aku perlu juga
Sinar mata kekasih
Sinar mata yang menggorek dosa
Dan menggantinya
Dengan amal dan iman
Lamprik, 9 Agustus 1986
GEMBALAU
Tiba-tiba ada gembalau di hati
Bagai gelombang
Bagai angin
Menderu
Ke daerah tak bertepi
Mungkin ke hatimu yang sunyi
Takengon, 5 Agustus 1986
TANYA
Ku nikmati titik gerimis senja itu
Bagai sinar matamu meyerbu tubuhku
Dan dia bertanya
Dengan bahasa semesta
Kp. Laksana, 4 Agustus 1986
CUKA
Kau bertanya tentang lukaku
Aku bertanya tentang lukamu
Kita saling bertanya
Lalu
Kita saling
Merendam diri dalam cuka
Banda Aceh, 4 Agustus 1986
MATA AIR
Jangan terbangi hutan
Agar mata air terus mengalir
Mata air bagi sawah
Mata air bagi pengembara
Dan kerongkongan yang kering
Jangan ganggu keteduhan
Agar mata air terus mengalir
Mata air bagi syairku
Mata air bagi penyair
Dan pena yang dahaga
O keteduhanmu
Kekasih
Jangan ganggu ia
Dengan nafsu, iri dan dengki
O keteduhanmu
Kekasih
Peliharalah dengan kasih
Dengan doa
Dan iman kepada Nya
Lamprik, 9 Agustus 1986
DIBALIK KACA
Dibalik kaca
Kau berseru
Bulan, bulan
Bulan manis
Tanpa gerimis
Mengapung di rimba Sumatra
Mengapung di Selat Malaka
Dibalik kaca
Kau membaca
Syair purba
Bintang terang
Berkedip cemerlang
Diatas rimba Sumatra
Di atas selat Malaka
Di balik kaca
Mengalir nyanyian bunga
Persembahan perdana
Bagi alam semesta
Jakarta, 1986
RIMBA
Lewat sisa gerimis di kaca
Kita saksikan rimba
Rimba yang tertutup kabut
Dan bukitpun dilingkup senyap
Cipayung, 7 Maret 1986
KITA RINDU
Kita rindu
Keteduhan pohon
Seperti kita rindu
Belai tangan ibu
Saat kita di jepit batu
Batu gelisah itu
Kita rindu
Nyanyian di bawah bulan
Seperti kita rindu
Suara ibu
Berkenan menyapu luka
Luka yang berdarah itu
Rawamangun, 6 Maret 1986
DENGAN SAYAP PUISI
Dengan sayap puisi
Ia terbang
Dari satu negeri
Ke lain negeri
Langit biru
Adalah warna bajunya
Hijau pegunungan
Adalah kesejukan hatinya
Dengan sayap puisi
Ia terbang
Dari bintang
Ke bintang
Memetik bunga cahaya
Lalu ia sebar
Ke taman-taman dunia
Ia titipkan juga
Di gubuk orang yang menderita
Jakarta, 20 Maret 1986
SORE ITU
Sore itu
Kau bernyanyi
Bersama angin
Kau bernyanyi
Bersama ombak
Kau bernyanyi
Bersama daun luruh
Kau bernyanyi
Bersama batu yang diam
Ya sore itu
Kau bernyanyi juga
Bersama syairku
Syair yang akan lahir
Dari kilau sinar matamu
Sinar mata yang menjalin
Baris-baris syairku
Ujung Bate, 8 Agustus 1986
DATANGLAH
Datanglah sakit
Sakit ya sakit
Datanglah pedih
Pedih ya pedih
Hingga sakit
Di mana- mana
Pedih
Dimana-mana
Dalam diriku
Setiap sakit baru
Menimpa sakit yang lama
Bergumullah sakit dengan sakit
Pedih dengan pedih
Seluruh diriku sakit
Seluruh diriku pedih
Hingga
Sakitku lelah
Pedihpun lelah
Kutatap dengan mata cahaya – Mu
Ketika fajar tumbuh
Sakit dan pedih rebah
Ia tidur dalam dagingku
Ia lelap dalam darahku
Kini sakit dan pedih
Menjadi teman akrabku
Ia bagai bintang
Menerangi dan menunjuk arahku
Surabaya – Jakarta, 31 Maret 1986
DIBAWAH HUJAN
Dibawah hujan bagai kapas
Siang itu
Aku mencarimu
Tetapi hanya gerimis
Yang melintas
Ada daun luruh
Membuat hening
Melengkapkan sunyi
Pencarianku
Yogya, 27 Maret 1986
NYANYIAN BUNGA
Aku barangkali
Tak memerlukan pena lagi
Untuk menulis kata
Karena kata
Telah dibawa cahaya
Aku barangkali
Tak memerlukan suara lagi
Untuk menyampaikan
Ucapan
Karena suara
Telah direbut angin
Tapi aku tau
Aku memerlukan
Nyanyian bunga
Mengaliri sukma
Ketika angin dan cahaya
Berbisik
Lalu rebah di pangkuan mu
Adik, sungguh aku memerlukan
Nyanyian bunga
Yang berdendang
Menderu dalam kalbu
Untuk mencatat sunyi
Bumi
Surabaya – Jakarta, 31 Maret 1986
JAWABAN KANCAMARA
Disebuah istana
Seorang puteri jelita
Bertanya
Kepada seorang anak muda
Kancamara
Coba jawab pertanyaan ku ini
Apa yang panas
Terpanas
Di alam ini
Dibanding dengan api ?
Kancamara menjawab
Segera berkata
Yang panas
Terpanas
Di alam ini
Adalah
Amarah di dalam hati
Puteri jelita
Bertanya pula
Apa yang dingin
Paling dingin
Di alam ini ?
Perasaan orang
Yang nyaman
Yang niatnya
Dicapai
Dengan izin Tuhan
Nah ini
Satu lagi
Kata putri
Apa yang disayang
Paling di sayang
Di dunia ini ?
Yang disayang
Paling disayang
Di dunia
Bohong dan dosa
Jakarta, 25 Juni 1986
SEPERTI LEONARDO DA VINCI
Seperti Leonardo da Vinci
Iapun suka berjalan sendiri
Kadang dalam sunyi
Menanyakan bunga
Menanyakan matahari
Seperti Leonardo da Vinci
Ia pun suka mencari
Daun dan batu di kali
Kadang bernyanyi
Bersama bintang
Hingga pagi
Kadang bertanya
Ke mana raibnya
Cahaya demi cahaya
Seperti Leonardo da Vinci
Ia ingin
Mengekalkan semua ini
Dalam goresan abadi
Jakarta, 5 Maret 1986
KESAMUDRA
Pejamkan matamu
Lalu saksikan
Jejak kita
Di pucuk ombak
Heningkan sekitarmu
Lalu tangkap
Kata-kata kita
Di angin lewat
Sepikan dirimu
Lalu dengar
Detak rindu kita
Di nadi yang bergetar
Jejak
Kata-kata
Dan detak rindu kita
Mengapung di sungai kasih
Mengalir kesamudra kasih
Samudra yang putih
Kasih yang bersih
Danau Toba, 8 Pebruari 1986
BATU PUTIH
Kepala perempuan dari batu putih itu
Mengangguk pada kita
Apa ini maknanya
Kemudian menggeleng
Apa pula ini maksudnya
Lalu ia diam
Apalagi ini artinya
O bahasa isyarat
Yang sarat makna
Hamba dungu
Beri petunjuk Mu
Sono Budoyo, Yogya, 27 Maret 1986
SUNYI
Sore itu gerimis lagi
Rumah dan pepohonan
Disaput sunyi
Cipayung, 7 Maret 1986
HA... HA...
Ha... ha...
Lalu bunga mengelopak di taman
Lalu seribu pucuk bergetaran
Ha... ha...
Lalu bintang berkedipan
Lalu seribu cahaya berkilauan
Ha... ha...
Lalu suara merdu dialunkan
Lalu seribu nyanyian didendangkan
Ha... ha...
Lalu laut bergelora
Lalu seribu debur membahana
Ha... ha...
Lalu alis degerakkan
Lalu seribu isyarat dibangunkan
Ha... ha...
Lalu nafsu birahi dimatikan
Lalu kasih sejati dihidupkan
Ha... ha...
Menglir bunga rindu
Mengalir bunga kasih
Ha... ha...
Hening sungai rindu
Hening sungai kasih
Jakarta, 1 Maret 1986
OMBAK
Ombak samudra
Semakin deras menerpa
Tebing sukma
Ombak berpeluh
Datang dari jauh
Dalam pagi ku
Dalam siangku
Dalam malam ku
Ia terus berlagu
Nyanyian sendu
Cahaya Mu
Memberi sinar
Pada ombak
Dan ombakmu
Memberi sinar
Pada sukmaku
Hingga diriku
Penuh dengan
Binar rindu
Entah
Kapan segalanya akan reda
Tapi ombak samudra
Dan tebing
Memang sedang bercanda
Jakarta, 27 Februari 1986
KUNANG – KUNANG
Selaksa kunang – kunang
Menerangi kelam
Selaksa kunang – kunang
Menerangi hatiku
Terima kasih Tuhanku
Cipayung, 8 Maret 1986
DALAM MAWAR
Tak Lagi
Kutiup suling sedih
Bila sedih
Datang
Ku peras saja
Air mata
Lalu kusiram bunga
Air mataku
Akan mendaki
Akar mawar
Mendaki pohon
Cabang dan bunga
Dengan sabar
Sedihku kini
Mengalir dalam wangi
Wangi mawar
Jakarta, 8 April 1986
SUARA DARI GUNUNG
Untuk Pak Bus
Inilah suara daun
Inilah suara ranting
Inilah suara rimba
Yang mengalun
Menyusur lembah
Menyusur pantai
Menembus kabut
Menembus kelam
Kelam yang kelam
Suara yang ingin bersuara
Suara bersahaja
Suara rakyat jelata
Yang ingin bersuara
Suara dari gunung
Yang bertahun-tahun terlindung
Kini mendengung
Mengaliri belantara
Menempuh samudra
Bergetar dicakrawala
Suara bersahaja
Suara rakyat jelata
Bukan sekedar
Menyampaikan derita
Tapi juga ingin mengulurkan
Salam bahagia
Salam suka
Karena suara gunung
Terdengar juga
Di kota
Bahkan bergetar
Dihati bapak
Takengon, 26 February 1987
DEBU
Berjalanlah puisi
Menyusuri darahku
Dengan kaki ajaibmu
Ketuk pintu-pintu
Dan bangunkan
Debu dalam diriku
Km Rinjani, 27 November 1986
MEMBUMBUNG
Daun sudah kering
Tak apa
Catatanmu
Sudah ku pindah
Dalam kalbu
Dan bila kalbu kering
Tak apa
Catatanmu
Sudah kupindah
Ke dalam arwahku
Ia membumbung
Kelangit biru
Langit sunyi
Langit abadi
Km Rinjani, 29 November 1986
K.A. KITA
K.a. kita
Kereta tak beroda
Tapi kencang larinya
Ia juga tanpa mesin
Tapi terbang mendesing
Menuju cakrawala
Yang tanpa batas
Sebuah maya cinta
K.A. Bima, 31 Maret 1986
DALAM KABUT SAMAR
Biarlah aku tak dikenal
Orang ramai
Biarlah aku tinggal
Dalam kabut samar
Kabut rahasia
Tapi bagimu
Reguklah air jernih itu
Dari mata air
Yang selalu mengalir
Biarlah aku tak di kenal
Tapi kau tentu hafal
Siapa mata air itu
Dan itu sudah cukup bagiku
Jakarta, 11 September 1986
TAK ADA LAMBAIAN
Hari ini
Tak ada lambaian untukku
Pelabuhan sepi dan kelabu
Tak ada senyum
Kuntum bunga
Dan tak ada
Desah angin lirih
Tanda bersedih
Dimana tersimpan
Semua itu
Saat aku
Sangat ingin
Menyaksikan lambaian
Melihat senyum bunga
Dan mendengar desah
Angin sedih dan basah
Dimana tersimpan
Semua itu
Pegunungan dan pepohonan
Di jauhan
Hanya terpaku bisu
Blang Bintang, 9 September 1986
KALAU ENGKAU
Kalau engkau datang lagi
Aku punya teman lagi
Tapi kalau engkau pergi jauh
Aku punya teman pergi jauh
Kalau engkau pergi ke awan
Aku punya teman pergi ke awan
Kalau engkau pergi memetik bintang
Aku punya teman pergi memetik bintang
Kalau engkau pergi ke laut biru
Aku punya teman pergi ke laut biru
Kalau engkau manari di pucuk ombak
Aku punya teman menari di pucuk ombak
Kalau engkau bernyanyi di pantai
Aku punya teman bernyanyi di pantai
Kalau engkau menggores rindu di pasir
Aku punya teman menggores rindu dipasir
Kalau engkau datang lagi
Aku punya teman datang lagi
Tapi kalau engkau pergi
Aku tak punya teman lagi
Aku
Tak punya
Teman
Lagi
Langit
Bumi
Jadi sunyi
Jakarta, Agustus 1986
KUTEMANI KAU
Ku temani kau melangkah
Ke padang kembara
Ke hutan sunyi tak terduga
Kutemani kau menempuh malam
Mencari bintang gemintang
Kutemani kau menempuh siang
Menyaksikan lembah dan pegunungan
Ku temani kau mendengar
Nyanyian sungai
Suara merdu diantara deru batu
Kutemani kau berjalan dipantai
Ketika ombak
Mengeluh berderai
Kutemani kau menunggu senja hari
Saat kau menggoreskan
Duka dalam puisi
Masihkah kau berkata
Kasihku padamu
Kecil saja
Banda Aceh – Jakarta, awal September 1986
NASEHAT KEPADA DIRI SENDIRI
Tadah tetes – tetes kesepian
Ke dalam cawan
Lalu dengan tenang
Tatap berjuta ombak
Yang gelisah bergerak
Mendaki sepi
Kemudian minum
Air kesepian
Dari cawan
Biarkan ia mengalir
Ke dalam diri
Tanjung Perak, 28 November 1986
MENGEPAK
Kelopak bunga menggelegar
Di pinggir padang hijau
Di jauhan gunung mendayu
Dalam nyanyian rindu
Dan burung itu mengepak
Dalam gugusan yang panjang
Burung itu
Mengepak
Dalam barisan
Yang panjang
Dau jauh
Tak mengeluh
1986
NYANYIAN LHO SEUDU
Lembut ombak di Lho Seudu
Menjamah pantai satu-satu
Ramah ombak di Lho Seudu
Memberi salam padamu dan padaku
Semilir angin di Lho Seudu
Mengusap wajahmu dan wajahku
Hijau daun di Lho Seudu
Menyimpan gairahmu dan gairahku
Terjal karang di Lho Seudu
Menahan risaumu dan risauku
Putih pasir di Lho Seudu
Mengutip kasihmu dan kasihku
Biru laut di Lho Seudu
Membenamkan gelisahmu dan gelisahku
Teduh langit di Lho Seudu
Melindungi perjalananmu dan perjalananku
Diam batu di Lho Seudu
Menyimpan rahasiamu dan rahasiaku
Lho Seudu-Banda Aceh, 28 Agustus 1986
KELOPAK BIRU
Di gumpal awan
Kutulis namamu
Dan ku tulis juga
Syair cinta
Nanti bila
Awan turun
Bumi di siram kasih
Bunga akan menyimpan
Namamu
Dan sebuah syair cinta
Tergores dikelopak biru
Yang kutulis untukmu
Jakarta – Banda Aceh, 25 Agustus 1986
CATATAN MURID SD DI SEBUAH KOTA KECIL
Inilah catatanku
Catatan murid SD
Di sebuah desa kecil
Yang jauh terpencil
Lewat buku
Yang berdebu
Aku tahu
Tentang sebuah desa
Dipinggir kota
Dibangun bersama – sama
Pejabat dan rakyat jelata
Yang kaya
Memberikan harta
Yang miskin
Menitikkan keringatnya
Bersama-sama
Mendirikan
Sebuah taman pendidikan
Lewat lembar yang berdebu
Yang ku buka satu-satu
Kubaca
Pikiran yang jernih
Niat yang tulus
Dari orang-orang pintar
Membangun
Sebuah taman pendidikan
Lewat lembar yang lepas
Kerena kurang bagus jilidnya
Kubaca
Sejumlah nama
Yang dapat kuhafal satu-satu
Nama yang melekat
Di kepalaku
Sebagai nama
Pohon-pohon dikebunku
Nama yang terus tumbuh
Nama orang yang berjasa
Nama yang tak bisa kulupakan
Kuukir dibatu sebisaku
Lalu kususun di bukit
Di desaku
Bukit itu seperti biasa
Selalu kena cahaya
Dan letaknya bangus
Setiap orang kekali
Orang akan memandangnya
Aku akan bangga
Bila orang desaku
Menyenangi ukiranku
Dan lebih bangga
Bila mereka tahu
Siapa nama yang ku ukir itu
Inilah catatanku
Catatan seorang murid SD
Di desa kecil
Yang belum pernah sempat
Berkunjung
Ke taman pendidikan
Yang kubaca
Dalam buku itu
Tapi aku tahu
Betapa jernih
Ia dalam benakku
Dan kupahat namamu
Dalam hatiku
Kadang-kadang sesekali
Mengalir dalam gumam
Darussalam, Darussalam
Gumamku di bawa angin
Sehingga gunung dan lembah
Menggemakan suara
Darussalam, Darussalam
Gumamku di bawa air
Lewat kali mengalir
Dan memercik suara
Darussalam, Darussalam
Gumamaku direbut awan
Yang terbang kelangit
Disana ia menjerit
Darussalam, Darussalam
Banda Aceh, 31 Agustus 1986
DISEBUAH KOTA INDUSTRI SUATU PAGI
Tiga orang lelaki desa
Tiba pada sebuah kota industri
Mata mereka membesar
Ketika melihat akar
Bukan yang mengokohkan pohonan
Tapi akar baja
Yang mengokohkan bangunan
Mata mereka silau
Bukan oleh sinar fajar
Tapi silau oleh sinar lampu pijar
Karena telah diguncang Bus
Tepat jam 10.30 malam
Mereka tidur
Dibaraknya
Barak nomor dua
Mereka lelap
Meski kota industri itu panas
Tapi alangkah nyaman rasanya
Dibarak nomor dua ini
Udara dingin sekali
Udara tehnologi
Pagi hari
Seperti di desa mereka yang dingin
Lelaki itu bangun
Mandi, berwuduk
Lalu sholat subuh
Udara tehnologi
Terus menyirami
Dalam bercakap-cakap
Tentang tempat tidur
Yang lembut dari busa
Dan tentang air yang muncrat
Dari pipa
Pagi jam tujuh
Setelah subuh
Tiga lelaki desa itu
Berjalan dan berjalan
Sepuluh menit kemudian
Dengan rasa aman
Mereka tiba
Di depan ruang makan
Tapi alangkah sepi
Ruang makan ini
Meja-meja korsi-korsi
Memang ada
Tapi tamu tak ada
Seorang pun tak ada
Ketika seseorang melintas
Di tengah ruang
Lewat kaca
Seorang lelaki
Dari desa itu
Bertanya
Mengapa pintu itu ditutup
Dan apa makanan tak ada
( Semua pertanyaan dilakukan dengan bahasa isyarat )
Orang yang ditanya
Menggoyang-goyangkan tangannya
Mungkin artinya
Sudah habis
Sudah tak ada
Sudah tutup
Tetapi lelaki dari desa itu
Tetap ingin masuk
Lalu pintu di buka
Dan terdengar suara
Sudah tak ada apa – apa
Air panas pun tak ada?
Tak ada semua sudah dingin.
Tak apa dingin pun tak apa
Lalu ketiga lelaki desa
Minum sekedarnya
Lalu permisi
Pada sepi
Lalu mereka berjalan
Dan berjalan
Dilorong-lorong kota industri
Dengan perut tak jadi di isi
Lalu mereka berjalan
Dan berjalan
Dilorong-lorong kota industri
Dengan sanubari terisi
Ketika bersua dengan rumput
Rumput yang hijau
Mereka seperti berkata
Dalam hati
Kita puasa hari ini
Lhok Seumawe, 20 Februari 1987
KRUENG DAROY
Untuk IH
Bila mendesir
Krueng daroy
Membangunkan tidurmu
Subuh itu
Bangunlah
Itulah suara kami
Rakyatmu
Yang selalu berseru
Memuja Tuhan
Bila berkilau
Krueng daroy
Sore itu
Tersenyumlah
Itulah senandung hati kami
Rakyatmu
Yang ingin hidup aman
Dan tentram
Bila berdendang
Krueng daroy
Menghibur hati
Malam itu
Sujudlah
Itulah doa kami
Rakyatmu
Yang hidup dalam iman
Dan memuja Tuhan
Krueng daroy
Krueng daroy
Kami bersyukur
Bersyukur dalam tafakur
Krueng daroy
Krueng daroy
Bila lelap nanti
Bangunkan kami
Dengan desirmu
Desir mengalir
Bersama azan subuh dinihari
Untuk memuji Illahi Rabbi
Jakarta, 17 Agustus 1986
UNTUK TGK CHIK PANTE KULU
Tak kutahu
Dimana akan kubaca namamu
Dipapan tak ada
Dibatu tak ada
Di tanah tak ada
Dirumput tak ada
Tak kutahu
Dimana akan kutulis namamu
Pohon tak ada
Angin tak ada
Awan tak ada
Tapi ketika kuambil air wuduk
Dengan tubuh terbungkuk
Hati bergetar
Memberi kabar
Namamu tertulis disini
Di hati
Darussalam, Banda Aceh, 8 September 1986
DOA SEHELAI DAUN
Bila saatnya tiba
Beri aku angin
Menggugurkan diri
Ke bumi
Aku akan tidur
Dalam kelopak dunia
Yang mekar
Oleh senyum kekasih hamba
1986
AKU TIBA-TIBA RINDU
Selesai shalat Isa
Dalam pelayaran ini
Aku tiba – tiba rindu
Pada ibu
Apakah ibu
Sedang berlayar juga
Di alam baqa
Serta masih
Sempat menjagaku
Seperti masa kanak dulu
Laut Jawa, 20 November 1986
BINTANG – BINTANG
Di langit bintang – bintang
Teratur berjalan
Sambil berjalan
Ia kirim sinar
Kepada kegelapan
Aku ingin
Seperti bintang
Teratur berjalan
Dan mengirim sinar
Kepada kegelapan
Tapi aku hanya debu
Setitik debu
Tak punya sinar
Tapi aku
Tak sekedar debu
Tak sekedar setitik debu
Kalau aku mau
Dengan redha – Mu
Aku bisa jadi bintang
Menerangi hatiku
Untuk memberi sinar
Pada kegelapan
Jakarta, 7 November 1986
DOA UNTUK CAMAR KECIL
Camar kecil
Terbang menggigil
Dalam mega
Menempuh badai
Beri dia
Bulu yang hangat
Oleh kasih – Mu
Beri dia
Sayap yang kuat
Oleh Redha – Mu
Beri dia
Hati yang terang
Oleh sinar – Mu
Jakarta, 8 April 1986
KARANGAN BUNGA
Sambil tertawa
Disusunnya bunga
Menjadi karangan bunga
Sambil tersenyum
Dijualnya karangan bunga
Lalu dibawa orang ke kubur
Untuk menemani si mati
Dalam sunyi
Menemui engkau, Ya Robbi
Jakarta, 2 Desember 1986
PERJALANAN SUBUH
Hari masih subuh
Subuh benar – benar subuh
Ketika kami mencari mesjid
Untuk sholat subuh
Dalam perjalanan
Di tengah embun
Di tepi jalan kami berhenti
Sebuah lampu templok
Bersinar lemah
Menerangi ruang yang luas
Dalam mesjid
Si sebuah sudut
Dalam samar
Dalam sunyi subuh
Suara seorang hamba
Terdengar bergetar
Melafazkan ayat-ayat Mu
Dijauhan terdengar
Kokok ayam bergetar
Melafazkan ayat-ayat Mu
Air pancuran mengalir
Mendesir
Melafazkan ayat-ayat Mu
Hari masih subuh
Subuh benar – benar subuh
Embun kasih Mu
Mengalir kehutan – hutan
Ke pucuk pohonan
Mengalir ke kubah mesjid
Menyusup keruang luas
Dan sajadah sejuk oleh kasih Mu
Dan cahaya lampu menggeliat
Oleh kasih Mu
Meski penat
Ia terus menggeliat
Melafazkan ayat-ayat Mu
Takengon, 8 Januari 1987
DOA SEORANG PENDAKWAH PROFESIONAL
Tuhan
Hamba adalah seorang pendakwah profesional
Memang hamba lahir di kampung
Besar di kampung
Lalu bedakwah di kampung
Gambar hamba tak pernah tersiar
Di surat kabar
Hamba ini
Tak pernah muncul di TVRI
Tapi hamba tetap pendakwah profesional
Karena syarat untuk itu hamba penuhi
Hamba rajin membaca tentang agama
Dan tak lupa membaca tentang budaya
Termasuk sastra
Hamba faham pikiran Ghazali
Iqbal, Hamzah Fansuri, Ar-Raniri
A. Hasimy hingga Latief Rousdy
Hamba menguasai materi
Dan tahu kepada siapa dakwah di beri
Hamba fasih
Berkata-kata
Suara hamba merdu
Sering orang terpesona
Kalau hamba bicara
Orang banyak memuji
Pada diri hamba ini
Tuhan
Kadang kala datang rasa aneh
Rasa bangga
Ingin tepuk tangan
Ingin pujian
Inikah perasaan yang hamba pupuk
Bisa – bisa ini menjadikan
Kesombangan
Wah, ini celaka
Hamba tahu
Hamba hanya sebutir debu
Karena iu hamba malu
Hamba sangat malu
Tuhan
Beri hamba
Ketetapan hati
Untuk tetap rendah hati
Lhok Seumawe, 9 Januari 1987
SEORANG SAHABAT DI PINGGIR DANAU
Seorang sahabat datang
Datang dari negeri jauh
Dalam keringat yang berpeluh
Matanya menatap danau
Ia berkata-kata dengan danau
Ia berbicara dengan orang-orang berpeci
Di pinggir danau
Ia berbicara dengan orang – orang berkerudung
Di pinggir danau
Ia berbisik dengan ombak danau
Ia bersihkan diri dengan air danau
Kemudian
Ia sujud diatas batu di pinggir danau
Lama ia sujud
Kemudian
Tubuhnya bergoncang
Matanya basah
Ia tengadah
Mengucap Allah
Takengon – Jakarta, November 1986
AZAN
Azan itu
Diucapkan ombak laut
Dengan gumam
Gumam yang dalam
Azan itu
Kuucapkan dengan rindu
Rindu yang dalam
Kepada Mu
Laut Jawa, 28 November 1986
SHALATKU
Shalatku
Bagai mawar
Bunga dalam taman
Memberi kesejukan
Dan menyebar wangi
Dalam ladang kehidupan
Shalatku
Bagai pisau
Kuasah berkilau
Semakin tajam
Untuk menikam
Dosa – dosaku
Shalatku
Bagai titi
Kujalin dalam sunyi
Jembatan kepada Mu
Ya Robbi
Jakarta, 5 November 1986
Label:
DALAM MAWAR (Kumpulan puisi)
Langganan:
Postingan (Atom)