Senin, 01 Maret 2010

BIOGRAFI L. K. ARA

L.K.Ara, lahir di Takengon, Aceh, 12 November 1937. Pernah menjadi redaktur budaya Harian Mimbar Umum (Medan), Pegawai Sekretariat Negara, terakhir bekerja di Balai Puataka hingga pensiun (1963-1985). Bersama K. Usman, Rusman Setiasumarga dan M. Taslim Ali, mendirikan Teater Balai Pustaka (1967). Memperkenalkan penyair Tradisional Gayo, To’et, mentas di kota-kota besar Indonesia. Menulis puisi, cerita anak-anak dan artikel seni dan sastra. Dipublikasikan di Koran dan majalah di Indonesia, Malaysia dan Brunai.

Karyanya yang sudah terbit antara lain: Angin Laut Tawar (Balai Pustaka, 1969), Namaku Bunga (Balai Pustaka, 1980), Kur Lak Lak (Balai Pustaka, 1982), Pohon Pohon Sahabat Kita (Balai Pustaka, 1984) Catatan Pada Daun (BP, 1986), Dalam Mawar (BP, 1988), Perjalanan Arafah (1994), Si Karmin jadi Ulama , Cerita Rakyat dari Aceh I, (Grasindo, 1995), Cerita Rakyat Aceh II, (Grasindo, 1995), Seulawah: Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas (ed. YN, 1995), Belajar Berpuisi (Syaamil Bandung), Berkenalan Dengan Sastrawan Indonesia dari Aceh (l997), Aceh Dalam Puisi (ed. Syaamil, 2003), Langit Senja Negeri Timah (YN 2004), Pangkal Pinang Berpantun (ed. DKKP, YN, 2004), Pantun Melayu Bangka Selatan (ed. YN, 2004), Pucuk Pauh (ed YN 2004) Syair Tsunami (Balai Pustaka 2006), Puisi Didong Gayo (Balai Pustaka 2006), Tanoh Gayo Dalam Puisi ( YMA, 2006), Kemilau Bener Meriah (YMA, 2006), Ekspressi Puitis Aceh Menghadapi Musibah (BRR 2006), Sastra Aceh (Pena, 2008), Antologi Syair Gayo (Pena, 2008), Ensiklopedi Aceh I (ed YMAJ, 2008), Malim Dewa dan Cerita Lainnya (ed. YMAJ, 2009), Ensiklopedi Aceh II (ed. YMAJ, 2009).

Puisinya dapat juga ditemukan dalam: Tonggak, (1995), Horison Sastra Indonesia 1 (2002), dan Sajadah Kata (Syaamil, 2003).

Perjalanan : Menunaikan ibadah haji ke Mekkah (1993), Mengikuti Kongres Bahasa Melayu Dunia, Kuala Lumpur (1995), Pertemuan Sastrawan Nusantara IX di Kayutanam, Sumatera Barat (1997), Pertemuan Dunia Melayu Dunia Islam, Pangkalpinang, Bangka (2003), Pertemuan Dunia Melayu Islam, Malaka, Malaysia (2004).Mengikuti Festival Kesenian Nasional (Sastra Nusantara) di Mataram NTB (2007), Kongres Bahasa Indonesia di Jakarta (2008), Seminar Perpustakaan di Bandung (2009).

Penghargaan: Memperoleh Hadiah Seni dari Pemda Aceh (2009).

PUISI L.K. ARA

TIANG PANCANG SUATU HARI

Angin perlahan berjalan
Di sela tiang pancang
Di antara orang-orang
Yang duduk diatas rumputan

Seseorang bangkit
Menengadah kelangit
Bagai meniru angin
Perlahan melangkah
Ke atas tiang pancang
Memandang kesekitar
Lalu mulutnya bergetar
Di sini dulu tokoh negeri ini
Menghimpun para dermawan
Mengharapkan uluran tangan
Untuk membeli pesawat terbang
Lalu para dermawan memberikan
Barang berharga emas dan berlian
Kemudian dibelilah pesawat terbang
Yang menjadi modal utama
Bagi kepentingan Negara

Angin perlahan berjalan
Disela tiang pancang
Seperti membuka lembaran sejarah
Yang tertutup oleh debu dan sampah

Orang-orang mulai berjalan
Melangkah dan meloncat ketiang pancang
Ada bersuara keras sambil mengacungkan tangan
Ada yang bersuara lembut seperti bergumam
Ada pula yang menggerakkan tubuh
Kaki dan tangan ia mainkan
Ada yang menatap ke lubang tiang pancang
Terkejut melihat wajah kotor
Dalam air bagai cerminan
Seorang wanita berdiri dan merapat ketiang pancang
Lalu penyemburkan kata
Seperti mengucapkan mantera
Tiang pancang gemetar jatuh berhamburan

Angin perlahan berjalan
Disela tiang pancang
Menitipkan pesan
Sejarah jangan hapuskan

Banda Aceh, 22 Maret 2009



NYANYIAN ELANG

Kulik …kulik…kulik
Kemana perginya reranting dan dedaunan
Kemana lenyapnya pepohonan di hutan-hutan
Kemana raibnya warna kehijau-hijauan

Kulik …kulik…kulik
Tangan siapa yang demikian perkasa
Membuat gunung-gunung gundul
Dan padang-padang jadi gersang
Hati siapa yang demikian keras
Sehingga tempat kami bermain pun dirampas
Bahkan sarang tempat kami berteduh ikut ditumpas

Kulik…kulik…kulik
Jika suaraku kini terdengar parau
Bukan risau
Karena tempatku bermain hilang
Dan sarang tempat tinggal terbuang
Bukan
Tapi hatiku galau
Melihat air bah di sungai
Menderu menerjang kampung
Menghilangkan harta dan nyawa
Yang seharusnya dipelihara manusia
Karena mereka berakal
Tapi
Mereka mungkin lupa
Pada pesan nenek moyang
Yang sudah lama berkembang
Yang tersimpan dibuku tua
Yang lusuh lembar-lembarnya
Yang tak pernah lagi dibuka
Orang dikatakan berbudi
Kalau merusak alam ia jauhi
Orang dikatakan ingat anak cucu
Kalau merusak alam ia merasa malu
Orang dikatakan ingat hari kemudian
Kalau ia menjaga laut dan hutan

Kini setelah rusak alam lingkungan
Telah datang segala kemalangan
Musibah silih bergantian
Celaka melanda tak berkesudahan
Alampun telah porak poranda
Menumbuhkan silang sengketa
Dan anak cucu akan hidup merana
Salah siapa?
Aku tidak tahu

Kulik … kulik…kulik
Suaraku kini agak bergetar
Melihat orang orang mulai menanam pohon dengan sabar

Banda Aceh, 1 Januari 2010

Sumber Serambi Indonesia
31 Januari 2010, 09:38


MALIO NAMAKU

Malio namaku
Ya begitulah orang memanggilku, Malio
Kalau sedikit dipanjangkan jadi Malio Adnan
Ketika tinggal di Medan
Orang pernah memanggilku Mas Trio Malio Adnan
Ketika di Banda Aceh seorang ibu bersuara merdu
Menyanyikan namaku Lio…Lio
Meski baru kenal seperti ibu itu tahu
Aku pernah tinggal di panti asuhan
Sejak kecil hingga remaja berdiam dipanti asuhan
Dan sejak dipanti asuhan itulah
Aku yang sendiri
Merasa tidak sendiri
Aku diasuh bersama teman yang yatim dan piatu
Aku merasa ramai
Masa kanak yang permai
Aku terkadang mengukir kayu untuk mainan
Masa kanak yang damai
Terkadang menyusun batu membuat lingkaran

Kini semua tinggal kenangan
Kini aku tinggal di kampung di pedalaman
Di Arul Relem, Silih Nara sebuah kecamatan
Berteman desau angin di pepohonan
Atau hamparan bebatu di tepi sungai berkilauan

Suatu kali datanglah masa sulit
Orang katakan masa konflik
Angin tak lagi kurasakan membawa kesejukan
Malam purnama tak lagi membawa keindahan
Karena menjelang malam pintu rumah segera ditutup
Dan bila terdengar ketekun, jantung cepat berdegup
Tak lagi beraturan
Dada sesak mata membelalak
Hati bertanya siapa gerangan
Suara biasa yang memanggil
Atau bentakan yang membuat tubuh menggigil
Masa itu masa konflik
Hidup bagai tercekik
Orang takut ke kebun atau sawah
Takut keluar rumah
Mencari nafkah
Takut hilang dijalanan
Karena bisa lenyap hampir tanpa sebab

Gumpalan cuaca hitampun bergetar
Hingga datang masa damai
Udara cerah alampun permai
Wajah-wajah mulai ceria
Akupun meneruskan kesukaan masa kanakku
Menyusun batu dan mengukir kayu
Begitulah suatu hari disebuah kebun
Ada tunggul kayu terkapar
Aku terpikat karena bentuknya memukau
“Sudah empat puluh tahun yang lalu ditebang”,
Kata yang punya kebun
“Usia pohon itu mungkin sekitar seratus tahun
Kami ingin membakarnya
Tapi kalau mau silakan ambil saja”.

Begitulah tunggul terkapar mulai kami gali
Berhari hari kami menggali
Lumayan dalam
Namun seperti ada sesuatu yang terpendam
Tersimpan di akar kayu yang terbenam
Apakah goresan warkah nenek moyangku
Atau tetesan air mata duka menjadi beku
Atau guratan pikiran jernih tertutup debu

Dan ketika cahaya bertemu akar
Nampak seluruh wujud bergetar
Aku menjadi kelu
Dengan bahasa apa kubaca isyaratmu
Mungkin sebuah kesedihan
Yang ditutupi keindahan

Hingga suatu hari
Aku melanjutkan kebiasaan masa kecilku
Kutata akar kayu itu
Hingga muncul bunga
Bunga mekar di seluruh tubuh akar itu
Puluhan bunga ratusan bunga
Jutaan bunga
Seperti berkata
Terimalah kami dihatimu
Hiruplah semerbak wangi dari kuntum mekar
Dan anakku, anakku rasakan udara damai

Akar itu kini berbentuk korsi
Kuberi nama korsi perdamaian
Begitu saja nama itu mengalir dari hatiku
Lalu bergetar dibibirku
Korsi perdamaian
Hanya itulah karyaku
Ditengah orang membuat karya yang banyak
Sangat banyak bertumpuk-tumpuk
Puluhan kilo bahkan ratusan kilogram
Berbentuk surat (sebagian mungkin proposal)
Kepada pemegang tampuk negeri
Dan aku
Biarlah karyaku yang satu ini
Kayu limbah yang kutata dengan jari
Kusampaikan kepada pemegang tampuk negeri
Yang telah menjaga perdamaian negeri ini

Banda Aceh, 9 Juli 2009


SAMPAI KE IDUL FITRI

Ya Allah
Inilah sujudku di bulan ramadhan
Kening menyentuh sajadah
Sahalat malam yang nyaman
Oleh angin yang Kau turunkan

Ya Allah
Inilah air mata rindu di bulan ramadhan
Mengalir untukMu
Saat masjid diserbu kelam
Saat alam mulai diam

Ya Allah
Inilah sujudku di bulan ramadhan
Sujud seorang hamba
Yang ngembara di bumi Mu
Membawa beban beribu keluh
Ingin merlindung pada Mu
Mohon ampun pada Mu
Di bulan penuh ampunan

Ya Allah
Bagai besi dibakar
Lalu ditempa
Begitulah aku terbakar
Menempa diri
Untuk sampai ke idulfitri

Aceh, 2007


DOA ANAK YANG KEHILANGAN MESJID

Ya Allah
Aku tak lagi dapat merebahkan diri
Tersungkur di altarmu
Untuk shalat dan berdoa kepada Mu

Ya Allah
Masuk kerumah Mu saja
Aku sudah tak bisa
Bukan karena aku malas
Atau kaki sedang lemas
Tapi karena rumah Mu sudah tak ada
Aku kehilangan ya Allah

Sebagai anak yatim
Kedamaian di hati telah kutemukan
Saat aku mengadu kepada Mu
Dan Kau menerimanya
Rinduku pada orang tua
Pupus saat air mata tumpah di altar Mu
Dan Kau membelai rambutku

Ya Allah
Kemana lagi kucari rumah Mu
Aku benar-benar kehilangan
Ratusan temanku juga merasa kehilangan
Saat magrib biasanya kami shalat berjamaah
Dan belajar bersama memuja Mu
Dan berihtiar bersama mengabdi kepada Mu

Ya Allah
Ingin rasanya serempak kami bertanya
Mengapa rumah Mu dihilangkan dari lingkungan kami
Apakah karena ketika shalat kami kurang khusuk
Atau karena ada orang berhati busuk
Yang semena-mena menjual rumah Tuhan
Demi mengeruk keuntungan

Ya Allah
Kami tidak tahu
Kau lah yang tahu
Dan untuk kami yang baru belajar merindukan Mu
Dirikanlah mesjid kecil dalam diri kami satu-satu

Bna, 8 Maret 2009


LEKUK GUNUNG

Lekuk gunung-gunung itu
Seperti lekuk puisiku
Melukiskan kesunyian
Menanti kedatangmu

Rimbun pohon-pohon itu
Seperti rimbun hijau puisiku
Tersenyum melambai kepadamu
Dalam riang yang lama terpendam
Kini akan bertemu
Dengan mata terpejam

Sabang, 10 Januari 2010


HUTAN SABANG

Hutan Sabang
Hutan kerinduan
Hijau dedaunan memberi kesejukan
Hutan digunung memberi kedamaian

Hutan Sabang
Hutan kerinduan
Jangan ada yang merusak rimba larangan
Biarkan burung-burung membuat sarang
Hidup riang diselingi nyanyian

Hutan Sabang
Hutan cinta
Tempat margasatwa bercengkrama
Tempat angin menyanyikan lagu
Tempat laut menyampaikan rindu
Tempat penyair menyejukkan kalbu

Sabang, 13 Januari 2010


BAGAI DUA JARI

Bagai dua jari
Begitulah dekatnya kita kelak
Bila engkau mengasihi anak yatim
Meluangkan waktu untuknya
Membelai rambutnya
Membendung air matanya
Saat kesedihan akan mengucur dari tubuhnya

Bagai dua jari
Begitulah setaranya kita kelak
Bila engkau beri seteguk air minum buat si yatim
Menyanyikan kegembiraan untuknya
Melipur gundah didadanya
Saat ia gelisah menerawang mencari ayah

Bagaimana mungkin kita bagai dua jari
Pada satu saat kelak
Bila engkau membiarkan anak yatim
Bahkan haknya kau rebut
Dan kehendakmu kau peturut
Kau pancing air mata
Kesedihan yang menggumpal didada

Dan kehendakmu itu
Nafsu serakahmu itu
Masih kau pelihara juga
Dan untuk itu sandaraku
Tak usah khawatir
Akan mengalir
Rasa sangsai
Bagai sungai
Mengilingi tubuhmu
Menusuk-nusuk dagingmu
Menyerang urat sarafmu
Sehingga kau berkata
Racun apa yang masuk kemulutku
Sedang engkau sedang melahap
Juadah yang serba enak

Bagaimana mungkin kita bagai dua jari
Suatu saat kelak di akhirat
Sedang hak anak yatim kau gasak

Banda Aceh, 8 Mei 2009


MEREKA USIR AKU

Mereka usir aku dari pesta itu
Dan aku pun pergi menyendiri
Ke mushola sepi
Dekat kuburan Sultan Iskandar Muda yang sunyi
Mereka benar
Mungkin karena pakaianku lusuh
Aromanya pun bau peluh

Mereka mungkin salah pilih
Ketika mengundangku ke pesta itu
Tempat orang-orang arif dan berilmu

Mereka usir aku dari pesta itu
Dengan kata sederhana
Ternyata anda tak terpilih
Disini tempat orang-orang terpilih

Di musola sunyi
Akupun menginsafi diri
Apa sih
Yang kukerjakan selama ini
Selain mengumpul remah-remah
Dijalan raya kehidupan yang kan punah

Mereka usir aku dari pesta itu
Dimata mereka aku belum pantas
Berada dipentas yang bertabur bunga
Aku menginsafi diri
Lalu dimusola yang sunyi
Kuucapkan zikir berkali-kali
Hingga tempatku penuh bunga
Dan kini kupinta

Bila terusir biarlah terusir dari pesta mereka
Bahkan dari rumah mereka
Tapi jangan terusir dari rumah Mu ya Rabbana

Banda Aceh, 11 Agustus 2009

Sumber Serambi Indonesia
13 September 2009, 10:01

LANGIT SENJA DI NEGERI TIMAH

PERJALANAN

Setiap kutempuh perjalanan itu
Antara Pangkalpinang, Sungailiat ke Belinyu
Ku ingat pesanmu
Pandanglah alam sekitar
Dan nikmati sesuatu yang segar
Riap dedaunan yang hijau

Memang kulihat alam sekitar
Cuaca dan angin bergetar
Serta ku pandang dedaunan hijau
Tapi yang tampak
Dilembar dedaunan itu
Wajah Depati Amir yang berdebu
Namun tersenyum padaku
Bagai mengucap salam
Kepada seorang pendatang
Kini benar-benar nampak
Sesuatu yang tak bergerak
Jauh tertimbun debu sejarah
Tapi bagai bunga ia merekah
Seorang lelaki yang gagah
Yang berjuang membela negeri
Yang berkorban untuk anak negeri

Setiap kutempuh perjalanan itu
Antara Pangkalpinang, Sungailiat ke Belinyu
Yang nampak di lembar daun itu
Adegan sejarah masa lalu
Depati Amir dan kawan-kawan
Bergerilya di dalam hutan
Melawan Belanda habis-habisan
Ada pula lembar daun yang lain
Bagai cermin
Ia menampakkan penghinatan
Sehingga persembunyian Depati Amir ditemukan
Lalu dibuang jauh ke Kupang
Dan disanalah ia kelak menemukan pintu
Untuk bertemu dengan Yang Maha Tahu

Setiap kutempuh perjalanan itu
Antara Pangkalpinang, Sungailiat dan Belinyu
Yang nampak diribuan lembar daun itu
Uraian sejarah masa lalu
Ketika ku ingin tahu tentang masa kini
Ku cari di lembar daun itu
Tak ketemu
Ku periksa lembar demi lembar
Tak ketemu
Dalam hati aku bertanya
Apakah lembar daun yang bertebaran
Antara Pangkal Pinang, Sungailiat dan Belinyu
Yang jutaan jumlahnya
Tak selebarpun suka menggoreskan
Nasib zaman ini
Zaman dimana akhlak rusak
Dan moralpun luluh lantak

P. Pinang, 26 Desember 2003


SUNGAILIAT

Konon ketika Pangeran Tumanggung Dita tiba
Pada jejak kaki yang pertama
Dia melihat tanah ditempat itu
Liat
Lalu jejak itu
Orang menyebut daerah itu
Sungailiat

Entah bagaimana mulanya
Tapi yang pasti
Orang bersetuju
Dan menyepakati
Hari jadi Sungailiat
Jatuh pada
Tanggal dua puluh tujuh
Bulan empat
Tahun tujuh belas tujuh puluh enam

Dan bagi pengembara ini
Sungailiat tempat ia berteduh
Melonjorkan kaki
Melepas lelah
Membasuh wajah
Melekatkan dahi
Sambil mengutip puisi

Sungailiat, 29 Desember 2003


DIBAWAH LANGIT PANGKAL PINANG

Untuk Z.K.

1

Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu subuh yang tenang
Aku menyaksikan embun bergayutan
Disetiap daun, disetiap cabang
Pada ribuan pepohonan
Embun bergayutan

Siapa yang memanjakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanyya embun bergayutan
Disetiap daun di setiap cabang
Pada ribuan pepohonan
Embun bergayutan
Siapa yang memanjakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanya terdengar perlahan
Semacam gumam
Semakin kutanya
Semakin keras terdengar gumam
Ya kini semakin kentara
Semakin nyaring
Semakin pasti
Zikir yang bertubi-tubi

Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu subuh yang tenang
Telah kusaksikan
Embun menggoncang daunan
Embun menggoncang cabang
Menggoncang pepohonan
Ribuan pepohonan
Tergoncang – goncang
Oleh jutaan embun
Yang sedang mengingat Tuhan
Dalam zikir yang mengalir
Hingga ke akar pepohonan

2

Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu siang yang garang
Matahari menyala
Rumah dan toko – toko kepanasan
Jalanan yang dipenuhi kendaraan
Pejalan kaki yang keringatan
Semua mengalir
Seperti dalam suratan

Siapa yang menggerakanmu, tanyaku
Tiada jawaban
Hanya semua bergerak beraturan
Mencari dan mengolah kehidupan
Dan nafas dalam terdengar mendesah
Sangat perlahan
Bagai ratap di bumi yang basah
Siapa yang menggerakkanmu, tanyaku
Tiada jawaban
Hanya alam yang terdengar mendesah
Sangat perlahan
Kemudian bagai degerakkan
Alam bergoncang
Bergoncang dan bergoncang
Rumah dan toko-toko bergoncang
Kendaraan bergoncang
Jalanan bergoncang
Pejalan kaki bergoncang
Semua menyebut nama Mu
Dalam zikir yang dalam

3

Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu malam yang nyaman
Bintang – bintang bersinaran
Disambut cahaya lampu taman
Cahaya lampu kendaraan
Cahaya lampu jalanan
Cahaya lampu rumah bertebaran

Siapa yang sedang membahagiakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanya cahaya berpendaran
Langit mengirim cahaya kebumi
Dan bumi bagai dalam mimpi
Menikmati
Taburan cahaya berpendaraan
Rumah dan toko-toko
Mengapung dalam cahaya
Kendaraan yang berseliweran
Dan taman serta halaman
Berbinar dalam cahaya
Siapa yang sedang membahagiakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanya cahaya berkilauan
Cahaya bertemu cahaya
Cahaya langit mengulur salam
Dan cahaya bumi menerima salam
Kemudian cahaya berpendaran
Menebar keseluruh alam
Seperti dalam suratan
Mengingat Mu dalam riang
Sehingga tak terlupakan
Lebih-lebih bila sedih datang
Mengingat Mu selalu
Zikir pada Mu selalu

Pangkalpinang, 23-24 Desember 2003


SHALAT MAGRIB DI TUA TUNU

Inilah sholat magrib yang nyaman di Tua Tunu
Disebuah mesjid tua yang tak dimakan api
Meski Belanda telah membakar seluruh kampung

Inilah shalat magrib yang nyaman di Tua Tunu
Disebuah masjid tua yang sederhana
Ada tujuh saf jemaahnya
Semua berzikir kepada Mu
Mereka rakyat kecil biasa
Mendiami Desa Tua Tunu
Hingga tiga orang pegawai negeri
Ratusan yang lainnya bertani
Dan berdagang kecil-kecilan

Inilah shalat magrib yang nyaman di Tua Tunu
Selesai shalat menuju rumah kenalan
Pak Siri dan Ibu Salamah
Telah menyediakan rebus singkong
Kami makan dengan lahapnya

Tua Tunu, Pangkalpinang , 25 Des 2003


SAYAP

Kataku :
Kalau kau mengepakkan sayap
Terbang meninggalkan pulau
Apakah kau tahu
Ada yang berhati galau
Dan pulau ini
Akan terasa lebih sunyi

Katamu:
Terbangpun tak sekehendak hati
Kelak saksikan pulau ini tak pernah sunyi
Karena kan tiba masa
Kala putra – putri pulau
Kan kembali tuk mengabdi

Pangkalpinang, 24 Desember 2003


SUNGAI

Seorang murid SD menangis
Ia kehilangan sungai
Tempat ia mandi
Tempat ia mencuci
Tempat ia bermain
Adalah sungai
Beri aku sungaiku, tangisnya

Orang-orang kasihan padanya
Orang memberi mainan
Orang-orang mengirim cd
Tapi tetap ia menangis
Kembalikan sungaiku, tangisnya

Orang-orang tak dapat memberi sungai
Karena air sungai sudah tak ada
Sungai yang dulu airnya jernih
Kini berobah jadi kotor
Orang-orang menggali timah
Mengotori sungai

Bangka, Desember 2003


MALAM LARUT

Malam yang larut
Mengapa tak beringsut
Siapa yang kau tunggu hingga larut
Apakah kekasih diseberang laut

Malam yang larut
Telepon pun tak berdering
Di malam hening
Apakah tanda kasih kian menyusut

Pangkalpinang, 22 Desember 2003


KAU PERGI

Kau pergi melewati rumahku
Lalu terbang ke negeri jauh
Keseberang pulau
Aku sendiri menunggu kabar
Tentang kepergianmu
Hanya cahaya berkilau
Masuk lewat pintu

Pangkalpinang, 29 Des 2003


SALAM

Pagi itu kau mengirim salam
Dan menyambutku, bisikmu
Gemulai gerak tari seudati
Sepintu sedulang persembahan kami
Kehadiran tuan di pulau kami berkesan di hati
Semoga sua kita awal suatu persahabatan sejati

Pangkalpinang, 17 Desember 2003


DARI TOBOALI SUATU PAGI

Kepakkan sayapmu dan terbanglah
Tembus kabut lalu berenanglah diatas awan

Aku disini dipantai Toboali
Hanya bisa melambai
Dengan mulut bergetar
Mendoakanmu

Tak banyak yang bisa kuberi
Untuk pulau ini, katamu
Sementara sayapmu disaput kabut
Tak banyak ku mohon
Hanya doa
Yang senantiasa
Kan menyertai langkahku, katamu pula

Sambil memandangmu terbang
Melayari awan
Aku memang hanya melambai
Dengan rasa berdebar
Dari tepi pantai
Di Toboali
Suatu pagi

Toboali, 26 Des 2003


TAK ADA BULAN

Inilah perjalanan yang menakjubkan
Memang tak ada bulan
Namun ada nyanyian
Yang menghibur kesedihan
Sepanjang jalan pulang
Menuju Mentok dari Pangkalpinang

Pangkalpinang – mentok, 6 Januari 2003


PANTAI TEPIAN

Puteri pulauku
Bolehkah aku menyebutmu begitu
Saat aku kegelapan
Dan kau memberiku lampu
Saat aku dipermainkan lautan
Dan kau menjadi pantai tepian

Pangkalpinang, 30 Desember 2003


BISIK

Ditengah keletihan
Angin sungai Baturusalah
Yang memijat-mijat lengan ku
Di tengah kerisauan
Angin sungai Baturusalah
Yang menenangkan pikiranku
Ditengah kesepian
Angin sungai Baturusalah
Datang mendesir menghiburku
Ditengah kerinduanku padamu
Angin sungai Baturusalah
Membisikkan sesuatu di telingaku

Pangkalpinang, 30 Desember 2003


CAHAYA

Cahaya di depan Bumi Asih
Pagi ini gemetar
Bagai tak sabar
Menyaksikanmu melintas
Menuju bandara

Angin didepan Bumi Asih
Pagi ini mewangi
Melepasmu pergi
Ia tahu sang putri
Kelak akan kembali
Membangun negeri

Pangkalpinang, 27 Desember 2003


MENGUTIP PANTUN

Ketika ku dengar
Berita duka
Di ujung negeriku
Aku sedang mencari pantun
Aku sedang tersuruk-suruk
Di kolam-kolam, dirawa-rawa
Pantun sudah terendam
Tertimbun timah dan lada
Di pulau Bangka

Ketika kudengar
Berita duka
Diujung negeriku
Aku sedang mengutip pantun
Serta merta kulihat
Pantun berobah jadi air mata
Menetes
Menetes dari kolam kesedihan
Kesedihan bertahun

Mentok, 6 Januari 2004


KESENYAPAN LAUT

Dalam kesenyapan laut yang beku
Aku ingin kau datang menari
Melenggokkan tubuh
Lalu bernyanyi
Walau untuk diri sendiri

Lautan akan cair
Melihat tarimu
Laut akan mengalir
Mendengar nyanyianmu

Pangkalpinang, 22 Desember 2003


KEINDAHAN

Aku mulai iri padamu
Setelah melihat Parai bersamamu
Sebuah keindahan telah lama mengasuhmu
Dan aku kemudian datang
Ingin mengecap keindahan itu
Dan kau begitu tenang
Mengulurkan keindahan Parai bagiku
Yang membuat aku malu
Kau begitu ikhlas menyambutku
Menyuguhkan keindahan bagiku
Dan itu menghapus iri
Dalam diri ini

Sungailiat, 28 Desember 2003


MEMANGGIL IBU

Kau tak pernah memberi tahu
Bahwa ada orang menjerit
Memangil ibu
Dipinggir pantai itu
Urat lehernya menegang
Tangannya meregang
Memanggil ibu
Kepala menunduk
Tubuh terbungkuk
Memanggil ibu
Jemari kakinya bergetar
Seluruh tubuhnya menggeletar
Memanggil ibu
Mengatasi suara ombak
Ia menjerit
Memanggil ibu

Kau tak pernah memberitahu
Suara jerit itu
Mengalir dari kerongkonganmu
Dan aku nanti tak kan pernah memberitahu
Bahwa suara jerit itu telah kukenal
Sebagai suara hatimu

Parai, 28 Desember 2003


PARAI

Takkan kutahu dimana letak Parai
Bila tak kutunjuk arah kepinggir laut itu
Takkan kukecap madu Parai
Bila tak mengorak senyum diwajahmu
Kini Parai berderai-derai dalam kalbu
Nyanyian laut itu
Lagu sunyi tapi merdu
Kemilau cahaya pagi itu
Telah membersit dari matamu

Parai, teriakku
Batu-batu yang kukuh yang menjorok kelaut itu
Membawa ingatan kepada keteguhan perlawanan
Depati Amir, Batin Tikal dan Depati Barin
Yang berjuang untuk anak cucu

Parai, kataku tersedu
Laut yang biru yang tenang itu
Membawa ingatan kepada ketenangan pikiran
Para tokoh pejuang kita itu

Parai, kataku setengah terisyak
Pasir putih yang bertaburan dipantai itu
Bagai menikam yang berpercikan
Dari ucapanmu yang sederhana
Namun kini bergema
Memenuhi udara

Pangkalpinang, 22 Desember 2003


BELINYU

Meluncurlah kendaraan ku ke Belinyu
Meluncurlah
Kurindukan ahli pantun
Yang lahir di kaki gunung Maras

Yang memiliki kebiasaan yang pas
Menulis pantun isi dulu
Sampiran setelah itu
Semangatnya kini mulai layu
Setelah berpisah dengan sahabatnya pak Su
Tapi kini setelah dijenguk pak Su
Ia membuka pintu utama
Yang sudah berdebu
Semogalah setelah itu
Pantunpun mulai menderu

Meluncurlah kendaraan ku ke Belinyu
Meluncurlah
Kurindu Urang Lum
Yang dikisahkan naik perahu
Diterpa gelombang sudahlah tentu
Berminggu ditengah laut melulu
Mereka datang dari jauh
Dari negeri Cina yang jauh

Mendarat disebuah daratan
Masuk ke Bukit Pelawan
Lalu tinggal dan menetap di pedalaman
Merekalah konon nenek moyang Urang Lum
Ada lagi kisah yang terlontar dari bibir
Ketika bukit Semidang di landa banjir
Muncul dua manusia
Mirip raksasa
Lalu orang menyebut
Merekalah nenek moyang Urang Lum

Meluncurlah kendaraan ku ke Belinyu
Meluncurlah
Kurindu Urang Lum
Ingin kutahu titian Taber, Puri Adat
Mata Kakap, Penunjang Langit

Kudengar engkau
Ada di gunung muda, Gunung Pelawan
Dan Bukit Cudung
Ingin ku tahu tanah Mapur, desa kecil
Air Abik dan desa Pejem

Kini berhentilah kendaraan ku
Berhentilah
Kita telah tiba di Belinyu
Kita telah bertemu ahli pantun
Yang kurindu
Kita telah mendengar kisah masa lalu
Tentang Urang Lum
Konon penduduk pertama
Yang mendiami Pulau Bangka

Belinyu – Sungailiat – Pangkalpinang. 20 Des 2003


BILA

Diatas kendaraan menuju pantai Pasir Padi
Aku ingat berita darimu
Subuh itu
Dalam hiruk pikuk kota
Dan kembang api yang gemerlap
Hatimu merasa kosong
Hampa

Bila hatimu hampa
Kenanglah Parai
Disana butir pasir kemilau
Menunggumu pulang dari rantau
Dan disana tergolek pula
Sebutir yang sangsai
Yang mungkin tak kau hirau

Pangkalpinang. 1 Jan 2004


PERCAKAPAN

Subuh itu nampak di kaca jendela
Goresan embun
Orang-orang kemudian membaca
Sebuah percakapan rahasia
Antara Putri pulau dan Pengembara

Pangkalpinang. 31 Des 2003


BATU RUSA

Melewati Sungai Batu Rusa
Seperti ada yang menahan langkahku
Jembatan besi yang kukuh
Atau suaramu bernada keluh

Sungailiat, 27 Desember 2003


ALAM

Alam mempertemukan
Dan Tuhan merestui
Lalu lahirlah puisiku
Lewat desah nafasmu

Duri, 8 Januari 2003


PANTAI PASIR PADI

Di pantai pasir padi
Kita mendengar percakapan abadi
Percakapan ombak yang sunyi
Percakapan cinta sejati
Tentang persahabatan
Yang kau idamkan

Angin kencang
Yang datang dari jauh
Membawa percakapan ini
Terbang ke pulau-pulau
Menyebarkan nyanyian cinta
Yang tumbuh di hati manusia

Dan warna biru langit
Yang singgah ke wajahmu
Menyatu dengan biru laut
Yang telah kau genggam
Mengekalkan persahabatan

Pangkalpinang. 23 Des 2003


KE TOBOALI, KITA KE TOBOALI

Kami tambah jauh darimu
Tapi kami makin dekat
Dengan Koba dan Toboali

Udara langit tebal menghitam
Dan pepohonan di pelataran
Semakin temaram
Namun kami harus berjalan
Ke Koba dan Toboali

Ingin kulihat tapak Cheng Ho
Seorang muslim
Laksamana dan pelaut sejati
Yang berasal dari Desa He Dai
Ingin kusaksikan benteng Portugis
Yang konon bekasnya masih terguris

Ke Toboali, kita ke Toboali

Dalam sore yang indah
Kami semakin dekat ke Toboali
Daerah perjuangan
Rakyat terang terangan
Malawan penjajahan
Dibawah pimpinan Depati Amir
Depati Barin dan Depati Marawang

Di lembar daun sejarah
Tertulis dengan tegas
Masyarakat dan penduduk asli Suku Laut
Juga kaum Lanun tak pernah takut
Terbayang mereka menyerbu parit-parit timah Belanda
Di sekitar Sungai Kepo
Untuk merebut kembali Toboali
Lihatlah mereka maju dengan berani
Sehingga pasukan Belanda terpaksa mundur
Ke Pangkalpinang dengan teratur

Di lembar daun sejarah
Juga terlukis
Tentang kota Toboali yang manis
Kota indah di pinggir lautan
Yang tumbuh jadi kota pertambangan

Ke Toboali, kita ke Toboali
Kota kenangan di zaman revolusi

Toboali, Pangkalpinang. 26 Des 2003


SUARA TETABUHAN

Dengarlah suara tetabuhan itu
Mengetuk-ngetuk telingamu
Dengarlah pula suara gerimis itu
Mengetuk-ngetuk kalbumu

Bagai ketukan dari pintu langit
Dan berpesan kepadamu
Jagalah adat nenek moyang

Dengarlah suara tabuhan itu
Bertalu-talu
Membangunkan engkau dari tidur pulasmu

Dengarlah suara tetabuhan itu
Dan lihatlah pula rentak tari itu
Di bawah gerimis
Di halaman terbuka pula
Di bawah hujan

Pangkalpinang. 13 Des 2003


EMBUN PAGI

Embun pagi di akhir tahun
Penuh harapan dengan santun
Pada puteri pulau yang akan terbang
Sebentar ikutlah berdendang
Baca puisi dan pantun
Untuk menyambut awal tahun

Sungailiat, 25 Desember 2003


HARUM DEDAUNAN

Harum dedaunan jalanan ini
Seperti pernah kutahu
Tapi kau tak di sini
Itu kutahu pasti
Apa kau mengirim dari jauh
Bagi perjalanan kami
Yang sunyi

Sungailiat, 28 Desember 2003


SUBUH ITU

Subuh itu suaramu
Nyanyian laut sedang kasmaran
Deburnya merambah kelangit jiwa
Mengejutkan bintang gemintang
Bertaburan menebar cahaya

Subuh itu suaramu
Gemercik air pancuran
Ceria, jernih dan mengalun

Pangkalpinang. 23 Des 2003


NONTON TARI CAMPAK

Seribu soal yang memusingkan
Beban berat yang tak terpikulkan
Kini lenyap setelah tangan diayunkan
Dan tubuh di gerakkan, bisik mu

Musik campak membawa kita keawan
Pantun campak membawa kita ke rembulan
Dan dunia berputar lebih keras
Bagai darah kita yang menderas

Nonton tari campak
Mata terpacak
Menyaksikan gerak
Sederhana tak menghentak
Namun didalam diri
Ada rasa mengayun
Bagai butir embun di ujung daun
Jernih berkilau
Melupakan risau
Seribu soal
Meski hanya sebentar

Dendang, 29 Desember 2003


PANTUN

Dari Pangkalpinang ke Belinyu
Singgah dulu ke Sungailiat
Kukenang sejak awal bertemu
Lalu ku rindu dalam surat

Mendesir angin di Pantai Parai
Bantu kukuh menjaga pulau
Rasa ingin berhandai-handai
Aku berpeluh engkau di rantau

Pasir berkilau di Pantai Parai
Disebuah sudut batu samadi
Hatiku risau berdebar-debar
Rasakan kecut ketika menanti

Palembang, 6 Januari 2004


INGAT KURAU

Hati akan selalu terpaut
Pada kampung nelayan dipinggir laut
Kurau, begitu orang menyambut
Begitu kami melangkah pergi
Ada yang tak surut
Hati akan selalu terpaut
Pada kampung Kurau
Kampung nelayan di pinggir laut
Rumah sederhana berjejer

Ditepi sungai Kurau
Rumah berdiri diatas tiang nibung
Begitu sambung menyambung
Hati akan selalu terpaut
Pada kedamaian penduduk
Orang-orang sederhana
Nelayan pencari ikan
Untuk orang kota ia kirimkan

Hati akan selalu terpaut
Pada Kurau
Pada air sungaimu yang coklat
Pada tiang – tiang nibung
Tempat Kario merenung
Tepat Kario berpantun

Hati akan selalu terpaut
Pada Kurau
Kampung bersungai coklat
Tempat Kario mencatat
Nasib zaman yang coklat
Di lembar yang bersih
Dengan bahasa jernih

Kurau – Jakarta, 26 Des 2003 – 22 Jan 2004


KEPADA PEMANTUN TUA

Untuk TS

Inilah pertama kali
Kaki kujejakkan di ubin mar-mar ini
Di pendopo Toboali, bisiknya

Dia memang hanya seorang tua
Pemantun dengan tubuh ringkih
Dan rambut memutih
Yang boleh saja orang lupa
Sengaja atau tak sengaja
Tapi mungkin ada sesuatu
Yang orang sukar lupa
Dari tubuh ringgkih ini
Yakni pesan dan budi
Yang ia susun dan patri
Dalam baris-baris pantun
Selama bertahun-tahun
Yang ini memang orang sukar lupa
Karena setiap di baca
Baris-barisnya akan menyala
Menerangi nurani pembaca

Jakarta, 17 Januari 2004


PERTEMUAN

Hari ini dimana kita bertemu kekasih
Koba sudah tertinggal
Air Gegas baru kulalui
Dimana kita berjumpa, wahai kekasih

Jam demi jam
Berdentangan
Mengingatkan pertemuan
Tapi dimana wahai kekasih kita bertemu

Ombak laut berdebur
Berdebur dan berdebur
Bersahutan dengan debur di hati
Membangunkan rindu yang sunyi

Ternyata di sini kita bertemu kekasih
Di Toboali, dirumahmu yang bersih
Terimalah aku bersimpuh
Menyerahkan diri pada Mu
Hanya pada Mu

Toboali, 25 Desember 2003


LANGIT SENJA NEGERI TIMAH

Warna senja terhampar
Di negeri timah
Saksikanlah, katamu
Negeri timah
Negeri yang penuh berkah
Dalam warna senja yang mewah
Senya yang ramah
Menyapa pepohonan dan bebukitan
Menyapa pantai dan lautan
Menyapa petani dan nelayan

Warna senja terhampar
Di negeri timah
Nikmatilah, katamu
Dan negeri timahpun berhias
Dalam cahaya gemerlapan
Dalam hias berkilau
Dalam warna langit keemasan
Dan bumi keperakan

Toboali, 15 Mei 2004


MENYAKSIKAN FAJAR DI TOBOALI

Untuk MZK

Telah kusaksikan fajar di Toboali
Fajar dengan berkas cahaya
Meretas kegelapan
Fajar dengan sinar kegelapan
Berbinar – binar
Menembus keremangan

Telah kusaksikan fajar di Toboali
Fajar bertangan ajaib
Mengusir kebodohan
Mengusir kemiskinan
Fajar berlidah fasih
Mengusir kegelisahan
Mengusir kecemasan
Fajar berhati kasih
Menawarkan kebersamaan
Membina kesejahteraan

Telah kusaksikan fajar di Toboali
Ya Tuhan
Benar – benar telah kusaksikan
Fajar di Toboali
Dengan warna berkilauan
Menawarkan kebahagiaan

Toboali, 15 Mei 2004


MENGHITUNG OMBAK DI GUNUNG SAMAK

Mari mendaki ke Gunung Samak
Hingga tiba di puncak
Lalu lepaskan pandangan kesegala yang nampak
Saksikan alam yang bergerak
Saksikan alam yang berdetak
Lalu angkat tangan mu ke atas
Rasakan angin di jemari yang lepas
Lalu rebahkan tubuhmu
Hingga menyentuh rumputan
Rasakan cinta yang besahutan
Dan kini mulailah menghitung ombak

Manggar, 7 Juni 2004


SUNGAI LENGGANG MELENGGANG

Sungai Lenggang melenggang
Dan Saderi pun melenggang

Sungai lenggang melenggang
Membawa celoteh alam sekitar
Dan Saderi pun melenggang
Membawa nyanyian kocak yang segar

Sungai lenggang melenggang
Membawa merdu nyanyian gunung
Dan Saderi pun melenggang
Membawa syair kedalaman renung

Sungai lenggang melenggang
Membawa arus air ke kuala
Dan Saderi pun melenggang
Membawa suara hati ke laut jiwa

Sungai lenggang
Memberi nyanyi pada Saderi
Dan Saderi
Memeberi puisi pada sungai Lenggang
Mereke memang saling berlenggang
Dan saling gantung bergantung
Di kampung Gantung

Manggar, 7 Juni 2004


DIANTARA DUA SUNGAI

Dia bersedih duduk diantara dua sungai
Dia menangis bersimpuh di antara dua sungai
Dia merunduk terbungkuk di antara dua sungai
Dia tengadah kelangit diantara dua sungai
Sungai Buding yang bernyanyi nyaring
Sungai Lenggang yang mengalir tenang
Buding engkaulah sungai yang membasuh jiwa yang luka
Lenggang engkaulah sungai yang meneduhkan jiwa yang resah
Dari seorang pertapa yang ingin menuntut bela

Dia bersenandung diantara dua sungai
Dia merenung diantara dua sungai
Dia berharap di antara dua sungai
Dia berdoa di antara dua sungai
Sungai Buding dan sungai Lenggang
Engkaulah sungai yang memberi kesejukan
Bagi jiwa yang panas membara
Bagi jiwa yang ingin menuntut bela
Atas kematian ayahanda

Dia bertapa diantara dua sungai yang mengalir
Jiwanya mengalir bersama sungai yang mengalir
Jiwanya yang mengalir kesamudra cinta
Samudra Cinta Maha Besar
Allah Allah Allah

Manggar – Toboali, 8-15 2004


PANTAI BURUNG MANDI

Ketika menjejakkan kaki
Pertama kali
Dipantai Burung Mandi
Langit sangatlah bersih
Ketika itu
Pantai sangatlah tenang
Ketika itu
Ombak bernyanyi merdu
Ketika itu
Angin bertiup sejuk
Ketika itu
Udara sangatlah nyaman
Ketika itu

Enam abad yang lalu
Bagai terbayang
Seorang lelaki dari Pasai
Menjejakkan kaki pertama kali
Di pantai Burung Mandi
Mungkin pantai taklah tenang
Ombak tak bernyanyi
Dan angin tak bertiup sejuk
Dan udara taklah nyaman
Karena lanun sang perampok
Menjemputmu
Dengan mata merah
Dan pedang di tangan

Tapi lelaki dari Pasai itu
Tetaplah menjejakan kaki
Di pantai Burung Mandi
Karena tekad dalam hati
Ada yang akan diberi
Sesuatu yang berarti
Mudah-mudahan diberkahi Illahi

Orang-orang memang telah menjauh
Berumah ke daratan
Ke dalam hutan
Dan Pantai Burung Mandi ditinggalkan
Takut pada lanun
Sang perampok
Harta dan para kaum wanita
Dia boyong semuanya

Lelaki dari Pasai itu bertahan
Lalu membangun rumah di Menangan
Sambil bercocok tanam
Faham agama Islam dikembangkan

Lelaki dari Pasai itu
Bernama Jakfar
Seorang lelaki yang pintar
Bersungguh-sungguh namun
Kadang suka berkelekar
Kelak nama beliau dikenal
Sebagai Datuk Jakfar

Datuk Jakfar bersama keluarga
Hidup sederhana
Gemar bercocok tanam
Sambil menyebar agama Islam
Hingga usia lanjut
Tak pernah surut
Menyebar agama Islam

Bagai menyebar tanaman
Yang selalu tumbuh
Yang Alhamdulillah
Selalu diberkahi
Sehingga agama Islam
Menyebar keseluruh negeri
Menyebar kesetiap hati

Seorang lelaki dari Pasai
Semakin menua
Dan lanjutlah usia
Serta tibalah saatnya
Untuk kembali
Keharibaan Illahi
Orang – orang kemudian
Memberi gelar kehormatan
Keramat Menangan

Manggar, 8 Juni 2004


SUNGAI BUDING

Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh kakinya
Dari Lumpur dan debu
Dari perjalanan jauh
Ketika menjejakkan kaki
Pertama kali
Di Belitung ini

Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh tubuhnya
Dari daki dunia
Dalam kembara
Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh wajahnya
Ketika sholat pertama
Suatu hari
Di Belitung ini

Engkaulah sungai pertama
Yang memberi kesejukan
Yang menerima kehadiran
Ketika mengadakan perjalanan
Menuju daratan
Tempat musafir mampir
Syeh Abubakar Abdullah
Untuk sekian lama
Menyebar agama

Sungai Buding
Sungai yang bening engkaupun tahu
Ketika tamu mu yang satu itu
Meninggal dunia
Mayatnya di bungkus
Dengan kulit kayu kepang
Maka tesebarlah harum wangi
Padahal sudah dikubur dua puluh hari
Lalu digali
Dan sesuai pesanmu
Mayatmu dikubur
Di antara bumi dan langit
Dan tempat itu ditafsirkan
Di Gunung Tajam

Manggar – Toboali, 8-25 Juni 2004


SURAT DARI MENUMBING

Dapatkah anda membayangkan
Hari ini
Pada tahun 2004 ini
Tiba-tiba
Anda menerima surat
Dari Menumbing
Dari seseorang yang anda kenal
Bahkan tulisannya pun anda kenal
Bertahun 1949

Surat itu meluncur begitu saja
Dibawa angin Bangka
Melayang-layang di udara
Lalu turun
Jatuh keharibaan anda

Begitu anda membuka sampulnya
Surat itu pun terhidang
Tulisanya amatlah terang
Miring ke kanan gayanya
Bahasanya sederhana
Jelas kata-katanya
Maksudnya pun langsung tertangkap
Oleh kita

Mari kita membacanya
Beginilah antara lain bunyinya
Kegembiraan rakyat di Bangka
Tentang cita-cita kebangsaan
Dan kemerdekaan bangsa
Adalah besar
Pekik merdeka
Adalah salam rakyat
Diseluruh kepulauan ini

Surat itu memang bicara tentang rakyat
Tapi juga bicara tentang pemimpin
Setelah bicara tentang rakyat
Apa katanya tentang pemimpin
Mari dengarin
Pemimpin berarti memberi contoh
Dan teladan dalam segala perbuatan
Tentu saja contoh yang diberikan
Contoh yang di tauladankan oleh pemimpin
Yang baik-baik dan bijaksana
Bukan sebaliknya

Dapatkah anda membayangkan
Hari ini
Pada tahun 2004 ini
Tiba-tiba
Anda menerima surat
Dari Menumbing
Dari seseorang yang anda kenal
Bahkan tulisannya pun anda hafal
Bertahun 1949
Surat dari seseorang
Yang sederhana
Hemat dalam bicara
Yang pernah memimpin negeri ini

Toboali-Pangkal Pinang, 4 mei 2004


BELINYU 1946

Bumi hanguskan Belinyu
Begitu perintah terdengar
Lewat telepon hari itu
Yang menerima perintah singkat itu
Segera tahu
Karena Kota Belinyu
Kota pertahanan terakhir TKR ketika itu

Bumi hanguskan Belinyu
Begitu singkat perintah itu
Tapi terdengar
Bagai suara petir menyambar-nyambar
Tapi yang menerima perintah tak gentar
Bahkan faham dan sabar
Karena segera mengerti
Ini pasti untuk antisipasi
Agar NICA tak akan menduduki
Tempat penting diwilayah ini
Agar kantorpos tak mereka kuasai
Agar Pusat pembangkit listrik
Dan telepon tak mereka kuasai

Pangkalpinang, 26 Oktober 2004


SUNGAI RANGKUI SUNGAI KENANGAN

Sungai Rangkui seperti legenda
Tinggallah dalam kenangan hamba
Berdiamlah di sudut-sudut mimpi
Seperti pertemuan kita pertama kali
Lewat pantun dan cerita lama
Lewat gambus dan lagu jenaka

Sungai Rangkui seperti nyanyian indah
Janganlah gelisah dalam angan hamba
Tenanglah dalam relung-relung sunyi
Seperti pertemuan kita pertama kali
Lewat riak menempuh tepi
Lewat perempuan membasuh kaki

Sungai Rangkui sungai kenangan
Jangan biarkan
Ia pergi dari mimpi
Jangan lepaskan
Ia dari kenangan
Hanya karena ulah
Tangan serakah
Yang mengirim luka dan nanah

Sungai Rangkui sungai kesayangan
Telah tersimpan dalam kenangan

Pangkalpinang, 7 Maret 2005

PERJALANAN ARAFAH

MESJID YANG MELAYU

Dalam mesjid yang melaju
Dengan kecepatan 850 km per jam
Kami suduk kepada Mu

Dalam mesjid yang sedang terbang
Diatas ketinggin 10.000 m
Kami berteduh mengharap kasih Mu

Kau lah yang kami tuju ya Allah
Kau lah yang kami rindu ya Allah

Jakartta – Jeddah, 18 Mei 1993


TIBA DI MAKKAH

wahai kota suci
kota kelahiran Nabi
terimalah kami
datang dari jauh
lebih dari 70.000 m
telah kami tempuh

wahai kota suci
kota perjuangan Nabi
menjelang fajar kami tiba
jemari sejuk embun pun menerima

wahai kota suci
kota kerinduan
telah kami jejakkan kaki
di bumi Makkah
lalu wajah tengadah
mengucap syukur kapada Nya
patas undangan Nya
atas perkenan Nya
atas keridhaan Nya

Makkah, l9 Mei l993


SALAT FAJAR DI ATAS TANGGA

inilah salat fajar
seorang hamba
hanya diatas tangga
karena tempat lain
di Masjidil Haram
penuh semua

inilah salat fajar
seorang hamba
bersama embun
menetes air mata
hingga basahlah altar Mu
maafkan hamba, Tuhanku

Makkah, 20 Mei l993


MENGINGAT ENGKAU

ya Allah
aku berjalan
mengelilingi Ka'bah
membawa tubuh luka

aku berlari
membawa hati yang aib
mengelilingi rumah Mu
ya Tuhanku
aku ingin mendapat ampunan Mu
aku ingin mendapat ridha Mu

kaki berjalan
dituntun ingatan
kaki berlari
dipecut jiwa
yang rindu pada Mu

ya Allah
beri hamba
iman yang teguh
hati yang khusuk
mengingat Engkau
merindukan Engkau

Makkah, 26 Mei l993


MAAFKAN YANG PUNYA HOTEL, YA ALLAH

ya Allah
maafkan yang punya hotel
tempat para jamaah menginap
karena layanan yang kurang memuaskan
lampu sebentar hidup sebentar mati
sehingga jamaah yang sedang makan
meraba-raba dalam gelap
apa yang akan di suap

maafkan yang punya hotel, ya Allah
yang air untuk mandi dan wudhu'
sebentar hidup sebentar mati
lalu terpaksa mandi cara singkat
dan dari wc mulai tersebar harum yang
menyengat

ya Allah
maafkan yang punya hotel
yang layanannya kepada jamaah kurang
memuaskan
karena lifnya sering macet
sehingga jamaah harus naik turun tangga
ketingkat enam atau lebih
dan saat itu alangkah menderitanya
yang mengidap penyakit jantung atau
asma

ya Allah
maafkan yang punya hotel
yang menurut janji semua akan beres
air pasti ada, aliran listrik bagus
dan lif baik turun naiknya

ya Allah
maafkan yang punya hotel
karena jamaah yang ratusan jumlahnya
tetap sabar meski ada satu dua yang
kesal
tapi tak sampai mengeluarkan kata-kata
kasar

Misfalah, Makkah, 28 Mei l993


SUJUD PERTAMA DI ARAFAH

ya Allah
inilah sujudku yang pertama di Arafah
kening menyentuh pasir dan batu
salat magrib yang nyaman
oleh angin yang Kau turunkan

ya Allah
inilah air mata rindu di Arafah
mengalir untuk Mu
saat kemah mulai diserbu kelam
saat gunung batu mulai diam

ya Allah
inilah sujudku yang pertama di Arafah
sujud seorang hamba
yang datang dari negeri jauh
membawa beban beribu keluh
ingin berlindung pada Mu
mohon ampun pada Mu
pada hari wuquf itu

Arafah, 30 Mei l993


ARAFAH 1

panas pasir di Arafah
mencoba membakar telapak kakiku
panas batu di Arafah
mencoba membakar kulitku
panas angin di Arafah
mencoba membakar dagingku
panas matahari di Arafah
mencoba membakar tubuhku
panas rindu Mu di Arafah
mencoba membakar cintaku
panas air mata di Arafah
dengan sekolam penyesalan
mohon ampunan kepada Mu
semoga ridha Mu
membakar dosa-dosaku

Arafah, 30 Mei l993


ARAFAH 2

batu-batu disisi kemah
adakah engkau batu
yang pernah menyaksikan
pertemuan Adam dan Hawa
di padang Arafah ini

bukit-bukit yang memagari
ratusan ribu kemah jamaah haji
adakah engkau bukit
yang pernah mendengar
permintaan Adam dan Hawa
mohon pengampunan
di padang Arafah ini

langit pagi yang agak mendung
adakah engkau langit murung
yang pernah memandang
dua hamba Allah
Adam dan Hawa
merasa damai kembali
setelah terlempar kebumi

pasir berserakan di padang Arafah
adakah engkau pernah melukis
mengukir jejak Adam dan Hawa
yang kemudian tercatat
dalam sejarah yang abadi

sajadah yang terkembang
disetiap kemah
dan dahi yang sujud diatasnya
bukankah ini pernyataan rasa
yang ingin selalu
lebih dekat pada Mu

ingin memperoleh ampunan Mu
ingin mendapat ridha Mu

Makkah, 30 Mei l993


WANITA, SIAPAKAH ENGKAU

wanita, siapakah engkau
yang melengos memandang kearahku
dia yang tidur
dipelataran Masjidil Haram
antara tempat sa'i
dan tempat mancur air zamzam

wanita, siapakah engkau
yang berwajah pucat
memandang dengan sayu kepadaku
dia yang lelah
rebah diatas kardus bekas
di pelataran Masjidil Haram
dan tempat mancur air zamzam

wanita, siapakah engkau
yang dibangunkan orang berpakaian ihram
lalu meraih uang satu real
kemudian engkau runduk
dan rebah lagi ke atas kardus bekas
di pelataran Masjidil Haram
dekat tempat sa'i dan air zamzam

wanita, siapakah engkau
yang tak pernah lagi perduli padaku
tak memandang tak melengos
badan rebah
berupa seonggok tubuh lelah
dan tidur dengan pulas

wanita, kucari engkau dalam diriku
dan kutemu
wanita engkaulah itu
engkaulah yang berwajah pucat engkaulah yang bermata sayu
wanita engkaulah itu
yang ketika aku masih kecil
kau izinkan kupetik ketimun dari
kebunmu
lalu kujual untuk biaya sekolahku
wanita, engkaulah itu
yang sebelum meninggal dulu
sempat bergurau denganku
kau minta dibayarkan resep obatmu
wanita, engkaulah itu
engkau adalah adik ibuku
yang telah lama pergi
dipanggil Illahi Rabbi

Makkah, 4 Juni l993


NENEK YAMNUN

nenek Yamnun
orang kata nenek yang pikun
usianya memang tua
(sekitar 80 tahun)
orang menyebutnya pikun
tapi ia tak merasa pikun
malah ia bilang
jangan saya disebut pikun

melakukan salat di Masjidil Haram
nenek Yamnun pergi bersama teman jamaah
ketika pulang ia terpisah
lalu pulang kepondokan sendirian
dibantu petugas lalu lintas
atau siapa saja yang ikhlas

nenek Yamnun tak suka disebut pikun
walau pergi ke kamar mandi saja
ia lupa pulang kekemahnya
nenek Yamun tak suka disebut pikun
walau ia sering bertanya
apa ia sudah salat atau belum

dalam perjalanan
menunuaikan ibadah haji
sekitar empat puluh hari
orang-orang diserang flu dan batuk
nenek Yamnun tidak
ia tak pernah pergi
kedokter kloter
nenek Yamnun tak terkena sakit perut
meski makanan sangat berbeda
dengan kebiasaannya

nenek Yamnun tak suka disebut pikun
waktu luangnya diisi dengan tekun
sebuah Quran kecil selalu berada
ditangan
dia baca tanpa suara
matanya menyala tanpa kaca mata
tasbih tak lepas dari genggaman
kadang sambil tiduran ia gunakan

nenek Yamnun
seluruh hidup diisi dengan tekun
zikir dimulut, zikir dihati
ganti berganti beralun-alun

Makkah, 5 Juni l993


SEORANG NENEK DARI BAMBU APUS

hari jum'at
jum'at yang panas
seorang nenek dari Bambu Apus melakukan
tawaf
tubuhnya yang kecil
telah merasakan api matahari di Arafah
dan tangannya yang mungil
telah melempar setan dan jin di Mina

hari jum'at
jum'at yang panas
seorang nenek dari Bambu Apus melakukan
tawaf
bersama ribuan jamaah
langkahnya langkah kecil
mulut komat kamit
mengucap doa dan zikir

pada putaran ketiga
diantara Ka'bah dan maqam Nabi Ibahim
tubuh nenek dari Bampu Apus
terjepit
nafasnya sesak
ia mengucap Allah...Allah
tiba-tiba disisinya ada
seorang berbadan tinggi
berpakaian putih-putih bertopi haji
merentangkan lengan
melindungi
melihat itu
sang nenek menangis
nenek itu bersyukur
orang berpakain putihpun menangis
mereka sama menangis
lalu orang berpakaian putih
menyeka mata nenek dengan baju putihnya
lalu menuntun melangkah
berjalan melanjutkan tawaf
ketika nenek menoleh
ingin mengucapkan terimakasih
orang berpakain putih
tak nampak lagi

hari jum'at
jum'at yang panas
seorang nenek dari Bambu Apus melakukan
tawaf
tubuhnya yang kecil
bergerak perlahan-lahan
ditengah gelombang manusia bergesekan
bagai mengitari tujuh lapis langit
ternyata ada sesuatu yang sulit
yang kemudian dilapangkan
kini hati nenek nyaman
ia merasa memperoleh keridhaan

Makkah, 6 Juni 1993


SUPIR BUS KAMI ORANG TURKI

Arafah malam hari
udara masih terasa panas
para jamaah mulai naik bus
akan segera menuju Mina

supir bus kami
orang muda
berkulit putih rata
berbadan tinggi
mengaku orang Turki
bercelana warna terang
dada bidang
tanpa baju

diatas bus meski diisi
lebih dari semestinya
karena disamping korsi yang penuh
masih ada puluhan yang berdiri
masih terasa sejuk juga
karena pendingin menyala
tapi begitu bus bergerak
belum dua puluh meter
mulai terasa panas
karena pendingin mati
udara pengap karena
jendela tak bisa dibuka

penumpang yang berkeringat
mulai buka suara
mengapa pendinginnya tak menyala
tapi supir orang Turki
tak menjawab apa-apa
ia tak bisa berbahasa Arab
Inggeris pun tidak jamaah makin gelisah
peluh menglir dimana-mana
baju mulai basah
jamaah wanita minta
jamaah pria tidak merokok
jamaah pria minta
jamaah wanita mengambil kipas
kalau-kalau dapat mengurangi panas
sedang bus semakin perlahan jalannya
macet dimana-mana
memang banyak jalan menuju Mina
tapi jutaan jamaah menuju kesana
pada waktu kurang lebih sama
dan bus kami cuma salah satu
diantara puluhan atau ratusan ribu

walau kesabaran masih terpelihara
namun panas terus menyengat
maka supir diminta membuka pintu
yang didepan dan dibelakang
dua lubang angin dibubungan
dibuka jamaah tanpa rundingan
dan supir yang tanpa baju
rupanya maklum hal itu

bus yang bergerak bagai siput itu
setelah sekitar enam jam merambat
akhirnya menjelang subuh tiba dikawasan
Mina
tapi dimana kemah kami belum diketahui
hampir setengah jam lagi
bus merambat
barulah tiba di kemah
dan jamaah dengan tubuh lelah
mulai turun
gontai langkahnya perjalanan Arafah - Mina
yang berjarak hanya belasan km saja
sempat ditempuh dengan enam jam
mungkin ini mengesalkan
fikir beberapa jamaah
tapi ketika diketahui
ada rombongan menempuh
sehari semalam
para jamaah yang tadi kesal
bersyukur juga
ternyata nasibnya lebih baik juga

dikemah para jamaah tak bisa berlama-
lama
mereka siap-siap salat subuh
kemudian segera menuju tempat melempar
jumrah

Makkah, 7 Juni l993


IBU MIMIH DARI PISANGAN MELEMPAR JIN DI MINA

ibu Mimih dari Pisangan
naik haji bersama suami

acara di Mina memanglah singkat
cuma tiga hari
namun ibadah amatlah padat
salat dan zikir ganti berganti

hari pertama di Mina
melempar jin
berjalan licin
hari kedua di Mina
melempar setan
tercatatlah kejadian

seperti biasa
ibu Mimih yang berbadan gembur
melontar didampingi suami
tapi entah karena apa
pada lemparan batu ke tujuh
di Wustha
suami tak nampak
jutaan orang berdesakan
dan ibu Mimih rubuh
bruk...
tapi tiba-tiba
datang orang berbadan besar
berpakaian putih-putih
parasnya pun bersih
dengan mudah mengangkat pada ketiak
dan ibu Mimih bagai terpacak
ditengah gelombang jutaan orang
berdesakan
merasa lepas dari maut
ibu Mimih dari Pisangan
mengucapkan pujian
Alhamdulillah...
dan kepada orang berpakaian putih
mengucapkan terimakasih
dan orang itu berbalik menepuk
bahu ibu Mimih tiga kali
lalu pergi
menghilang
raib...

Makkah, l0 Juni l993


GADIS KECIL DAN ROTI

seorang gadis manis
kecil setinggi lutut ibunya
membawa plastik besar berisi roti

dengan girang ia menyandangnya
meski nampak tubuhnya yang kecil
terasa tak seimbang

dituntun ibunya
yang berbaju hitam berkerudung hitam
mereka sampai pada pelataran Mesjidil
Haram
lalu duduk diatas kardus bekas
sang ibu tengadah
berdoa
bagai meniru ibu
gadis kecil itu
menengadahkan wajah
lalu mengangkat tangan
lalu menepuk-nepuk
sambil bicara kepada ibunya

kita tak tahu
apakah mereka sudah makan sehari ini
yang kita saksikan
gadis kecil dengan riang
membawa roti dalam plastik besar
berputar-putar
mengelilingi ibunya
yang terus berdoa

roti itu beberapa saat lalu
mereka peroleh secara cuma-cuma

dibagikan kepada para jamaah
sebagai sedekah

Makkah, l2 Juni l993


SEORANG LELAKI 56 TAHUN JUMPA NENEK DI MAKKAH

selesai salat jum'at
seorang lelaki 56 tahun
melintasi halaman Mesjidil Haram
ingin pulang kepondokan
diluar udara pukul l3.45 sangat panas
payung dikembang
dan handuk dibasahi
lalu ditaruh diatas kepala

melewati halaman Mesjidil Haram
mendekat arah ke jalan raya
ada mobil dikerumuni orang-orang
ternyata ada pembagian makanan
untuk para jamaah yang memerlukan

lelaki 56 tahun itu melangkah dalam
panas
persis ketika melintasi dan berpapasan
dengan mobil
pembagian sedekah selesai
orang-orang di atas mobil
yang ingin mendapatkan makanan
diminta turun
petugas berseru
habis-habis

seorang wanita berbadan agak gemuk
mendekat ke pintu mobil bagian depan
rupanya ia ingin mendapat bagian
tapi petugas berseru
habis-habis
ketika wanita gemuk itu menoleh sekejap
ketemu pandang dengan lelaki 56 tahun
ia ingat persisi sama dengan wajah
neneknya
yang sudah 50 tahun lalu meninggal
lelaki 56 tahun itu ingat
ketika ia sekolah SD di desanya
nenek sering memberi uang jajan
dan ketika jenazah nenek dibawa
dari rumah kekubur
ayahnya menangis
sebuah sisir tanduk berwarna hitam
milik neneknya diberikan padanya

salat magrib dan isa selanjutnya
lelaki 56 tahun itu berdoa untuk
neneknya
dan sebuah quran dibelinya untuk wakaf
neneknya

Makkah, l2 Juni l993


BERTEMU BAYANG

matahari pagi
menurunkan bayang jendela
pada ruang sa'i
setiap aku berjalan
dari Safa ke Marwa
aku bertemu bayang itu
bayang yang jelas ada
tapi terputus-putus
tak jelas sambungannya

setiap aku melangkah
aku bertemu bayang itu
aku bertanya-tanya dalam diri
begitukah kiranya bentuk dosa hamba
yang jelas ada
tapi tak jelas asal usulnya

ya Tuhanku
walau hamba yang membuat dosa
dan kini lupa asal usulnya
hingga tak jelas
garis-garis hitamnya
tapi Engkau, Tuhanku
pasti tahu
Engkau Maha tahu
perjelaslah kembali
garis-garis hitam itu padaku
agar segera aku mensucikan diri
hamba berdoa
ampunilah dosa hamba
dan bukalah pintu rahmat bagi hamba

Makkah, l3 Juni l993


DALAM PERJALANAN

dalam perjalanan ratusan km
antara Makkah dan Madinah
telah kudengar ayat-ayat Mu diucapkan
dan bukit dan gunung diam mendengarkan
lembah dan pasir asyik menyimak

mendengar ayat-ayat Mu
punggung gunung batu hitam terbakar
seperti tercelup air dingin
pohon-pohon korma yang kering
seperti mendapat titik gerimis
dan batu-batu yang bertebaran
sepanjang jalan dataran padang
perjalanan
yang terbakar sepanjang tahun
seperti memperoleh curahan hujan
dan tanah pasir yang luas
seperti dimainkan angin yang nyaman
dan pohonan semak dengan dedaunan yang
tipis
yang selalu disengat matahari
seperti mendapat keteduhan gumpalan
awan

mendengar ayat-ayat Mu diucapkan
batu cadas dipinggir jalan
sepanjang perjalanan
seperti mendapat siraman
udara sungai
dengan air melimpah dan jernih

mendengar ayat-ayat Mu ya, Allah
jamaah dalam bus menuju Madinah
menuju rumah terakhir Nabi junjungan
merasa nyaman dan berkah dalam
perjalanan

Makkah - Madinah, l6 Juni l993


LELAKI 56 TAHUN DI MADINAH

kota Madinah
Senin sore diminggu keempat Juni l993
sinar matahari tetaplah panas
menuju mesjid Nabawi
untuk salat magrib
seorang lelaki 56 tahun
membeli dua qur'an
ketika meletakkan ditempat qur'an
di mesjid Nabawi
ia berniat untuk wakaf kakek dan nenek
yang sudah lama pulang kerahmatullah

udara di dalam mesjid Nabawi
dingin sekali
selesai salat magrib
ia berebahkan diri
diatas permadani
rupanya ia ketiduran
begitu terjaga
salat isa akan tiba
karena itu ia buru-buru
ingin mengambil air wudhuk
tapi baru lima langkah
seorang tua datang
bertanya dalam bahasa
yang tak dimengertinya
untunglah orang tua
yang sedikit bungkuk itu
bertanya sambil menggerakkan tangan
kewajah dan kesiku
yang ditafsirkan sebagai wudhuk
tempat wudhuk disana
mari ikut saya
saya juga ingin berwudhuk mendengar kata wudhuk
orang tua itu mengangguk
dan ketika diajak ia ikut
ia menurut
lalu mereka berjalan
perlahan-lahan menuju pintu
dan akan segera ketempat wudhuk

begitu tiba dipintu
lelaki 56 tahun mengambil sandal dari
plastik
lalu memakainya sambil turun ke halaman
ingat pada orang tua
ia menoleh rupanya sedang mengenakan
sandalnya
sambil melambai berkata
kisini, tempat air wudhuk disana
faham isyarat lelaki 56 tahun
orang tua itu mendekat
lalu mereka berjalan beriringan
perlahan-lahan mereka berjalan
mereka berjalan beriringan
ditempat yang agak tinggi
lelaki 56 tahun menunjuk kearah timur
berkata kepada orang tua disampingnya
itu tempat wudhuk
sambil mengajak bersama-sama kesana
tiga langkah berjalan
lelaki 56 tahun menoleh
tetapi aneh
orang tua itu
sudah tak ada
raib

ketika ia ingat-ingat
wajah orang tua tadi
persis sama
dengan wajah kakeknya
yang wafat 30 tahun lalu

Madinah, 22 Juni l993


DOA ORANG BERPAYUNG

orang berpayung itu
melangkah menuju mesjid Nabawi
ia akan melaksanakan salat asar
di bawah matahari Madinah yang terik
ia berdoa
ya Rabbi
izinkan hamba
salat asar lagi
di mesjid Nabawi
meski badan hamba
sangat lemah
(karena buang-buang air sejak pagi)
hamba biar berjalan
perlahan-lahan
hamba tahu keadaan
kesehatan hamba amat merosot hari ini
ini tentu ujian dari Mu
karena itu
biarkan hamba berjalan perlahan-lahan
biarkan hamba merambat
menuju pintu mesjid Nabawi
biarkan hamba terjerembab berkali-kali
tapi, ya Rabbi
izinkan hamba salat asar lagi
di mesjid Nabawi
izinkan kening hamba menyentuh lagi
lantai mesjid Nabawi
izinkan air mata hamba membasahi lagi
pualam mesjid Nabawi

Madinah, 23 Juni l993


YA ALLAH JADIKAN HAMBA

ya Allah
jadikan hamba
angin Madinah
agar dapat menggapai
puncak mesjid Nabawi

ya Allah
jadikan hamba
gerimis Madinah
agar dapat menyiram
dan membasuh tubuh
mesjid Nabawi

ya Allah
jadikan hamba
mata seorang pengunjung Madinah
yang tak bosan-bosan
menikmati keindahan
mesjid Nabawi

ya Allah
jadikan hamba
tangan seorang buta
pengelana Madinah
yang tak pernah lupa
lekuk bentuk
pintu mesjid Nabawi

ya Allah
jadikah hamba
kaki seorang perindu Madinah
yang tak pernah lelah
sehari lima waktu
tersungkur di mesjid Nabawi

ya Allah
jadikan juga hamba
jadi belalang Madinah
yang dengan riang
mengerubungi lampu mesjid Nabawi
kemudian setelah terbakar cahaya
ia mati


Madinah, 23 Juni l993


FADILLAH JUALAN TAS PLASTIK DI BANDARA KING ABDUL AZIZ

Fadillah baru l8 tahun usianya
datang dari Chad di Afrika
mengadu nasib ke Saudia Arabia
datang ke Jeddah
jualan plastik di bandara King Abdul
Aziz

Fadillah agak semampai
hitam orangnya
kulitnya hitam
bajunya juga hitam
ia tawarkan tak plastik
seharga 5 real setiap buahnya

Fadillah datang tersenyum
kepada setiap orang
giginya yang putih
dan matanya yang jernih
mengajak kita membeli dagangannya

Fadillah tertawa
bila dagangannya dibeli
dengan gesit ia melayani
dan bila dikejar polisi
terbirit-birit ia lari

Fadillah datang dari Chad
disudut Afrika
negeri yang kering dan papa
kini mencari nasib di Saudi Arabia
ketika ditanya ibu bapanya dimana
ia melengos pergi
seperti ingin berkata tak usah ditanya
kami sangat menderita
dan matanya yang bersinar
seperti memberi cahaya
bagi ruang hidupnya

Jeddah, 26 Juni l993


JANGAN MARAHI ORANG PINTER

ya Allah
jangan marahi orang yang pinter
yang pergi naik haji
lalu pulang membawa banyak barang
melebihi timbangan
dari yang telah ditetapkan
dan memang ia bisa tak membayar
kelebihan timbangan
karena otak pinternya ia pakai
dengan alasan untuk pelicin
dipemeriksaan
ia menyarankan kepada semua jamaah
untuk memberikan dana tambahan
tak terkecuali
jamaah yang kurang timbangan
dari yang telah ditetapkan

ya Allah
jangan marahi orang yang pinter
yang membawa barang berlebih-lebihan
begitu banyak lebih
sehingga air zamzam
semua jamaah
terpaksa tinggal
dan harus diangkut
dengan pesawat berikutnya
sehingga para jamaah
belum dapat membawa zamzam kerumah

ya Allah
jangan marahi orang yang pinter
yang pulang dari tanah suci
masih bernafsu membawa barang duniawi
meski mereka sudah memotong qurban
yang berarti sudah memotong leher hawa
nafsu dan keserakahan
ya Allah
jangan marahi orang yang pinter
yang baru pulang menunaikan ibadah haji
karena api marah Mu
alangkah panas
sedang ketika wukuf di Arafah
dibawah matahari saja
mereka sudah mengaduh

Jeddah-Jakarta, 26-28 Juni l993

CATATAN PADA DAUN (kumpulan puisi)

JABAL GHAFUR

Untuk N.A.R.

Kulalui petak sawah yang luas
Padinya hijau melambai padaku
Kulalui kebun kelapa
Tinggi pohonnya
Daun menggapai awan
Lalu turun
Menggapai hatiku

Kulalui desa-desa tua
Desa perjuangan masa lalu
Disana tersenyum ayah bundaku
Lalu kutembus kabut debu
Kutembus juga sejarah gelap masa lalu
Kutembus semua yang menghalangiku
Aku harus bertemu dengan mu
Aku juga sangat rindu padamu
Engkau adalah kekasihku
Engkau adalah
Rumah di bawah langit biru
Disitu menitik kasih Tuhan
Aku terpana
Aku bertanya siapa namamu
Lalu pepohonan, gunung di jauhan
Sungai dan lautan gelombang berseru
Semua berseru
Jabal Ghafur, Jabal Ghafur

Sigli, 25 Januari 1986


SEORANG TUA BERJALAN

Setiap hari ia berjalan
Dijalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Badan sedikit terbungkuk
Langkah satu-satu
Di jalan itu juga

Ada senja
Menyamarkan jalannya
Tapi ada bintang
Terbit menolongnya
Semua tak ia minta
Tapi turun begitu saja
Di jalan itu juga

Ada matahari terik
Meneteskan keringatnya
Tapi ada angin
Meniup tubuhnya
Datang begitu saja
Semua turun begitu saja
Di jalan itu juga

Setiap hari ia berjalan
Di jalan itu juga
Dibawah langit itu juga
Pohon, dedaunan
Tiang listrik, aspal jalanan
Begitu ramah padanya
Kadang seperti menegurnya
Selamat pagi
Atau selamat sore
Atau selamat malam

Oarng tua itu
Melangkah dan melangkah
Di jalan itu juga
Setiap langkah
Ia mengucap Allah

Jakarta, 1986


DI GERBANG KAMPUS ITU

Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba berdiri
Di gerbang kampus itu
Ia tengadah ke langit
Lalu menjerit
Suaranya hilang entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari bintang
Jatuh kebumi
Berserakan di bumi
Menjadi syair

Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba terengah
Di gerbang kampus itu
Setelah ribuan kilometer berlari
Mencari
Lalu tertunduk
Menangis
Tangisnya kemudina hilang
Entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari batu
Tergulir ke bumi
Menjadi puisi
Yang abadi

Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Kemudian pergi
Entah kemana
Di subuh hari
Ketika seorang mahasiswa
Membuka pintu gerbang kampus itu
Ia lihat kertas lusuh
Di sana tertulis
Tuhan, berkahi usaha mulia ini

Jakarta, 1986


SEDEKAH

Tujuh puluh bencana
Mengarah pada kita
Bagai mana menolaknya

Tujuh puluh sakit
Mendera kita
Bagaimana menyembuhkannya

Tujuh puluh pencuri
Mengganyang harta kita
Bagaimana mencegahnya

Tujuh puluh amarah Tuhan
Membakar kita
Bagaimana menghindarkannya
Bahkan membakar nadi kita
Bagaimana memadamkannya

Hampir kita lupa
Untuk itu semua
Ada satu cara
Sedarhana dan bersahaja
Mari kita bersedekah
Sedekah menolak bencana
Menyembuhkan sakit
Mencegah pencuri
Menghapus amarah Tuhan

Sedekah mencipta
Keakraban handai taulan
Sedekah mencipta
Suasana sejuk antara kita
Ia embun pagi
Menetes ke hati

Jakarta, 1985


166 NAMAKU

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan pepohonan dan rimba

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan sungai dan segara

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan besi dan baja

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan langit dan angkasa

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang disirami ibu-bapa
Kuncup bunga
Yang digayuti embun dinihari
Kuncup bunga
Yang diusap mentari pagi

Ya aku bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang ingin mekar
Ingin mengirim wangi sekitar

Jakarta, 1985


TAK ADA LAGI

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan sinar bulan
Yang dingin oleh rindu

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali mendengar rintih angin
Di air danau

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali memandang kuburan tua
Tempat istirahat nenek moyang ku

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali menyaksikan embun turun
Membasuh wajah rakyatku

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan gema doa
Dari orang yang menderita
Doa yang membumbung ke langit
Bersatu dengan awan
Bersatu dengan matahari
Lalu turun kebumi
Mendatangi rumahmu
Memberi salam padamu
Masuk kehatimu
Bicara tentang keadilan

Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Kecuali bekas masa kanak-kanak
Yang tertutup debu

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali melihat bayang sejarah
Perlahan tenggelam
Tak tertulis

Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Selain menyaksikan kasih Mu
Yang terus menyirami bumi

Lho’Seumawe – Takengon, Januari 1986


PESAN

Untuk Radio Rimba Raya
Jangan sampaikan pesan lagi padaku
Karena aku tak dapat lagi menyampaiakan pesan
Jangan kirim pesan lagi padaku
Karena aku tak dapat lagi mengirim pesan
Lihatlah, lidahku telah kelu
Mulut tertutup
Tubuh tinggal bayang

Dulu memang pernah
Bisikmu kusampaikan ke balik gunung
Keseberang lautan ke negeri-negeri jauh
Dulu memang pernah
Detak hatimu
Cita-cita merdeka mu
Kukirim kesetiap hati sahabat-sahabat
Atau musuh-musuhmu
Di desa, di kota, bahwakan di laut dan di rimba

Dulu memang pernah ada
Ucapan merdeka yang kau sampaikan bagai bisik
Kujeritkan sekeras-kerasnya
Hingga bergema menyentuh cakrawala
Bergelegar menjadi guntur
Merobek-robek angkasa
Hingga musuh gentar tak berdaya
Dan sahabat-sahabatmu mendegar ucapan itu
Bangkit
Bangkit, lalu berlawan habis-habisan
Semangatnya telah menjadi baja
Walau di tangan hanya bambu runcing saja

Dulu memang pernah
Saat malam menjelang pagi
Dengan suara menggigil karena dingin
Kusampaikan pesanmu
Tiktok tiktok hallo Sudarsono
Tiktok tiktok hallo Palar
Kirimi kami mentega
Kirimi kami susu
Kirimi kami beras
Kemudian datanglah kiriman
Dan yang datang adalah senjata
Lalu dibagi pada setiap tentara
Lalu mereka menembak musuh
Tepat di jidatnya

Dulu memang pernah
Ketika kita hampir tak punya daya
Ketika suara di pusat negeri ini dibungkam
Kami bangkit menyuarakan nurani bangsa
Hallo dunia
Hallo dunia
Negeri kami masih ada
Negeri kami merdeka

Tapi kini jangan sampaikan pesan lagi padaku
Karena tak dapat lagi kusampaikan pesan apa pun
Lidahku kaku
Mulut tertutup
Tubuh tinggal bayang
Tinggal bayang
Dari ingatanmu pun
Mungkin akan hilang

Takengon, 22 Januari 1986


BEKASMU

Nanti masih dapat kulihat
Bekasmu di pasir itu
Debu dan waktu
Memang ingin menutup masa lalu
Tapi matahari senja
Yang kuning kemerahan itu
Menerangi selalu
Bekasmu

Mungkin aku lupa
Pada perjalanan kita
Tapi debur ombak itu
Selalu berseru
Berseru
Menyebut namamu

Nanti masih dapat kuingat
Bekasmu dipasir itu
Karena pasir pun berbisik padaku
Menuntun arahku

Tapi sekiranya
Pasir pantai lenyap
Matahari hilang cahaya
Ombak kelu
Tetap dapat kuingat bekasmu
Karena telah kusimpan
Dalam kalbu

O bekas yang menggores
Peta jalur hidupku

Banda Aceh, 27 Januari 1986


GERAIKAN RAMBUTMU

Geraikan rambutmu, bidadariku
Geraikan
Lalu seribu bintang menyinari
Sehingga setiap helai tersepuh emas
Cakrawala memerah
Dan laut mabuk rindu

Geraikan rambutmu, bidadariku
Geraikan
Lalu angin malam menciumi
Sehingga setiap helai menyebar wangi
Bumi semerbak
Dan alam tidur dalam mimpi

Geraikan rambutmu, bidadariku
Geraikan
Izinkan disana akan lewat
Debu dosa
Menuju langit
Kemudian dari setiap helai
Menitiklah belai
Kasih tak henti
Mata air abadi
Dunia akan terjaga
Dari lelap lama

Medan, Februari 1986


BISIK

Kupelihara daun
Kusimpan batu
Dalam biliku

Bila ada ketukan di pintu
Mungkin tangan angin
Mungkin tanganmu

Atau mungkin
Tak siapa – siapa
Hanya malam
Tambah kelam
Dan sunyi
Menanti

Kupelihara daun
Kusimpan batu
Dalam biliku
Aku tahu
Jika aku rindu
Disana ku dengar bisikmu

Wahai, bilik ku yang sunyi
Apa dia juga mendengar bisik hati
Ucapan doa untuknya
Dalam syairku yang lara

Prapat – Jakarta, Februari 1986


PERCAKAPAN

Katakan apa yang ingin kau katakan,
Kata pantai pada ombak
Tak ada yang ingin ku katakan,
Jawab ombak
Aku rindu pada kata-katamu sekarang,
Kata pantai
Aku tak ingin berkata-kata sekarang,
Jawab ombak

Langit gelap
Bulan tak ada
Bintang tak ada
Bumi gelap

Ayolah kalau begitu berbisik sajalah
Aku tak mau berbisik

Sunyi sekitar
Daun tak bergetar
Alam terhampar
Dengan sabar

Kalau tak mau berkata- kata
Kalau tak mau berbisik saja
Lalu....
Ombak hanya berkejap
Ombak tak menjawab
Ombak dengan sedap
Mengelus pantai
Meremas pantai
Hingga malam usai

Medan – Jakarta, Februari 1986


KE LAUT

Ia pergi kelaut
Mencari ombak
Mencari kabut

Jutaan helai rambut
Gugur dari angkasa
Dari langit luka
Menerpa wajahnya

Ketika mengaduh
Sebelum rubuh
Jeritnya parau
Ombakpun risau
Menambah gembalau

Kini ia meniti kabut
Membubung bersama kabut
Kelangit yang kalut

Sigli, 31 Januari 1986


CATATAN PADA DAUN

Kau mencatat pada daun
Sebuah pesan
Ketika langit sangat biru
Tanpa awan

Setelah kau pergi
Jauh
Ku baca pesanmu
Lalu kusimpan
Jauh
Dalam diriku

Kini pesan itu
Mengalir dalam darahku
Dan bila aku mati
Ia kusimpan di syair sunyi

Jakarta, Februari 1986


BUNGA

Subuh itu ada yang memetik bunga
Disusunya di gelas kaca
Ditaruhnya di atas meja
Terasa Cezanne tiba
Menegaskan warna
Memberi kesegaran rasa
Yang sudah lama sirna

Jakarta, Februari 1986


MEDAN KOTAKU

Medan
Lemparkan aku kembali
Kelorong-lorong jalan kota mu
Akan kucari bekas kakiku dulu
Yang tertutup debu
Akan kucari tetes keringatku dulu
Yang menyirami bumi mu

Medan
Lemparkan aku kembali
Kerumah-rumah rakyatmu
Akan kucari bayang juluran tanganku
Yang raib oleh waktu
Akan ku cari sapa ku dulu
Yang ditiup angin kelabu

Medan, kotaku
Lemparkan, lalu dekaplah aku
Ke jantungmu
Biar kureguk lagi cinta kasihmu
Kasih yang perih
Menggoreskan derita
Kasih yang salih
Memberiku makna

Medan, Februari 1986


DISEBUAH ISTANA TUA

Sambil menaiki tangga
Kurasa telapak kaki ku
Menyentuh jejekmu dulu
Yang tersimpan pualam putih itu

Ketika berdiri di pintu
Tanganku yang terulur
Terasa dingin
Dingin
Menyentuh jemarimu
Yang disimpan waktu

Memasuki ruang balairung
Ragaku, ragaku yang rindu
Mendekap tubuhmu
O.... sosok sejarah yang pilu

Medan, Februari 1986


PADAMKAN

Bagai suara ibuku
Ia berbisik
Padamkan lampu
Kunci pintu
Lalu tidurlah
Aku lelah

Lalu aku padamkan lampu
Dan ia tidur
Dalam gelap
O tubuh pualam yang lelap
Mataku memandangmu tak berkejap
Engkaulah bidadari
Yang menjauhi dosa
Yang menolongku menghindari dosa

Medan, Februari 1986


LEWAT EMBUN

Lewat embun
Lewat sunyi
Suara azan subuh itu
Menyelinap kamarku

Lewat embun
Lewat sunyi
Air wuduk yang dingin
Membersihkan diriku

Lewat embun
Lewat sunyi
Aku sujud
Sujud
Kepada Mu
Hanya kepada Mu

Takengon – Medan, 1986


MIHRAB TUA

Tubuh tua
Terpupus sudah warna-warna
Tapi kaligrafi ini
Terpatri
O mataku yang buta
Telinga ku yang tuli
Kaligrafi ini
Terpatri
Mengalir dalam sunyi
Zikir dalam sunyi
Ya Rabbi, Ya Rabbi 1986

Sigli, Januari 1986


MENASAH KECIL

Ketika usia semakin menua
Dan hidup disibukkan kota jelaga
Tiba-tiba aku ingin berada
Di desa kecil desaku dulu
Yang ketika masih kanak-kanak
Shalat di atas tikar tua
Dengan dinding sebagian terbuka

Yang aku ingin sekali
Mengambil air wuduk dikali
Kaliku dulu
Airnya jernih selalu
Ya aku ingin sekali
Melekapkan kening ini
Pada tikar lusuh
Pada menasah kecilku
Mendekatkan diri pada - Mu

Dari kota jelaga
Yang keringatan dan terluka
Aku benar-benar ingat padamu
Desa kecil desaku dulu
Menasah kecil menasahku dulu
Tempat mula aku belajar
Membaca dan menghafal alif – Mu

Menasah kecil menasah kekasih
Kini engkau berdiri putih
Dalam cermin yang bersih
Cermin yang salih


BIARLAH

Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Biarlah nyanyianmu kusimpan di sana
Biarlah senyumanmu mengelopak disana

Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Biarlah perihku merintih disana
Biarlah lukaku mengaduh disana

Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Biarlah tarianmu terpahat disana
Biarlah kemudaanmu kemilau disana

Biarlah aku menulis puisi
Untuk kita
Tempat doaku mengalir disana
Doa musafir kembara
Yang selalu mencari kasih Nya


DOA UNTUK PENARI SEPI

Tuhan
Telah Kau ciptakan
Tari sunyi
Dengan gerak beku
Musik kelu

Tuhan
Kami antar penari sepi
Kerumahnya yang baru
Beratap langit biru
Ia hamba – Mu

Tuhan
Izinkan kami
Berharap dan meminta
Sambil menitikkan air mata
Beri kepada penari sepi
Kasih – Mu yang abadi

1985


KUTOREH

Kutoreh puisiku
Mencantumkan nama mu
Biar perih syairku
Melukiskan deritamu
O, negeriku

1985


SETELAH KITA

Setelah kita
Siapa lagi akan kesana
Memesan nasi dan sop ayam
Dan lalap kesukaan
Sambil duduk
Minum air jeruk

Air dari ketinggian berdesir
Mengalir ke kolam kecil
Aku suka warna ikan itu, katamu
Aku mengangguk
Aku suka percikan air gunung itu, kataku
Kubayangkan kau mengangguk

Sambil makan
Dengan rasa nyaman
Kita melihat hijau rumputan
Kita mendengar musik
Gemericik dalam tasik
Dan kilatan ikan
Bagai dalam lukisan
Yang kau goreskan

Masihkah kita
Suatu kali ke sana
Meski dalam usia renta
Melihat gemercik dalam tasik
Dan ikan yang kau goreskan
Dalam lukisan

Jakarta, 17 Februari 1986


AKAR TUA DI MUSEUM

Akar tua rapuh dan terpotong
Disimpan dalam kotak kaca
Disebuah museum tua

Tiba – tiba akar tua itu bergetar
Seperti ingin menjalar
Kedalam hujan renyai
Ke dalam angin membadai

Ia seperti ingin kembali
Memberi hijau pada daun
Warna-warni pada bunga
Dan sosok muda
Pada pohonan

Ia seperti ingin
Mengalahkan angin
Mengalahkan musim

Akar tua rapuh dan terpotong
Disimpan dalam kotak kaca
Disebuah museum tua

Medan, Februari 1986


ADA DOA

Di Sibaganding
Ada batu gamping
Batu coklat
Bergaris putih
Berpercik pijar
Batu keras
Kristal zaman lalu
Air mata nenek moyangku

Di Sihusapi Dolok
Ada pasir debu
Pasir kelabu
Bekas keluh
Semangat berpeluh
Nenek moyangku

Di Tomok
Ada tufa
Batu bersih
Hampir putih
Tergurat peta
Nasip nenek moyangku

Di Deli Tua
Ada andesit
Batu terhimpit
Batu diam
Berwarna kelam
Runcing tajam
Tempat semadi diam
Zikir moyangku
Kepada – Mu

Medan, Februari 1986

DALAM MAWAR

WANITA DARI LAMPADANG

Ada seorang wanita dari Lampadang
Rumah dan kampungnya dibakar
Lalu ia menyingkir ke hutan rimba

Ketika remaja
Ia bukan gadis manja
Ringan tangannya
Bergunjing ia tak suka
Tak sombong ia
Tekun belajar agama

Langit bersih
Udara nyaman
Ketika itu
Tiba-tiba pasukan Belanda
Menyulut nyala
Membakar Mesjid Baiturrahman
Api marak tak tertahan

Wanita dari Lampadang itu
Keluar rumah buru-buru
Matanya merah
Menatap kobar api
Lalu menjerit
Wahai rakyat Aceh yang beriman
Lihat sendiri
Rumah suci
Mereka bakar dengan api
Nama Allah
Mereka cemarkan
Masikah kita
Mau jadi budak Belanda ?

Lalu
Semua orang
Keluar rumah
Pedang dan rencong
Dicabut dari sarong
Semua mereka berseru
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Seketika pucuk rumput berdarah
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Kolam-kolam berwarna merah
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar
Langit berwarna merah
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar

Orang Belanda
Kohler namanya
Jenderal pangkatnya
Tewas saat itu juga

Wanita dari Lampadang
Menyapu keringat di keningnya
Perlahan tersenyum ia
Melihat Belanda mundur
Surut bertempur

Jakarta, 1985


BANDA ACEH

Yang masih ku ingat tentang dirimu
Adalah pahatan sejarah di batu
Dalam goresan bisu
Yang kuraba dengan rindu

Ujung Bate, 8 Agustus 1986


LAUT SIGLI

Semua keluh kukirim kepadamu
Semua risau kubenam kelaut mu
Rasa kesal dan benci kusampaikan kepadamu
Rasa kawatir dan takut kuceritakan padamu
O, laut Sigli

Semua derita ku tumpahkan kepadamu
Semua rindu kunyanyikan untukmu
Rasa sunyi dan nyeri kukirim padamu
Rasa takluk dan menyerah rubuh kepangkuanmu
O, laut Sigli
Izinkan aku memanggilmu
Ibu

Sigli, 21 Juli 1986


KASUR

Kau rajut daun
Dengan benang kasih
Kau susun pasir
Dengan nada rindu
Menyiapkan kasurku
Untuk tergolek tidur
Dan mimpi
Di sampingmu

Ujung Bate, 1986


KENING BULAN

Kening bulan
Bagai perak berkilau
Bersinar oleh cahaya iman
Yang selalu melekat
Di sajadah

Kening bulan
Bagai perak berkilau
Mendekatlah
Kepada angin kembara
Yang nestapa
Yang mencari
Dan mengembara
Di belantara dunia

Mendekatlah
O kening bulan
Angin kembara
Ingin mengecupnya
Untuk melepas risaunya

Jakarta, 1986


PERJALANAN MALAM

Seperti awan
Menjamah punggung bukit di jauhan
Begitu jemariku
Penuh kasih
Penuh rindu

Sebuah perjalanan malam
Sudah kita lalui
Perjalanan rindu
Antara awan dan bukit
Antara kau dan aku

Jakarta, 1986


BILA KELAK

Wahai
Bila kelak
Kau berangkat
Memetik bunga
Dan menari
Sepanjang jalan raya
Lemparkan aku di pasir

Aku akan tinggal di pasir
Aku akan berumah dipasir
Aku akan tidur di pasir
Aku akan mengutip nyanyianmu di pasir
Aku akan meraba kasihmu di pasir
Di pasir
Rindu kita akan tetap mengalir

Jakarta, 1986


MENCARI JEJAK

Malam itu
Aku
Seperti terlempar
Di kotamu

Aku memang tidak punya apa-apa
Dan tak mencari siapa-siapa
Jendela dan pintu
Telah tertutup untuk ku

Angin dengan leluasa
Merubuhkan tubuhku
Di emper-emper toko
Dan got jalanan

Tapi mimpiku mengalir
Bersama sunyi
Mencari jejakmu
Sampai dini hari

Penayung, 8 Agustus 1986


DI TANGSE

Siapa yang masih mendengar suara
Yang bangkit dari rumput
Siapa yang masih mendengar suara
Yang mengalir dari air
Siapa yang masih mendengar suara
Yang menjerit dari tanah
Dari daun
Dari pohon
Dari duri
Dihutan Tangse ini
Suara serak parau
Suara wanita
Yang berkata
Jangan sentuh aku
Jangan
Meski aku haus
Dan kau tawarkan air minum
Jangan sentuh aku
Meski lukaku menganga
Dan kau ingin membalutnya
Jangan
Jangan sentuh kulitku
Kerena kau kafir
Musuhku

Banda Aceh, 2 Agustus 1986


UNTUK DO KARIM

Pagi ini
Seperti ada yang menitik ke bumi
Barangkali embun
Atau gerimis sunyi
Atau desah syair sepi

Pagi ini
Seperti ada yang bergumam di bumi
Barangkali suaramu
Atau jerit luka
Atau tusukan syairmu
Ke hulu hati

Pagi ini
Seperti terdengar kersik angin
Atau percik keringat bumi
Mengguratkan namamu
Di pualam abadi

Sigli, 20 Juli 1986


SINAR

Tuhan
Aku perlu matahari
Sinar yang kau hamparkan
Bagi umat semesta
Tapi aku perlu juga
Sinar mata kekasih
Sinar mata yang menggorek dosa
Dan menggantinya
Dengan amal dan iman

Lamprik, 9 Agustus 1986


GEMBALAU

Tiba-tiba ada gembalau di hati
Bagai gelombang
Bagai angin
Menderu
Ke daerah tak bertepi
Mungkin ke hatimu yang sunyi

Takengon, 5 Agustus 1986


TANYA

Ku nikmati titik gerimis senja itu
Bagai sinar matamu meyerbu tubuhku
Dan dia bertanya
Dengan bahasa semesta

Kp. Laksana, 4 Agustus 1986


CUKA

Kau bertanya tentang lukaku
Aku bertanya tentang lukamu
Kita saling bertanya
Lalu
Kita saling
Merendam diri dalam cuka

Banda Aceh, 4 Agustus 1986


MATA AIR

Jangan terbangi hutan
Agar mata air terus mengalir
Mata air bagi sawah
Mata air bagi pengembara
Dan kerongkongan yang kering

Jangan ganggu keteduhan
Agar mata air terus mengalir
Mata air bagi syairku
Mata air bagi penyair
Dan pena yang dahaga

O keteduhanmu
Kekasih
Jangan ganggu ia
Dengan nafsu, iri dan dengki
O keteduhanmu
Kekasih
Peliharalah dengan kasih
Dengan doa
Dan iman kepada Nya

Lamprik, 9 Agustus 1986


DIBALIK KACA

Dibalik kaca
Kau berseru
Bulan, bulan

Bulan manis
Tanpa gerimis
Mengapung di rimba Sumatra
Mengapung di Selat Malaka

Dibalik kaca
Kau membaca
Syair purba

Bintang terang
Berkedip cemerlang
Diatas rimba Sumatra
Di atas selat Malaka

Di balik kaca
Mengalir nyanyian bunga
Persembahan perdana
Bagi alam semesta

Jakarta, 1986


RIMBA

Lewat sisa gerimis di kaca
Kita saksikan rimba
Rimba yang tertutup kabut
Dan bukitpun dilingkup senyap

Cipayung, 7 Maret 1986


KITA RINDU

Kita rindu
Keteduhan pohon
Seperti kita rindu
Belai tangan ibu
Saat kita di jepit batu
Batu gelisah itu

Kita rindu
Nyanyian di bawah bulan
Seperti kita rindu
Suara ibu
Berkenan menyapu luka
Luka yang berdarah itu

Rawamangun, 6 Maret 1986


DENGAN SAYAP PUISI

Dengan sayap puisi
Ia terbang
Dari satu negeri
Ke lain negeri

Langit biru
Adalah warna bajunya
Hijau pegunungan
Adalah kesejukan hatinya

Dengan sayap puisi
Ia terbang
Dari bintang
Ke bintang
Memetik bunga cahaya
Lalu ia sebar
Ke taman-taman dunia
Ia titipkan juga
Di gubuk orang yang menderita

Jakarta, 20 Maret 1986


SORE ITU

Sore itu
Kau bernyanyi
Bersama angin
Kau bernyanyi
Bersama ombak
Kau bernyanyi
Bersama daun luruh
Kau bernyanyi
Bersama batu yang diam

Ya sore itu
Kau bernyanyi juga
Bersama syairku
Syair yang akan lahir
Dari kilau sinar matamu
Sinar mata yang menjalin
Baris-baris syairku

Ujung Bate, 8 Agustus 1986


DATANGLAH

Datanglah sakit
Sakit ya sakit
Datanglah pedih
Pedih ya pedih
Hingga sakit
Di mana- mana
Pedih
Dimana-mana
Dalam diriku

Setiap sakit baru
Menimpa sakit yang lama
Bergumullah sakit dengan sakit
Pedih dengan pedih
Seluruh diriku sakit
Seluruh diriku pedih

Hingga
Sakitku lelah
Pedihpun lelah
Kutatap dengan mata cahaya – Mu

Ketika fajar tumbuh
Sakit dan pedih rebah
Ia tidur dalam dagingku
Ia lelap dalam darahku
Kini sakit dan pedih
Menjadi teman akrabku
Ia bagai bintang
Menerangi dan menunjuk arahku

Surabaya – Jakarta, 31 Maret 1986


DIBAWAH HUJAN

Dibawah hujan bagai kapas
Siang itu
Aku mencarimu
Tetapi hanya gerimis
Yang melintas

Ada daun luruh
Membuat hening
Melengkapkan sunyi
Pencarianku

Yogya, 27 Maret 1986


NYANYIAN BUNGA

Aku barangkali
Tak memerlukan pena lagi
Untuk menulis kata
Karena kata
Telah dibawa cahaya

Aku barangkali
Tak memerlukan suara lagi
Untuk menyampaikan
Ucapan
Karena suara
Telah direbut angin

Tapi aku tau
Aku memerlukan
Nyanyian bunga
Mengaliri sukma
Ketika angin dan cahaya
Berbisik
Lalu rebah di pangkuan mu

Adik, sungguh aku memerlukan
Nyanyian bunga
Yang berdendang
Menderu dalam kalbu
Untuk mencatat sunyi
Bumi

Surabaya – Jakarta, 31 Maret 1986


JAWABAN KANCAMARA

Disebuah istana
Seorang puteri jelita
Bertanya
Kepada seorang anak muda
Kancamara
Coba jawab pertanyaan ku ini
Apa yang panas
Terpanas
Di alam ini
Dibanding dengan api ?

Kancamara menjawab
Segera berkata
Yang panas
Terpanas
Di alam ini
Adalah
Amarah di dalam hati

Puteri jelita
Bertanya pula
Apa yang dingin
Paling dingin
Di alam ini ?

Perasaan orang
Yang nyaman
Yang niatnya
Dicapai
Dengan izin Tuhan

Nah ini
Satu lagi
Kata putri
Apa yang disayang
Paling di sayang
Di dunia ini ?

Yang disayang
Paling disayang
Di dunia
Bohong dan dosa

Jakarta, 25 Juni 1986


SEPERTI LEONARDO DA VINCI

Seperti Leonardo da Vinci
Iapun suka berjalan sendiri
Kadang dalam sunyi
Menanyakan bunga
Menanyakan matahari

Seperti Leonardo da Vinci
Ia pun suka mencari
Daun dan batu di kali
Kadang bernyanyi
Bersama bintang
Hingga pagi
Kadang bertanya
Ke mana raibnya
Cahaya demi cahaya

Seperti Leonardo da Vinci
Ia ingin
Mengekalkan semua ini
Dalam goresan abadi

Jakarta, 5 Maret 1986


KESAMUDRA

Pejamkan matamu
Lalu saksikan
Jejak kita
Di pucuk ombak

Heningkan sekitarmu
Lalu tangkap
Kata-kata kita
Di angin lewat

Sepikan dirimu
Lalu dengar
Detak rindu kita
Di nadi yang bergetar
Jejak
Kata-kata
Dan detak rindu kita
Mengapung di sungai kasih
Mengalir kesamudra kasih
Samudra yang putih
Kasih yang bersih

Danau Toba, 8 Pebruari 1986


BATU PUTIH

Kepala perempuan dari batu putih itu
Mengangguk pada kita
Apa ini maknanya
Kemudian menggeleng
Apa pula ini maksudnya
Lalu ia diam
Apalagi ini artinya

O bahasa isyarat
Yang sarat makna
Hamba dungu
Beri petunjuk Mu

Sono Budoyo, Yogya, 27 Maret 1986


SUNYI

Sore itu gerimis lagi
Rumah dan pepohonan
Disaput sunyi

Cipayung, 7 Maret 1986


HA... HA...

Ha... ha...
Lalu bunga mengelopak di taman
Lalu seribu pucuk bergetaran

Ha... ha...
Lalu bintang berkedipan
Lalu seribu cahaya berkilauan

Ha... ha...
Lalu suara merdu dialunkan
Lalu seribu nyanyian didendangkan

Ha... ha...
Lalu laut bergelora
Lalu seribu debur membahana

Ha... ha...
Lalu alis degerakkan
Lalu seribu isyarat dibangunkan

Ha... ha...
Lalu nafsu birahi dimatikan
Lalu kasih sejati dihidupkan

Ha... ha...
Menglir bunga rindu
Mengalir bunga kasih

Ha... ha...
Hening sungai rindu
Hening sungai kasih

Jakarta, 1 Maret 1986


OMBAK

Ombak samudra
Semakin deras menerpa
Tebing sukma
Ombak berpeluh
Datang dari jauh

Dalam pagi ku
Dalam siangku
Dalam malam ku
Ia terus berlagu
Nyanyian sendu

Cahaya Mu
Memberi sinar
Pada ombak
Dan ombakmu
Memberi sinar
Pada sukmaku
Hingga diriku
Penuh dengan
Binar rindu

Entah
Kapan segalanya akan reda
Tapi ombak samudra
Dan tebing
Memang sedang bercanda

Jakarta, 27 Februari 1986


KUNANG – KUNANG

Selaksa kunang – kunang
Menerangi kelam
Selaksa kunang – kunang
Menerangi hatiku
Terima kasih Tuhanku

Cipayung, 8 Maret 1986


DALAM MAWAR

Tak Lagi
Kutiup suling sedih
Bila sedih
Datang
Ku peras saja
Air mata
Lalu kusiram bunga
Air mataku
Akan mendaki
Akar mawar
Mendaki pohon
Cabang dan bunga
Dengan sabar

Sedihku kini
Mengalir dalam wangi
Wangi mawar

Jakarta, 8 April 1986


SUARA DARI GUNUNG

Untuk Pak Bus

Inilah suara daun
Inilah suara ranting
Inilah suara rimba
Yang mengalun
Menyusur lembah
Menyusur pantai
Menembus kabut
Menembus kelam
Kelam yang kelam
Suara yang ingin bersuara
Suara bersahaja
Suara rakyat jelata
Yang ingin bersuara
Suara dari gunung
Yang bertahun-tahun terlindung
Kini mendengung
Mengaliri belantara
Menempuh samudra
Bergetar dicakrawala
Suara bersahaja
Suara rakyat jelata
Bukan sekedar
Menyampaikan derita
Tapi juga ingin mengulurkan
Salam bahagia
Salam suka
Karena suara gunung
Terdengar juga
Di kota
Bahkan bergetar
Dihati bapak

Takengon, 26 February 1987


DEBU

Berjalanlah puisi
Menyusuri darahku
Dengan kaki ajaibmu
Ketuk pintu-pintu
Dan bangunkan
Debu dalam diriku

Km Rinjani, 27 November 1986


MEMBUMBUNG

Daun sudah kering
Tak apa
Catatanmu
Sudah ku pindah
Dalam kalbu
Dan bila kalbu kering
Tak apa
Catatanmu
Sudah kupindah
Ke dalam arwahku
Ia membumbung
Kelangit biru
Langit sunyi
Langit abadi

Km Rinjani, 29 November 1986


K.A. KITA

K.a. kita
Kereta tak beroda
Tapi kencang larinya
Ia juga tanpa mesin
Tapi terbang mendesing
Menuju cakrawala
Yang tanpa batas
Sebuah maya cinta

K.A. Bima, 31 Maret 1986


DALAM KABUT SAMAR

Biarlah aku tak dikenal
Orang ramai
Biarlah aku tinggal
Dalam kabut samar
Kabut rahasia
Tapi bagimu
Reguklah air jernih itu
Dari mata air
Yang selalu mengalir

Biarlah aku tak di kenal
Tapi kau tentu hafal
Siapa mata air itu
Dan itu sudah cukup bagiku

Jakarta, 11 September 1986


TAK ADA LAMBAIAN

Hari ini
Tak ada lambaian untukku
Pelabuhan sepi dan kelabu
Tak ada senyum
Kuntum bunga
Dan tak ada
Desah angin lirih
Tanda bersedih

Dimana tersimpan
Semua itu
Saat aku
Sangat ingin
Menyaksikan lambaian
Melihat senyum bunga
Dan mendengar desah
Angin sedih dan basah

Dimana tersimpan
Semua itu
Pegunungan dan pepohonan
Di jauhan
Hanya terpaku bisu

Blang Bintang, 9 September 1986


KALAU ENGKAU

Kalau engkau datang lagi
Aku punya teman lagi
Tapi kalau engkau pergi jauh
Aku punya teman pergi jauh

Kalau engkau pergi ke awan
Aku punya teman pergi ke awan
Kalau engkau pergi memetik bintang
Aku punya teman pergi memetik bintang

Kalau engkau pergi ke laut biru
Aku punya teman pergi ke laut biru
Kalau engkau manari di pucuk ombak
Aku punya teman menari di pucuk ombak

Kalau engkau bernyanyi di pantai
Aku punya teman bernyanyi di pantai
Kalau engkau menggores rindu di pasir
Aku punya teman menggores rindu dipasir

Kalau engkau datang lagi
Aku punya teman datang lagi
Tapi kalau engkau pergi
Aku tak punya teman lagi

Aku
Tak punya
Teman
Lagi
Langit
Bumi
Jadi sunyi

Jakarta, Agustus 1986


KUTEMANI KAU

Ku temani kau melangkah
Ke padang kembara
Ke hutan sunyi tak terduga
Kutemani kau menempuh malam
Mencari bintang gemintang
Kutemani kau menempuh siang
Menyaksikan lembah dan pegunungan
Ku temani kau mendengar
Nyanyian sungai
Suara merdu diantara deru batu
Kutemani kau berjalan dipantai
Ketika ombak
Mengeluh berderai
Kutemani kau menunggu senja hari
Saat kau menggoreskan
Duka dalam puisi
Masihkah kau berkata
Kasihku padamu
Kecil saja

Banda Aceh – Jakarta, awal September 1986


NASEHAT KEPADA DIRI SENDIRI

Tadah tetes – tetes kesepian
Ke dalam cawan
Lalu dengan tenang
Tatap berjuta ombak
Yang gelisah bergerak
Mendaki sepi
Kemudian minum
Air kesepian
Dari cawan
Biarkan ia mengalir
Ke dalam diri

Tanjung Perak, 28 November 1986


MENGEPAK

Kelopak bunga menggelegar
Di pinggir padang hijau

Di jauhan gunung mendayu
Dalam nyanyian rindu

Dan burung itu mengepak
Dalam gugusan yang panjang
Burung itu
Mengepak
Dalam barisan
Yang panjang
Dau jauh
Tak mengeluh

1986


NYANYIAN LHO SEUDU

Lembut ombak di Lho Seudu
Menjamah pantai satu-satu

Ramah ombak di Lho Seudu
Memberi salam padamu dan padaku

Semilir angin di Lho Seudu
Mengusap wajahmu dan wajahku

Hijau daun di Lho Seudu
Menyimpan gairahmu dan gairahku

Terjal karang di Lho Seudu
Menahan risaumu dan risauku

Putih pasir di Lho Seudu
Mengutip kasihmu dan kasihku

Biru laut di Lho Seudu
Membenamkan gelisahmu dan gelisahku

Teduh langit di Lho Seudu
Melindungi perjalananmu dan perjalananku

Diam batu di Lho Seudu
Menyimpan rahasiamu dan rahasiaku

Lho Seudu-Banda Aceh, 28 Agustus 1986


KELOPAK BIRU

Di gumpal awan
Kutulis namamu
Dan ku tulis juga
Syair cinta

Nanti bila
Awan turun
Bumi di siram kasih
Bunga akan menyimpan
Namamu
Dan sebuah syair cinta
Tergores dikelopak biru
Yang kutulis untukmu

Jakarta – Banda Aceh, 25 Agustus 1986


CATATAN MURID SD DI SEBUAH KOTA KECIL

Inilah catatanku
Catatan murid SD
Di sebuah desa kecil
Yang jauh terpencil

Lewat buku
Yang berdebu
Aku tahu
Tentang sebuah desa
Dipinggir kota
Dibangun bersama – sama
Pejabat dan rakyat jelata
Yang kaya
Memberikan harta
Yang miskin
Menitikkan keringatnya
Bersama-sama
Mendirikan
Sebuah taman pendidikan

Lewat lembar yang berdebu
Yang ku buka satu-satu
Kubaca
Pikiran yang jernih
Niat yang tulus
Dari orang-orang pintar
Membangun
Sebuah taman pendidikan

Lewat lembar yang lepas
Kerena kurang bagus jilidnya
Kubaca
Sejumlah nama
Yang dapat kuhafal satu-satu
Nama yang melekat
Di kepalaku
Sebagai nama
Pohon-pohon dikebunku
Nama yang terus tumbuh
Nama orang yang berjasa
Nama yang tak bisa kulupakan
Kuukir dibatu sebisaku
Lalu kususun di bukit
Di desaku
Bukit itu seperti biasa
Selalu kena cahaya
Dan letaknya bangus
Setiap orang kekali
Orang akan memandangnya
Aku akan bangga
Bila orang desaku
Menyenangi ukiranku
Dan lebih bangga
Bila mereka tahu
Siapa nama yang ku ukir itu

Inilah catatanku
Catatan seorang murid SD
Di desa kecil
Yang belum pernah sempat
Berkunjung
Ke taman pendidikan
Yang kubaca
Dalam buku itu
Tapi aku tahu
Betapa jernih
Ia dalam benakku
Dan kupahat namamu
Dalam hatiku
Kadang-kadang sesekali
Mengalir dalam gumam
Darussalam, Darussalam

Gumamku di bawa angin
Sehingga gunung dan lembah
Menggemakan suara
Darussalam, Darussalam

Gumamku di bawa air
Lewat kali mengalir
Dan memercik suara
Darussalam, Darussalam

Gumamaku direbut awan
Yang terbang kelangit
Disana ia menjerit
Darussalam, Darussalam

Banda Aceh, 31 Agustus 1986


DISEBUAH KOTA INDUSTRI SUATU PAGI

Tiga orang lelaki desa
Tiba pada sebuah kota industri
Mata mereka membesar
Ketika melihat akar
Bukan yang mengokohkan pohonan
Tapi akar baja
Yang mengokohkan bangunan
Mata mereka silau
Bukan oleh sinar fajar
Tapi silau oleh sinar lampu pijar

Karena telah diguncang Bus
Tepat jam 10.30 malam
Mereka tidur
Dibaraknya
Barak nomor dua
Mereka lelap
Meski kota industri itu panas
Tapi alangkah nyaman rasanya
Dibarak nomor dua ini
Udara dingin sekali
Udara tehnologi

Pagi hari
Seperti di desa mereka yang dingin
Lelaki itu bangun
Mandi, berwuduk
Lalu sholat subuh
Udara tehnologi
Terus menyirami
Dalam bercakap-cakap
Tentang tempat tidur
Yang lembut dari busa
Dan tentang air yang muncrat
Dari pipa

Pagi jam tujuh
Setelah subuh
Tiga lelaki desa itu
Berjalan dan berjalan
Sepuluh menit kemudian
Dengan rasa aman
Mereka tiba
Di depan ruang makan
Tapi alangkah sepi
Ruang makan ini
Meja-meja korsi-korsi
Memang ada
Tapi tamu tak ada
Seorang pun tak ada

Ketika seseorang melintas
Di tengah ruang
Lewat kaca
Seorang lelaki
Dari desa itu
Bertanya
Mengapa pintu itu ditutup
Dan apa makanan tak ada
( Semua pertanyaan dilakukan dengan bahasa isyarat )

Orang yang ditanya
Menggoyang-goyangkan tangannya
Mungkin artinya
Sudah habis
Sudah tak ada
Sudah tutup
Tetapi lelaki dari desa itu
Tetap ingin masuk
Lalu pintu di buka
Dan terdengar suara
Sudah tak ada apa – apa
Air panas pun tak ada?
Tak ada semua sudah dingin.
Tak apa dingin pun tak apa
Lalu ketiga lelaki desa
Minum sekedarnya
Lalu permisi
Pada sepi
Lalu mereka berjalan
Dan berjalan
Dilorong-lorong kota industri
Dengan perut tak jadi di isi

Lalu mereka berjalan
Dan berjalan
Dilorong-lorong kota industri
Dengan sanubari terisi
Ketika bersua dengan rumput
Rumput yang hijau
Mereka seperti berkata
Dalam hati
Kita puasa hari ini

Lhok Seumawe, 20 Februari 1987


KRUENG DAROY

Untuk IH

Bila mendesir
Krueng daroy
Membangunkan tidurmu
Subuh itu
Bangunlah
Itulah suara kami
Rakyatmu
Yang selalu berseru
Memuja Tuhan

Bila berkilau
Krueng daroy
Sore itu
Tersenyumlah
Itulah senandung hati kami
Rakyatmu
Yang ingin hidup aman
Dan tentram

Bila berdendang
Krueng daroy
Menghibur hati
Malam itu
Sujudlah
Itulah doa kami
Rakyatmu
Yang hidup dalam iman
Dan memuja Tuhan

Krueng daroy
Krueng daroy
Kami bersyukur
Bersyukur dalam tafakur
Krueng daroy
Krueng daroy
Bila lelap nanti
Bangunkan kami
Dengan desirmu
Desir mengalir
Bersama azan subuh dinihari
Untuk memuji Illahi Rabbi

Jakarta, 17 Agustus 1986


UNTUK TGK CHIK PANTE KULU

Tak kutahu
Dimana akan kubaca namamu
Dipapan tak ada
Dibatu tak ada
Di tanah tak ada
Dirumput tak ada

Tak kutahu
Dimana akan kutulis namamu
Pohon tak ada
Angin tak ada
Awan tak ada
Tapi ketika kuambil air wuduk
Dengan tubuh terbungkuk
Hati bergetar
Memberi kabar
Namamu tertulis disini
Di hati

Darussalam, Banda Aceh, 8 September 1986


DOA SEHELAI DAUN

Bila saatnya tiba
Beri aku angin
Menggugurkan diri
Ke bumi

Aku akan tidur
Dalam kelopak dunia
Yang mekar
Oleh senyum kekasih hamba

1986


AKU TIBA-TIBA RINDU

Selesai shalat Isa
Dalam pelayaran ini
Aku tiba – tiba rindu
Pada ibu
Apakah ibu
Sedang berlayar juga
Di alam baqa
Serta masih
Sempat menjagaku
Seperti masa kanak dulu

Laut Jawa, 20 November 1986


BINTANG – BINTANG

Di langit bintang – bintang
Teratur berjalan
Sambil berjalan
Ia kirim sinar
Kepada kegelapan

Aku ingin
Seperti bintang
Teratur berjalan
Dan mengirim sinar
Kepada kegelapan

Tapi aku hanya debu
Setitik debu
Tak punya sinar
Tapi aku
Tak sekedar debu
Tak sekedar setitik debu
Kalau aku mau
Dengan redha – Mu
Aku bisa jadi bintang
Menerangi hatiku
Untuk memberi sinar
Pada kegelapan

Jakarta, 7 November 1986


DOA UNTUK CAMAR KECIL

Camar kecil
Terbang menggigil
Dalam mega
Menempuh badai
Beri dia
Bulu yang hangat
Oleh kasih – Mu
Beri dia
Sayap yang kuat
Oleh Redha – Mu
Beri dia
Hati yang terang
Oleh sinar – Mu

Jakarta, 8 April 1986


KARANGAN BUNGA

Sambil tertawa
Disusunnya bunga
Menjadi karangan bunga

Sambil tersenyum
Dijualnya karangan bunga
Lalu dibawa orang ke kubur
Untuk menemani si mati
Dalam sunyi
Menemui engkau, Ya Robbi

Jakarta, 2 Desember 1986


PERJALANAN SUBUH

Hari masih subuh
Subuh benar – benar subuh
Ketika kami mencari mesjid
Untuk sholat subuh

Dalam perjalanan
Di tengah embun
Di tepi jalan kami berhenti
Sebuah lampu templok
Bersinar lemah
Menerangi ruang yang luas
Dalam mesjid
Si sebuah sudut
Dalam samar
Dalam sunyi subuh
Suara seorang hamba
Terdengar bergetar
Melafazkan ayat-ayat Mu
Dijauhan terdengar
Kokok ayam bergetar
Melafazkan ayat-ayat Mu
Air pancuran mengalir
Mendesir
Melafazkan ayat-ayat Mu

Hari masih subuh
Subuh benar – benar subuh
Embun kasih Mu
Mengalir kehutan – hutan
Ke pucuk pohonan
Mengalir ke kubah mesjid
Menyusup keruang luas
Dan sajadah sejuk oleh kasih Mu
Dan cahaya lampu menggeliat
Oleh kasih Mu
Meski penat
Ia terus menggeliat
Melafazkan ayat-ayat Mu

Takengon, 8 Januari 1987


DOA SEORANG PENDAKWAH PROFESIONAL

Tuhan
Hamba adalah seorang pendakwah profesional
Memang hamba lahir di kampung
Besar di kampung
Lalu bedakwah di kampung
Gambar hamba tak pernah tersiar
Di surat kabar
Hamba ini
Tak pernah muncul di TVRI
Tapi hamba tetap pendakwah profesional
Karena syarat untuk itu hamba penuhi
Hamba rajin membaca tentang agama
Dan tak lupa membaca tentang budaya
Termasuk sastra
Hamba faham pikiran Ghazali
Iqbal, Hamzah Fansuri, Ar-Raniri
A. Hasimy hingga Latief Rousdy
Hamba menguasai materi
Dan tahu kepada siapa dakwah di beri
Hamba fasih
Berkata-kata
Suara hamba merdu
Sering orang terpesona
Kalau hamba bicara
Orang banyak memuji
Pada diri hamba ini

Tuhan
Kadang kala datang rasa aneh
Rasa bangga
Ingin tepuk tangan
Ingin pujian
Inikah perasaan yang hamba pupuk
Bisa – bisa ini menjadikan
Kesombangan
Wah, ini celaka
Hamba tahu
Hamba hanya sebutir debu
Karena iu hamba malu
Hamba sangat malu

Tuhan
Beri hamba
Ketetapan hati
Untuk tetap rendah hati

Lhok Seumawe, 9 Januari 1987


SEORANG SAHABAT DI PINGGIR DANAU

Seorang sahabat datang
Datang dari negeri jauh
Dalam keringat yang berpeluh
Matanya menatap danau
Ia berkata-kata dengan danau
Ia berbicara dengan orang-orang berpeci
Di pinggir danau
Ia berbicara dengan orang – orang berkerudung
Di pinggir danau
Ia berbisik dengan ombak danau
Ia bersihkan diri dengan air danau
Kemudian
Ia sujud diatas batu di pinggir danau
Lama ia sujud
Kemudian
Tubuhnya bergoncang
Matanya basah
Ia tengadah
Mengucap Allah

Takengon – Jakarta, November 1986


AZAN

Azan itu
Diucapkan ombak laut
Dengan gumam
Gumam yang dalam

Azan itu
Kuucapkan dengan rindu
Rindu yang dalam
Kepada Mu

Laut Jawa, 28 November 1986


SHALATKU

Shalatku
Bagai mawar
Bunga dalam taman
Memberi kesejukan
Dan menyebar wangi
Dalam ladang kehidupan

Shalatku
Bagai pisau
Kuasah berkilau
Semakin tajam
Untuk menikam
Dosa – dosaku

Shalatku
Bagai titi
Kujalin dalam sunyi
Jembatan kepada Mu
Ya Robbi

Jakarta, 5 November 1986