Selasa, 23 Maret 2010

PUISI GAYO

L.K.Ara

SARIK

ike denem aku kin ningko
kunantin ulen reduk
kedang iyone salakmu petungkuk

ike denem aku kin ningko
kujamah pucuk ni kerpe lemi
kedang iyone sebukumu temuni

ike denem aku kin ningko
ku entong gelep ni lo
kedang sisumu i parinko iyone

ike mukale aku kin ningko
betajir aku wan uren
kedang iyone munetep eluhmu

ike mukale aku kin ningko
musangka aku kuwan bade
kudemu iyone
kerasni sarikmu

Takengon, l97l
-------------

L.K.Ara

GERELMU

i tetayang kuyu
kutatangan pumu
duh, ringen ni tubuh
aku mulelayang
bersenggayun
iwan ulen ku ukir gerelmu

urum kuyu
urum emun
rembegengku turun
pucuk ni kerpe bengi
nami bengi
ari bumi kupepanang gerelmu

Takengon, l972
-------------

L.K.Ara

TIPIS MUGARIS

tipis mugaris
ilang murentang
wan senye

gip mugaris
mugerak mulimak
wan atengku

nasibmu
suderengku

jejarimu kering
matamu layu
atemu kecut
kutatangan salak
makin mulimak
terbayang nasibmu
suderengku
ama inengku

Takengon, l972
----------

L.K.Ara

IKE

ike ko kekanak
aku pe kucak
berperau reroante
sana si rasako

ike ko beru
aku bujang
bedenang perau atan gelumang
kune perasanmu

ike ko nge kin ine
aku nge kin ama

ku kayuh perau kin ningko
sana perasanmu

sara ketika
ike kite nge tue
olok tue
kuyu munemah emah peraunte
kusi perasanmu

Takengon, l972

YUN CASALONA PENYAIR DEBUS

Memperoleh Penghargaan Seni 2007

Oleh L.K.Ara

Bertemu di kedai Taman Budaya, Banda Aceh minggu kedua bulan Agustus 2007 dengan Yun Casalona sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri. Betapa tidak karena dua bulan terkahir ini terdengar berita penyair dan pemain teater itu sedang menderita sakit keras.

“Saya sudah berobat ke Pineng, “kata Yun. Lalu sastrawan yang suka main debus ini menceritakan bahwa matanya juga akan dioperasi. Yun Casalona dilahirkan di Aceh, 3 Agustus 1964. Sebagai seorang pekerja teater, yang digelutinya sejak tahun 1981 ia bertahan sampai sekarang. Beberapa naskah drama yang telah dihasilkannya antara lain; “Patriot”, “Ranjang Revolusi”, “Labang Donya”, “Terhempas Sebilah Pedang”, “Si Rhang Mayang”, “Pendekar Kelawawar,” “Kemelut” dan “Mutiara Hitam di Pasir Putih”.
Berbicara tentang teater hari itu semangatnya timbul kembali, seolah lupa ia masih dalam keadaan sakit.

“Sekali waktu nanti kita tampil bersama”, katanya bersemangat. Ia mengenang ketika kami pernah tampil bertiga baca puisi dengan penyair Sulaiman Juned.

Dalam perjalanan berteater Yun pernah ikut teater Aceh mentas di TIM Jakarta (1993), meraih juara II aktor terbaik dalam pekan teater, sutradara berbakat I Festival Teater Banda Aceh (1989), Juara I seni akting (1990). Selain itu, ia juga ahli dalam permainan tradisional “Debus”(sejenis permainan rakyat dengan menggunakan benda-benda tajam). Bersama tim debusnya, ia pernah mentas Malaka, Malaysia.
Dalam dunia sinetron Yun juga punya pengalaman tersendiri. Sejak tahun 1990-an ia sudah tampil dan bermain dalam beberapa sinetron. Dapat dicatat antara lain, “Tak Sangsi Lagi” ditayangkan TPI (1991), “Kebersamaan Yang Semu” produksi TVRI stasiun Banda Aceh (1993), drama komedi “Seulangke” Ampon Yon Produksi TVRI stasiun Banda Aceh (1993).

Sebagai sastrawan nama Yun Casalona telah tercatat dalam Buku Pintar Sastra Indonesia (2001). Sajak-sajaknya dimuat dalam antologi , Seulawah: Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas (1995), Antologi Sastra Putroe Phang (Desember 2002). Sebuah puisinya yang sering ditampilkan ketika ia bermain debus ialah “Hu”. Puisi itu dimulai baris-baris,

Hu dalam kutazat
roh kuhalus dalam kutazat
roh kusuci dalam kutazat
roh kulahir dalam kutazat

Pada bait berikutnya penyair mengambarkan bahwa darah berupa batu, urat berupa kawat, tulang berupa besi, dan kulit berupa baja. Simbul-simbul batu, kawat, besi, dan baja merupakan benda keras dan kuat. Benda-benda pada tubuh manusia di samakan benda-benda yang keras dan kuat itu. Tulis penyair,

darahku batu
urat kawat
tulang besi
kulit baja

Puisi yang dapat digolongkan pada mantera ini dilanjutkan penyair dengan baris-baris, “Hu Nur Batu / Hu Nur Kawat / Hu Nur Besi /Hu Nur Baja”.

Tiga baris puisi selanjutnya berisi harapan, agar yang dipinta dapat diberikan. Dan harapan itu amatlah berguna dan sangatlah penting bagi seorang pelaku debus yang menikam dirinya dengan benda-benda tajam seperti rencong dan membacok dirinya dengan pedang. Kata penyair, “Wahai Nur segala Nur/ menjelmalah sebagai surya hamba / berikan Nurmu sebagai sarung tubuhku”.

Bila permintaan dan harapan tubuh si aku lirik sudah dipenuhi yakni, “Nurmu sebagai sarung tubuhku” maka selanjutnya harapan si aku lirik adalah,

haram engkau minum darahku
haram engkau makan dagingku
haram engkau sentuh kulitku
aku keluar dari rahim ibunda
aku masuk pada khalimah lailah Haillallah

Pertemuan dengan Yun setelah di kedai Balai Budaya, Banda Aceh itu berlanjut tgl 15/8 pada acara penyerahan hadiah seni bagi seniman Aceh di rumah dinas Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Yun Casalona ternyata dinilai sebagai seorang yang berhak memperoleh anugerah seni 2007.

TGK YAHYA ULAMA DAN PENYAIR

Oleh L.K.Ara

Tgk Yahya dikenal sebagai ulama di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah. Ulama yang pernah menuntut ilmu agama di Peudada, Pulo Keton dan Samalanga, Aceh Utara ini membuka pengajian di rumahnya di kampung Wih Nareh. Di samping rumahnya memang sengaja dibuat sebuah ruang berukuran agak besar untuk tempat pengajian itu. Murid Tgk Yahya tak hanya berasal dari Kampung Wih Nareh tapi juga datang dari Gelelungi, Pejeget, Kung, Kedelah dan lain-lain.

Di tempat pengajian, Tgk Yahya mengajar mengaji Quran dan tafsir. Bila lelah belajar kepada murid-muridnya ia mengajar¬kan Syaer Gayo. Sebuah bentuk kesenian yang didendangkan dengan irama tertentu. Liriknya berupa syair berbahasa Gayo yang bersi¬fat religius. Tgk Yahya membuat syair berdasarkan ayat Quran dan hadis. Karena itu telah menjadi kebiasaan saat itu sebelum Syaer Gayo didendangkan terlebih dahulu dibacakan ayat atau hadis berkenaan tema yang dibawakan.

Salah seorang murid Tgk Yahya yang cukup terkenal berna¬ma Tgk Siti Jeriah. Selain memiliki suara merdu, dara penduduk kampung Kung ini juga mempunyai daya ingat yang kuat. Satu dua kali Tgk Yahya mengucapkan lirik Syaer Gayo ciptaannya, segera dapat ditangkap kemudian dikumandangkan Tgk Siti Jeriah.

Dalam pagelaran Syaer Gayo untuk tamu-tamu misalnya Tgk Siti Jeriah ditemani Tgk Serikulah atau Tgk Jemiah. Mereka berti¬ga dalam seni Syaer Gayo disebut ceh syaer. Biasanya pertunjukkan akan dilengkapi dengan beberapa peserta lainnya. Sehingga sebuah grup Syaer Gayo dapat terdiri dari l0 hingga 20 orang. Sebuah syair ciptaan Tgk Yahya yang banyak dihafal orang berjudul 'Semiang Taring' (Sembahyang Tinggal). Begini petikan puisinya,

Baring sahan semiange taring
hejepe sinting lime belas perkara onom i denie tulu waktu mate
tulu wan kubure tulu i padang maksar

(sesiapa sembahyangnya tinggal
mendapat kesulitan lima belas perkara
enam di dunia tiga ketika mati
tiga dalam kubur tiga di padang maksar)

Pertama umure nise gere berat
kedue ilamat saleh gere ara
ketige doa e gere berterime
keempat amale nge meh benasa

(yang pertama umurnya tak berkah
kedua bayangan saleh tak ada
ketiga doanya tak diterima
keempat amalnya hilang lenyap)

Puisi karya Tgk Yahya ini tak diterbitkan dalam bentuk mass media cetak atau buku. Sehingga sukar menemukannya di perpustakaan pribadi atau perpustakaan umum. Namun bila kita mencoba berusaha menemui seorang murid Tgk Yahya misalnya, kita akan ter tolong. Begitulah suatu kali ketika mendapat kesempatan bertemu dengan Tgk Jemiah (berusia lk 70) puisi 'Semiang Taring'
dapat segera diungkap kembali dari ingatan nenek tua itu.

Bahkan ketika diakhir bulan Juli l998 ketika mengun¬jungi Tgk Naimah isteri Tgk Yahya alm. di Kampung Genting Ger¬bang, nenek yang kini lk berusia 85 tahun itu masih ingat bebera¬pa bait puisi tsb. Meski kelihatan nampak sudah agak pikun Tgk Naimah memiliki tubuh yang kokoh. Sepeninggal suaminya ia kini tinggal bersama anak perempuannya Safiah Inen Tamsir.

Masihkah dapat ditemukan tulisan tangan Tgk Yahya pada isterinya Tgk Naimah? Ternyata tidak. Menurut Safiah mereka sering berpindah-pindah karena itu buku-buku Tgk Yahya sering tercecer. Kemungkinan satu-satunya untuk dapat menemukan karya puisi dengan tulisan Tgk Yahya sendiri ada pada murid-muridnya yang tersebar. Dan untuk melacak ini tentu memerlukan waktu.

Selain membuka pengajian di Wih Nareh, Tgk Yahya juga mengadakan pengajian di kampung Gelelungi. Di Gelelungi ada sebuah Rumah Papan yang cukup luas, sehingga dapat menampung ratusan murid pengajian. Rumah Papan milik Pulu Imem selalu terbuka untuk pengajian Tgk Yahya. Di Rumah Papan juga tinggal seorang penyair Tgk Chatib Bensu. Maka Syaer Gayo sebagai selin¬gan pengajian semakin berkembang. Kini selain karya-karya puisi religius Tgk Yahya juga diperdengarkan karya Tgk Chatib Bensu.

Syaer Gayo yang dipelopori Tgk Yahya agaknya mulai berkembang pada tahun l930-an. Usaha ulama dan penyair religius ini bukannya tak mendapat tantangan. Pernah terjadi ketika Syaer Gayo dikumandangkan disebuah rumah di kampung Kutelintang, ter¬dengar orang melempar batu ke atas atap rumah. Namun hambatan ini rupanya merupakan tantangan yang harus diatasi oleh seorang pelopor seperti Tgk Yahya. Pada zaman Tgk Yahya lah wanita dian¬jurkan memakai kerudung. Begitu juga adat kebiasan lama pada perkawinan masyarakat Gayo 'bertunah' (mandi berlumpur), Tgk Yahya melarang dengan tegas. Sikap tegas Tgk Yahya tentu berda¬sarkan pengetahuan agama Islam yang diperolehnya selama belajar diperantauan dulu.

Sebuah puisi yang berbicara tentang segala jenis air ditulis Tgk Yahya dengan judul 'Wih' (Air). Ikuti petikannya dibawah ini, (terjemahan),

Air ada tujuh macam
pertama air hujan
dari langit turun ke bumi

kedua air embun
naik turun menjadi embun

Yang ketiga air beku
menjadi batu sebab dingin
keempat air mata air
air terpancar dari bumi

Kelima air telaga
ambil dengan gayung sungguh biasa
ketujuh air sungai
air kali dalam bahasa Gayo

Selain mengambil tema tentang sembahyang (Semiang Taring), air (Wih), Tgk Yahya juga menulis puisi tentang mikrat Nabi. Sebagai ulama pengetahuannya tentu cukup luas berkenaan dengan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, termasuk mikrat Nabi. Dalam bahasa Gayo yang khas sang penyair bersyair (petikannya),

Masa mikrat Nabi lepas kuneraka
munengon jema i ezeb sana dosa e
sawah ni Nabi renyel ku Baitul Muqaddis
dapatan majelis bernama jemaah anbia

(Ketika mikrat Nabi ke neraka
melihat orang kena azab apa dosanya
Nabi tiba ke Baitul Muqaddis
bertemu majelis jemaah anbia)

Sawah Nabi renye bergena buraq
langkahe jarak sawah sepanang mata
Melekat Jibril sunguh munamat kekang
gere mulintang lagu si bewenne rata

(Nabi tiba berkenderaan Buraq
perjalanan jauh tiba sekejap mata
Malaikat Jibril memegang kendali
tak ada penghalang semua rata)

Petikan syair karya Tgk Yahya diatas sedikit banyak telah memperlihatkan kepada kita bagaimana seorang ulama menitip¬kan pesan agama kepada masyarakat lewat puisi. Dan itu dilakukan¬nya di sejak tahun l930-an. Setelah Tgk Yahya tampil, penciptaan Syaer Gayo dilanjutkan oleh sejumlah ulama lainnya.

TAUFIK IKRAM JAMIL MELANTUNKAN PIAGAM SELAT RIAU

Oleh L.K.Ara

Pada acara hari pertama Festival Puisi Internasional tgl 26 April 2001 di Teater Utan Kayu itu, penyair Taufik Ikram Jamil mewakili Indonesia membaca beberapa puisinya. Tampil di pentas, penyair kelahiran Riau itu membuka jaketnya kemudian merapikan pengeras suara lalu melantunkan suaranya membaca puisi. Taufik melantunkan sajak Piagam Selat Riau. Ucap penyair,

Putus asa mengintip kami dari pagi
Padahal telah kami kirim rupa-rupa kecewa
Lewat kapal-kapal niaga sejak semalam
Tinggal harapan
Berserak-piak di buih-buih hari

Tetap saja tak mungkin kami lupakan
Segala kenangan dengan kekalahannya
Karena merekalah yang menyentap kami
Dari tanjung ke tanjung
Kemudian di setiap pantai
Dilengkingkannya sembarang kepiluan
Sebagai tanda bahwa kami masih hidup

Memang kematian saja yang kami bimbangkan
Saat kisah tak lagi dituturkan angin
Lalu tinggallah kenangan sebagai jembalang
Mengepalkan tangannya dari kampung ke kampung

Puisi ini menggunakan simbul-simbul seperti, putus asa mengintip, kapal-kapal niaga, berserak di buih-buih hari, memperlihatkan penyairnya ingin membangun suasana artistic. Dan oleh suasana artistic itulah pembaca merasa memasuki suatu dunia yang indah. Meski pun dalam perjalanan ‘berkelana’ itu bertemu dengan kesedihan dan kepahitan hidup. Baris ‘dilengkingkannya sembarang kepiluan/sebagai tanda kami masih hidup’, memperlihatkan bagian dari derita yang dialami manusia. Dan pengalaman derita itulah yang merupakan cobaan bagi manusia yang hidup. Dan derita itu terucap lewat tangisan. Kata penyair dalam bait berikutnya,

Tak sekali dua pula kami menangis
Tapi bagaimana sedih harus tersisih
Kalau air mata adalah sumber mata air
Lalu menggerakkan dayung kami
Untuk mematahkan gelombang alun beralun

Kami hanya percaya pada kemenangan
Setelah lama dikalahkan musim

(dari buku katalog Festival Puisi Internasional, 200l.)

Selain membacakan puisi ‘Piagam Selat Riau’ yang memperlihatkan citra manusia yang resah terhadap keadaan masyarakatnya, malam itu Taufik Ikram Jamil juga melantunkan puisi, ‘Seketsa Suatu Hari’ dan ‘Surat Terakhir Von de Wall’.

Taufik Ikram Jamil lahir di Teluk Betung, Riau, 19 September 1963. Setelah lulus SPG di Bengkalis, ia melanjutkan studinya di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Riau. Pada tahun 1987 ia lulus dan kemudian terjun kedunia pers menjadi wartawan Kompas. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerita pendek. Karya-karyanya dimuat di majalah Horison, Kompas, Sinar Harapan, Menyimak, Jurnal Kalam, Ulumul Quran, Perisa, dan lain-lain. Antologi puisi tunggalnya berjudul ‘Tersebab Haku Melayu’ terbit tahun 1995.

Sastrawan yang sering nampak berambut gondrong ini sering mengikuti acara sastra dan budaya diberbagai kota di Indonesia, Melaysia dan Singapore. Pada tahun 1997 ia memperoleh Anugerah Sagang 1997, sebuah hadiah budaya yang diberikan harian Riau Pos atas kumpulan ‘Sandiwara Hang Tuah’ (1996). Sebuah cerpennya ‘Menjadi Batu’ meraih hadiah pertama sayembara cerpen majalah Horison 1997.

Sebagai pengarang roman Taufik telah memperlihatkan kemampuannya lewat ‘Hempasan Gelombang’ meraih hadiah harapan kedua sayembara Mengarang Roman DKJ, 1998. Serta novelnya berjudul ‘Gelombang Sunyi’ mendapat sambutan hangat dari sejumlah peneliti sastra.

Melalui roman Gelombang Sunyi nampak ia memberi semangat untuk kembali ke alam Melayu. Sekali gus terbersit kritik pedas terhadap pusat (Ibukota RI) yang menangani berbagai persoalan pembangunan di daerah yang sebetulnya tidak berbeda jauh dibandingkan perilaku pemerintahan kolonial Hindia Belanda saat mencaplok dan menjual bangsa Melayu.

Dalam puisinya ‘Sketsa Suatu Hari’ sang penyair berucap,

Aku hanya terhibur saat tidur
Menemui kegembiraan dalam mimpi
Jagaku adalah nyanyi:
Tudung periuk pandai menari
……..

(dari: Arsip lama)

‘SYAIR MA'RIFAT’ DAN ‘SYAIR MARTABAT TUJUH’ DARI ACEH

Oleh L.K.Ara

Syeikh Abdurrauf dikenal luas sebagai ulama. Namanya yang singkat dan sederhana ini kadang-kadang dilengkapi dengan Syeik Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Namun ia memperoleh sejumlah gelar seperti, Syeikh Kuala, Syeikh di Kuala ata Ciah Kuala dan Tengku Ciah Kuala. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Abdurrauf van Singkel. Sebutan ini semua ada sebabnya. Disebut Syeikh Kuala karena Syeh Abdurrauf pernah menetap dan mengajar hingga wafat¬nya dan dimakamkan di Kuala sungai Aceh. Dan disebut Abdurrauf van Singkil karena Syeikh Abdurrauf lahir di Singkel l593 M), Aceh Selatan.

Dimasa mudanya mula-mula Abdurrauf belajar pada 'Dayah Simpang Kanan' di pedalaman Singkel yang dipimpin Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke Barus di 'Dayah Teungku Chik' yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah Fansuri.

Syeikh Abdurrauf sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi Syeikh Shamsuddin as-Sumaterani. Dan setelah Syeikh Syam¬suddin pindah ke Banda Aceh lalu diangkat Sultan Iskandar Muda sebagai Qadhi Malikul Adil, Syeikh Abdurrauf mendapat kesempatan untuk pergi belajar ke negeri Arab. Selama belajar di luar neg¬eri, lk l9 tahun Syeikh Abdurrauf telah menerima pelajaran dari l5 orang ulama.

Disebut pula Syeikh Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 ulama besar dan l5 orang sufi termashur. Tentang pertemuannya dengan para sufi, ia berkata, 'Adapun segala sufi yang mashur wilayatnya yang bertemu dengan fakir ini dalam antara masa itu...'.

Pada tahun l66l M Syeikh Abdurrauf kembali ke Aceh. Setelah tinggal beberapa waktu di Banda Aceh ia mengadakan perja¬lanan ke Singkel. Kemudian kembali ke Banda Aceh untuk memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh Nuruddin ar-Raniri yang pergi menuju Mekkah.

Mengenai pendapatnya tentang faham orang lain nampaknya berbeda dengan Syeikh Nuruddin. Syeikh Abdurrauf tidak begitu keras. Hal ini dapat dilihat pada tulisan DR. T. Iskandar: "Walaupun Abdurrauf termasuk penganut fahaman tua mengenai ajaran¬nya dalam ilmu tasauf, tetapi -berbeda dengan Nuruddin ar-Raniri- ia tidak begitu kejam terhadap mereka yang menganut fahaman lain. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir.

Membuat tuduhan seperti itu sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, apakah gunanya mensia-siakan perkataan atasnya dan sekira¬nya ia bukan kafir, maka perkataan itu akan berbalik kepada dirinya sendiri'.('Abdurrauf Singkel Tokoh Syatariah (Abad ke-l7)'(Dewan Bahasa, 9;5, Mei l965).

Syeikh Abdurrauf menulis buku dalam bahasa Melayu dan Arab. Bukunya yang terkenal a.l., 'Turjumanul Mustafiid', 'Miraatut Thullab' (Kitab Ilmu Hukum), 'Umdatul Muhtajin lla Suluki Maslakil Mufradin' (Mengenai Ke Tuhanan dan Filsafat), 'Bayan Tajalli' (Ilmu Tasawuf), dan 'Kifayat al-Muhtajin'(Ilmu tasawuf). Seluruh karyanya diulis dalam bentuk prosa. Hanya satu yang ditulis dalam bentuk puisi yakni, 'Syair Ma'rifat'.

Sebagai penyair Syeikh Abdurrauf mempelihatkan kepiawaian¬nya dalam menulis puisi 'Syair Ma'rifat' itulah. Salah satu naskah syair ini disalin di Bukit Tinggi tahun l859. Syair Ma'¬rifat mengemukakan tentang empat komponen agama Islam. Yakni Iman, Islam, Tauhid dan Ma'rifat. Nampak dalam syair itu unsur ma'rifat sebagai pengetahuan sufi yang menjadi puncak tertinggi.
Dalam puisi itu Abdurrauf mencoba menjelaskan tentang pendekatan amalan tasawuf menurut aliran al-Sunnah wal al-Jamaah. Ikuti petikan syairnya dibawah ini,

jikalau diibarat sebiji kelapa
kulit dan isi tiada serupa
janganlah kita bersalah sapa
tetapi beza tiadalah berapa

sebiji kelapa ibarat sama
lafaznya empat suatu ma'ana
di situlah banyak orang terlena
sebab pendapat kurang sempurna

kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma'rifat

('Syair Ma'rifat. Perpustakaan Universiti Leiden OPH. No.78, hlm. 9-25/ Dewan Bahasa dan Pustaka, Desember l992)

Tingkat ma'rifat merupakan tahap terakhir setelah melalui jenjang syariat, tarekat dan hakekat dalam perjalanan menuju Allah. Untuk sampai ke tingkat ma'rifat menurut Syeikh Abdurrauf orang harus lebih dahulu menjalankan aspek syariat dan tarekat dengan tertib. Orang harus melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas. Dalam kata-katanya sendiri Syeikh Abdurrauf berucap: "Dan sibukkanlah dirimu dalam ibadah dengan benar dan ikhlas demi melaksanakan hak Tuhanmu, niscaya engkau termasuk golongan ahli ma'rifat".

Suasana mistik akan lebih terasa bila kita membaca dan mengikuti puisinya dalam baris-baris berikut ini. Petikan Syair Ma'rifat dari tulisan Arab berbahasa Melayu, bertulisan tangan ini dikutip dari ML. 378, halaman 40, terdapat di Perpustakaan Nasional RI. berbunyi sebagai berikut,

airnya itu arak yang mabuk
siapa minum jadi tertunduk
airnya itu menjadi tuba
siapa minum menjadi gila

ombaknya itu amat gementam
baiklah bahtera sudahnya karam
laut ini laut haqiqi
tiada bertengah tiada bertepi

Buku karya Syeikh Abdurrauf lainnya diberi judul 'Kifayat al-Muhtajin' disebut bahwa buku itu ditulisnya atas titah Tajul 'Alam Safiatuddin, seorang Sultanah yang mengayomi ulama dan sastrawan. Kitab ini berisi ilmu tasawuf. Disebutkan sebelum alam semesta ini dijadikan Allah, hanya ada wujud Allah. Ulama besar dan pujangga Islam Syeikh Abdurrauf meninggal l695 M dalam usia l05 tahun. Di makamkan di Kuala, sungai Aceh, Banda Aceh.

Di dalam puisi berjudul ‘Syair Maratab Tujuh’, penyair sufi Syeikh Syamsuddin Sumatrani memulai baris-baris syairnya dengan kalimat-kalimat khas sebagai berikut,

Apabila kemudian dengarkan di sini hai yang menuntut haqq
Itulah wujud yang mutlaq wujud yang mutlaq
Wujud itulah ‘ainu ‘l-haqq
Tiada mengering dia adanya mutlaq

Wujud itulah yang bernama tanzil
Adanya munazzah daripada sekalian tasybih
Itu tiada berubah daripada tanzih
…..

wujud itulah martabat layak
menyatakan dirinya dengan rupa yang banyak
dengan hambanya netiasa ia jinak
seketika jua adapun tiada ia jarak
(artinya tiada bercerai)

wujud itulah martabatnya kahtir
tanzihnya lagi kepada ‘alam saghir dan kabir
di sanalah rajul amin dan wazir
dan segala ghani dan faqir

Baris-baris syair yang memperlihatkan nafas ke Tuhanan ini lahir dari sosok penyair yang adalah murid penyair besar sufi Hamzah Fansuri. Seperti gurunya Syamsuddin menggunakan kata-kata yang lazim digunakan pada waktu itu yakni pada zaman abad ke-17. Hal ini nampak pada penggunaan kata-kata misalnya, haq, wujud, mutlaq, martaba, kabir, wazir, faqir dan lain-lain. Didalam syairnya penyair sufi pada zaman itu juga sering menyelipkan ayat Quran. Hal ini dapat juga kita temukan dalam Syair Martabat Tujuh ini. Mari kita ikuti bait-bait berikut ini,

dan wujud itulah martabatnya ‘alami
adanya munazzar daripada sekalian sifat peri
daripada enam jahatpun ia khali (tiada p.s.h?
wa huwa ‘l-ana kama kanapun demikian lagi

pertama-tama wujud itulah bernama ahadiyat
di sanalah sakit sekalian ‘ibarat (tiada tersebut)
di sana sifat dan asma’iyat
itulah martabat haqiqat dzat

‘ibarat dan isyaratpun tiada di sana
hanya munazzah juga semata
adanya itlaq dan taqalyykud tiada
sertanya hanya ia juga

kedua martabat wujud itu bernama wahda
itulah haqiqat Muhammad nyata
yang pertama di dalam uluhinya
…….

Sekalian wujud dhatpun sama
Atas jalan ajmal juga dikata
Hendaklah kau ketahui haqiqat kata
Pikirkan di sini nyata

Ketiga martabat wujud itu bernama wahidiyah
Itulah recana wahdat haqiqat insaniyah
Di sanalah nyata ma’lum di dalam ‘ilmiyah
Atas jalan bernama taghtiyah

Martabat wujud itu ketiganya qadim
Tiada mengetahui dia melaikan yang berhati salim
Banyaklah membantahi dia segala ‘alim
Dan hakim mengatakan ma’lum qadim
(martabat wahidiyah tiada qadim)

…………

arwah itulah yang menggerakkan sekalian badan
adanya seperti dengan sifat Tuhan (kita)
tiada ia minum tiada ia makan
lagi adanya (mujarrad) tiada dapat disekutukan

Syeikh Syamsuddin Sumatrani lahir di penghujung abad XVI, berasal dari Samudra Pasai (Aceh Utara sekarang). Guru utamanya adalah Hamzah Fansuri dan pernah juga belajar pada Pangeran Bonang di Pulau Jawa. Beliau menguasai bahasa Aceh, Melayu, Jawa, Arab dan Parsi juga bermacam-macam bidang ilmu pengetahuan.

Sebagai sastrawan nusantara yang sealiran dengan Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin juga ulama yang tekenal produktif. Ia mengarang lebih dari 20 karya tulis dalam bahasa Melayu, Arab dan Parsia. Diantaranya adalah: ‘Miratul Mukminin’ (Cermin Bagi Orang-Orang Muslimin), ‘Jauharul Haqaaiq’ (Permata Kebenaran), ‘Risalatul Bayin Mulahadlatil Muwahhidin Alal Mulhidi fi Zikrillah’ (Pandangan Ahli-Ahli Tauhid Terhadap Orang Orang Yang Mengingkari Allah), ‘Nurul Daqaaid’ (Cahaya Yang Murni), ‘Miratul Iman’ (Cermin Keimanan), dan ‘Syarah Rubai Hamzah Fansuri’. Syeikh Syamsuddin meninggal dunia pada tahun 1630 bertepatan dengan kekalahan amada Aceh di Melaka.


(dari: Ekspresi Puitis Aceh Menghadapi Musibah, oleh L.K.Ara, diterbitkan BRR, Banda Aceh, tanpa tahun)