Senin, 01 Maret 2010

LANGIT SENJA DI NEGERI TIMAH

PERJALANAN

Setiap kutempuh perjalanan itu
Antara Pangkalpinang, Sungailiat ke Belinyu
Ku ingat pesanmu
Pandanglah alam sekitar
Dan nikmati sesuatu yang segar
Riap dedaunan yang hijau

Memang kulihat alam sekitar
Cuaca dan angin bergetar
Serta ku pandang dedaunan hijau
Tapi yang tampak
Dilembar dedaunan itu
Wajah Depati Amir yang berdebu
Namun tersenyum padaku
Bagai mengucap salam
Kepada seorang pendatang
Kini benar-benar nampak
Sesuatu yang tak bergerak
Jauh tertimbun debu sejarah
Tapi bagai bunga ia merekah
Seorang lelaki yang gagah
Yang berjuang membela negeri
Yang berkorban untuk anak negeri

Setiap kutempuh perjalanan itu
Antara Pangkalpinang, Sungailiat ke Belinyu
Yang nampak di lembar daun itu
Adegan sejarah masa lalu
Depati Amir dan kawan-kawan
Bergerilya di dalam hutan
Melawan Belanda habis-habisan
Ada pula lembar daun yang lain
Bagai cermin
Ia menampakkan penghinatan
Sehingga persembunyian Depati Amir ditemukan
Lalu dibuang jauh ke Kupang
Dan disanalah ia kelak menemukan pintu
Untuk bertemu dengan Yang Maha Tahu

Setiap kutempuh perjalanan itu
Antara Pangkalpinang, Sungailiat dan Belinyu
Yang nampak diribuan lembar daun itu
Uraian sejarah masa lalu
Ketika ku ingin tahu tentang masa kini
Ku cari di lembar daun itu
Tak ketemu
Ku periksa lembar demi lembar
Tak ketemu
Dalam hati aku bertanya
Apakah lembar daun yang bertebaran
Antara Pangkal Pinang, Sungailiat dan Belinyu
Yang jutaan jumlahnya
Tak selebarpun suka menggoreskan
Nasib zaman ini
Zaman dimana akhlak rusak
Dan moralpun luluh lantak

P. Pinang, 26 Desember 2003


SUNGAILIAT

Konon ketika Pangeran Tumanggung Dita tiba
Pada jejak kaki yang pertama
Dia melihat tanah ditempat itu
Liat
Lalu jejak itu
Orang menyebut daerah itu
Sungailiat

Entah bagaimana mulanya
Tapi yang pasti
Orang bersetuju
Dan menyepakati
Hari jadi Sungailiat
Jatuh pada
Tanggal dua puluh tujuh
Bulan empat
Tahun tujuh belas tujuh puluh enam

Dan bagi pengembara ini
Sungailiat tempat ia berteduh
Melonjorkan kaki
Melepas lelah
Membasuh wajah
Melekatkan dahi
Sambil mengutip puisi

Sungailiat, 29 Desember 2003


DIBAWAH LANGIT PANGKAL PINANG

Untuk Z.K.

1

Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu subuh yang tenang
Aku menyaksikan embun bergayutan
Disetiap daun, disetiap cabang
Pada ribuan pepohonan
Embun bergayutan

Siapa yang memanjakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanyya embun bergayutan
Disetiap daun di setiap cabang
Pada ribuan pepohonan
Embun bergayutan
Siapa yang memanjakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanya terdengar perlahan
Semacam gumam
Semakin kutanya
Semakin keras terdengar gumam
Ya kini semakin kentara
Semakin nyaring
Semakin pasti
Zikir yang bertubi-tubi

Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu subuh yang tenang
Telah kusaksikan
Embun menggoncang daunan
Embun menggoncang cabang
Menggoncang pepohonan
Ribuan pepohonan
Tergoncang – goncang
Oleh jutaan embun
Yang sedang mengingat Tuhan
Dalam zikir yang mengalir
Hingga ke akar pepohonan

2

Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu siang yang garang
Matahari menyala
Rumah dan toko – toko kepanasan
Jalanan yang dipenuhi kendaraan
Pejalan kaki yang keringatan
Semua mengalir
Seperti dalam suratan

Siapa yang menggerakanmu, tanyaku
Tiada jawaban
Hanya semua bergerak beraturan
Mencari dan mengolah kehidupan
Dan nafas dalam terdengar mendesah
Sangat perlahan
Bagai ratap di bumi yang basah
Siapa yang menggerakkanmu, tanyaku
Tiada jawaban
Hanya alam yang terdengar mendesah
Sangat perlahan
Kemudian bagai degerakkan
Alam bergoncang
Bergoncang dan bergoncang
Rumah dan toko-toko bergoncang
Kendaraan bergoncang
Jalanan bergoncang
Pejalan kaki bergoncang
Semua menyebut nama Mu
Dalam zikir yang dalam

3

Dibawah langit Pangkalpinang
Disuatu malam yang nyaman
Bintang – bintang bersinaran
Disambut cahaya lampu taman
Cahaya lampu kendaraan
Cahaya lampu jalanan
Cahaya lampu rumah bertebaran

Siapa yang sedang membahagiakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanya cahaya berpendaran
Langit mengirim cahaya kebumi
Dan bumi bagai dalam mimpi
Menikmati
Taburan cahaya berpendaraan
Rumah dan toko-toko
Mengapung dalam cahaya
Kendaraan yang berseliweran
Dan taman serta halaman
Berbinar dalam cahaya
Siapa yang sedang membahagiakanmu, tanyaku
Tiada terdengar jawaban
Hanya cahaya berkilauan
Cahaya bertemu cahaya
Cahaya langit mengulur salam
Dan cahaya bumi menerima salam
Kemudian cahaya berpendaran
Menebar keseluruh alam
Seperti dalam suratan
Mengingat Mu dalam riang
Sehingga tak terlupakan
Lebih-lebih bila sedih datang
Mengingat Mu selalu
Zikir pada Mu selalu

Pangkalpinang, 23-24 Desember 2003


SHALAT MAGRIB DI TUA TUNU

Inilah sholat magrib yang nyaman di Tua Tunu
Disebuah mesjid tua yang tak dimakan api
Meski Belanda telah membakar seluruh kampung

Inilah shalat magrib yang nyaman di Tua Tunu
Disebuah masjid tua yang sederhana
Ada tujuh saf jemaahnya
Semua berzikir kepada Mu
Mereka rakyat kecil biasa
Mendiami Desa Tua Tunu
Hingga tiga orang pegawai negeri
Ratusan yang lainnya bertani
Dan berdagang kecil-kecilan

Inilah shalat magrib yang nyaman di Tua Tunu
Selesai shalat menuju rumah kenalan
Pak Siri dan Ibu Salamah
Telah menyediakan rebus singkong
Kami makan dengan lahapnya

Tua Tunu, Pangkalpinang , 25 Des 2003


SAYAP

Kataku :
Kalau kau mengepakkan sayap
Terbang meninggalkan pulau
Apakah kau tahu
Ada yang berhati galau
Dan pulau ini
Akan terasa lebih sunyi

Katamu:
Terbangpun tak sekehendak hati
Kelak saksikan pulau ini tak pernah sunyi
Karena kan tiba masa
Kala putra – putri pulau
Kan kembali tuk mengabdi

Pangkalpinang, 24 Desember 2003


SUNGAI

Seorang murid SD menangis
Ia kehilangan sungai
Tempat ia mandi
Tempat ia mencuci
Tempat ia bermain
Adalah sungai
Beri aku sungaiku, tangisnya

Orang-orang kasihan padanya
Orang memberi mainan
Orang-orang mengirim cd
Tapi tetap ia menangis
Kembalikan sungaiku, tangisnya

Orang-orang tak dapat memberi sungai
Karena air sungai sudah tak ada
Sungai yang dulu airnya jernih
Kini berobah jadi kotor
Orang-orang menggali timah
Mengotori sungai

Bangka, Desember 2003


MALAM LARUT

Malam yang larut
Mengapa tak beringsut
Siapa yang kau tunggu hingga larut
Apakah kekasih diseberang laut

Malam yang larut
Telepon pun tak berdering
Di malam hening
Apakah tanda kasih kian menyusut

Pangkalpinang, 22 Desember 2003


KAU PERGI

Kau pergi melewati rumahku
Lalu terbang ke negeri jauh
Keseberang pulau
Aku sendiri menunggu kabar
Tentang kepergianmu
Hanya cahaya berkilau
Masuk lewat pintu

Pangkalpinang, 29 Des 2003


SALAM

Pagi itu kau mengirim salam
Dan menyambutku, bisikmu
Gemulai gerak tari seudati
Sepintu sedulang persembahan kami
Kehadiran tuan di pulau kami berkesan di hati
Semoga sua kita awal suatu persahabatan sejati

Pangkalpinang, 17 Desember 2003


DARI TOBOALI SUATU PAGI

Kepakkan sayapmu dan terbanglah
Tembus kabut lalu berenanglah diatas awan

Aku disini dipantai Toboali
Hanya bisa melambai
Dengan mulut bergetar
Mendoakanmu

Tak banyak yang bisa kuberi
Untuk pulau ini, katamu
Sementara sayapmu disaput kabut
Tak banyak ku mohon
Hanya doa
Yang senantiasa
Kan menyertai langkahku, katamu pula

Sambil memandangmu terbang
Melayari awan
Aku memang hanya melambai
Dengan rasa berdebar
Dari tepi pantai
Di Toboali
Suatu pagi

Toboali, 26 Des 2003


TAK ADA BULAN

Inilah perjalanan yang menakjubkan
Memang tak ada bulan
Namun ada nyanyian
Yang menghibur kesedihan
Sepanjang jalan pulang
Menuju Mentok dari Pangkalpinang

Pangkalpinang – mentok, 6 Januari 2003


PANTAI TEPIAN

Puteri pulauku
Bolehkah aku menyebutmu begitu
Saat aku kegelapan
Dan kau memberiku lampu
Saat aku dipermainkan lautan
Dan kau menjadi pantai tepian

Pangkalpinang, 30 Desember 2003


BISIK

Ditengah keletihan
Angin sungai Baturusalah
Yang memijat-mijat lengan ku
Di tengah kerisauan
Angin sungai Baturusalah
Yang menenangkan pikiranku
Ditengah kesepian
Angin sungai Baturusalah
Datang mendesir menghiburku
Ditengah kerinduanku padamu
Angin sungai Baturusalah
Membisikkan sesuatu di telingaku

Pangkalpinang, 30 Desember 2003


CAHAYA

Cahaya di depan Bumi Asih
Pagi ini gemetar
Bagai tak sabar
Menyaksikanmu melintas
Menuju bandara

Angin didepan Bumi Asih
Pagi ini mewangi
Melepasmu pergi
Ia tahu sang putri
Kelak akan kembali
Membangun negeri

Pangkalpinang, 27 Desember 2003


MENGUTIP PANTUN

Ketika ku dengar
Berita duka
Di ujung negeriku
Aku sedang mencari pantun
Aku sedang tersuruk-suruk
Di kolam-kolam, dirawa-rawa
Pantun sudah terendam
Tertimbun timah dan lada
Di pulau Bangka

Ketika kudengar
Berita duka
Diujung negeriku
Aku sedang mengutip pantun
Serta merta kulihat
Pantun berobah jadi air mata
Menetes
Menetes dari kolam kesedihan
Kesedihan bertahun

Mentok, 6 Januari 2004


KESENYAPAN LAUT

Dalam kesenyapan laut yang beku
Aku ingin kau datang menari
Melenggokkan tubuh
Lalu bernyanyi
Walau untuk diri sendiri

Lautan akan cair
Melihat tarimu
Laut akan mengalir
Mendengar nyanyianmu

Pangkalpinang, 22 Desember 2003


KEINDAHAN

Aku mulai iri padamu
Setelah melihat Parai bersamamu
Sebuah keindahan telah lama mengasuhmu
Dan aku kemudian datang
Ingin mengecap keindahan itu
Dan kau begitu tenang
Mengulurkan keindahan Parai bagiku
Yang membuat aku malu
Kau begitu ikhlas menyambutku
Menyuguhkan keindahan bagiku
Dan itu menghapus iri
Dalam diri ini

Sungailiat, 28 Desember 2003


MEMANGGIL IBU

Kau tak pernah memberi tahu
Bahwa ada orang menjerit
Memangil ibu
Dipinggir pantai itu
Urat lehernya menegang
Tangannya meregang
Memanggil ibu
Kepala menunduk
Tubuh terbungkuk
Memanggil ibu
Jemari kakinya bergetar
Seluruh tubuhnya menggeletar
Memanggil ibu
Mengatasi suara ombak
Ia menjerit
Memanggil ibu

Kau tak pernah memberitahu
Suara jerit itu
Mengalir dari kerongkonganmu
Dan aku nanti tak kan pernah memberitahu
Bahwa suara jerit itu telah kukenal
Sebagai suara hatimu

Parai, 28 Desember 2003


PARAI

Takkan kutahu dimana letak Parai
Bila tak kutunjuk arah kepinggir laut itu
Takkan kukecap madu Parai
Bila tak mengorak senyum diwajahmu
Kini Parai berderai-derai dalam kalbu
Nyanyian laut itu
Lagu sunyi tapi merdu
Kemilau cahaya pagi itu
Telah membersit dari matamu

Parai, teriakku
Batu-batu yang kukuh yang menjorok kelaut itu
Membawa ingatan kepada keteguhan perlawanan
Depati Amir, Batin Tikal dan Depati Barin
Yang berjuang untuk anak cucu

Parai, kataku tersedu
Laut yang biru yang tenang itu
Membawa ingatan kepada ketenangan pikiran
Para tokoh pejuang kita itu

Parai, kataku setengah terisyak
Pasir putih yang bertaburan dipantai itu
Bagai menikam yang berpercikan
Dari ucapanmu yang sederhana
Namun kini bergema
Memenuhi udara

Pangkalpinang, 22 Desember 2003


BELINYU

Meluncurlah kendaraan ku ke Belinyu
Meluncurlah
Kurindukan ahli pantun
Yang lahir di kaki gunung Maras

Yang memiliki kebiasaan yang pas
Menulis pantun isi dulu
Sampiran setelah itu
Semangatnya kini mulai layu
Setelah berpisah dengan sahabatnya pak Su
Tapi kini setelah dijenguk pak Su
Ia membuka pintu utama
Yang sudah berdebu
Semogalah setelah itu
Pantunpun mulai menderu

Meluncurlah kendaraan ku ke Belinyu
Meluncurlah
Kurindu Urang Lum
Yang dikisahkan naik perahu
Diterpa gelombang sudahlah tentu
Berminggu ditengah laut melulu
Mereka datang dari jauh
Dari negeri Cina yang jauh

Mendarat disebuah daratan
Masuk ke Bukit Pelawan
Lalu tinggal dan menetap di pedalaman
Merekalah konon nenek moyang Urang Lum
Ada lagi kisah yang terlontar dari bibir
Ketika bukit Semidang di landa banjir
Muncul dua manusia
Mirip raksasa
Lalu orang menyebut
Merekalah nenek moyang Urang Lum

Meluncurlah kendaraan ku ke Belinyu
Meluncurlah
Kurindu Urang Lum
Ingin kutahu titian Taber, Puri Adat
Mata Kakap, Penunjang Langit

Kudengar engkau
Ada di gunung muda, Gunung Pelawan
Dan Bukit Cudung
Ingin ku tahu tanah Mapur, desa kecil
Air Abik dan desa Pejem

Kini berhentilah kendaraan ku
Berhentilah
Kita telah tiba di Belinyu
Kita telah bertemu ahli pantun
Yang kurindu
Kita telah mendengar kisah masa lalu
Tentang Urang Lum
Konon penduduk pertama
Yang mendiami Pulau Bangka

Belinyu – Sungailiat – Pangkalpinang. 20 Des 2003


BILA

Diatas kendaraan menuju pantai Pasir Padi
Aku ingat berita darimu
Subuh itu
Dalam hiruk pikuk kota
Dan kembang api yang gemerlap
Hatimu merasa kosong
Hampa

Bila hatimu hampa
Kenanglah Parai
Disana butir pasir kemilau
Menunggumu pulang dari rantau
Dan disana tergolek pula
Sebutir yang sangsai
Yang mungkin tak kau hirau

Pangkalpinang. 1 Jan 2004


PERCAKAPAN

Subuh itu nampak di kaca jendela
Goresan embun
Orang-orang kemudian membaca
Sebuah percakapan rahasia
Antara Putri pulau dan Pengembara

Pangkalpinang. 31 Des 2003


BATU RUSA

Melewati Sungai Batu Rusa
Seperti ada yang menahan langkahku
Jembatan besi yang kukuh
Atau suaramu bernada keluh

Sungailiat, 27 Desember 2003


ALAM

Alam mempertemukan
Dan Tuhan merestui
Lalu lahirlah puisiku
Lewat desah nafasmu

Duri, 8 Januari 2003


PANTAI PASIR PADI

Di pantai pasir padi
Kita mendengar percakapan abadi
Percakapan ombak yang sunyi
Percakapan cinta sejati
Tentang persahabatan
Yang kau idamkan

Angin kencang
Yang datang dari jauh
Membawa percakapan ini
Terbang ke pulau-pulau
Menyebarkan nyanyian cinta
Yang tumbuh di hati manusia

Dan warna biru langit
Yang singgah ke wajahmu
Menyatu dengan biru laut
Yang telah kau genggam
Mengekalkan persahabatan

Pangkalpinang. 23 Des 2003


KE TOBOALI, KITA KE TOBOALI

Kami tambah jauh darimu
Tapi kami makin dekat
Dengan Koba dan Toboali

Udara langit tebal menghitam
Dan pepohonan di pelataran
Semakin temaram
Namun kami harus berjalan
Ke Koba dan Toboali

Ingin kulihat tapak Cheng Ho
Seorang muslim
Laksamana dan pelaut sejati
Yang berasal dari Desa He Dai
Ingin kusaksikan benteng Portugis
Yang konon bekasnya masih terguris

Ke Toboali, kita ke Toboali

Dalam sore yang indah
Kami semakin dekat ke Toboali
Daerah perjuangan
Rakyat terang terangan
Malawan penjajahan
Dibawah pimpinan Depati Amir
Depati Barin dan Depati Marawang

Di lembar daun sejarah
Tertulis dengan tegas
Masyarakat dan penduduk asli Suku Laut
Juga kaum Lanun tak pernah takut
Terbayang mereka menyerbu parit-parit timah Belanda
Di sekitar Sungai Kepo
Untuk merebut kembali Toboali
Lihatlah mereka maju dengan berani
Sehingga pasukan Belanda terpaksa mundur
Ke Pangkalpinang dengan teratur

Di lembar daun sejarah
Juga terlukis
Tentang kota Toboali yang manis
Kota indah di pinggir lautan
Yang tumbuh jadi kota pertambangan

Ke Toboali, kita ke Toboali
Kota kenangan di zaman revolusi

Toboali, Pangkalpinang. 26 Des 2003


SUARA TETABUHAN

Dengarlah suara tetabuhan itu
Mengetuk-ngetuk telingamu
Dengarlah pula suara gerimis itu
Mengetuk-ngetuk kalbumu

Bagai ketukan dari pintu langit
Dan berpesan kepadamu
Jagalah adat nenek moyang

Dengarlah suara tabuhan itu
Bertalu-talu
Membangunkan engkau dari tidur pulasmu

Dengarlah suara tetabuhan itu
Dan lihatlah pula rentak tari itu
Di bawah gerimis
Di halaman terbuka pula
Di bawah hujan

Pangkalpinang. 13 Des 2003


EMBUN PAGI

Embun pagi di akhir tahun
Penuh harapan dengan santun
Pada puteri pulau yang akan terbang
Sebentar ikutlah berdendang
Baca puisi dan pantun
Untuk menyambut awal tahun

Sungailiat, 25 Desember 2003


HARUM DEDAUNAN

Harum dedaunan jalanan ini
Seperti pernah kutahu
Tapi kau tak di sini
Itu kutahu pasti
Apa kau mengirim dari jauh
Bagi perjalanan kami
Yang sunyi

Sungailiat, 28 Desember 2003


SUBUH ITU

Subuh itu suaramu
Nyanyian laut sedang kasmaran
Deburnya merambah kelangit jiwa
Mengejutkan bintang gemintang
Bertaburan menebar cahaya

Subuh itu suaramu
Gemercik air pancuran
Ceria, jernih dan mengalun

Pangkalpinang. 23 Des 2003


NONTON TARI CAMPAK

Seribu soal yang memusingkan
Beban berat yang tak terpikulkan
Kini lenyap setelah tangan diayunkan
Dan tubuh di gerakkan, bisik mu

Musik campak membawa kita keawan
Pantun campak membawa kita ke rembulan
Dan dunia berputar lebih keras
Bagai darah kita yang menderas

Nonton tari campak
Mata terpacak
Menyaksikan gerak
Sederhana tak menghentak
Namun didalam diri
Ada rasa mengayun
Bagai butir embun di ujung daun
Jernih berkilau
Melupakan risau
Seribu soal
Meski hanya sebentar

Dendang, 29 Desember 2003


PANTUN

Dari Pangkalpinang ke Belinyu
Singgah dulu ke Sungailiat
Kukenang sejak awal bertemu
Lalu ku rindu dalam surat

Mendesir angin di Pantai Parai
Bantu kukuh menjaga pulau
Rasa ingin berhandai-handai
Aku berpeluh engkau di rantau

Pasir berkilau di Pantai Parai
Disebuah sudut batu samadi
Hatiku risau berdebar-debar
Rasakan kecut ketika menanti

Palembang, 6 Januari 2004


INGAT KURAU

Hati akan selalu terpaut
Pada kampung nelayan dipinggir laut
Kurau, begitu orang menyambut
Begitu kami melangkah pergi
Ada yang tak surut
Hati akan selalu terpaut
Pada kampung Kurau
Kampung nelayan di pinggir laut
Rumah sederhana berjejer

Ditepi sungai Kurau
Rumah berdiri diatas tiang nibung
Begitu sambung menyambung
Hati akan selalu terpaut
Pada kedamaian penduduk
Orang-orang sederhana
Nelayan pencari ikan
Untuk orang kota ia kirimkan

Hati akan selalu terpaut
Pada Kurau
Pada air sungaimu yang coklat
Pada tiang – tiang nibung
Tempat Kario merenung
Tepat Kario berpantun

Hati akan selalu terpaut
Pada Kurau
Kampung bersungai coklat
Tempat Kario mencatat
Nasib zaman yang coklat
Di lembar yang bersih
Dengan bahasa jernih

Kurau – Jakarta, 26 Des 2003 – 22 Jan 2004


KEPADA PEMANTUN TUA

Untuk TS

Inilah pertama kali
Kaki kujejakkan di ubin mar-mar ini
Di pendopo Toboali, bisiknya

Dia memang hanya seorang tua
Pemantun dengan tubuh ringkih
Dan rambut memutih
Yang boleh saja orang lupa
Sengaja atau tak sengaja
Tapi mungkin ada sesuatu
Yang orang sukar lupa
Dari tubuh ringgkih ini
Yakni pesan dan budi
Yang ia susun dan patri
Dalam baris-baris pantun
Selama bertahun-tahun
Yang ini memang orang sukar lupa
Karena setiap di baca
Baris-barisnya akan menyala
Menerangi nurani pembaca

Jakarta, 17 Januari 2004


PERTEMUAN

Hari ini dimana kita bertemu kekasih
Koba sudah tertinggal
Air Gegas baru kulalui
Dimana kita berjumpa, wahai kekasih

Jam demi jam
Berdentangan
Mengingatkan pertemuan
Tapi dimana wahai kekasih kita bertemu

Ombak laut berdebur
Berdebur dan berdebur
Bersahutan dengan debur di hati
Membangunkan rindu yang sunyi

Ternyata di sini kita bertemu kekasih
Di Toboali, dirumahmu yang bersih
Terimalah aku bersimpuh
Menyerahkan diri pada Mu
Hanya pada Mu

Toboali, 25 Desember 2003


LANGIT SENJA NEGERI TIMAH

Warna senja terhampar
Di negeri timah
Saksikanlah, katamu
Negeri timah
Negeri yang penuh berkah
Dalam warna senja yang mewah
Senya yang ramah
Menyapa pepohonan dan bebukitan
Menyapa pantai dan lautan
Menyapa petani dan nelayan

Warna senja terhampar
Di negeri timah
Nikmatilah, katamu
Dan negeri timahpun berhias
Dalam cahaya gemerlapan
Dalam hias berkilau
Dalam warna langit keemasan
Dan bumi keperakan

Toboali, 15 Mei 2004


MENYAKSIKAN FAJAR DI TOBOALI

Untuk MZK

Telah kusaksikan fajar di Toboali
Fajar dengan berkas cahaya
Meretas kegelapan
Fajar dengan sinar kegelapan
Berbinar – binar
Menembus keremangan

Telah kusaksikan fajar di Toboali
Fajar bertangan ajaib
Mengusir kebodohan
Mengusir kemiskinan
Fajar berlidah fasih
Mengusir kegelisahan
Mengusir kecemasan
Fajar berhati kasih
Menawarkan kebersamaan
Membina kesejahteraan

Telah kusaksikan fajar di Toboali
Ya Tuhan
Benar – benar telah kusaksikan
Fajar di Toboali
Dengan warna berkilauan
Menawarkan kebahagiaan

Toboali, 15 Mei 2004


MENGHITUNG OMBAK DI GUNUNG SAMAK

Mari mendaki ke Gunung Samak
Hingga tiba di puncak
Lalu lepaskan pandangan kesegala yang nampak
Saksikan alam yang bergerak
Saksikan alam yang berdetak
Lalu angkat tangan mu ke atas
Rasakan angin di jemari yang lepas
Lalu rebahkan tubuhmu
Hingga menyentuh rumputan
Rasakan cinta yang besahutan
Dan kini mulailah menghitung ombak

Manggar, 7 Juni 2004


SUNGAI LENGGANG MELENGGANG

Sungai Lenggang melenggang
Dan Saderi pun melenggang

Sungai lenggang melenggang
Membawa celoteh alam sekitar
Dan Saderi pun melenggang
Membawa nyanyian kocak yang segar

Sungai lenggang melenggang
Membawa merdu nyanyian gunung
Dan Saderi pun melenggang
Membawa syair kedalaman renung

Sungai lenggang melenggang
Membawa arus air ke kuala
Dan Saderi pun melenggang
Membawa suara hati ke laut jiwa

Sungai lenggang
Memberi nyanyi pada Saderi
Dan Saderi
Memeberi puisi pada sungai Lenggang
Mereke memang saling berlenggang
Dan saling gantung bergantung
Di kampung Gantung

Manggar, 7 Juni 2004


DIANTARA DUA SUNGAI

Dia bersedih duduk diantara dua sungai
Dia menangis bersimpuh di antara dua sungai
Dia merunduk terbungkuk di antara dua sungai
Dia tengadah kelangit diantara dua sungai
Sungai Buding yang bernyanyi nyaring
Sungai Lenggang yang mengalir tenang
Buding engkaulah sungai yang membasuh jiwa yang luka
Lenggang engkaulah sungai yang meneduhkan jiwa yang resah
Dari seorang pertapa yang ingin menuntut bela

Dia bersenandung diantara dua sungai
Dia merenung diantara dua sungai
Dia berharap di antara dua sungai
Dia berdoa di antara dua sungai
Sungai Buding dan sungai Lenggang
Engkaulah sungai yang memberi kesejukan
Bagi jiwa yang panas membara
Bagi jiwa yang ingin menuntut bela
Atas kematian ayahanda

Dia bertapa diantara dua sungai yang mengalir
Jiwanya mengalir bersama sungai yang mengalir
Jiwanya yang mengalir kesamudra cinta
Samudra Cinta Maha Besar
Allah Allah Allah

Manggar – Toboali, 8-15 2004


PANTAI BURUNG MANDI

Ketika menjejakkan kaki
Pertama kali
Dipantai Burung Mandi
Langit sangatlah bersih
Ketika itu
Pantai sangatlah tenang
Ketika itu
Ombak bernyanyi merdu
Ketika itu
Angin bertiup sejuk
Ketika itu
Udara sangatlah nyaman
Ketika itu

Enam abad yang lalu
Bagai terbayang
Seorang lelaki dari Pasai
Menjejakkan kaki pertama kali
Di pantai Burung Mandi
Mungkin pantai taklah tenang
Ombak tak bernyanyi
Dan angin tak bertiup sejuk
Dan udara taklah nyaman
Karena lanun sang perampok
Menjemputmu
Dengan mata merah
Dan pedang di tangan

Tapi lelaki dari Pasai itu
Tetaplah menjejakan kaki
Di pantai Burung Mandi
Karena tekad dalam hati
Ada yang akan diberi
Sesuatu yang berarti
Mudah-mudahan diberkahi Illahi

Orang-orang memang telah menjauh
Berumah ke daratan
Ke dalam hutan
Dan Pantai Burung Mandi ditinggalkan
Takut pada lanun
Sang perampok
Harta dan para kaum wanita
Dia boyong semuanya

Lelaki dari Pasai itu bertahan
Lalu membangun rumah di Menangan
Sambil bercocok tanam
Faham agama Islam dikembangkan

Lelaki dari Pasai itu
Bernama Jakfar
Seorang lelaki yang pintar
Bersungguh-sungguh namun
Kadang suka berkelekar
Kelak nama beliau dikenal
Sebagai Datuk Jakfar

Datuk Jakfar bersama keluarga
Hidup sederhana
Gemar bercocok tanam
Sambil menyebar agama Islam
Hingga usia lanjut
Tak pernah surut
Menyebar agama Islam

Bagai menyebar tanaman
Yang selalu tumbuh
Yang Alhamdulillah
Selalu diberkahi
Sehingga agama Islam
Menyebar keseluruh negeri
Menyebar kesetiap hati

Seorang lelaki dari Pasai
Semakin menua
Dan lanjutlah usia
Serta tibalah saatnya
Untuk kembali
Keharibaan Illahi
Orang – orang kemudian
Memberi gelar kehormatan
Keramat Menangan

Manggar, 8 Juni 2004


SUNGAI BUDING

Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh kakinya
Dari Lumpur dan debu
Dari perjalanan jauh
Ketika menjejakkan kaki
Pertama kali
Di Belitung ini

Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh tubuhnya
Dari daki dunia
Dalam kembara
Engkaulah sungai pertama
Yang membasuh wajahnya
Ketika sholat pertama
Suatu hari
Di Belitung ini

Engkaulah sungai pertama
Yang memberi kesejukan
Yang menerima kehadiran
Ketika mengadakan perjalanan
Menuju daratan
Tempat musafir mampir
Syeh Abubakar Abdullah
Untuk sekian lama
Menyebar agama

Sungai Buding
Sungai yang bening engkaupun tahu
Ketika tamu mu yang satu itu
Meninggal dunia
Mayatnya di bungkus
Dengan kulit kayu kepang
Maka tesebarlah harum wangi
Padahal sudah dikubur dua puluh hari
Lalu digali
Dan sesuai pesanmu
Mayatmu dikubur
Di antara bumi dan langit
Dan tempat itu ditafsirkan
Di Gunung Tajam

Manggar – Toboali, 8-25 Juni 2004


SURAT DARI MENUMBING

Dapatkah anda membayangkan
Hari ini
Pada tahun 2004 ini
Tiba-tiba
Anda menerima surat
Dari Menumbing
Dari seseorang yang anda kenal
Bahkan tulisannya pun anda kenal
Bertahun 1949

Surat itu meluncur begitu saja
Dibawa angin Bangka
Melayang-layang di udara
Lalu turun
Jatuh keharibaan anda

Begitu anda membuka sampulnya
Surat itu pun terhidang
Tulisanya amatlah terang
Miring ke kanan gayanya
Bahasanya sederhana
Jelas kata-katanya
Maksudnya pun langsung tertangkap
Oleh kita

Mari kita membacanya
Beginilah antara lain bunyinya
Kegembiraan rakyat di Bangka
Tentang cita-cita kebangsaan
Dan kemerdekaan bangsa
Adalah besar
Pekik merdeka
Adalah salam rakyat
Diseluruh kepulauan ini

Surat itu memang bicara tentang rakyat
Tapi juga bicara tentang pemimpin
Setelah bicara tentang rakyat
Apa katanya tentang pemimpin
Mari dengarin
Pemimpin berarti memberi contoh
Dan teladan dalam segala perbuatan
Tentu saja contoh yang diberikan
Contoh yang di tauladankan oleh pemimpin
Yang baik-baik dan bijaksana
Bukan sebaliknya

Dapatkah anda membayangkan
Hari ini
Pada tahun 2004 ini
Tiba-tiba
Anda menerima surat
Dari Menumbing
Dari seseorang yang anda kenal
Bahkan tulisannya pun anda hafal
Bertahun 1949
Surat dari seseorang
Yang sederhana
Hemat dalam bicara
Yang pernah memimpin negeri ini

Toboali-Pangkal Pinang, 4 mei 2004


BELINYU 1946

Bumi hanguskan Belinyu
Begitu perintah terdengar
Lewat telepon hari itu
Yang menerima perintah singkat itu
Segera tahu
Karena Kota Belinyu
Kota pertahanan terakhir TKR ketika itu

Bumi hanguskan Belinyu
Begitu singkat perintah itu
Tapi terdengar
Bagai suara petir menyambar-nyambar
Tapi yang menerima perintah tak gentar
Bahkan faham dan sabar
Karena segera mengerti
Ini pasti untuk antisipasi
Agar NICA tak akan menduduki
Tempat penting diwilayah ini
Agar kantorpos tak mereka kuasai
Agar Pusat pembangkit listrik
Dan telepon tak mereka kuasai

Pangkalpinang, 26 Oktober 2004


SUNGAI RANGKUI SUNGAI KENANGAN

Sungai Rangkui seperti legenda
Tinggallah dalam kenangan hamba
Berdiamlah di sudut-sudut mimpi
Seperti pertemuan kita pertama kali
Lewat pantun dan cerita lama
Lewat gambus dan lagu jenaka

Sungai Rangkui seperti nyanyian indah
Janganlah gelisah dalam angan hamba
Tenanglah dalam relung-relung sunyi
Seperti pertemuan kita pertama kali
Lewat riak menempuh tepi
Lewat perempuan membasuh kaki

Sungai Rangkui sungai kenangan
Jangan biarkan
Ia pergi dari mimpi
Jangan lepaskan
Ia dari kenangan
Hanya karena ulah
Tangan serakah
Yang mengirim luka dan nanah

Sungai Rangkui sungai kesayangan
Telah tersimpan dalam kenangan

Pangkalpinang, 7 Maret 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar