Senin, 22 Maret 2010

MEMBACA PUISI DIATAS BOEING 747

Oleh L.K.Ara

Ini pengalaman pertama saya membaca puisi di atas persawat udara
Boeing 747. Ketika itu kami sedang melakukan perjalanan Jeddah - Jakarta. Saya yang tergabung dalam kloter 120 memperoleh kesempatan terbang meninggalkan Jeddah pada hari sabtu pukul 5.00 sore waktu setempat. Pesawat berbadan lebar itu terbang dengan kecepatan lk l0.000 perjam. Setelah meninggalkan kawasan Laut Merah kami terbang malam melintasi Lautan Teduh. Tak sedikit para jamaah telah tidur lelap, meski pesawat mendapat guncangan karena harus menembus gelombang awan tebal. Ketika memasuki wilayah Indonesia hari sudah subuh. Terdengar dari pengeras suara bahwa waktu salat sudah tiba. Diminta para jamaah bersiap-siap melakukan tayammum. Kemudian kami melakukan salat subuh berjamaah.

Selesai salat ada kuliah subuh pendek. Kemudian terdengar suara meminta saya membaca puisi. Saya ingat betul suara itu. Suara Drs Mashudi pimpinan kloter l20 yang sehari-harinya beliau adalah Kepala Kantor Dep. Agama Jakarta Pusat. Saya berjalan lebih kurang 30 langkah maju kedepan. Dengan alat seperti telepon yang bagian dalamnya dipencet saya mulai membaca puisi. Puisi pertama berjudul 'Tiba di Makkah'. Bunyinya sebagai berikut,

wahai kota suci
kota kelahiran Nabi
terimalah kami
datang dari jauh
lebih dari 70.000 km
telah kami tempuh

wahai kota suci
kota perjuangan Nabi
menjelang fajar kami tiba
jemari sejuk embun pun menerima

wahai kota suci
kota kerinduan
telah kami jejakkan kaki
di bumi Makkah
lalu wajah tengadah
mengucap syukur kepada Nya
atas undangan Nya
atas perkenan Nya
atas keridhaan Nya

Puisi ini saya tulis di Makkah pada tgl l9 Mei l993.


Pada hari itulah kami sampai di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW, setelah
menempuh perjalanan kl 2 jam dari Jeddah. Memasuki Makkah kami melihat gerbang yang besar dan selanjutnya lampu yang menyala terang benderang. Entah mengapa tiba-tiba suasana pada munculnya fajar hari itu seperti meneteskan embun mengenai tubuh. Meski kami berada di dalam bus. Di sebuah pemberhentian bus memang ada seseorang membawa air zamzam, sambil menawarkan kepada kami dia berkata, halal, halal... Tawarannya saya sambut. Selesai minum saya ucapkan, syukran, terimakasih... Orang itu tersenyum dan menawarkan air zamzamnya kepada jamaah yang lain.

Tiba di pondokan kami segera mencari mesjid terdekat lalu
melakukan shalat subuh. Selesai salat subuh para jamaah banyak yang mengucapkan, syukur, alhamdulillah, sudah tiba di kota suci Makkah. 'Di bumi Makkah /lalu wajah tengadah /mengucap syukur kapada Nya /atas undangan Nya / atas perkenan Nya / atas keridhaan Nya'.

Di Makkah kami tinggal di kawasan yang disebut Misfalah. Pondokan kami terdiri dari 6 lantai. Untuk mencapai lantai 2 hingga 6 ada sebuah lif. Disamping itu ada juga tangga. Disetiap lantai ada kamar mandi lengkap dengan wc. Sehari kami berada dipondokan nampaknya semua lancar, listrik nyala, air bagus dan lif lancar turun naiknya. Tapi pada hari kedua sudah mulai ada yang mengulah. Ketika jamaah sedang makan siang listrik mati. Dapat dibayangkan apa yang dilakukan jamaah dan bagaimana perasaannya. Begitu juga ketika akan mandi dan mengambil air wudhuk untuk salat subuh pagi besoknya, air tak mengalir.

Lif yang menghubungkan lantai demi lantai serig macet. Dan terpaksa jamaah turun naik tangga. Namun semua itu diterima jamaah dengan sabar. Maklum sejak awal ketika akan berangkat dari Indonesia para jamaah sudah dinasihatkan untuk membawa sabar berkarung-karung.

Puisi kedua yang saya baca setelah salat subuh itu mengenai
pondokan atau hotel tempat kami menginap itulah. Judulnya, 'Maafkan Yang Punya Hotel, Ya Allah'. Bunyinya sebagai berikut,

ya Allah
maafkah yang punya hotel
tempat para jamaah menginap
karena layanan yang kurang memuaskan
lampu sebentar hidup sebentar mati
sehingga jamaah yang makan
meraba-raba dalam gelap
apa yang akan di suap

maafkan yang punya hotel, ya Allah
yang air untuk mandi dan wudhu'
sebentar hidup sebentar mati
lalu terpaksa mandi cara singkat
dan dari wc mulai tersebar harum yang menyengat

ya Allah
maafkan yang punya hotel
yang layanannya kepada jamaah kurang memuaskan
karena lifnya sering macet
sehingga jamaah harus naik turun tangga
ketingkat enam atau lebih
dan saat itu alangkah menderitanya
yang mengidap penyakit jantung atau asma

Pada bagian akhir puisi ini saya kemukakan juga bahwa yang punya
hotel dalam perjanjian menyebut bahwa hotelnya bagus. Listrik bagus, air mengalir dan lif baik turun naiknya. Walaupun tak sesuai dengan perjanjian para jamaah lebih banyak mengalah. Maklumlah mereka datang ke Makkah untuk beribadah. Sehingga para jamaah tak ada yang berkata kasar meski dalam hati mungkin ada yang merasa kesal. Bunyi puisi pada bagian akhir itu, sebagai berikut,

ya Allah
maafkan yang punya hotel
yang menurut janji semua akan beres
air pasti ada, aliran listrik bagus
dan lif baik turun naiknya
ya Allah
maafkan yang punya hotel
karena jamaah yang ratusan jumlahnya
tetap sabar meski ada satu dua yang kesal
tapi tak sampai mengeluarkan kata-kata kasar

Misfalah, Makkah, 28 Mei l993.


Membaca puisi diatas pesawat subuh itu saya rasakan kurang lebih sama dengan membaca puisi didalam studio. Bedanya di studio kita dibatasi dinding dan tak berhadapan dengan pendengar atau penonton. Sedang diatas pesawat kita tidak dibatasi dinding. Dan dapat berhadapan dengan para pendengar.

Tetapi situasi pesawat dan alat pengeras suara membuat saya harus duduk membacakan puisi-puisi itu. Belum lagi lampu penerangan yang hanya samar yang dinyalakan dalam ruangan sehingga pembaca hampir tak kelihatan. Namun demikian suara yang disampaikan lewat alat semacam telepon itu cukup jelas kedengaran. Ini saya ketahui kemudian setelah bertemu dengan H. Rafiqoh Darto Wahab salah seorang jamaah kloter l20 yang ikut mendengar pembacaan puisi hari itu.

Puisi ketiga saya tulis di Madinah. Puisi berjudul 'Ya Allah
Jadikan Hamba' itu ditulis setelah beberapa kali salat di mesjid Nabawi. Begini bunyinya,

ya Allah
jadikan hamba
angin Madinah
agar dapat menggapai
puncak mesjid Nabawi

ya Allah
jadikan hamba
gerimis Madinah
agar dapat menyiram
dan membasuh tubuh
mesjid Nabawi

ya Allah
jadikan hamba
mata seorang pengunjung Madinah
yang tak bosan-bosan
menikmati keindahan
mesjid Nabawi

ya Allah
jadikan hamba
tangan seorang buta
pengelana Madinah
yang tak pernah lupa
lekuk bentuk
pintu mesjid Nabawi

ya Allah
jadikan hamba
kaki seorang perindu Madinah
yang tak pernah lelah
sehari lima waktu
tersungkur di mesjid Nabawi

ya Allah
jadikan juga hamba
jadi belalang Madinah
yang dengan riang
mengerubungi lampu mesjid Nabawi
kemudian setelah terbakar cahaya
ia mati

Madinah, 23 Juni l993


Apakah yang terasa pada diri saya selama membaca ketiga sajak diatas pesawat terbang dengan kecepatan sekitar l0.000 km per jam itu? Saya merasa seperti berada dalam sebuah gedung. Kemudian ketika membaca saya membayangkan kembali suasana tempat apa yang terlukis dalam puisi itu. Terbayang dikepala saya kota Makkah pagi hari, wilayah Misfalah tempat pemondokan serta mesjid Nabi Muhmammad SAW mesjid Nabawi. Sebuah mesjid dengan menara tinggi dan indah, ruangan yang sejuk dan penuh dengan ukiran yang mempesona.

Bahwa pesawat kadang-kadang menembus awan tebal sehingga mengakibatkan ada goncangan-goncang kecil tak terasa lagi. Saya ingat-ingat kemudian, membaca puisi diatas pesawat yang jaraknya dari bumi sekitar 7000 m menarik juga. Untuk hal seperti itu, itulah pengalaman saya pertama.***


(dari: “Perjalanan Arafah”, sajak-sajak L.K.Ara, Abadi Grup, Jakarta, 1994)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar