Senin, 22 Maret 2010

MENGENANG ADNAN PMTOH DAN TO’ET

Oleh L.K.Ara

Tangan kiri To’et meregang kedepan lalu tangan kanannya menekuk berada persis di atas tangan kiri tadi sementara itu suaranya yang merdu mengalun “wo renggali…wo renggali…”. Saat itu To’et sedang menyanyian lagu “Renggali” di Bengkel Teater Rendra, Depok tahun 1970. Penonton yang terdiri dari anggota Bengkel Teater dan tamu penyair Rendra dari Japan Foundation santai saja menyaksikan tontonan yang diperlihatkan penyair tradisional Gayo, Aceh Tengah itu. Sikap To’et dalam tontonan agaknya membayangkan orang sedang memainkan biola.

Melihat gaya To’et bila membawakan “Renggali” selalu dalam bentuk yang sama, sekali waktu diajukan pertanyaan kepadanya. Dan secara santai To’et berkisah, “Sekali waktu saya menyaksikan orang main biola. Merdu sekali bunyi alat musik itu. Saya kepingin juga punya biola. Tapi tak punya uang untuk membeli. Ya jadi saya mainkan saja dengan cara saya sambil bernyanyi”.

Nyanyian Renggali sendiri bercerita tentang bunga yang harum baunya. Kemudian dibagian lain ia menyinggung bahwa lagu yang dibawakannya pada saat tengah malam bukan harta pinjam. Dibagian bait akhir To’et juga menyinggung sekarang banyak ‘ceh’ (pencipta lagu) tapi banyak tak berbobot. Berikut ini kita ikuti syair “Renggali”,

wo renggali
si bau bau bau lungi
renggali ni si tajuk dilem
ini lagu ayu rap tengah melem

wo renggali

si bau bau bau lungi
ceh besilo memakin dele
ketape nge delen ku semara
si mubeli motor memakin dele
ketape minyakke memakin menyala

wo renggali

si bau bau bau lungi
renggali ni si tajuk dilem
ini lagu naku nume harta pinyem
enih ni ume memakin simen
keta jakat e nge olok kurang

l978
Terjemahannya:

RENGGALI

wahai renggali
yang harum harum harum mewangi
renggali ini si tajuk hias
ini lagu baru dekat tengah malam

wahai renggali

yang harum harum harum mewangi
ceh sekarang semakin banyak
tetapi lagunya banyak tak mengena
yang membeli kenderaan semakin banyak
tetapi minyaknya semakin menyala

wahai renggali

yang harum harum harum mewangi
renggali ini si tajuk hias
ini laguku bukan harta pinjam
benih sawah semakin banyak
tapi zakatnya semakin berkurang

Daya pikat To’et ketika membawakan nyanyian Renggali tentu bukan hanya karena ia memperlihatkan imajinasi memainkan biola tetapi juga lengkap dengan gerak bahu, tangan, badan serta mimik wajah.

Berbeda dengan penampilan Adnan PMTOH yang menampilkan tokoh dalam hikayat yang dipertontonkan selalu dilengkapi dengan kustum dan properti lainnya. Dalam Hikayat Maleem Dewa misalnya ketika menampilkan tokoh Inen Keben (nenek kebayan) Adnan mengenakan pakaian wanita lengkap dengan kerudung. Sementara itu suaranya pun berubah menjadi suara wanita yakni Nenek Kebayan.

Seperti diketahui Hikayat Maleem Dewa menceritakan Maleem Dewa suatu kali ketika berada di Sungai Pesangan melihat ada sehelai rambut panjang di air. Timbul dalam pikirannya tentu ada orang dihulu. Begitulah ia menyusur sungai hingga hulu. Di hulu sungai Pesangan di Atu Pepangiran ia menyaksikan tujuh puteri sedang mandi. Sedang baju terbang ketujuh puteri itu ia letakkan. Mengintip beberapa hari tahulah Maleem Dewa yang mana Puteri Bungsu. Suatu ketika Maleem Dewa menyembunyikan baju terbang Puteri Bungsu. Ketika akan terbang ke langit Puteri Bungsu tak bisa pergi karena baju terbangnya hilang. Itulah bagian awal Hikayat Maleem Dewa. Dalam kisah selanjutnya Puteri Bungsu bertemu dengan Nenek Kebayan dan Maleem Dewa.

Perobahan dari tokoh yang satu ke tokoh yang lainnya sesuai dengan cerita dilakukan Adnan dalam tempo yang sangat singkat. Begitulah penonton asyik menyaksikan bagaimana Adnan menjadi Nenek Kebayan, Maleem Dewa dan Puteri Bungsu. Dalam percakapan antara Nenek Kebayan dengan Maleem Dewa misalnya dapat kita bayangkan betapa sibuknya seniman Adnan PMTOH mengganti kustum dan merobah suara dari suara nenek ke suara seorang pemuda. Yang menarik juga bagi penonton adalah ketika melakukan pergantian kustum dan properti tokoh-tokoh cerita secara terbuka. Dan memang Adnan sudah siap dengan satu atau dua tas besar berisi kustum dan properti lainnya.

Begitu juga ia lakukan ketika mentas di Teater Terbuka Taman Budaya Banda Aceh. “Dulu di kampong-kampung saya mainkan Hikayat Maleem Dewa biasanya sampai 7 malam”, kata Adnan suatu kali. Dan Hikayat Maleem Dewa memang tak hanya dipentaskan dikampung yang menguasai bahasa Aceh tapi juga dikampung yang memakai bahasa Gayo. Karena memang Adnan bijak juga menggunakan bahasa Gayo. Bahkan menguasai sejumlah nyanyian berbahasa Gayo.

Bila dalam cerita romantis seperti Hikayat Maleem Dewa penonton menyaksikan Adnan berlakon berucap lembah lembut merayu dan bahkan memainkan suling dalam peran Maleem Dewa maka dalam hikayat perang Adnan segera tampil sebagai tentara atau panglima perang. Lengkap dengan senjata dan topi baja. Dalam hal mengenakan topi baja Adnan benar-benar mengenakan topi baja atau yang mirip topi baja.

Berbeda dengan penyair To’et yang sewaktu-waktu juga berlakon seperti tentara dalam membawakan puisinya. To’et boleh dikatakan tidak mempunyai persiapan properti. Ia hanya mempunyai alat bantu yang berfungsi sebagai musik.

Ketika hendak mentas di rumah Tides Katoppo, sutradara Teguh Karya bertanya kepada To’et alat musik apa yang diperlukan. Sedang omong-omong di ruang tamu Tides, tiba-tiba To’et menghilang. Kemana To’et?

Ternyata penyair lugu itu sudah menyelinap kedapur. Datang ke ruang tamu ia membawa piring, sendok, tempayan dan peralatan dapur lainnya.

To’et mulai berdendang. Ia menggerakkan tubuh, suara dialunkan, serta tangannya menyentuh tempayan, piring, dan kadang-kadang pukulan telapak tangannya mendarat didinding rumah.

Ketika membawakan nyanyian “Perang Sabil” tempayan tiba-tiba berobah dari alat musik menjadi topi baja. Begitu saja kedua tangan To’et mengangkat tempayan lalu meletakkan diatas kepalanya. Dan nyanyiannyapun mengalir,

PERANG SABI

laillahaillallah
perang sabilollah mulayang nyawante
ukum ni perang sebenare wajib
seumur murip turah kite jege
rayoh ni si mate sahid
porak lo sine mamur
langso mukamul mujadi minyak bunge
jema mate sahid geh berdidodari
berpermandani sembilan ratus unte

laillahaillallah
perang sabilollah tun empat lime

l947

Terjemahan:

PERANG SABI

laillahaillallah
perang sabi nyawa kita pun melayang
hukum perang wajib di sandang
sepanjang usia harus kita jaga
darah yang sahid
siang tadi tertumpah
kelak berkumpul kembali jadi minyak wangi
yang mati sahid dikunjungi bidadari
pakai permadani sembilan ratus unta

laillahaillallah
perang sabilillah tahun empat lima

Rupanya tertarik menyaksikan kebolehan To’et membawakan beberapa nyanyian Teguh Karya lalu menyusun rencana untuk menampilkan untuk suatu forum yang lebih besar. Begitulah beberapa hari kemudian rumah disulap jadi tempat tontonan. Teguh Karya turun tangan sendiri membawa kain warna warni menghiasi pagar dan ruang rumah. Pada malam pertunjukkan sejumlah undangan seniman Jakarta hadir. Pers ikut menyebarkan pertunjukkan secara luas. To’et sebagai seniman tradisional Gayo, Aceh Tengah semakin dikenal.

Di kampung kelahirannya di Gelelungi To’et dikenal sebagai seorang penyair yang meninggalkan grupnya Sinar Pagi. Grup Didong yang terdiri dari 25 hingga 30 orang ditinggalkan To’et karena ia ingin menggeluti keseniannya lebih dalam. Begitulah akhirnya To’et membawakan seni bertuturnya dari rumah kerumah. Bahkan ia juga membawakan warkah kejadian bencana alam misalnya nyanyian “Redines” dari kampung ke kampung.

Kepiawaian To’et nampak terutama selain hafal ribuan baris syairnya juga membawakan nyanyian dengan totalitas. Tak heran jika sutradara Arifin C. Noer menyebut To’et pembaca puisi nomor wahid. Memang ketika membawakan puisinya penyair tradisi pedalaman Tanah Gayo ini dalam waktu seketika dapat merobah suasana sedih ke gembira dan begitu juga sebaliknya.

Kecepatan merobah suasana seketika pada seniman Adnan PMTOH dapat dibayangkan pada Hikayat Kancamara. Sebuah hikayat yang pada bagian tertentu memperdebatkan ajaran Islam dan Hindu dalam bentuk dialog. Ada dua tokoh yang diperankan Adnan yakni Ratu dan pemuda Kancamara. Dialog itu berbunyi sebagai berikut.

Ratu: “Apa yang raya dalam dunia ini?
Kancamara: “Yang raya dalam alam ini ialah angan hati manusia (hawa nafsu)”
Ratu: “Apa yang kecil dalam alam ini?
Kancamara: “ Alam ini kecil sekali”
Ratu: “Apa yang jauh dalam alam ini?
Kancamara: “Perkataan yang sudah diucapkan, karena tak dapat ditarik lagi”
Ratu: “Apa yang lebih dekat dalam alam ini?
Kancamara: “Yang lebih dekat ialah mati”
Ratu: “Apa yang lebih tinggi dari langit?
Kancamara: “Kemuliaan, hormat menghormati”

Mungkin salah satu ujian bagi penutur hikayat Adanan PMTOH adalah membawakan adegan percakapan diatas. Sebentar ia jadi Ratu sebentar lagi jadi Kancamara. Selain kustum yang harus diganti juga suara dirobah dan sekaligus suasana.

Suatu hari To’et muncul di kampung Tringgading tempat Adnan PMTOH berdomisili. Disamping menikmati pertunjukkan Adnan, To’et juga muncul dengan gayanya yang khas. Berbeda dengan pemunculannya ditempat lain di Tringgadeng, To’et berdendang sambil menjual tembakau yang dibawa Gayo. Dalam bahasa Aceh, To’et berdendang sementara tangannya langsung membungkus tembakau dan memberikan kepada pembelinya. “Berbulan-bulan saya menjual tembakau sambil berdendang di Tringgading”, cerita To’et sekali waktu. Ternyata bukan hanya uang yang didapat To’et tapi juga seorang isteri.

Beberapa tahun kemudian tak terbayangkan kalau satu hari hari kami sempat berada di rumah Adnan PMTOH di Tringgading. Kedua tokoh ini saling cerita tentang pengalamannya masing-masing. Ditutup dengan acara pergi ke pantai menyaksikan ombak.

Kini semua itu hanya tinggal kenangan. Seniman Adnan PMTOH telah pergi menemui Tuhannya tgl 5 Juli 2006. Sedang seniman To’et telah meninggal tgl 24 Mei 2004.

(dari : Arsip lama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar