Senin, 22 Maret 2010

MUHAMMAD BASYIR LAKKIKI SENIMAN YANG AKRAB DENGAN ALAM

Oleh L.K.Ara

Dia seorang petani lahir di Kampung Kutelintang yang sunyi, namanya Muhammad Basir. Kelak nama itu ditambah dengan Lakkiki, menjadi Muhammad Basir Lakkiki. Muhammad Basir memang mempopulerkan nama Lakkiki sebagai sebuah Klob (grup ) Didong yang sangat terkenal di Gayo, Aceh Tengah.

Dengan beroleh pendidikan SD di Takengon dan Madrasyah Islamiyah di Sigli, Muhammad Basir menghasilkan karya-karyanya berupa didong ( sebuah kesenian tradisional Gayo ) yang sangat menyakinkan. Selain lagu yang merdu dan berciri khas Gayo lirik-liriknyapun cukup menarik. Menarik karena berisi “nasehat” kepada muda-mudi dan sering menggambarkan suasana masa lalu. Tema-tema didongnya mencakup nasib manusia, suasana pembangunan, penderitaan, ungkapan kegembiraan muda-mudi, dan lain-lain.

Kehidupan bertani yang dihayatinya sepanjang waktu melahirkan beberapa didong yang sangat berkesan. Minsalnya dalam didong Guduk-guduk dapat kita lihat suasana musim panen dan kehidupan muda-mudi pada saat itu. Kata Muhammad Basir.

Musim panen gadis beriring
Di atas pematang perjaka memandang
Kembang gemerlap hijau dan merah
Miring topinya sudah melintang terpasang

Suasana yang romantis itu dilanjutkan dengan kehidupan muda-mudi di senja hari,

Jika hari senja pulang ke rumah
Belanga dicari emping digongseng
Dicari lesung diusahakan alu
Dibawa tampah untuk menampinya

Tapi bagaimana suasana hubungan muda-mudi di zaman silam itu? Hal ini terungkap dalam bait di bawah ini :

Perjaka dahulu membawa tongkat senja
Di air pancuran gadis-gadis bersisir
Seakan-akan iya seolah-olah tiada
Maklumlah dahulu halus itu tuturnya

Hubungan muda-mudi seperti ini masih kita jumpai dalam lirik-lirik Muhammad Basir, minsalnya kita temukan pula dalam didong Teganing. Bagaimana terbatasnya hubungan muda-mudi di zaman lalu itu tapi juga bagaimana mesra dapat kita lihat dari bait di bawah ini :

Gadis-gadis ke telaga membawa kendi
Perjaka ke pintu gerbang tiba-tiba melambaikan tangan
Berdendanglah adik berdendanglah
O o o wahai adikku

Dalam lirik didong Utih Roda, Muhammad Basir mengisahkan gadis-gadis Gayo bekerja menumbuk padi. Di sana dikemukakan bagaimana para gadis itu menjemur padi, membawa ke roda lalu menumbuk. Coba kita simak lirik Utih Roda di bawah ini :

Utih roda ramah dan bijak
Jari-jari cekatan kulihat menampi
Lah uwo jang kerlak 1)

Suara alu keltang-keltung
Suara lesung seolah bernyanyi
Lah uwo jang kerlak

Beberapa didong Muhammad Basir berisi semacam nasehat kepada para pemuda. Bagaimana seharusnya para pemuda bersikap, bagaimana seharusnya bertingkah laku, bekerja dan sebagainya digambarkan seniman Muhammad Basir dalam Pemanis. Coba kita ikuti :

Sebagai ganti mentera perindu sebaiknya lagi
Berbicaralah yang pintar kau perjaka
Pandailah berbicara mahir menenggang hati
Kepada orang banyak jangan congkak
Hari pun pagi lebih baik dan sebaiknya
Jangan asyik tidur kau luruskan kaki telentang
Tu kelta keltu tidaklah layu sirih di gagang

Tumbuh-tumbuhan yang hidup di tengah alam sering dijadikan perlambang oleh para penyair. Pujangga Baru dalam kesusasteraan Indonesia misalnya sangat menyenangi ini. Sampai-sampai seorang pengarang Sari Amin “bersembunyi” ketika mengarang di balik nama Selasih. Akhirnya nama Selasih ( yang berupa nama tumbuh-tumbuhan ) sangat terkenal, melebihi nama asli Sari Amin sendiri.

Dalam didong Muhammad Basir mengambil tumbuh-tumbuhan renggali sebagai simbul. Dalam didongnya Renggali ia mengisahkan bahwa tumbuhan itu hidup dalam hutan namun ia berfaedah untuk manusia karena bunga itu wangi dan harum. Semisal seniman Muhammad Basir tinggal dalam desa sunyi namun karya-karyanya selalu didengdangkan, dibaca orang, didengar orang di manapun dan kapan pun karena karya-karya itu menghasilkan hubungan yang intim dengan keindahan.
Mari kita coba lihat serangkum lirik Renggali :

Tumbuhlah kau renggali semoga subur
Supaya kami jadikan untuk minyak wangi
Tumbuhlah kau renggali tidak usah disemai
Agar dapat menjadi perhiasan diatas bumi

Betapa sederhana tapi betapa luhur keinginannya agar dapat menjadi perhiasan di atas bumi. Sementara itu ia sendiri tak ingin di hiraukan menjadi bertunas dan tumbuh sehingga dapat memberikan wangi, tumbuhlah kau renggali tidak usah disemai

Ada satu saat di mana seniman-seniman Gayo menghasilkan karya yang bertema memperkenalkan kampungnya lengkap dengan batas-batasnya. “Dewantara” grup Didong dari kampung Kebayakan misalnya menghasilkan didong Perbatasan. Pada tahun-tahun itu juga Muhammad Basir menghasilkan Pegasing. Lagu yang terkenal itu dihiasi dengan lirik yang berbunyi :

Kutelintang itu pun Pegasing
Bila ke hulu hingga Uning ke hilir hingga Burlintang
Di sana sudah terbayang jalan ke Gayo wo wi wo 1)
Awan putih langit biru wo wi wo
Awan putih langit biru wo wi wo

Selain memperkenalkan Kutelintang dalam didong ini ia juga mengetengahkan kampung-kampung Kayu Kaul, Simpang Kelaping, Lukup dan lain-lain.

Suasana pembangunan sebagai pengisi kemerdekaan bagi Muhammad Basir sudah lama terpikirkan. Hal ini dapat kita simak lewat sebuah didongnya yang berjudul Kulubana. Kata Muhammad Basir :

Sekarang dunia sudah terang
Tanamlah kacang banyak-banyak
Semuanya seluruhnya

Dalam berdidong lirik itu diucapkan oleh ceh Muhammad Basir (ceh utama) dan apitnya (ceh pendamping) lalu disambut oleh grup secara koor dengan kalimat :

Setuju saja
Setuju saja

Dilanjutkan lagi oleh ceh Muhammad Basir dengan lirik

Tanamlah jagung tanam ubi jalar
Capli cabe itu pun di tanam
Bagian pinggir untuk selingan

Disambut lagi oleh grup dengan:

Setuju saja
Setuju saja

Dari contoh yang singkat ini bisa juga dilihat image bahwa ucapan pimpinan itu disambut hangat dengan kata setuju oleh rakyat banyak. Begitu rupa Muhammad Basir mengatur semua ini didalam kesenian tradisional didong sehingga semua berjalan wajar dan intim.

Suara burung, desau air, angina, muncul dalam lagu-lagu ciptaan seniman ini. Karena memang itulah sumber ciptaannya. Ini semua lahir karena ia hidup di tengah alam dan menghayati alam itu secara intens.

Suasana derita bukan tak pernah muncul dalam didong Muhammad Basir. Coba lihat minsalnya pada didong Di Zaman Jepang. Di sini ia menceritakan bagaimana manusia dipaksa kerja rodi membuat jalan oleh orang Jepang.

Dan dimanakah sebenarnya kebahagiaan yang dicari manusia itu? Ini nampak pada lirik lagunya yang berjudul Bong ketis tis bong. Kini untuk mengetahui riwayat penciptaan kesenian Muhammad Basir saya turunkan sebuah wawancara seperti di bawah ini.

“Didong apa yang Anda ciptakan pertama sekali”
“Didong berjudul Lakkiki sekitar tahun 1945, lagu itu tak sengaja tapi kemudian menjadi populer”.
“Siapa yang mula-mula membuat nama Lakkiki?”
“Orang lain, tapi lama-lama semakin melekat ketika ada perayaan dikampung Uning (Kecamatan Pegasing) ketika itu kami bertanding dengan grup Sipi-sipi. Pertandingan itu mencari dana untuk membangun jembatan, pada tahun 1947”
“Bagaimana pada mulanya seingat Anda didong bisa mencari dana?”
“Suatu kali grup Lakkiki mupakat di bawah pimpinan ketuanya Aman Jenen alm. Lalu didong diadakan dengan mengundang orang-orang untuk dana membangun joyah ( surah untuk wanita ). Mungkin karena baru pertama kali diadakan saat itu banyak sekali orang menyumbang”.
“Selama diadakan pertandingan didong grup mana yang anda anggap cukup kuat untuk berlawan grup Anda?”
“Yang agak kuat berlawan grup “Siner Pagi” dengan ceh utamanya To’et dan Thalib”.
“Apa yang paling menarik pada grup Siner Pagi, lagu atau akal (lirik)?”
“Di masa itu akal mulai kami robah. Sewaktu bertemu dengan grup Siner Pagi tidak lagi kami pentingkan akal. Pada generasi sebelum kami memang dipentingkan akal. Siapa yang bisa menjawab teka-teki misalnya itu dianggap menang. Tapi kalau tidak bisa menjawab meskipun didongnya bagus tetap dianggap kalah”.
“Menurut Anda ceh sebelum Lakkiki, ceh mana yang terkuat?”
“Ceh To’et dari grup Siner Pagi dan ceh Tujuh dari grup Sipi-sipi”.
“Dimana saja Anda pernah bertanding dengan ceh Tujuh?”
“Kalau tak salah kami pernah bertanding didong di Simpang Kelaping dengan ceh Tujuh. Selesai pertandingan ceh Tujuh sendiri mengatakan bahwa kalau masih hidup Lakkiki lebih baik aku berhenti karena jauh sekali bedanya, begitu kata ceh Tujuh. Jadi seingat saya ceh Tujuh berhenti sejak bertanding dengan kami”.
“Saya dengar Anda pernah menghentikan sebuah grup bermain untuk selanjutnya dengan menelkin, apa benar?”
“Di saat bertanding dengan ceh Tujuh itu, begitulah. Kami menelkin. Memang apabila lawan lemah sekali kami terus saja menelkin. Maksud saya supaya sempurna ia berhenti berdidong”.
“O ya saat Anda mencipta kapan saja, apa dalam keadaan sepi, atau dalam keadaan ramai barangkali?”
“Seingat saya ada dua cara. Pertama pada masa sepi, sedih sedang menimang anak sedang sakit. Saya berdendang untuk menyejukkan hatinya. Lalu timbul lagu sedih.
Kedua di saat gembira, dalam keadaan ramai di saat ketawa-ketawa timbul lagu gembira. Pernah saya pergi ke dalam hutan terkadang berhenti di belantara itu mendengar suara burung. Saya tertegun. Saya terus teringat suara burung itu. Pada suatu saat kemudian dari suara burung itu saya dapat menciptakan lagu”.
“O ya kalau tak salah sebuah lagu terkenal ciptaan Anda adalah Utih Roda, bagaimana lahirnya karya itu?”
“Utih Roda timbul ketika saat berada di roda tempat menumbuk padi. Melihat alat-alat menumbuk padi itu berputar, melihat orang-orang menumbuk padi lalu lahirlah Utih Roda”.
“Kapan Anda mencipta pagi, sore, atau malam?”
“Sering kami sore-sore berkumpul berdendang-dendang di suatu tempat bersama rekan-rekan. Di saat itu saya mencoba lagu-lagu yang saya temukan. Bersama rekan-rekan diulang-ulang. Kadang-kadang dalam pertemuan itu disempurnakan. Tapi kadang-kadang di tempat itu juga muncul lagi lagu baru”.
“Seingat Anda sudah berapa kira-kira karya Anda ciptakan ?”
“Lebih kurang 150 buah”.
“Kalau mencipta lagu Anda sendiri atau mengajak teman untuk membicarakannya”
“Kalau sedang mencipta lagu saya berusaha sendiri, karena timbul lagu kadang-kadang dalam sunyi sepi, tak seorang yang dapat menggangu saya. Sewaktu kita sedang mencipta di ajak orang lain bicara seolah suara orang lain tak terdengar. Rupanya karena seluruh pikiran kita tumpahkan pada ciptaan tadi”.
“Bagaimana pendapat Anda jika sekali waktu lagu-lagu Anda dibawakan orang lain?”
“Saya bersyukur kalau lagu saya dibawa orang. Cuma kan tak ada salahnya kalau si pembawa menyebut bahwa karya itu siapa yang menciptakannya”.
“Menurut kebiasaan Anda apa dahulu yang diciptakan lagu atau liriknya?”
“Sebenarnya membuat lirik gampang, bisa bermufakat.

Yang sulit mencipta lagu. Bayangkan mencipta lagu kita harus mengikuti naik turun sebuah lagu. Dan itu semua kan harus dicari menurut suasana perasaan kita”.
“Boleh disebut lagu yang paling lama Anda ciptakan?”
“Boleh, lagu-lagu yang agak lama saya buat adalah “Reduk gantung (Guduk-guduk)?”
“Apa yang dimaksud dengan Guduk-guduk itu?”
“Guduk-guduk adalah ucapan pertama bagi kanak-kanak ketika mulai merangkak”.
“Sekarang tentang teman yang setia mendamping Anda dari dulu siapa saja?”
“Rekan paling setia ialah Sahak, baik dalam berdidong atau dalam pergaulan. Perpisahan kami karena ia tinggal di kebunnya dan saya tinggal di kebun saya. Letak kedua kebun kami agak berjauhan beberapa km”.
“Sekarang tentang lagu Pegasing yang terkenal itu, kapan Anda ciptakan?”
“Lagu Pegasing muncul tahun 1947 saat bertanding dengan grup Dewantara. Mula-mula Dewantara mengeluarkan lagu “Perbatasan” lalu kami menampilkan lagu Pegasing”.
“Boleh diketahui lagu-lagu yang bersifat romantis yang Anda ciptakan?”
“Di umur muda memang saya juga menciptakan lagu-lagu yang bersifat romantis misalnya : “Melas Ko Kutetunung”, “Manut Waih Manut Atu”, “Guduk-guduk” dan lain-lain.”
“Kabarnya Anda pernah pergi ke kampung Lumut menghibur pekerja paksa pembuat jalan, apa benar?”
“Sebenarnya kami pergi bukan untuk menghibur tapi pergi untuk rodi membuat jalan. Tapi ketika suatu kali memperingati acara orang Jepang diadakan hiburan. Saat itu mereka menawarkan kapada siapa saja yang bisa menghibur. Dipanggil To’et dan kami mengisi acara hiburan. Tempatnya saya masih ingat saat itu di Pintu Rime Kekabu. Sejak itu saya bertugas menghibur saja lagi, tidak ikut rodi lagi”.
“Lagu-lagu apa saja yang anda bawa waktu itu?”
“Lagu Miyoto Kaino mula-mula saya bawa kemudian saya perkenalkan lagu daerah, seperti lagu Ciak-ciak berasal dari ayam. Yang penting saat itu bagaimana supaya orang Jepang bisa terhibur sehingga benar-benar mereka ketawa”.
“Apa ada imbalan dari Jepang waktu itu?”
“Semenjak kami ikut menghibur pada acara itu saya diberi pekerjaan baru yakni memangkas. Khusus kepala orang Jepang”.
“Sekarang tentang lirik lagu-lagu Anda. Kalau ada orang minat mengumpulkannya bagaimana perasaan Anda?”
“Sebenarnya kalau ada orang berminat mengumpulkan lirik-lirik didong saya, saya bersyukur. Kuucapkan terimakasih kepada orang itu. Kenapa?” Karena lirik didong ini sering hilang. Satu kali bertanding saja kadang-kadang saya sudah lupa, yang ingat kadang-kadang justru orang lain. Jadi kalau ada orang yang berminat mengumpulkan aku bersyukur”.


(dari: Kata Pengantar “Didong Lakkiki” Dikumpulkan L.K.Ara, Departemen P dan K Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta 1982)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar