Senin, 22 Maret 2010

‘DUNIA GILA’ DIMATA NASRI LISMA DAN ROGGOWARSITO

Oleh L.K.Ara


Dalam ucapan yang sederhana Nasri Lisma berpesan ‘pintu surga cepatlah diraih’. Pesan itu diucapkan bagai pesan seorang ulama dalam ceramah keagamaan. Namun Nasri Lisma mengungkap larik itu dalam lantunan suara yang berdendang. Karena ia membubuhkan baris kalimat itu dalam nyanyian berirama campuran India dan Melayu.

Judul nyanyian yang menggunakan bahasa Gayo itu berbunyi, ‘Dunia Gila’ (‘Denie Mugile’ ditulis th 2001). Judulnya sendiri memang menarik dan mungkin sesuai dengan zaman ini.

Pada bagian awal Nasri menggambarkan bahwa ada orang yang berkata dunia akan kiamat. Orang memburu uang, menumpuk harta dan kurang melihat barkah dari apa yang dicari itu. Oleh karena itu orang dapat bersenang-senang memperoleh kemewahan di dunia sementara itu ia lupa pada akhirat. Kata penyair,

Kene jema dunie kiamat
Bene berkat reta sidedik
Galak kin denia taring akhirat
Oya alamat kite muserik

(kata orang dunia kiamat
hilang barkah harta dikejar
senang akan dunia tinggal akhirat
itulah jalan kita musrik)

Kene jema denie mugile
Si munos cerite mubalik-balik
Perang sedere wan sara ine
Taringen surge rara I jentik

(kata orang dunia gila
yang membuat kisah bolak balik
perang saudara dalam keluarga
tinggalkan surga api diraih)

Ucapan penyair mengingatkan manusia lupa pada akhirat dan hanya mencari kesenangan duniawi saja, itu di tegaskan kembali bahwa itu jalan menuju musrik.

Ketika kalimat dalam bait berikutnya menyebut ‘kata orang dunia gila’ penyair mengambil salah satu contoh saja dalam kehidupan manusia yakni sudah terjadi ‘perang saudara dalam keluarga’. Dan menurut kebiasaan yang sering terjadi perang saudara dalam keluarga dikarenakan harta. Dan untuk itu kita diingatkan dengan kalimat pendek ‘tinggalkan surga api diraih’. Kata api disini bisa diartikan bencana. Tapi bisa juga di tafsirkan lebih jauh yakni ‘api neraka’. Karena itu kata api dalam puisi, ambigu atau polyinterpretable, mengandung banyak tafsir.

Penyair dalam puisi ini juga melihat segi-segi kehidupan yang bermacam ragam yang dilakukan manusia. Misalnya ia memperlihatkan keinginan-keinganan manusia lengkap dengan nostalgianya. Seorang yang telah berada dalam posisi tua ingin kembali muda. Dan ini wajar. Karena kata orang masa muda itu memang indah. Terutama untuk dikenang. Kata penyair, ‘Denie, denie si tuwe kenak mude/ I ulakki cerite sene masa jemen‘ (dunia, dunia yang tua ingin muda/kembali kisah gurau masa silam).

Kemudian mengenai bentuk dunia itu sendiri menjadi pertanyaan. Apakah dunia gepeng, bundah telur, atau bulat dan lain sebagainya. Serta dapatkah dunia itu diukur. Namun yang pasti digambarkan penyair bahwa dunia itu punya aturan dan adatnya sendiri.

Udah pe betul denie bulet
Gere tersipet ujung ralik
Lebih kurang gere ter uwet
Denie beredet gere usik

(mungkin betul dunia bulat
tak terukur ujung pangkal
lebih kurang tak dapat diambil
dunia punya adat tak dapat dirobah)

Sejumlah pertanyaan yang diajukan penyair dalam larik puisi ini merupakan gambaran kewatiran penyair sebagai manusia yang tinggal dan berdiam di bumi. Lebih-lebih setelah melihat kenyataan bukit-bukit mulai gundul. ‘Betul kedie denie nge rusak/Ari jarak tulok pelentik’(sungguhkah dunia sudah rusak/dari jauh telunjuk menunjuk).

Ike betul denie mu buntul
Baur arul uten pejejik
Tape besilo nge meh gutul
Nge muretul lagu tersik

(kalau betul dunia berbukit
pematang dan lembah hutan menghijau
tapi sekarang telah habis gundul
telah gundul bagai kayu kering)

Ditengah-tengah pertanyaan dan gambaran dunia seperti itulah ada pesan. Pesan itu berupa citra manusia berserah diri kepada Tuhan.
Kalimat itu tampil pada bait bagian akhir yang berkata,’Si ku kenakki murip I denie/Pintu ni serge tair I dedik‘(yang kuinginkan hidup di dunia/pintu surga cepat di raih).

Berbeda dengan puisi penyair modern Indonesia lainnya, pesan lewat puisi Nasri Lisma ini dapat dinikmati dalam alunan nyanyian para pendendang lagu. Karena larik-larik puisinya disertai irama yang sengaja diciptakan untuk itu.

Nasri (lahir 1958) yang dulu semasa kuliah IAIN Arraniri giat dalam dunia teater di Banda Aceh dan pernah memperoleh juara baca puisi, kini lebih mengkhususkan diri pada peciptaan karya yang bertema religius.

Puisinya yang terkenal seperti “Malahayati”, “Denia Mugile”, “Ama”, “Uten Gayo” telah sering disampaikan seniman terkenal seperti, Damora, Sakdiah, Mahlil dan Win Kul.

Puisinya yang telah merebut pasar dapat ditemukan dalam album “Mukale”, dan “ Rupe”. Sedang puisinya berjudul “Guru” diperlombakan di sekolah.

Tak jauh berbeda dengan gambaran Nasri Lisma pujangga Roggowarsito (1802-1873) telah mengungkapkannya lk 200 tahun yang lalu. Ronggowarstio menyebutnya zaman edan yang berarti zaman gila. Pujangga yang dalam tradisi kepustakaan Jawa itu dianggap sebagai penutup. Atau pujangga terakhir. Setelah kematiannya sudah tidak ada lagi seorang pujangga. Seorang pujangga menurut teradisi ini, bukan sekadar seorang penulis, melainkan juga memiliki kemampuan dan otoritas menangani persoalan-persoalan dunia spiritual. Kadang kala mereka disebut juga sebagai nujum istana. Ia juga mempunyai kecerdasan dan daya ingat yang kuat. Lebih dari itu ia juga mempunyai kemampuan untuk menangkap dan memahami tanda-tanda zaman yang tak diketahui orang biasa.

Begitulah ia bicara tentang dunia gila itu dalam salah sebuah karyanya berjudul ‘Zaman Edan’ diterbitkan kembali Bentang Budaya, Jogyakarta, 1998. Ia menggambarkan dalam zaman edan jiwa menjadi gelap dan bingung, pikiran tak menentu. Hati pun jadi gelisah. Orang tertindah dan kelaparan. Tapi ada sesuatu yang pasti yakni, janji Tuhan. Pada bagian ke VII ia menulis larik-larik berikut ini,

Hidup di zaman edan
Gelap jiwa bingung pikiran
Turut edan hati tak tahan
Jika tidak turut
Batin merana dan penasaran
Tertindas dan kelaparan
Tapi janji Tuhan pasti
Seuntung apa pun orang yang lupa daratan
Lebih selamat orang yang menjaga kesadaran


(dari buku ‘Zaman Edan’, Bentang Budaya, Jogyakarta, 1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar