Senin, 22 Maret 2010

CITRA MANUSIA RESAH DALAM PUISI SUHAIMI SULAIMAN

Oleh L.K.Ara

Sejumlah puisi penyair Suhaimi Sulaiman yang dimuat dalam antologi “Kelekak” memperlihatkan citra manusia yang resah. Resah terhadap lingkungan, keadilan sosial dan ekonomi. Puisi-puisi yang dimaksud adalah “Bukit Menumbing”, “Bila Kepedulian Telah Pergi”, “Gerimis Diatas Sungai Rangkui”, “Bukit Betung”, dan “Pulau ini Bukan Lagi Milik Kita”.

Dalam puisi “Bukit Menumbing” penyair membayangkan bukit perawan yang ditumbuhi pohon-pohon pelawan yang selalu disaput kabut itu pun kini mulai dirambah mesin sinso. Penyair yang sadar Bukit Menumbing punya nilai sejarah penting dimana dulu pernah menjadi tempat bermukim Presiden RI Soekarno dan Wkl Presiden M.Hatta kini diabaikan bahkan dirusak. Kata penyair, “Gemuruh mesin-mesin sinso/merambah hutan perawan/mereka menenggelamkan sejarah/yang pernah diukir seorang pahlawan”.

Didalam puisi berjudul “Gerimis di Atas Sungai Rangkui” penyair juga melukiskan kenangan lama betapa sungai Rangkui yang indah jernih dan bening mengalir tenang ditengah kota. Tapi kini ketika pulang dari rantau bulan yang dulu indah kini berwarna merah. “Mengantar wajahmu yang keruh-meruh/mengalir membawa seribu duka”. Sungai Rangkui dilukiskan ketika malam semakin tenggelam, airnya semakin hitam dan merintih karena dihimpit sampah. Lalu nampak pemandangan yang sayu seperti yang dilukiskan penyair,

Gerimis mulai turun
Titik-titiknya hilang ditelan keruh
Aku masih merindukan beningmu
Biar mengaca wajah ku yang telah
Mulai dijarah ketuaan

Kisah sedih dilukiskan pula oleh penyair dalam sajak “Bukit Betung”. Bukit ini sebenarnya bernilai sejarah karena pernah digunakan para pejuang untuk bergerilya. Di bukit ini dapat dirasakan belaian angin lembut laut Matras dan dari sini pula dapat menyaksikan keindahan kota Sungailiat, ibukota Kabupaten Bangka. Pohon-pohon di Bukit Betung sangatlah rindang. Menyaksikan pucuknya seperti menggapai awan indah nian. Lebih-lebih bila saat itu terdengar lagu anak-anak Melayu diiringi musik gambus. Tapi kini bagaimana nasib Bukit Betung?

Sekarang bukit betung
Telah buntung
Seperti pejuang yang malang
Terkubur tanpa tanda berkabung
Dibantai penjarah
Hanya untuk seorang penghianat

Citra manusia yang resah semakin jelas dalam puisi berikut ini. Bila ada yang bertanya masihkah kita peduli pada lingkungan? Hal itu dijawab oleh penyair Suhaimi Sulaiman dalam puisinya “Bila KepeduliaanTelah Pergi”. Dalam puisi ini penyair melukiskan betapa orang tak peduli lagi pada lingkungan. Tanah kelahiran yang seharusnya dijaga dirawat dilestarikan kini malah seperti dibiarkan dijarah. Hasil alam dan bumi diambil tak perduli meski bumi terlantar dan rusak. Kata penyair, “Hanya meninggalkan sisa-sisa penjarahan/karena tidak lagi/memberi harapan”. Dibayangkan pula oleh penyair selain tak ada lagi kepedulian juga karena tidak punya daya melawan penjarah. Lalu apa yang akan terjadi?

Maka punahlah
Segala harapan dan kerinduan
Pulau-pulau ini
Akan jadi padang duka

Kepedulian seharusnya menjadi milik kita yang punya akal sehat dan hati nurani. Tetapi bila kepedulian telah pergi dari kita dan telah menjadi milik orang lain maka “segera ucapkan selamat tinggal”. Kemudian penyair bersenandung sedih,

Pulau ku malang
Tubuh mu telanjang
Derita bertubi datang
Kalau kau menghilang
Aku tak akan pulang

Citra manusia yang resah terhadap lingkungan lebih parah diperlihatkan penyair dalam puisi “Pulau Ini Bukan Lagi Milik Kita”.
Dilukiskan dengan kata-kata singkat seperti memahat pada batu ketegasan yang pasti dengan ketetapan hati. “Pulau ini/ Bukan lagi /Milik kita/Karena cuma/Lahir dan menderita/Menggantung harapan/Tak kunjung tiba/Menunggu masa depan”. Sambil menyindir sang penguasa yang hati nuraninya telah luluh.

Luluhnya nurani
Sang penguasa

Namun demikian penyair menyadari bahwa mereka bersama masyarakat tak punya daya. Hanya punya mata memandang ke langit serta tangan menggapai yang dapat “menjadi saksi/pembantain”. Penyair percaya usaha menolong keadaan ini akan sia-sia. “Berteriaklah/Kalau kau masih mampu/Namun yang keluar/Bukan pekik harapan/Hanya suara sumbang/Tertawaan banyak orang”.

Maka penyair seperti telah punya ketetapan hati memahat kata-kata dalam sejarah. Yang menyebut bahwa pulau bukan milik kita lagi. Karena daratan, laut, bukit, lembah, sungai, tanjung dan teluk sudah tergadai terjual. Bahkan yang paling menyedihkan dan meresahkan,

Perempuan-perempuan
Kehormatan
Telah terjual
Telah tergadai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar