Senin, 22 Maret 2010

ABU KASIM BERKIBAR LEWAT “AMPUNG-AMPUNG PULO”

Oleh L.K.Ara

Sebuah karya Abu Kasim yang sangat pupuler berjudul “Ampung-Ampung Pulo”. Karya ini diciptakan ketika ia lepas SMP di Takengon, Aceh Tengah. Saat itu ia akan pergi meneruskan sekolah ke Banda Aceh melanjutkan ke SMA. Perpisahan dengan para sahabat dan tanah kelahiran nampaknya membuat seniman Abu Kasim melahirkan baris-baris puisi yang melankolis.

Kata penyair dalam syair “Ampung-Ampung Pulo” (Kiambang),

Selamat manut ampung-ampung pulo
Selalumi mulo ku laut kuala
Salam selamat di enti lupen kao
Ku sawini imo urum ceding selada

(Selamat hanyut kau kiambang
Silakan lewat ke laut kuala
Salam selamat jangan kau lupa
Kepada sawi imo dengan tunas selada)

Taringmi taring ko lumut ni atu
Si ngih mungkin mudemu ne selama masa
Asal nge beta bang ningko nasipmu
Taring cacar layu urum budi bahasa

(Tinggallah tinggal kau lumut di batu
Yang tak mungkin bertemu selamat hayat
Mungkin sudah demikian untung nasibmu
Tinggallah cacar layu dengan budi bahasa)

Karya ini mula pertama diperdengarkan di sebuah desa di Kabupaten Aceh Tengah, dalam suatu pertandingan seni tradisional didong antara grup Amruna pimpinan Abu Kasim dan Dewa Semeru pimpinan Razak.

Kemudian ketika Abu Kasim menuntut ilmu di Banda Aceh, “Ampung-Ampung Pulo” semakin meluas dikenal oleh masyarakat. Begitulah nyanyian sedih ini selalu menarik untuk didendangkan. Sering dibawakan oleh para pelajar dan mahasiswa dalam berbagai kesempatan. Baik pesta di sekolah maupun hari-hari besar atau pesta perkawinan.

Baris-baris sedih semakin terasa dalam kalimat berikutnya, ketika penyair Abu Kasim mengucapkan,

Enti pubebalik manutmi ampung-ampung
Puren aku mununung ke umurku ara
Mudemumi kase kite sara linung
Iwan sara keltung mien kite musara

(Jangan berbalik hanyutlah kiambang
Kelak aku kan menyusul bila umurku ada
Semoga kita bertemu di satu tempat
Di satu lubuk kita kembali berjumpa)

Setelah selesai menuntut ilmu di Banda Aceh, Abu Kasim kembali ke kampung halamannya di Takengon. Disana ia bertugas sebagai guru.

Ketika ada kesempatan untuk melawat ke Jakarta, ia pun lebih memanfaatkan untuk mengenal situasi Ibukota lebih dekat terutama dunia keseniannya. Begitulah ia akhirnya beroleh kedudukan untuk jadi karyawan di Direktorat Kesenian. Di kantor yang khusus mengurus kesenian itu ia lebih dekat bergaul dengan seni, baik tradisi maupun modern.

Kesenian tradisi didong yang dimasa remaja pernah ia gauli di Jakartapun ia kembangkan lewat pertunjukkan di Taman Ismail Marzuki, Pasar Seni, Ancol dan lain-lain.

Sejumlah karya Abu Kasim telah dimuat di dalam berbagai penerbitan. Sedang antologi puisi tunggalnya berjudul “ Amruna “ memuat 30 puisi dalam bahasa Gayo dan Indonesia diterbitkan Dep P dan K, l982. Selain puisi Ampung Ampung Pulo didalam antologi ini kita temukan puisi Manat (Amanat), Amruna, Sebuku Nate (Ratapan Hati), Peteri Bensu (Putri Bungsu), dan Laut Tawar.

Membaca puisi dalam antologi ini kita dapat menemukan sejumlah tema yang menarik dikedepankan sang penyair. Misalnya, keindahan alam, perangai manusia atau hewan, situasi pemuda di jaman dahulu, rasa gotong royong, pertanian dan lain-lain.

Tema keindahan alam dapat kita nikmat lewat puisinya Laut Tawar. Tutur penyair,


Nun disana Laut Tawar airnya tenang
Di hempas gelombang ke tepi mengalun
Anggun terpancang Bukit Birah Panyang
Dengan Pereben berdampinan bagai bermufakat

Dari Singgah Mata coba layangkan pandang
Nosar, Rawe awan berarak
Jelas sekali nampak disana Ujung Kalang
Sampi ke Bintang tusam beriring

Penyair Abu Kasim (lahir 1944) yang mulai berkibar lewat karya Ampung Ampung Pulo ternyata juga menaruh perhatian pada cerita rakayat. Dari sumber legende rakyat Gayo itu ia berhasil menulis puisi seperti, Genali, Merek Saro, dan Inen Mayak Teri. Seperti diketahui teman seangkatannya penyair Ibrahim Kadir juga cukup banyak menulis puisi balada yang mengambil tema cerita rakyat Gayo. Karya Ibrahim yang terkenal, seperti Batu Belah, Mpu Beru, Puteri Pukes, dan Putri Hijau.

Puisi Merek Saro (Sebatang Kara) yang berkisah tentang seorang manusia yang ditinggal mati oleh ibu dan ayahnya diungkapkan Abu Kasim dengan nada sedih yang menyayat hati. Penggalannya sebagai berikut, (terjemahannya),

Yatim menangis air mata bercucuran
Ke manakah nanti tempat mengadukan duka lara
Belum selesai anak mengucapkan kata
Terkatuplah mata bunda dan pergilah nyawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar