Senin, 22 Maret 2010

AMIRUDDIN JAKFAR SASTRAWAN DARI SUNGAI SELAN

Oleh L.K.Ara

Amiruddin Jakfar mulai dikenal didunia sastra sejak bukunya berjudul “Puteri Ladang dan Puteri Malam” diterbitkan Proyek Sastra Daerah Depdikbud, Jakarta tahun 1983. Naskah buku itu sendiri ditulis oleh pengarang kelahiran Kerantai, Sungai Selan, tgl 28 Juni 1928 ini pada tahun 1977.

Sebelumnya karyanya berupa prosa berjudul “Sebuah Teratak di Tepian” dan “Roman Kehidupan” telah pula disiarkan di Majalah Roman Detektif Bandung tahun 1963. Kisah perjuangan ditulisnya dalam “Pejuang Batin Tikal” dan “Banjir Darah di Kota Pering “ (Kerio Panting), telah pula disiarkan oleh Buletin Japen Kab tahun 1972.
Pengarang Amiruddin Jakfar tergolong produktif menulis karya sastra. Wilayah garapannya selain prosa, juga puisi dan drama. Dalam karya prosa cerita rakyat merupakan perhatiannya yang utama. Ini nampak pada cerita “Puteri Ladang” yang bertolak dari cerita rakyat menggambarkan adat istiadat muda mudi di Bangka pada zaman dahulu. Pada cerita rakyat “Puteri Malam” dilukiskan penjelmaan hewan babi menjadi puteri cantik.

Kegemaran menulis didahului dengan kegemaran membaca dialami Amiruddin Jakfar. Kegemaran membaca memang sudah dimulainya sejak sekolah di Volksschool pada tahun 1940. Bacaan berupa cerita dalam majalah anak-anak dan buku cerita untuk anak-anak. Kemudian semakin usia bertambah bacaan pun semakin luas, sehingga menyenangi karya-karya Pujangga Baru.

Genre puisi juga merupakan wilayah yang disenangi mantan guru SR no.4 Kampung Opas, Pangkalpinang ini. Sejumlah puisinya pernah dimuat di koran lokal. Bahkan pada tahun 1972 telah mengumpulkan puisi dengan judul “Mustika Buana”. Puisi yang termuat dalam kumpulan ini telah pernah di deklamasikan, dibacakan di RRI Persiapan Pangkalpinang pada setiap hari minggu pada acara Minggu Buana.

Sebagai orang yang pernah mengikuti pendidikan militer yang dilatih orang tentara Jepang di Asrama Bukit Lama, Pangkalpinang pada priode tahun 1943 - 1944 pada saat perjuangan kemerdekaan RI Amiruddin Jakfar memasuki Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pengalaman ikut berjuang dalam membela negara itu lengkap dengan suka dukanya ditulis dibawah judul “Sejarah Perjuangan Orang Bangka Melawan Penjajah dari Masa ke Masa”. Sayang buku yang mengambarkan betapa gigihnya perjuangan orang Bangka melawan penjajahan itu belum sempat diterbitkan.

Sebuah naskah yang bertema perjuangan khususnya perjuangan pahlawan
Depati Amir dituangkan Amiruddin Jakfar dalam bentuk naskah drama
berjudul “Pahlawan-Pahlawan Dari Lembah Maras”. Sayang naskah drama
perjuangan ini pun belum sempat diterbitkan.

Amiruddin Jakfar juga pernah giat sebagai anggot Badan Pembina Kebudayaan Daerah Kabupaten Bangka sejak tahun 1980. kemudian kegiatan itu berlanjut di Kota Pangkalpinang sejak tahun 1988.

Pada tahun 1994 Amiruddin Jakfar pernah menjadi anggota Panitia Pelaksana Saresehan Sejarah dan Budaya, Kabupaten Bangka sebagar nara sumber. Pada tahun itu juga tokoh ini dipercayakan sebagai Pembina Adat Kotamadya Pangkalpinang. Pengalaman dan pengetahuannya yang luas tentang adat istiadat dan budaya ditulisnya dibawah judul “Alam Pulau Bangka dengan Adat Istidat dan Seni Budaya”. Naskah ini pun belum mendapat kesempatan untuk diterbitkan. Kini dalam usia senja (73 th) Amiruddin Jakfar sering sakit-sakitan namun jika bicara tentang sastra tetap bergairah.

Selanjutnya dalam tulisan ini kita mencoba melihat nilai budaya daerah dalam cerita rakyat “Puteri Malam”.

Cerita “Puteri Malam” mengisahkan Pak Raje seorang kepala desa yang memiliki sawah dan bertindak sewenang-wenang. Sawah yang ditanami padi yang sedang berbuah itu di masuki beberapa ekor babi. Pak Raje meminta kepada Sang Penyumpit menjaganya dengan dalih orang tua Sang Penyumpit yang sudah almarhum pernah berhutang kepadanya. Demi membayar hutang orang tua Sang Penyumpit rela bekerja pada Pak Raje. Ketika menjalankan tugasnya Sang Penyumpit mendapat rezeki yang tak diduga sehingga kaya raya. Melihat ini Pak Raje juga ingin mengikuti jejak Sang Penyumpit namun nasibnya sial, Pak Raje mati. Untunglah kemudian Sang Penyumpit mau membantu sehingga Pak Raje pulih kembali. Di ackhir cerita Pak Raje insaf akan perbuatannya. Lalu menikahkan anaknya yang bungsu dengan Sang Penyumpit. Jabatan kepala desa pun diserahkannya kepada menantunya yang baik hati itu.

Tema cerita ini memperlihatkan bahwa orang yang jahat akan mendapat hukuman yang setimpal dan orang yang baik akan mendapat keberuntungan. Sedang pesan atau amanat cerita adalah sebaiknya jangan berbuat jahat dan sewenang-wenang kepada orang lain.
Perlakuan jahat yang dilakukan Pak Raje pada mulanya ketika sawahnya dimasuki babi. Dia memaksa Sang Penyumpit untuk mau menjaga. Agar Sang Penyumpit tak dapat menolak Pak Raje mengatakan bahwa pekerjaan ini sebagai ganti membayar utang ayahnya yang sudah almarhum. Sang Penyumpit tak dapat menolak demi untuk melunasi hutang ayahnya dan inilah tanda ia berbakti kepada orang tua.

Sang Penyumpit bekerja keras siang malam demi membela nama baik orang tuanya. Tutur Amiruddin Ja’far dalam cerita “Puteri Malam”;

“Sampai diladang ia pun membakar kemenyan minta restu dewa-dewanya, tak lupa ia memuja mentemau (dewa babi) agar suka menolongnya supaya babi-babi jangan dilepaskan memakan ladang Pak Raje. Jika malam telah menyungkupi alam ini, sunyi senyaplah perladangan itu, merondalah Sang Penyumpit kesegenap pojok ladang. Tiga malam belum kejadian apa-apa, demikianlah hingga tujuh malam berlalu. Siang hari ia harus bekerja di ladang menuai padi dan malam hari harus pula jaga hingga tubuhnya merasa lemas dan pucat. Kadang-kadang ingin ia beristirahat tapi mengingat ancaman Pak Raje terpaksa ia terus berjaga-jaga”.

Kerja keras Sang Penyumpit diberi imbalan yang baik. Dalam cerita dikisahkan ketika babi memasuki sawah ia sempat menombak dan mengenai seekor babi. Ingin tahu Sang Penyumpit menyelusuri kemana babi itu lari lewat darah yang bercucuran. Tiba di sebuah desa dalam rimba itu ia akhirnya mengetahui yang terkena seorang puteri. Ibu puteri itu minta kepada Sang Penyumpit menyembuhkan sakit puteri. Sang Penyumpit menolong puteri yang sakit. Nilai budaya menolong disini
digambarkan pengarang dalam cerita sebagai berikut;

Didekatinya gadis yang sedang sakit itu, dibukanya selimut yang menutupi kakinya. Sang Penyumpit meneliti tampak olehnya suatu benda hitam mencuat, sedikit ditelitinya betul-betul nyatalah bahwa itu mata tombak. “Bik, kuminta agar disediakan buluh seruas panjang sehasta, daun keremunting yang sudah ditumbuk banyaknya secupak”, kata Sang Penyumpit kepada ibu gadis itu……..

…………...dicabutnya mata tombak yang terhunus , ….luka bekas cabutan ditutupinya dengan daun keremunting untuk penahan darah yang keluar. Besok tentu ia sudah bisa berjalan-jalan kembali…. Disini kita juga diberi informasi bagaimana mengobati orang luka dengan dedaunan obat yang tersedia di daerah itu.

Nilai budaya tolong menolong dapat ditemukan juga dalam cerita rakyat ini, ketika Sang Penyumpit akan pergi meninggalkan desa puteri itu. Sang Penyumpit yang telah menolong menyembuhkan puteri yang sakit diberi hadiah. Hal itu digambarkan pengarang sebagai berikut;

…………tetapi sebelum anak pulang paman mau menyiapkan oleh-oleh guna kau bawa ke duniamu.

Inilah oleh-oleh dari dunia kami, ini bungkusan kunyit, ini bungkusan buah nyatoh, ini daun simpur, ini buah jering. Tapi kempat bungkusan ini jangan anakku buka sebelum sampai ke rumah. Supaya anak tidak mendapat kesulitan di jalan bakarlah dulu kemenyan ini.

Dalam cerita selanjutnya digambarkan ketika oleh-oleh itu dibuka dirumah Sang Penyumpit ternyata isinya bukan kunyit dan jering tetapi perhiasan emas, pemata intan berlian. Sejak itu tersiar kabar bahwa Sang Penyumpit telah menjadi kaya raya. Hutang ayahnya kepada Pak Raje pun segera dilunasi.

Mendengar pengalaman Sang Penyumpit yang akhirnya menjadi kaya raya, Pak Raje pun ingin meniru. Tapi sial ketika Pak Raje mengikuti jejak Sang Penyumpit dalam cerita dikisahkan mati. Setelah mengobati anak gadis yang kena tombak itu Pak Raje tertidur. Ketika bangun ia diserang berpuluh-puluh ekor babi yang besar-besar. Tubuhnya disobek-sobek. Berita ini tersiar di desa Pak Raje. Puteri tua Pak Raje menyampaikan nasib ayahnya kepada Sang Penyumpit. Mendengar kabar ini Sang Penyumpit ingin segera menolong lebih-lebih ia sudah mengenal desa itu. Sifat menolong dan jujur yang dimiliki oleh Sang Penyumpit merupakan nilai budaya daerah yang khas dalam cerita rakyat “Puteri Malam” . Hal ini tercermin dalam baris-baris yang disusun pengarang Amiruddin Ja’far sebagai berikut;

Dewa Matemau mengetahui bahwa anakku seorang yang jujur. Karena kejujuranmu itu, anakku dianiaya ataupun ditipu oleh sebangsamu di duniamu sendiri. Sebab itulah Matemau pada mulanya melarang adik-adikmu ke tempat buah-buahan yang enak di ladang Pak Raje, kemudian Matemau memerintahkan supaya adik-adikmu datang lagi ke ladang. Kami bertanya mengapa Matemau memerintahkan demikian? Katanya cucuku Sang Penyumpit harus ditolong karena dia sendiri ditipu oleh Pak Raje. Bagaimana caranya Sang Penyumpit menolong Pak Raje sehingga tubuhnya tak tersobek-sobek lagi dan hidup kembali? Dikisahkan Sang Penyumpit menggunakan 7 helai daun. Lalu dia membakar kemenyan lalu menyebut, ada tangan, ada kaki. Semua anggota tubuh Pak Raje disebut.

Digambarkan dalam asap mengepul Sang Penyumpit membacakan manteranya lalu nampak Pak Raje berusaha duduk. Dia nampak menggosok-gosokan matanya.
Pak Raje yang telah insaf dan mengaku bersalah digambarkan pengarang dengan kalimat sebagai berikut;

“ Marilah kita pulang Sang Penyumpit segala kesalahankku kepadamu dan kepada rakyat segera kuminta maaf. Sesudah itu engkau kukawinkan dengan si Bungsu lalu aku akan mengundurkan diri, engkaulah akan menggantiku. Marilah kita pulang agar kabar gembira ini segera kita laksanakan”.

Sesuai dengan janji Pak Raje pada saat yang telah ditentukan puteri Bungsunya dinikahkannya dengan Sang Penyumpit. Jabatan sebagai kepala desa pun diserahkan kepada menantunya yang baik hati itu. Selanjutnya kedua insan yang baru menjadi suami isteri ini hidup berbahagia.

(dari: Arsip lama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar