Senin, 22 Maret 2010

MUSTAFA LUTFI AL-MANFALUTI UNSUR KEBENARAN SELARAS DENGAN AGAMA ISLAM

Oleh L.K.Ara

Mustafa Lutfi al-Manfaluti dikenal sebagai pengarang. Ia menulis puisi, cerpen dan esei. Sastrawan kelahiran pada l876 di daerah Manfalut, salah satu propinsi di Mesir ini sejak usia tiga belas tahun sudah rajin menulis. Ia mendapat pendidikan awal di kampungnya sendiri. Kemudian melanjutkan pelajaran di Universitas al-Azhar, Mesir. Selama sepuluh tahun kuliah disana, al-Manfaluti menggunakan banyak waktu membaca karya sastra Arab klasik berupa
puisi dan prosa.

Karya-karya al-Manfaluti pernah dimuat secara berturut-turut di majalah 'al-Mu'ayid' dan kini telah dibukukan. Sejumlah esei dan cerpennya telah diterbitkan didalam antologi yang berjudul, 'al-Nazarat' dan 'al-Abarat'. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi yang diberi judul 'Mukhtarat al-Manfaluti'. Sebuah cerpennya berjudul 'Kenangan'(Al-Dzikra) melukiskan keja
yaan Andalusia. Dalam cerpen itu juga diungkapkan runtuhnya Raja
Granada. Dibawah ini petikannya:

Kelihatan pada setiap keping dinding itu riak air laut yang
tertahan pengalirannya oleh kepingan-kepingan cermin. Sambil dia
memerhatikan itu, mengalirlah dalam jiwanya semula kenangan dan
keinsafan serta pengajaran masa; dan tercetuslah lirik-lirik ini.

Berdiri aku didepan Hambra menangis meratap, membilang dan
meratus.

Kutanyakan Hambra, akan kembalikah mereka
Kembalikah orang yang sudah mati? dia bertanya
Menangis lagi aku di depannya, menangis lagi
Aduhai jauhnya! Jauh sekali berdendang tangisan ini.

Ini semua nenekku punya peninggalan tegaknya di sini
Tegak ganti semua yang sudah hilang

('Kenangan', Dewan Bahasa dan Pustaka, KL, l985, hal. 25)


Dibagian akhir cerpen yang mempertemukan dua remaja Said dan
Floranda yang saling jatuh cinta itu mengisahkan hal yang sangat
memilukan hati. Karena Said dihukum pancung. Berikut ini
petikannya:

Said diseret ke situ di mana sudah ramai orang lelaki dan
perempuan berkumpul. Ketika pedang algojo akan mengenai tengkuk
Said secara spontan kedengaran suara jeritan seorang wanita yang
berada di antara orang yang berkerumunan di situ. Jeritan nyaring
itu menyebabkan orang ramai mengalihkan pandangan mereka ke arah
tempat terbitnya suara tetapi mereka tidak mendapat suatu
ketentuan suara siapa. Hanya dalam suatu jangka yang amat pendek,
sekejap mata, bercerailah kepala mangsa algojo itu daripada tubuh
tuannya dan gugur ke tanah.

Kini orang-orang yang melewati pekuburan Bani Ahmar yang
terletak di luar kota Granada akan melihat sebuah kubur yang
terindah dan terhias di antara kubur-kubur yang banyak di situ.
Kubur itu dibuat daripada kepingan marmar biru jernih, di
bahagian tengah terdapat sebuah lopak kecil yang senantiasa
digenangi air hujan dan menjadi pemandian dan peminuman burung-
burung dalam musim panas. Pada satu sisi kubur itu terukir baris-
baris berikut:

Inilah pusara Bani Ahmar yang
terakhir
Dari pada kekasihnya
yang setia pada janjinya
sehingga akhir hayat
-Flora

('Kenangan', DBP, KL, l985, hal. 30-31)
Selain sebagai pengarang Mustafa al-Manfaluti dikenal juga dengan
terjemahan-terjemahannya dari bahasa Prancis. Telah diterbitkan
empat buku terjemahannya berjudul, 'Majdulin', 'Fi Sabil al-Tal',
'Al-Sya'ir', dan 'al-Fadila'.

Bagaimana pandangan kritikus sastra Arab terhadap karya-karya al-Manfaluti? Anis al-Maqdisi menggolongkannya sebagai
sastrawan Timur yang berusaha mempertahankan ketimurannya dari
pengaruh asing. Ada dua kritikus yang menganggap karya al-Manfal¬
uti sebagai yang selalu membeberkan keburukan yang ada ditengah
masyarakat.

Kedua kritikus itu adalah Muhammad Husein dan Ahmad al-Iskandari. Sedangkan sastrawan Ali Audah yang cukup banyak menterjemahkan buku sastra Arab mengatakan al-Fanfaluti seorang sastrawan yang mempunyai gaya klasik. Dan lebih dari itu tentulah sudah diketahui bahwa al-Manfaluti merupakan seorang ulama Azhar.
Di dalam cerpennya yang berjudul 'Hari Perhitungan' (Yaum al-
Hisab), pengarang mengisahkan mimpi 'aku' yang seakan-akan hidup
di alam akhirat. Si 'aku' bertemu dengan orang-orang yang sudah
mati. Mereka semua yang sudah mati itu sedang menunggu panggilan
di perhitungkan. Akan ditimbang amal baik dan amal buruknya untuk
kemudian nanti ditentukan bagaimana nasib akhir.

Di dalam cerpen ini digambarkan tokoh pertama akan masuk surga
karena di dunia telah menolong orang miskin. Sedangkan tokoh
kedua akan masuk neraka karena menghindari kewajiban zakat. Tokoh
ketiga juga akan masuk neraka karena di dunia pekerjaannya
menjual agama untuk kepentingan pribadi. Masih ada tokoh lagi,
tokoh terakhir Muhammad Abduh dan Qasim Amin yang tidak jelas
akan masuk ke mana. Di bayangkan keduanya sedang berdebat saling
menyalahkan perbuatannya di dunia.

Apa yang digambarkan di dalam cerpen ini bila dihubungkan dengan
ajaran agama Islam, maka dapat kita temui di dalam Quran mengenai
'hari perhitungan'. Di dalam 'kitab amal' semua perbuatan manusia
ditulis yang baik maupun yang buruk. Tiap perbuatan manusia ada
imbalannya.

Di awal cerpen ini di gambarkan si 'aku' bertemu dengan orang
yang pernah dikenalnya di dunia. Orang ini wajahnya berseri-seri
karena sudah mendapat kepastian bahwa ia akan masuk surga. Sedang
amalnya didunia biasa-biasa saja. Ia banyak juga melakukan dosa.
Di dalam cerpen itu dibayangkan yang membuat ia masuk surga ialah
karena ia telah membantu meringankan penderitaan tetangganya yang
miskin.

Setiap malam ia menyimpan lima dirham ke kantong si
miskin tadi. Bantuan itu diberikan terus menerus dan dalam waktu
yang lama. Sampai ajalnya tiba si miskin tidak mengetahui siapa
yang telah membantunya.

Bila dihubungkan dengan ajaran agama Islam, memang sesuai dengan
anjuran Islam. Apa yang dilukiskan di dalam cerpen itu sepadan
dengan makna yang terkandung di dalam Quran yang berbunyi,
'Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan tidak menyakiti perasaan si
penerima, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih
hati'. (Q.S.2:262).

Di dalam cerpen ini al-Manfaluti telah memperlihatkan nilai
keindahan bahasa tapi juga mengandung unsur-unsur kebenaran dan
kebaikan yang selaras dengan ajaran agama Islam.


(dari : Arsip lama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar