Senin, 22 Maret 2010

SADERI PENYAIR DARI BELITUNG

Oleh L.K.Ara

Bertemu dengan penyair Saderi di kampung kelahirannya di Gantung pada suatu malam tak pernah terbayangkan. Adalah Wandi dari dinas Pariwisata Belitung Timur yang berusaha mempertemukan kami. Meski lampu listrik padam malam itu, namun tubuh penyair yang semampai nampak sekilas dari penerangan lampu minyak tanah.
“Pak Saderi boleh kami pinjam malam ini bu,” kata Wandi kepada Nyonya Saderi. Isteri Saderi mengangguk bingung, karena tiba-tiba suaminya diajak malam hari ke Manggar, ibukota Belitung Timur. “Kami hanya mau belajar pantun dari pak Saderi”, kata Wandi pula. “Tak apalah, pergilah”, ucap isteri Saderi menyetujui.
Dalam perjalanan Gantung – Manggar yang ditempuh kurang lebih 20 menit Saderi bercerita bagaimana ia hidup bertani. Ia juga sering memancing. Di sela-sela itulah ia menulis puisi.

Sebuah puisinya yang memperlihatkan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup nampak pada puisinya berjudul “Sebutir Peluru”. Puisi ini menggambarkan pada suatu pagi tak terdengar lagi kicau burung. Sementara itu yang nampak ketika itu hanya ranting dimana biasa burung bertengger. Si aku lirik hanya bisa menyebut “Oh, Tuhan” karena burung yang lemah itu sudah terkapar ditembus sebutir peluru. Kata penyair,

Pagi itu tiada kicaumu lagi
Tiada nyanyian riang
Kutatap ranting yang rapuh
Tempat biasa engkau berlabuh

Oh, Tuhan
Mahluk Mu yang lemah
Terkapar di tanah, tiada bernyawa
Sebutir peluru menembus dada

Menyaksikan burung rubuh, mati, si aku lirik tak bisa berbuat apa-apa. Namun dengan daya yang ada yakni, mata yang memancar dengan tajam, serta hati yang mengandung kebenciaan kepada si pelaku, si pembunuh, si penembak burung yang lemah dan malang itu. Lalu si aku lirik bertanya kepada manusia soal penting pada diri manusia yakni, rasa. Kata penyair,

Mataku berbinar, hatiku benci
Masihkah, engkau manusia
Punya rasa, punya iba

Puisi ini merupakan salah satu puisi yang mengisi antologi “Alammu Dalam Puisiku” (2003) karya Saderi yang merupakan salah satu pemenang Sayembara Penulisan Naskah Buku Bacaan Tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Kumpulan yang memuat 83 puisi itu ada yang bercerita tentang nelayan, candi, pengemis, tokoh, bumi, air, daerah wisata dan ada juga tentang timah. Kepulauan Bangka Belitung sebagai penghasil timah terbesar digambarkan pernah jaya dan kini tinggal kenangan.

Dalam puisi berjudul “Timah” penyair menggambarkan timah ada di Bangka, Singkep dan Belitung. Penambangan timah memberi pekerjaan kepada sejumlah orang yang sekaligus menghilangkan kemiskinan.

Di Pulau Bangka, Singkep dan Belitung
Timah putih ditambang
Banyak pekerja karyawan
Jadi terbebas dari kemiskinan

Kemudian pada bait-bait berikutnya diceritakan pengolahan timah yang ada di darat dan laut. Digambarkan pula bagaimana timah dikeringkan lalu dimasukkan kantong lalu dikirim dengan tongkang dikumpulkan ke Mentok, untuk dilebur kedalam pabrik yang besuhu tinggi. Selanjutnya digambarkan juga apa sebenarnya guna timah. Kata penyair,

Dicetak menjadi bongkahan persegi
Bongkah timah lalu di jual keluar negeri

Timah di buat peluru, senjata perang
Buat melapis kaleng dan seng
Alat solder dan pematri
Batu jaring dan batu pancing
Dan banyak lagi kegunaan lain

Setelah berjaya sekian ratus tahun sebagai penghasil timah terbesar bagaimana nasib Bangka Belitung? Setelah bumi dikeruk hasilnya diambil, kekayaan didapat belipat-lipat, apa yang tinggal bagi rakyat Bangka Belitung? Sesuatu yang pernah gemilang kini tinggal kenangan. Tulis penyair,

Kini timah Singkep dan Belitung
Tiada lagi terbilang dan gemilang
Timah dalam tanah sudah hilang
Karena sudah lama di tambang
Tinggallah kenangan

Penyair Saderi lahir 13 Des 1941 di Gantung, Belitung. Ia pernah menempuh pendidikan SR (1957), SGB (l960), dan SPG (1968). Sejak 1 Nop. 1960 diangkat guru Neg. di SR Tanjung Batu Itam, Belitung. Dan pada th 1983 diangkat Kepala SD Neg. 5 di kampung kelahirannya Gantung. Sejak 1 Januari 2002 pensiun, setelah bertugas selama 41 th.
Meski sudah pensiun sebagai guru nampaknya hobbinya membaca dan menulis tak membuat ia pensiun sebagai sastrawan. Hal ini dibuktikannya pada tahun 2003 karya sastranya membawa ia ke kemenangan di tingkat Nasional.

Menghayati penghidupan sang penyair sehari-hari bercocok tanam dan suka memancing membuat Saderi lebih bebas berekspressi. Lebih-lebih penyair ini suka berkelana. Semasih aktip jadi guru ia pun mengatur jadwal perjalanannya ke Bali, Palembang dan lain-lain. Tak heran jika tema puisinya pun cukup beragam.

Ketika sang penyair bicara tentang wisata misalnya ia pun cukup meyakin kan untuk menghimbau para konsumen. Dalam puisinya berjudul “ Pantai Tanjung Tinggi”, pada bait pertama ia menggambarkan bagaimana keindahan pantai yang terdapat di P.Belitung itu. Ia melukiskan batu raksasa sebagai mahkota, yang diterpa angin dan gelombang. Kata penyair,

Mahkotamu beruntaikan
Batu-batu raksasa
Menghadang terpaan
Gelombang angin utara

Pada bait berikutnya penyair pun menggambarkan keindahan mentari dan burung camar. “Mentari menyilau awan/Burung camar mencicit tak pernah diam”. Masih ada keindahan lain yang dipelihatkan. Ada pohon nyiur, cemara semua itu menawan untuk dilihat. Keindahan itu semua diharapkan dapat menerbitkan keinginan para wisatawan untuk hadir dan menikmati alam Belitung.

Lambungmu berpagar nyiur dan cemara
Anggun bersolek menata rupa
Sijuk ibu pertiwimu tersenyum
Memandang sang puteri yang rupawan
Keelokan wajahmu bisa mengundang wisatawan

Bagi penyair sendiri Tanjung Tinggi punya arti sendiri. Penyair akan datang untuk melepaskan lelah. Disana akan dicapai ketenangan karena sesaat akan terlepas dari kesibukan dunia yang bising. Kecintaan pada keindahan alam membuat penyair berniat menulis puisi yang kiranya dapat memberi kabar kepada dunia.

Aku akan datang kedekapanmu
Wahai … Tanjung Tinggi
Datang buat menyepi dari penat
Reformasi dan akan kutulis
Dalam buku memori larik-larik puisi
Untuk kukabarkan pada dunia
“Semoga banyak orang yang lebih peduli”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar