Senin, 22 Maret 2010

NYANYIAN PROTES IBNU HAJAR DARI ACEH

Oleh L K Ara

Lewat lagu berjudul 'Uyem' dan 'Kusa Kukunei' Ibnu Hajar Laut Tawar dikenal sebagai pencipta nyanyian protes. Namun berbe¬da dengan Bob Dylan atau Iwan Fals yang memetik gitar sembari mendendangkan nyanyian protesnya, karya Ibnu Hajar Laut Tawar dibawakan dalam bentuk kesenian tradisional Gayo, Aceh Tengah yang disebut 'didong'. Perbedaan lainnya terletak juga pada bahasa yang digunakan. Bob Dylan memakai bahwa Amerika, Iwan Fals menggunakan bahasa Indonesia dan Ibnu dalam bahasa Gayo. Kesa¬maan yang nampak pada ketiga seniman ini terlihat pada isi nyany¬ian yang bersifat protes. Juga pada sambutan masyarakat penggemar nyanyian yang segera menerima nyanyian protes itu sebagai milik mereka.

Ibnu Hajar yang menggunakan seni 'didong' sebagai alat menyampaikan nyanyian protesnya biasanya mengikuti bentuk keseni¬an tradisional Gayo. Seperti diketahui seni 'didong' biasanya dimainkan oleh 25 atau 30 orang. Penampilannya dipentas diper¬tandingkan dan berlangsung semalam suntuk.

Di kampung Kenawat tempat kelahiran Ibnu Hajar ada sebuah grup didong yang dikenal dengan nama 'Sriwijaya'. Penyanyi yang terkenal pada grup Sriwijaya adalah Ali Amran. Nah, Ali Amran -yang dalam seni didong disebut ceh satu- dan kawan-kawan yang sering mendendangkan nyanyian 'Uyem' dan 'Kusa Kukunei'.

Dalam nyanyian 'Uyem'(Pinus) Ibnu Hajar menceritakan keadaan dan nasib pinus yang di Aceh Tengah yang tumbuh diatas tanah ribuan hektar yang telah dikuasai sebuah perusahaan swasta.

Kata penyair,

' Wo... uyem kusi nge beluhmu
sayang di nasibmu osop ari mata
ko uyem i tanoh Gayo
ari sedenge mu cabang perdu'

(Wahai pinus kemana kau pergi
sayang nasibmu hilang dari mata
kau pinus di tanah Gayo
sejak dahulu telah bercabang dan perdu).

Ike tengaha beluh ku rebe
teles nge ijo ningko pucukmu
ike besilo beluh dediang
nge meh lapang taring tungulmu

(Kalau dulu pergi ke lading
nampak hijau pucukmu
kalau sekarang pergi jalan-jalan
telah lapang tinggal tunggulmu).

Pada bait pertama dan kedua telah diperlihatkan bahwa pohon pinus yang telah besar dengan daun menghijau mulai hilang karena ditebang orang. Tinggal tunggulmu. Sebuah ucapan kesedihan karena merasa kehilangan. Kesedihan itu semakin bertambah karena pohon pinus yang ditebang dibawa ketempat lain, bukan mengisi keperluan
sebuah pabrik di Lampahan, Kecamatan Timang Gajah, Aceh Tengah.
Hal itu dinyanyikan dalam bait berikut,

Ari Lampahan sawah ku Gelampang
nge me lapang kerpe kemumu
pabrik Lampahan gerene mugune
mujadi besi tue kengon tubuhmu

(Dari Lampahan ke Gelam¬pang
telah lapang rumput kemumu
pabrik Lampahan tak lagi berguna
menjadi besi tua kelihatan tubuhmu)

Gerene megah lagu sedenge
nasip ni Gayo minah gerelmu
ike pudaha ara PNP
dele gune e ningko getahmu

(Tak lagi mashur seperti dahulu
nasib Gayo pindah namamu
kalau dahulu ada PNP
banyak guna getahmu).

Puncak kesedihan yang mengkristal menjadi protes halus diperlihatkan Ibnu Hajar dalam bait berikut ini. Katanya ; 'Ike besilo sayang nasibmu/nge ku Lhok Seumawe ningko i tegu/olok di hejep urang One-One/dup cabang nge gere nguk ne i tunu'. (Sekarang sayang nasibmu/kau ditarik ke Lhok Seumawe/sungguh susah orang One-One/walau hanya cabang tak boleh untuk kayu bakar). 'I peperus ari kucake/sawah hinge e nge minah empu/keta selamat mi kao berjelen/urang Takengon taring sebuku'. (Di asuh sejak kecil/setelah besar diambil orang/selamatlah kau berjalan/orang Takengon tinggal ratapan).

Nyanyian 'Uyem' ditulis Ibnu Hajar dizaman Orde Baru masih berkuasa. Dan pohon pinus yang tumbuh diatas puluhan ribu hektar itu dikuasai oleh PT KKA.

Sebagai sebuah nyanyian protes lagu ini segera diterima dan diminati masyarakat. Mungkin karena kesedihan dan derita masyara¬kat dalam nyanyian ini terwakili. Begitulah selain tersebar di dataran tinggi Gayo di Aceh Tengah, nyanyian uyem juga merambat ke kota-kota besar di Indonesia seperti, Banda Aceh, Medan, Padang dan Jakarta.

Di Ibukota misalnya nyanyian 'uyem' pernah dibawakan, dalam Perstival Didong Banan di Taman Mini Indonesia Indah pada tahun l996. Ketika itu nyanyian 'uyem' menjadi lagu pilihan dari grup 'Ulak Kusedenge' yang didendangkan Suryani dan Ilawati. Setahun kemudian tepatnya pada l997 nyanyian 'Uyem' di
dendangkan langsung oleh Ali Amran dan grup 'Sriwijaya' yang sengaja di undang dari Takengon ke Jakarta.

Menyimak sejumlah nyanyian ciptaan Ibnu Hajar banyak mengam¬bil tema cerita tentang keindahan alam dan kehidupan pedesaan. Termasuk jenis ini adalah lagu 'Laut Tawar', 'Ujung Sere', 'Ujung Baro' dan 'Kampung Serule'.

Sebuah nyanyian yang juga bercerita tentang desa lengkap dengan adatnya ditemukan dalam lagu 'Kusa Kukunei'. Dalam nyany¬ian ini sarjana IIP lulusan l978, yang kini menduduki korsi Asisten 1 Setdakab Aceh Tengah ini, bercerita dan bertanya ten¬tang adat. Bentuk protes dalam nyanyian 'Kusa Kukunei' (Kepada Siapa Kan Kutanya) ditemukan dalam gaya bertanya itulah. Yang pada setiap bait yang akan dinyanyikan didahului dengan kalimat bertanya, 'kusa-kusa kukunei' (kepada siapa kan kutanya). Beri¬kut ini beberapa bait petikannya ; ' Kune keta kunehmi die/ seni Gayo nge taring rongka/ kusahan mi aku mungune/ ceh tue gere ne ara'. (Bagaimana, bagaimana kiranya/ seni Gayo tinggal rangka/ kepada siapa aku bertanya/ seniman tua telah tiada).

'Gere ne ara le tempat bercerite/ nge mulo tetue bangka/ didong ni jema didong ni kite / lale munuke kekemel ni jema'. (Tak ada lagi tempat bercerita / telah duluan sang tua bangka/ didong orang didong kita/ lalai membuka aib orang). Murip kanung edet mate kanung bumi/ edet Gayo ni gelah muperala/ ike edet turah i kuweti/ nge terdiri urum agama'. (Hidup dipelihara adat mati dijaga bumi/
adat Gayo hendaklah dipelihara/ jika adat musti diperkuat/ sudah menyatu dengan agama).

Ibnu Hajar dalam nyanyiannya itu tak hanya melihat tempat bertanya, ahli seni, ahli adat semakin berkurang sehingga genera¬si berikutnya semakin kehilangan arah. Tapi juga merasakan betapa berat terpaan budaya luar yang terus mengalir kedaerah.

'Asal ike edet gere bergune/ kemel te gere ne ara/dele pedi geh budaya ku Gayo/ jege-jege kite rata-rata'. (Kalau adat tak berguna/ malu kita lagi punya/ banyak sekali budaya datang ke Gayo/ mari kita jaga-jaga bersama). 'Wo kunehmi keta urang Gayo/ tutur ine i talu mama/ nge mu musier manat ni datunte/ nge mamo sara donya'. (Wahai bagaimana gerangan kita orang Gayo/ sebutan Ine dipanggil mama/ sudah melenceng amanat datu/ telah berhambu¬ran satu dunia).

----------------

Ibnu Hajar Laut Tawar

NASIB NI UYEM

wo...uyem kusi nge beluhmu
sayang di nasipmu osop ari mata

ko uyem i tanoh Gayo
ari sedenge mu cabang perdu
ike tengaha beluh ku rebe
teles nge ijo ningko pucukmu

ike besilo beluh dediang
nge meh lapang taring tungulmu
ari Lampahan sawah ku Gelampang
nge meh lapang kerpe kemumu

wo …uyem

pabrik Lampahan gere ne mugune
mujadi besi tue kengon tubuhmu
gere ne megah lagu sedenge
nasip ni Gayo minah gerelmu

ike tengaha ara PNP
dele gune e ningko getahmu
ike besilo sayang nasipe
nge ku Lhok Semawe ningko i tegu

olok di hejeb urang One-One
edup cabang nge gere nguk ne itunu
i peperus ari kucake
sawah hinge e nge minah empu

keta selamat mi kao berjelen
urang Takingen taring sebuku
beluhmu lagu ku engon
dene pemintesen so Buntul Kemumu


kengon nge ara ningko tulisen
i baur ni pereben Gayo gerelmu
i ke ulak kase ku Takingen
tetemas i engon ari Buntul Kubu

Ibnu Hajar Laut Tawar



NASIB PINUS

wahai, pinus kemana pergimu
sayang nasipmu hilang dari mata

kau pinus di tanah Gayo
dari dahulu telah bercabang dan perdu
kalau dulu pergi keladang
nampak hijau pucukmu

kalau sekarang pergi jalan-jalan
telah lapang tinggal tunggulmu
dari Lampahan hingga ke Gelampang
telah lapang rumput kemumu

pabrik Lampahan tak lagi berguna
menjadi besi tua kelihatan tubuhmu
tak lagi mashur seperti dahulu
nasib Gayo pindah namamu

kalau dahulu ada PNP
banyak gunanya getahmu
sekarang sayang nasipmu
kau ditarik ke Lhok Seumawe

sungguh susah orang One-one
hanya cabang pun tak dapat di bakar
di asuh sejak kecil
setelah besar diambil orang

selamatlah kau berjalan
orang Takengon tinggal ratapan
seperti kulihat pergimu
jalan memintas di Buntul Kemumu

kulihat ada tulisan
di bukit Pereben Gayo namamu
kalau kau kembali ke Takengon
indah dipandang dari Buntul Kubu


(Terjemahan dari bahasa Gayo oleh L.K.Ara)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar