Rabu, 03 Maret 2010

BEBERAPA PENDAPAT TENTANG L.K. ARA

SASTRAWAN ACEH SUNYI DI TENGAH KERAMAIAN

Jumat, 19 Juni 2009 | 03:54 WIB


Oleh ANUNG WENDYARTAKA

Karya-karya besar sering kali dihasilkan dari tempat-tempat yang jauh dari memadai. Tengok saja karya legendaris novel petualangan Old Shatterhand dan sobatnya orang Indian, Winnetou, karya Dr Karl May maupun tetraloginya Pramoedya Ananta Toer yang dihasilkan dari balik jeruji penjara. Masih banyak karya-karya besar dunia lain, terutama sastra, yang dihasilkan dari tempat yang jauh dari fasilitas memadai.
Mungkin hanya kebetulan saja apabila salah satu karya besar dalam dunia sastra di bumi Serambi Mekkah Aceh, yaitu Ensiklopedi Aceh, juga dihasilkan dari sebuah mess yang berbentuk rumah petak ukuran sekitar 3 x 5 meter. Rumah tanpa kamar itu terletak di dalam lingkungan Taman Budaya Aceh di kota Banda Aceh, Provinsi Nanggore Aceh Darussalam. Di tempat inilah, Lesik Keti Ara atau lebih dikenal dengan LK Ara (71), salah satu sastrawan Aceh, ditemani istrinya menyusun karya babon, yakni Ensiklopedi Aceh, dalam 2 tahun terakhir ini.

Di dalam rumah tanpa kamar yang merangkap fungsi sebagai kamar tidur dan ruang kerja yang disesaki dengan buku dan naskah, LK Ara, pensiunan penerbit Balai Pustaka Jakarta, sekarang tengah menyusun Ensiklopedi Aceh yang kedua. Ensiklopedi Aceh jilid satu dengan tebal lebih dari 460 halaman yang disusunnya bersama Merdi sudah terbit tahun 2008. ”Jilid 2 ini bisa lebih dari 1.000 halaman,” kata LK Ara menjelaskan.

Ensiklopedi Aceh merupakan pengembangan dari buku Seulawah: Antologi Sastra Aceh yang diterbitkan oleh Yayasan Nusantara Jakarta bekerja sama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias dan pemda tahun 1995. ”Jika pada Seulawah berisi karya-karya sastrawan Aceh dari Hamzah Fansuri pada awal abad ke-17 sampai sekarang, pada Ensiklopedi Aceh nama pengarang disertai riwayat hidup singkat, pencapaiannya, dan contoh karyanya yang berupa tulisan pendek, seperti puisi, hikayat diurutkan secara alfabetis. Karya berupa novel atau prosa tidak bisa dicantumkan karena akan menjadi terlalu panjang,” tandas LK Ara. Selain itu, Ensiklopedi Aceh juga memuat hikayat dan adat istiadat Aceh. ”Buat kita di Indonesia, sebenarnya hikayat adalah juga sastra atau bagian dari sastra. Tetapi, kalau di Aceh sini kalau disebut sastra saja orang belum tahu kalau ada hikayat di dalamnya. Oleh karena itu, dalam sampul ensiklopedi ini, saya tampilkan subjudul adat, hikayat, dan sastra.

Menggumuli sastra dan budaya memang sudah menjadi jiwa sekaligus jalan hidup LK Ara. Kendati sudah sepuh, semangat untuk terus berkarya di bidang sastra, terutama sastra Aceh, tetap menggelora di tengah minimnya fasilitas dan penghargaan yang memadai dari pemerintah maupun masyarakat. Sudah lebih dari 10 tahun semenjak pensiun dari Balai Pustaka tahun 1985, LK Ara yang juga dikenal sebagai penyair dan penulis cerita anak-anak ini dengan tekun mendokumentasikan syair Gayo yang biasanya didendangkan para seniman Gayo. ”Saya pernah dalam setahun di Takengon (Gayo) sendiri. Tiap hari tertentu mereka (penyair) itu saya undang ke tempat saya. Saya ajak ngobrol dan menyalin lirik-lirik mereka,” kata LK Ara. Ia lebih memfokuskan untuk mendokumentasikan lirik atau teks, bukan lagunya. ”Karena saya bukan penyanyi,” kata Ara. Syair Gayo yang disalin lewat rekaman kaset ini tebalnya sudah ribuan halaman. Padahal, teks tersebut masih dalam bahasa asalnya. ”Kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia bisa 2 juta halaman lebih,” tandas Ara.
Usaha yang dilakukan LK Ara untuk mendokumentasikan syair Gayo selama puluhan tahun ini bukan tanpa halangan. Namun, berkat ketekunan, kesabaran, dan kecintaannya untuk melestarikan salah satu kekayaan budaya Aceh ini, persoalan-persoalan yang ada dapat teratasi. ”Penyair Gayo itu umumnya enggak hirau dokumentasi. Begitu selesai mendendangkan syair, enggak lagi terdokumentasi,” kata LK Ara. Hal inilah yang menjadi salah satu kesulitan LK Ara dalam mendokumentasikan syair Gayo. Contohnya, dalam mengumpulkan karya Teuku Yahya, ia harus rela mengunjungi istri Teuku Yahya, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya, seperti tidak habis akal, LK Ara pun mencari murid-murid Teuku Yahya. ”Malam-malam ada yang datang, namanya Siti Juariah kalau tidak salah. Masih ingat lagu-lagu karya mendiang gurunya?” tanyanya. ”Oh, bisa,” jawab Juariah. Kemudian dia langsung berdendang. ”Dari situ salah satu contoh saya mengumpulkan syair Gayo,” tandas LK Ara.

LK Ara membedakan antara syair Gayo dan Didong. Menurut dia, kendati keduanya sama-sama didendangkan, Didong lebih membicarakan masalah duniawi. Sementara syair Gayo temanya lebih religius dan biasanya memakai tradisi Islam.

Dalam satu-dua bulan ini, salah satu buku yang berisi syair Gayo yang ia kumpulkan rencananya akan terbit. Selain itu, ada satu naskah sastra Gayo yang juga sudah siap terbit. ”Ini adalah salah satu dari sastra Gayo selain Didong, peribahasa, pantun, teka-teki atau kekitikan, teka-teki panjang yang disebut ulo-ulo dan sebuku atau seni meratap,” jelas LK Ara yang bersama K Usman, Rusman Sutiasumarga, dan M Taslim Ali ikut mendirikan Teater Balai Pustaka (1967). Selain itu, dulu ia juga pernah memopulerkan penyair tradisional Gayo atau Didong yakni, almarhum Abdul Kadir To’et pentas di berbagai tempat di Indonesia.

Dalam menyelesaikan karya-karyanya, LK Ara biasanya tidak pernah memasang tenggat waktu kapan akan selesai. ”Jadi, saya sesantainya dan seadanya saja. Kadang ada yang mau membantu, seperti dinas kebudayaan ada biaya sedikit. Hal ini bisa lebih mempercepat,” jelas Ara. Kendati hidup di tengah situasi yang kurang memadai untuk berkarya, seperti rumah tanpa kamar, jalan becek pada waktu hujan, dan minimnya honor yang diterima, LK Ara tetap teguh bekerja untuk menghasilkan karya-karya besar bagi dunia satra Aceh.

TA Sakti
Terus berkarya kendati hanya bermodal semangat dan kecintaan terhadap sastra Aceh seperti yang dilakukan LK Ara ini tidak jauh berbeda dengan yang dialami Teuku Abdullah atau yang lebih dikenal dengan TA Sakti. Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Syiah Kuala, Banda Aceh, ini juga dikenal sebagai pelestari sastra Aceh seperti juga LK Ara. Berbekal kemampuan membaca huruf Arab Melayu (Pegon) dan kecintaannya terhadap sastra Aceh sejak tahun 1992, ia mulai mengalihaksarakan (transliterasi) naskah-naskah sastra Aceh ke dalam huruf Latin. ”Tujuannya biar orang Aceh bisa kenal lagi hikayat,” ujar TA Sakti.

Menurut TA Sakti, sebelum tahun 1960, hikayat masih sangat berpengaruh bagi masyarakat Aceh. ”Kalau mau memajukan orang Aceh itu lewat hikayat. Tulis hikayat sebagus-bagusnya, bagi orang Aceh itu akan berpengaruh. Tetapi, sekarang orang sudah tidak kenal hikayat lagi,” kata TA Sakti.

Awalnya, kegiatan TA Sakti melatinkan hikayat dan naskah Aceh lain itu hanya sekadar mengisi waktu luang. ”Ada naskah yang sudah dibuang di tempat sampah. Sudah tidak ada yang menyentuh lagi. Jadi saya sentuh, gara-gara tidak ada kegiatanlah, untuk mengisi waktu luang,” kata TA Sakti.

Saat ini TA Sakti yang pernah mendapatkan Bintang Budaya Parama dari pemerintah berkat jasanya melestarikan naskah-naskah kuno Aceh ini sudah berhenti mentransliterasi hikayat mengingat kondisi fisiknya yang semakin lemah. ”Sekarang ini mengetik satu halaman saja kaki saya sudah sakit. Kalau diteruskan terus bengkak. Jadi, berpikir pun tidak boleh terlalu berat,” kata TA Sakti. ”Kalau pergi ke mana-mana saya tergantung sama tukang RBT (rakyat banting tulang) atau ojek karena harus dipapah,” tutur TA Sakti.

TA Sakti menyalin hikayat sama sekali bukan demi uang. Bagaimana tidak, satu buku kecil/saku dengan hikayat ukuran 10,5 X 16 cm dan tebal sekitar 80 halaman ia jual ke toko buku seharga Rp 1.200,-. Biasanya ia mencetak paling banyak 1.000 eksemplar, sebagian besar malah hanya dicetak 500 buah. ”Saya kira semua (judul) kurang laku, amat kurang. Malah sudah tidak laku lagi. Bukan zamannya hikayat lagi,” kata TA Sakti. Dengan keuntungan hanya sekitar Rp 600,- per buku karena ongkos cetaknya saja sudah Rp 600,- per buku, itu pun kalau laku semua, ia hampir-hampir sama sekali tidak mendapat keuntungan materi. ”Saya malah rugi, buat ongkos RBT ke sana kemari dan beli kertas sudah harus nombok. Kalau bukan gara-gara kaki saya patah dan tidak ada kegiatan. Saya tidak akan mau,” tutur Sakti. Selain diterbitkan dalam bentuk buku saku, sebelum ini ia juga menyalin hikayat untuk koran lokal, Serambi Indonesia. ”Lebih kurang ada 1.000 hari dimuat, jadi tiap hari bersambung. Satu hari 2 judul. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi,” jelas TA Sakti.

Saat ini TA Sakti sudah tidak lagi menyalin hikayat lagi setelah sudah mentransliterasikan 25 judul hikayat, tambeh, dan nazam Aceh, seperti Hikayat Mendeuhak dan Hikayat Nabi Yusuf, serta lebih kurang 22.000 buku saku telah ducetak. Salah satu hikayat terakhir yang dibukukan oleh penerima penghargaan Kehati Award 2001 kategori ”Citra Lestari Kehati” berkat kumpulan hikayat yang bertema cinta lingkungan hidup, seperti Wajeb Tasayang Binatang dan Binatang Ubit Kadit Lam Donya, ini adalah hikayat Tambeh Tujoh Blah (2008). Juga tulisan mengenai salah satu sastrawan Aceh paling populer Syekh RIS Kruengraya yang meninggal tahun 1997.
Padahal, masih banyak bahan-bahan yang belum disentuh. Ada dua prosa Aceh yang belum ia sentuh dan bahan-bahan lain yang kemungkinan besar masih tersimpan di rumah-rumah orang.(bip/wen, Litbang Kompas)


L.K. ARA TULIS PUISI ”DOA ANAK YANG KEHILANGAN MASJID"

Khalisuddin | The Globe Journal

Takengon - Berbagai bentuk ungkapan keprihatinan atas kebijakan pengalihan sebagian besar tanah, aset dan sebuah masjid Panti Asuhan Budi Luhur Takengon oleh Pemda Aceh Tengah kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh sebagai modal penyertaan Pemda Aceh Tengah mulai diungkap di media massa, elektronik dan cetak.

Awalnya, kebijakan tersebut tidak mendapat perhatian serius dari publik. Hingga saat salah seorang putra yang pernah lahir 35 tahun silam dan kemudian dibesarkan di panti tersebut hingga tahun 2003, Win Wan Nur menulis perasaan mirisnya dalam sebuah blog di media internet.

Beberapa situs berita dan media cetak di Aceh kemudian terpanggil dan mulai memberitakan pernak-pernik terkait Panti Asuhan yang bersejarah tersebut.
Sejarah perjalanan Panti Asuhan Budi Luhur sejak 1948 pernah dipublikasikan awal 2009. Kemudian muncul tulisan rasa keprihatinan dari sepasang suami istri PNS dan telah punya cucu yang pernah dibesarkan dan dididik di panti tersebut. Disusul ungkapan hati Nur Samawi, seorang anak yatim yang bertahun-tahun menggantung hidup di sana dan kini menjadi mahasiswi berprestasi di Jakarta. Seorang alumni panti yang kini masih kuliah di Universitas Gajah Putih, Armansyah juga nyatakan kekecewaannya melalui media massa.

Kemudian disusul sebuah puisi berjudul ”Do’a Anak yang Kehilangan Masjid” karangan LK. Ara, seorang penyair dan budayawan Aceh asal Gayo dimuat disalah satu media cetak di Aceh pada 8 Maret 2009. ”Saya terinspirasi untuk tulis puisi tersebut tidak karena Panti Asuhan Budi Luhur, tapi karena kita lihat saat ini sudah banyak sekali kebijakan yang berakibat tergusurnya masjid dan panti asuhan. Sangat universal, ” kata LK. Ara melalui ponselnya kepada The Globe Journal, Rabu (25/3).

Terhadap kasus-kasus tersebut, LK. Ara mengakui panjatkan do’a melalui bait-bait puisi terutama di bagian terakhir puisinya yang berjudul ”Do’a Anak Kehilangan Masjid” dengan bunyi ”Ya Allah, Kami tidak tahu, Kaulah yang tahu, Dan untuk kami yang baru belajar merindukan Mu, Dirikanlah mesjid kecil dalam diri kami satu-satu.” [003]


SASTRA MULUT BERKUMPUL, MENJADI FESTIVAL

Untuk pertama kalinya dikumpulkan para pembawa sastra lisan dari berbagai daerah di indonesia. ternyata sastra mulut ini masih hidup, ada yang kocak, sedih, gagah.

''...Waktu Nurlela ngeliat tu pemuda si Tajjul Aripin, atinye goyang. Si Pemuda mah tidur aje, kleker, kleker, kleker. Waktu die bangun, bukannye demen, malah nyap-nyap...duile, pan kalu ada perempuan cantik di pinggir tempat tidur mah, kite biasenye, sikat aje. Ini mah malah nyap-nyap....'' TEATER Arena Taman Ismail Marzuki gemuruh oleh sorak, tawa, dan tepuk tangan yang hadir. Ahmad Sopian Zahid duduk di arena sembari sesekali berseru, berteriak, menangis, tertawa sesuai dengan tokoh yang diperankannya. Jumat pekan silam, ia membawakan kisah anak jin, si Nurlela, yang jatuh cinta pada pemuda biasa Tajjul Arifin yang tercakup dalam Hikayat Betawi. Bang Zahid, nama panggilan Ahmad Sopian, membawakan kisah yang populer di kalangan masyarakat Betawi itu diselingi humor dan tanya jawab yang spontan dengan penonton. Jarak antara Zahid, sang pembawa cerita, dan ratusan penonton yang duduk di tiga sisinya pun hampir tak ada. Inilah salah satu mata acara yang paling sukses dalam Festival Tradisi Lisan Nusantara. Acara yang terdiri dari pertunjukan dari sembilan daerah dan seminar para pakar ini diselenggarakan oleh Yayasan Lontar bekerja sama dengan perusahaan telepon Amerika AT&T, Fakultas Sastra Indonesia, Ford Foundation, Yayasan Obor, dan berbagai lembaga lainnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Seperti warga aslinya, kisah-kisah Betawi sudah mulai tersingkir oleh ''pembangunan''. Ini bukan hanya kisah sedih masyarakat Betawi. Berbagai hikayat, pantun, atau bentuk sastra lisan dari berbagai daerah di Indonesia lainnya terancam punah. ''...Ia semakin merupakan spesies yang langka dalam kancah pembangunan yang sedang kita alami,'' kata Dekan FSUI Achadiati Ikram pada pembukaan seminar Tradisi Lisan Nusantara. Festival yang terdiri dari pertunjukan dan seminar tradisi lisan ini tampaknya tidak berpretensi untuk segera menyelesaikan persoalan kepunahan itu, tapi paling tidak ''...memperlambat kepunahan tradisi lisan,'' kata ketua penyelenggara, Adila Suwarmo. Kelangkaan tradisi lisan itu memang sangat tampak pada kebiasaan bercerita di kalangan masyarakat Betawi. Konon kesenian lisan ini berasal dari berbagai legenda Persia dan Mesir yang dibawa ke Indonesia sekitar tahun 1920-an dalam bahasa Melayu. Saat itu, pementasan cerita yang hanya dilakukan satu orang itu hanya berlangsung di kalangan raja-raja untuk pelepas lelah. Lama-kelamaan, kebiasaan itu juga dilakukan di kalangan masyarakat, khususnya komunitas Betawi yang gemar mendengarkan kisah-kisah Hikayat Betawi. Dalam penyampaian cerita, unsur-unsur yang penting adalah hiburan, humor, dan agama. Sayangnya, ahli Hikayat Betawi yang dikenal saat ini hanya satu orang, Bang Zahid itulah. Sebenarnya, seperti dikatakan Zahid, ada juga beberapa anak muda yang juga berprofesi seperti dirinya, tapi dialah yang paling sering dipanggil untuk bercerita pada perayaan khitanan, perkawinan, atau pertandingan sepakbola. Untuk acara terakhir itu Anda boleh tak percaya pada Bang Zahid. Zahid sendiri secara tak langsung belajar bercerita dari ayahnya, Mohammad Sopian, yang dikenal sebagai tukang cerita terkenal di kalangan masyarakat Betawi. ''Tapi baru setelah saya menikah dan ayah saya sudah tiada, saya menggeluti profesi ini secara serius.'' Sayangnya, regenerasi ini tidak berlanjut. Keenam puteri Zahid belum ada yang menunjukkan minat untuk mengikuti jejak ayahnya. Padahal Hikayat Betawi sangat digemari. Buktinya, ia mempunyai banyak pendengar di Ben's Radio, di mana dua kali seminggu ia mengisi acara Pergelaran Sahibul Hikayat. Selain itu, ia juga sering dikontrak perusahaan iklan untuk memasukkan Hikayat Betawi dalam produk yang diperdagangkan. Dengan begitu, Zahid berharap kisah-kisah Hikayat Betawi masih bisa hidup di kalangan masyarakat Betawi. Jika Hikayat Betawi tampaknya kekurangan tukang cerita, tidak demikian dengan Didong. Inilah kesenian tradisional Gayo, Aceh Tengah, yang terdiri dari seni suara, gerak, dan puisi. Seperti Bang Zahid di Jakarta, Abdul Kadir alias Toet adalah pembaca Didong yang paling masyhur di tanah Aceh. Dengan enam lelaki yang menepuk kampas (semacam bantal), seorang wanita yang memukul genderang, Toet meliuk-liuk memainkan gamang (semacam akordeon) sembari membacakan puisi ciptaannya: emun, asal emun/ kutimang emun/ jerilep sekejep/ emun, asal emun/ kutimang emun/ jerilep sekejep/ emun male turun/ kuatan dienie ni/ la menjadi nami. Penyair L.K. Ara lalu membacakan terjemahannya: awan kutimang-timang awan/ berkilau sekejap/ awan kutimang- timang awan/ berkilau sekejap/ awan ingin turun/ ke atas dunia/ menjadi embun. Iramanya yang riang dan gerak-geriknya yang dipengaruhi unsur India, terutama gerakan pinggulnya, membuat para penonton ikut bertepuk dan bergoyang. Lagu dan puisi adalah oksigen bagi Toet. Kepedihannya di zaman Belanda ditumpahkan dalam puisi berjudul Perang Sabil: darah yang mati sahid/ siang tadi tertumpah/ kelak berkumpul kembali menjadi minyak wangi. Di zaman Jepang, Toet, yang dipaksa ikut rodi membangun jembatan, juga sempat menciptakan sajak Lumut. Menurut L.K. Ara, Didong tidak hanya untuk menghibur, ''terkadang juga berfungsi seperti koran, menginformasikan apa yang terjadi di sebuah desa.'' Sebuah bencana alam yang terjadi ditahun 1970-an di Aceh telah memberi inspirasi Toet untuk membuat sebuah sajak Redines, berisi bait-bait yang pedih. ''Di masa muda itu saya bisa menciptakan lagu dan puisi satu hari lima buah,'' tuturnya. Di masa muda itu pula ia mampu meminang 5 wanita menjadi istrinya. Dari 12 anaknya, dua orang yang mengikuti jejaknya, yakni Zamhir dan Isbullah. ''Suara mereka cantik dan puisi ciptaan mereka juga bagus,'' kata Toet. Maka dengan regenerasi itu, menurut L.K. Ara, masyarakat Gayo tak perlu khawatir Didong akan punah. Apalagi Didong tetap dipertandingkan setiap musim panen kopi dan padi, Tujuh Belas Agustusan, atau sesudah Lebaran. ''Sayangnya, anak-anak muda masa kini yang berdidong biasanya memakai bahasa sehari-hari yang agak kasar dan ngepop,'' kritik Ara. ''Mereka tidak mencoba menggunakan simbol dan menciptakan bait-bait yang lembut seperti yang dilakukan Toet.'' Hal ini memang sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Dosen Antropologi FISIP UI James Danandjaja mensinyalir, orang Indonesia yang hidup di perkotaan umumnya kebudayaannya bukan lagi bersifat kedaerahan. Apalagi dengan adanya berbagai TV swasta, bentuk tradisi lisan Indonesia telah mengalami perubahan secara cepat menjadi Folk Speech atau Ujaran Rakyat. Inilah fenomena di mana acara-acara televisi, seperti sinetron atau iklan, bisa berpengaruh besar terhadap bahasa lisan penontonnya, semacam oke punya atau Halo Everybody, Excelso. Meskipun, menurut Danandjaja, kejadian seperti ini tak dapat dicegah, banyak pakar yang menganggap masih ada cara-cara untuk mempertahankan tradisi lisan agar tetap menjadi bagian hidup mereka. Stephanus Djuweng, peneliti dari Institute of Dayakology, adalah salah satu putra Dayak yang sangat prihatin dengan pudarnya tradisi lisan di Kalimantan Barat. ''Penyebabnya bukan hanya faktor pengaruh asing, seperti televisi, radio, dan film asing, tapi juga ada soal-soal politik dan kebijakan pemerintah,'' katanya. Djuweng memberi contoh bagaimana penebangan pohon di Kalimantan telah mendesak pola produksi orang Dayak yang biasa berladang. ''Di dalam kehidupan berladang itu biasa tercipta nyanyian-nyanyian dan tanya jawab yang menjadi ritual dalam kehidupan berladang,'' tuturnya. Dan salah satu cara untuk mempertahankan tradisi lisan itu, menurut Djuweng, mengimbau Pemerintah agar kebijakan-kebijakannya dalam pemberian konsesi hutan jangan sampai merusakkan cara hidup orang Dayak. ''Selain itu, saya kira usul yang dikemukakan beberapa pengamat untuk memasukkan tradisi lisan ke dalam kurikulum pelajaran sesuai dengan daerah maing-masing adalah usul yang baik,'' tambahnya. Pada malam Festival Sastra Lisan, Kalimantan Barat mempersembahkan Takna' Lawe' (Syair Lawe), sebuah epik yang terkenal di kalangan orang Dayak Kayaan dari Mendalam, Putussibau, Kalimantan Barat. Tarian dan nyanyian yang melibatkan belasan pria dan beberapa wanita itu adalah sebuah pemandangan yang megah dan menakjubkan. Mereka membentuk setengah lingkaran, mengenakan bulu burung ruai dan enggang di kepala, kulit harimau (tiruan) di dada, dan bernyanyi puji- pujian bagi pahlawan mereka, Lawe, sembari menghentakkan kaki. Sebuah alat petik semacam gitar bernama sape dan sebuah alat tiup bernama kaldii, berbentuk suling yang panjang, besar dan melengkung pada ujungnya mengeluarkan bunyi-bunyi melengking mengiringi derap langkah para lelaki dan wanita yang menari. Menurut Tus Oevaang Mering, Koordinator Delegasi Kalimantan Barat, tari semacam ini masih terus diselenggarakan pada saat perayaan pernikahan. ''Takna' yang sudah diterbitkan secara tertulis berjumlah sekitar 7.000 buah syair, ada yang bercerita tentang percintaan, kematian, alam gaib, dan sebagainya. Bagi kami, Takna' tak akan pernah mati,'' tutur Tus dengan yakin. Jika ini juga terjadi pada kesenian Tan Bentan dan Rebab Pariaman dari Sumatera Barat, Wor dari Irian Jaya, Pantun Sunda dari Jawa Barat, Mak Yong dari Riau, Dalang Jemblung dan Kentrung dari Jawa Tengah, Sinrilik dari Sulawesi Tengah, serta berbagai kesenian tradisi lisan lainnya, yang rencananya akan dipentaskan dua tahun mendatang, mungkin tradisi lisan benar- benar bisa bertahan untuk hidup. Apalagi jika tradisi itu diselenggarakan sebagai kesenian yang menggugah nurani, dan bukan sekadar atas nama pariwisata.

Leila S. Chudori


PELESTARIAN SASTRA DAERAH DI BANGKA BELITUNG SUATU UPAYA PEMERTAHANAN BUDAYA

Asyraf Suryadin
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Bangka Belitung

1. Pendahuluan
Bangka Belitung awalnya merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Di era reformasi pada tahun 2000 melalui Undang-undang nomor 27 terbentuklah Provinsi Bangka Belitung. Secara kultural Bangka Belitung merupakan rumpun Melayu, demikian juga bahasanya masuk dalam rumpun bahasa Melayu Bangka dan Melayu Belitung.

Melalui media bahasa daerah tersebut muncullah beberapa karya yang ditulis oleh para penulis daerah. Kebanyakan dari para penulis sastra tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan masyarakat Bangka Belitung tidak mengenal tingkatan sepertinya bahasa Jawa atau Sunda. Untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat formal menggunakan bahasa Indonesia sedangkan untuk mengukapkan hal-hal yang bersifat nonformal menggunakan bahasa Melayu Bangka atau Melayu Belitung.

Sastra sebagai produk budaya yang diungkapkan melalui bahasa tulis dan bahasa lisan banyak menyimpan berbagai produk kehidupan yang tersimpan dalam cetakan seperti buku dan media lainnya. Produk kehidupan yang terungkap tadi dapat berupa gambaran dan prilaku manusia dan pada akhirnya menjadi budaya yang dipertahankan secara terus menerus. Sehingga cukup banyak budaya Bangka Belitung yang diimplementasikan ke dalam bentuk karya sastra daerah.

2. Sastra Babel dari Masa ke Masa
Belum ada data tertulis yang berbentuk literatur dalam mengungkapkan kapan dimulainya sastra daerah di Bangka Belitung. Miskinnya leteratur ini menyebabkan sulitnya mengungkapkan keberadaan sastra daerah. Selain itu, budaya masyarakat Melayu Bangka yang lebih suka menggunakan sastra lisan daripada sastra tulis. Untuk kasus jenis sastra drama tradisonal seperti dulmuluk yang cukup.

1

Dikenal di masyarakat Bangka Belitung juga mengalami kesulitan mencari naskah yang telah dibukukan. Sastra Babel yang dimaksud pada makalah ini adalah karya sastra yang sebagian isinya membicarakan permasalah daerah Bangka Belitung. Jadi, lebih menekankan pada hasil karya dan tidak menekankan pada penulisnya. Artinya penulis bisa saja berasal dari daerah lain tetapi isi dari karya sastra tersebut membicarakan masalah daerah Bangka Belitung secara universal.

Apabila berbedoman kepada pembatasan tersebut di atas maka karya sastra daerah Babel yang telah dibukukan sebagai usaha pelestarian dapat berupa, Cerita Bangka yang diterbitkan di Luar Negeri:

1. Cerita Bangka, Het verhaal van Bangka, karya E.P. Wieringa, Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azie en Oceanie Rijksuniversiteit Leiden, 1990.

Pantun, Puisi, dan ”Gurindam”

1. Pantu Melayu Bangka Selatan, Editor L.K.Ara, Yayasan Nusantara, 2004.

2. Pangkalpinang Berpantun, Editor LK Ara dan Suhaimi Sulaiman, Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang, 2004.

3. Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun dan Puisi, Editor LK Ara dan Suhaimi Sulaiman, Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang, 2005

4. Kelekak, Editor LK Ara dan Suhaimi Sulaiman, Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang dan Yayasan Nusantara, 2005.

5. Langit Senja Negeri Timah, LK Ara, Yayasan Nusantara, 2004.

6. Ngintip Kita Punya Negeri, Kumpulan Gurindam Negeri Serumpun Sebalai, Roestam Rabain, (Proses Penerbitan).

7. Gurindam Abad 21, Berkelana di Padang Fana, H.Eko Maulana Ali, Bangka Pelanduk, 2005.

Cerita Rakyat:

1. Legenda Rakyat Bangka, Sang Benyawe sampai Tanjung Penyusuk, Asyraf Suryadin Amsyar dan Tien Rostini, Dewan Kesenian Bangka, 2000.

2. Cerita Rakyat Bangka, Putri Gunung Kelumpang ke Air Limau, Asyraf Suryadin Amsyar dan Tien Rostini, Dewan Kesenian Bangka, 2000.

3. Cerita Rakyat Bangka Belitung, Editor Asyraf Suryadin dan Tien Rostini, HISKI, 2008.

4. Megat Merai Kandis (Bangka), Sulaiman dan Koko P.Bhairawa, Grasindo, 2005.

5. Asal Mula Bukit Batu Bekuray (Cerita Rakyat dari Bangka Belitung), Koko P.Bhairawa, Azka Mulia Media, 2007.

6. Tahta dan Mahkota di Istana Kota Kapur (Bagian 1 dan 2), Sutarno ZA, Pemda Bangka, 2000.

Ungkapan Tradisional dan Kamus Daerah

1. Ungkapan Tradisional Kota Pangkalpinang, Editor Akhmad Elvian, Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkalpinang, 2006.

2. Kamus Bahasa Daerah Indonesia Bangka dan Belitung, Hartini dkk, Yayasan Annisa Nurrizki Pangkalpinang, 2003.

Selain karya sastra daerah seperti tersebut di atas terdapat juga karya-karya lain yang berbentuk roman, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, dan novel yang diterbitkan oleh organisasi profesi seperti HISKI (Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia) dan penerbit lainnya. Seperti Kehilangan Mestika karya Hamidah, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Antologi 99 Puisi 99 Penyair, Puisi Bingung Seorang Guru Editor Asyraf Suryadin, Kumpulan Cerpen Guru Teladan karya Tien Rostini dkk. serta beberapa lagi kumpulan cerpen dan novel yang telah berbentuk buku yang diterbitkan oleh HISKI.

3. Publikasi Sastra Daerah Babel

a. Media massa koran
Pada prinsipnya media massa berkewajiban mengembangkan seni dan budaya daerahnya masing-masing. Kewajiban ini terkait dengan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Hal ini membuktikan media massa tidak semata-mata mengejar profit, tetapi juga memiliki idialisme dalam memajukan seni dan budaya khususnya di daerahnya Bangka Belitung. Walaupun ada kalanya ruang budaya yang satu halaman penuh tersebut adakalanya disisipi juga dengan iklan dengan cara mengilangkan bagian opini budaya.

Minimal ada tiga koran daerah di Bangka Belitung yang setiap minggunya menampilkan ruang budaya. Ketiga koran tersebut adalah Harian Pagi Bangka Pos, Bangka Belitung Pos, dan Rakyat Pos. Dari ketiga koran tersebut yang sangat menarik adalah Bangka Pos karena menampilkan puisi Amang Ika yang ditulis dalam bahasa Melayu Bangka. Puisi tersebut telah ditulis sejak Desember 2007. Awalnya dipublikasikan dalam bahasa Indonesia, kemudian dalam perkembangan berikutnya menggunakan bahasa Melayu Bangka dan setiap penampilannya dilengkapi dengan foto Amang Ika.

Berikut ini contoh syair Amang Ika yang dimuat pada Bangka Pos tersebut:

HIKAYAT SI MAUN
Ada seorang bernama Maun
Hidup miskin bertahun-tahun
Siang dan malam duduk melamun
Berharap harta bagai Si korun
Tinggal di dusun bersama ibunya
Munah Saklamah ia punya nama
Maun disayang setulus hatinya
Bak mutiara tiada bandingnya
Walau badan tinggallah kulit
Hidup susah tak terasa sulit
Munah Saklamah menampal bukit
Berharap Maun menggapai langit
…………………………………….
Kelekak Lukok, D esember 2007

Berikut ini contoh Amang Ika yang dibuat dalam bahasa Melayu Bangka seperti berikut ini.

TANJUK PELITA
Cem ne lah kisah dari dulu
Tiap ari mati lampu
Entah sengajak entah belagu
Amang Ikak imang dak tau
Tiap kampong lah dibuat gilir
Di sine idup di sane ngalir
Kampong begelep membuat getir
Teringat idup di zaman menir
Janji kek rakyat dak salah-salah
Bakal dibangun listrik yang mewah
Betaon-taon nunggu pon lelah
Sampai sekarang lom ade lah
Soal rekening dak usah ditanyak
Tiap bulan maken membengkak
Telambat bayar dirik disegak
Kwh dicabut mun lah lame nunggak
Keluhan rakyat mohon dipecah
Jangen dibuang dalam tong sampah
Idup melarat betambah susah
Tanjuk pelita minyak ge payah
Ikak pejabat imang dak mengalam
Tanjuk pelita di waktu malam
Kami rakyat benar-benar paham
Bangon tiduk lubang idong beritam
Tanjuk pelita membuat runyam
Serade gawi menjadi pitam
Karena pandangan sedikit kelam
Ngancoh kupi setarok kek garam

2

Amang Ikak ukan mendongeng
Lebih-lebih nek mukak koreng
Mun salah jangen dikerangkeng
Kalok benar mohon diconteng
Jadi pejabat nek tahan ati
Rakyat sekarang lah pandai ngoreksi
Basa-basi dak laku lagi
Kalok dikritik jangen emosi
Lebih-lebih nek ngadep pilkada
Pesan dititip janganlah lupa
Buat lah rakyat jadi sejahtera
Jangen agik tanjuk pelita (*)
Kelekak Lukok, April 2008

Apabila Anda perhatikan pada syair di atas terdapat tokoh Amang Ika. Kata Amang Ika dalam bahasa Melayu Bangka berarti Paman Anda. Pada puisi tersebut Amang Ika selalu bercerita tentang keadaan yang terjadi di Bangka Belitung baik yang berlatar sosial, keadaan alam Babel, politik, budaya, dan lain sebagainya. Contoh di atas merupakan syair yang berlatar sosial yang menggambarkan krisis listrik di Bangka Belitung.

b. Penerbitan lokal
Penerbitan lokal sangat berpengaruh dalam mengembangkan budaya daerah. Penerbitan tersebut di antaranya mengembangkan tradisi penerbitan buku-buku yang membicarakan tentang Bangka Belitung, misalnya buku Translitersi dan Kandungan Fath al ’Alim fi Tartib al Ta’lim Syaikh Abdurrahman Sidik yang diterbitkan oleh Shiddiq Press, STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik. Buku tersebut merupakan pemikiran dari Syaikh Abdurrahman Sidik yang kemudian diterjemakan oleh civitas akademika STAIN. Selain itu, terdapat juga penerbit lain seperti UBB Press yang dikelolah oleh Universitas Bangka Belitung, HISKI Bangka Belitung, dan Bangka Media Grafika/Bangka Pos. Kebanyakan penerbitan lokal tersebut masih menerbitkan buku-buku yang ditulis oleh penulis lokal dengan berlatar budaya dan daerah Bangka Belitung.

c. Media elektronik
Media elektorik cukup efektif dalam usaha pemertahanan budaya. Media yang dapat membantu pemertahanan budaya tersebut diantaranya RRI Sungailiat. Media tersebut setiap minggunya menampilkan siaran Sastra dan Budaya yang dilakukan secara langsung dan bersifat interaktif. Berbagai budaya dan sastra Bangka Belitung dikupas secara tuntas dengan menampilkan tema yang cukup beragam. Semua itu dilakukan dalam usaha mengenalkan budaya dan sastra Bangka Belitung hingga ke pelosok yang sulit terjangkau oleh media lain.

4. Sastra Daerah dalam Pemertahanan Budaya
Apa yang dapat ditarik dari karya sastra dalam hal pemertahanan budaya? Banyak sekali yang dapat diambil dari karya sastra, apalagi yang berkenaaan dengan hasil karya yang mengarah pada budaya. Budaya Bangka Belitung yang sering dibicarakan dalam karya sastra adalah budaya menghomati orang lain dan budaya mempertahankan harga diri, budaya humor, dan budaya monumental.

Berikut ini penjelasan dari beberapa budaya yang sering ditemui dalam karya sastra daerah di Bangka Belitung.

a. Budaya menghormati orang lain dan budaya mempertahankan harga diri
Karya sastra daerah yang dibuat oleh para sastrawan daerah pun banyak yang membeberkan budaya menghormati dan menghargai perbedaan agama. Tidak hanya itu, ada kalanya ditemui juga budaya-budaya untuk mempertahankan harga diri. Karya Roestam Robain dalam Ngintip Kita Punya Negeri yang berjudul Gong Xi Pacai (hal: 45) membicarakan masalah budaya ini.

Imlek 2002/2553 Gong Xi Pacai
Tahun kuda air kerja lebih giat jangan cai-cai
Begitu pesan dari Jakarta suhu Acai
Konyan di Babel dimeriahkan dengan barongsai
---------------------------------------------------------------------
Demi menjaga Babel tetap harmonis
Jangan masukkan paham itu komunis
Jangan pula nonjol harta budaya suku dan etnis
UUD 45 dan Pancasila pedoman yang sudah finis

b. Budaya humor
Belum dapat dikatakan masyarakat Bangka Belitung kalau belum mengenal tokoh dalam cerita rakyat Pak Udak dan Mak Udak. Tokoh lucu yang suka belapun pelanduk ini kalau di Jawa Barat disamakan dengan si Kebayan. Berikut ini contoh budaya humor dalam cerita rakyat yang dimaksud:
.......................................................................................................
Nasib kurang beruntung bagi Pak Udak dan Mak Udak, karena belum mempunyai anak walaupun telah lama berumah tangga. Karena itu, Pak Udak bermaksud akan mencari perempuan lain untuk dijadikan istri kedua. Pak Udak pun mengemukakan maksudnya kepada Mak Udak. Sebagai istri yang bijak maksud Pak Udak disetujui oleh istrinya. Tetapi Mak Udak minta kepada Pak Udak akan mencari sendiri perempuan untuk istri muda Pak Udak. Maka mulailah Mak Udak membuat jalan di dalam hutan rimba.

Beberapa hari kemudia jalan pun selesai dibuat Mak Udak dan perempuan yang dicari pun telah ditemuinya. Pak Udak boleh datang untuk meminang perempuan itu pada malam hari. Segala nasihat istrinya dituruti oleh Pak Udak. Pak Udak pergi untuk menemui perempuan yang dikatakan Mak Udak. Sementara itu, Mak Udak mulai menghias diri memakai pakaian serba bagus dan wangi-wangian.

Pak Udak sangat gembira bertemu dengan calon istri mudanya. Perempuan itu setuju dipinang Pak Udak, hanya saja perlu disepakati kalau ke istri muda pada malam hari dan tidak boleh siang hari. Pak Udak setuju akan permintaan perempuan itu yang penting pinangan Pak Udak diterima. Jika giliran Pak Udak di rumah istri tua, Mak Udak berbuat seperti biasa, tetapi jika giliran Pak Udak di rumah istri muda, Mak Udak pun mulai menghias diri dengan berpakaian serba bagus. Mak Udak pun selalu tertawa sendiri memikirkan akan kebodohan Pak Udak. Akhirnya, rahasia itu terbongkar juga ketika Pak Udak sedang berbaring-baring melepaskan lelah terlihat oleh Pak Udak jeratan pelanduknya. Sekarang sadarlah Pak Udak bahwa ia telah ditipu oleh istrinya, Mak Udak.

c. Budaya monumental
Banyak judul puisi atau judul prosa yang diambil dari nama-nama tempat atau daerah. Di Bangka Belitung. Antologi puisi Langit Senja Negeri Timah karya LK Ara memuat nama-nama tempat tersebut, misalnya puisi dengan judul Parai yang mengingatkan kita terhadap keindahan pantai yang berada di kota Sungailiat Bangka. Selain itu, terdapat juga judul-judul yang lain seperti nama daerah Belinyu, Sungailiat, Toboali, Baturusa, Pantai Pasir Padi, dan Sungai Buding. Nama-nama tersebut mengingatkan kita akan daerah Bangka Belitung yang pada akhirnya dapat mendatangkan kerinduan terhadap daerah tersebut.

Dalam cerita rakyat juga banyak ditemukan judul-judul yang menggunakan nama tempat. Misalnya cerita rakyat Asal Mula Bukit Batu Bekurai, Megat Merai Kandis, Sang Benyawe sampai Tanjung Penyusuk, dan Putri Gunung Kelumpang ke Air Limau.

5. Penutup
Berbagai budaya yang terimplementasi dalam sastra daerah seperti yang terungkap di atas dapat mempersatukan masyarakat di daerah Bangka Belitung dan akhirnya persatuan tersebut semakin memperkokoh dalam mempersatukan bangsa Indonesia. Selain itu, sebagai alat mempertahankan budaya lokal yang saat ini semakin terkikis akibat globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA
L.K. Ara, Langit Senja Negeri Timah (Antologi Puisi). Pangkalpinang: Yayasan Nusantara. 2004.

Harmi, Zulkifli dkk. Translitersi dan Kandungan Fath al Alim fi Tartib al Ta’lim Syaikh Abdurrahman Siddik. Sungailiat: Shiddiq Press. 2006.

Liaw, Yock Fang. Sejarah Kesusastraan Melayu Klassik. Singapura: Pustaka Nasional.
Robain, Roestam. Ngintip Kita Punya Negeri (Kumpulan Gurindam Negeri Serumpun Sebalai). Pangkalpinang: Tanpa Penerbit. 2004.

Wieringa, E.P. Carita Bangka Het verhaal van Bangka. Leiden: Vakgroep Talen en Culturen. 1990


TIGA BUKU TENTANG ACEH PRESTISIUS

Nusantara
BANDA ACEH - Tiga judul buku ditetapkan sebagai jawara dalam acara temu pengarang yang diselenggrakan Badan Arsip dan Perpustakaan Wilayah Aceh beberapa beberapa waktu lalu. Tiga judul buku tersebut dinilai layak disebut sebagai jawara karena memenuhi syarat dan kreteria penulisan yang kredibel. Tiga judul buku yang dinilai sebagai pemenang antara lain, juara pertama Menemukan Kembali Saudagar Aceh (Edy Mulyana), Sejarah dan Adat Istiadat Masyarakat Alas di Aceh Tenggara (Rusdi Sufi) sebagai juara kedua, sementara Ensiklopedi Aceh (LK Ara) berada di posisi ketiga.

Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan wilayah Aceh, Drs Kamaruddin H Husein MSi, Jumat (20/11) kepada Serambi mengatakan, acara temu pengarang ini merupakan rangakain Hari Kunjung Perpustakaan, dimana juga dilaksanakan pameran foto tempo dulu, pameran buku dan penobatan Raja dan Ratu Baca Aceh. Acara ini diselenggarakan di Badan Perpustakan Wilayah Aceh, Lamnyong, Banda Aceh, 17 hingga 20 November 2009. Acara temu pengarang diikuti oleh sekira 70 pengarang buku dan empat orang juri untuk memilih judul buku sebagai jawara. Para juri antara lain Drs Aslam Nur MA, (Dekan Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry), Yarmen Dinamika (Redpel Harian Serambi Indonesia), Drs Agus Budi Wibowo MSi, Drs Teguh Santoso SS MHum, dan Dr Mohd Harun MPd (Kepala Pengembangan Study Magister PBSI, Unsyiah).

Penilaian terhadap buku tersebut meliputi isi, tata bahasa, dan manfaatnya bagi pembaca. Ketiga buku tersebut adalah buku yang berisi tentang Aceh. Kepada para pengarang diberikan hadiah berupa uang dan tropi. “Koleksi buku-buku tentang Aceh masih minim. Untuk itu kita berharap masyarakat Aceh terus meningkatkan minat mengaranng. Dengan demikian akan bertambah jumlah pengarang dan judul buku di Aceh, sekalius menambah koleksi buku tentang Aceh,” katanya.(gun)

Sumber Serambi Indonesia
21 November 2009, 11:06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar